
-31-
Sudah tiga hari sejak aku menghabiskan hampir seharian di rumah sakit dan kantor polisi untuk memberi keterangan.
Luka-lukaku tidak separah yang kubayangkan kecuali goresan di pinggangku yang sedalam setengah inchi. Dokter menertawakan kami saat Matt bertanya apa aku memerlukan transfusi darah, karena saat itu blus putihku hampir setengahnya berubah menjadi merah. Aku hanya butuh jahitan kecil, dan kata dokter aku harus menunggu beberapa hari sampai bisa mengenakan bikini musim panasku. Kubalas kalau aku tidak peduli, dan karena aku masih tidak diperbolehkan ke pantai karena mereka takut aku akan merana di bawah payung sambil menatap orang-orang bermain air laut, jadi aku memamerkan pinggangku di sosial media dan menandai akun James.
Kemudian segera menyesalinya saat Mom memberi komentar dengan huruf kapital besar, 'APA YANG TERJADI?'
Aku terpaksa menjelaskan pada Mom kalau ada orang sinting di kantor Dad yang terobsesi pada Celline dan diriku, kemudian dia mengancamku dengan pisau dan kami bergulat sampai dia kalah. Lalu kubilang juga orang sinting itu berkomplotan dengan Hannah, istri Dad, tapi dia cukup beruntung karena tidak banyak bukti yang membuatnya bersalah. Maksudku, dia pandai sekali memilih pengacara, sehingga dia hanya perlu membayar denda dan mendapat beberapa pembatasan sementara. Tapi setidaknya Dad menceraikannya, dan seperti yang pernah kuperingatkan, Celline bahkan tidak ingin menatap matanya lagi. Mom segera menilai bahwa Tashver adalah sarang preman dan bertanya apakah aku ingin kembali ke New York, tapi segera kutolak dengan alasan tidak ada lagi yang perlu kukhawatirkan sekarang.
"Lagipula, bukankah kau yang merekomendasikanku ke sini?" tanyaku dengan sebelah alis terangkat. Kondisi tubuhku sudah jauh membaik, kecuali flu yang membuat suaraku terdengar aneh. Dad memberiku izin satu minggu, yang kutawar menjadi tiga hari, jadi hari ini aku praktis berbaring seharian sambil menonton film Glee di kamar. Sebenarnya aku tidak suka film musikal, tapi Celline memaksa.
Mom mendesah. Dia sedang berada di kantornya, tapi segera meneleponku beberapa detik setelah memberi komentar di Instagram-ku. Pemandamgan bangunan-bangunan pencakar langit yang terlihat dari jendela di belakang kursinya membuatku sedikit merindukan New York. "Sebenarnya semua ini ide ayahmu."
Ketika aku mengecilkan volume televisi dan melebarkan mata, Mom melanjutkan, "Aku hanya bilang padanya kalau kau ingin kuliah di Columbia. Well, dia ayahmu, jadi tidak ada salahnya meminta dia membiayaimu, kan? Ayahmu jelas tidak keberatan. Lalu tiba-tiba dia punya ide untuk menempatkanku kuliah di sana. Kubilang, oh itu bagus! Maksudku, kalian sudah lama tidak punya koneksi."
"Jelas," kataku menyetujui.
Aku menimbang untuk memberitahunya soal Dad yang tidak memperbolehkanku memakai nama belakang di perusahaannya, tapi rasa kantuk yang mulai menyerang akibat efek obat terlalu kuat menguasaiku. Setelah bergumam sambil menguap kalau aku akan tidur saat itu juga, aku membiarkan mataku terpejam sambil menjatuhkan ponsel ke samping bantal, lalu sepertinya aku sudah bermimpi karena samar-samar mendengar suara Matt.
"Oh, Ashley sedang tidur."
"Yeah, kurasa dia tertidur," Juliet mengiyakan.
Rasanya aku bisa melihat Matt yang membuka pintu, lalu duduk di samping tempat tidurku dan mendekatkan wajahnya padaku. Seolah aku adalah Putri Aurora dan dia adalah pangeran yang hendak menciumku supaya terbangun.
"Jadi apa sih hubungan kalian?"
Saat kubuka mataku, ternyata wajah Celline yang memenuhi penglihatanku.
"Terima kasih telah membangunkanku dari tidur siang yang damai, Celline," decakku saat menyadari kalau aku baru tertidur sepuluh menit.
"Aku tahu kau pura-pura tidur."
"Kau pikir aku jago akting seperti Hannah?" Setelah menyadari perubahan raut wajah Celline, aku melanjutkan dengan nada melunak, "Serius, tidur adalah kegiatan favorit keduaku sekarang."
"Kau selalu tidur setiap kali Matt datang."
Aku membelalakkan mataku sehingga Celline menatapku cemas. Mungkin dia mengira aku akan step atau semacamnya.
"Kenapa?" tanyaku penuh penekanan. Pantas saja. Aku menghabiskan berhari-hari untuk memikirkan betapa Matt tidak memedulikanku lagi dan mengutuknya sepanjang malam. Bahkan pesan singkat penuh perhatiannya tidak kubalas. "Kenapa kau tidak membangunkanku?"
"Jadi kau tidak pura-pura?" tanya Celline polos. "Kukira kau tidak ingin bicara padanya."
"Aku ingin bicara padanya," kataku. Apalagi mengingat terakhir kali kami berbicara, segalanya berakhir tidak terlalu memuaskan.
Bukannya kami bertengkar atau semacamnya. Justru sebaliknya. Setelah polisi memborgol kedua tangan James—dengan menyesal kukatakan kalau aku tidak sempat melayangkan tendangan ke wajahnya seperti yang direncanakan—dan membawa paksa Hannah yang memprotes, kami tidak bertemu lagi karena aku harus ke rumah sakit sementara Matt mengurus laporan di kantor polisi. Setelah semua lukaku diobati dan dijahit, aku menemukan Matt yang menunggu di luar.
"Hei," sapaku sambil mendekatinya perlahan. Jahitan di pinggangku masih terasa sedikit nyeri, tapi aku menjaga ekspresiku senetral mungkin.
"Hei," balasnya canggung. "Er ... bagaimana perasaanmu?"
"Menakjubkan. Seperti berada di chapter terakhir sebuah cerita. Tahu kan, di mana penjahat sudah ditangkap dan tokoh utama sedang mengobati dirinya di rumah sakit atas luka-luka yang ringan."
"Kau adalah ... er, tokoh utama yang keren," kata Matt sambil tersenyum. Dengan kedua tangan yang setengah dimasukkan ke saku celana, dia terlihat seperti anak kikuk yang kalem, dan hal ini malah membuatnya sepuluh kali lipat lebih imut.
"Yang diselamatkan oleh seorang pahlawan tampan. Dua kali." Aku ingin menyambar Matt, lalu menciumnya sambil membelai rambutnya yang lembut. Tapi dengan kondisi ini—kaus longgar, tubuh dibalut perban, memar di sana sini, dan rambut lembab yang lepek—serta mengingat apa yang sebelumnya terjadi pada kami, aku tahu ini bukan saat yang tepat.
Matt tampak tersipu, tapi dia berhasil menguasai diri dengan melipat lengan dan mencoba terlihat maskulin. "Seharusnya aku tahu itu sebuah kode. Cerdik sekali. Kukira kau benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi."
"Mungkin memang itulah yang terjadi," ujarku sambil mengangkat bahu. Ketika melihat riwayat tujuh panggilan dari Matt yang tidak terjawab di ponselku—saat itu aku pasti sedang berkumur air hujan—mau tidak mau hatiku melompat girang.
Senyuman di wajah Matt mendadak menghilang. "Well, aku minta maaf—"
"Bercanda," potongku, kemudian menyentuh bahunya. "Dengar, sebenarnya aku ingin meminta maaf atas sikapku yang kekanakan."
"Aku minta maaf karena membiarkanmu pergi dalam keadaan marah," balas Matt pelan.
"Aku minta maaf karena pergi dalam keadaan marah."
"Aku minta maaf karena tidak menghentikanmu."
"Berhenti minta maaf."
"Maaf."
"Matthias."
"Maaf?" Matt nyengir.
Aku berkacak pinggang memandangnya. "Apa nama belakangmu?"
Tepat saat itu, seorang pria yang lewat menepuk pundak Matt.
"Mr Holyson! Kebetulan sekali bertemu denganmu di sini!"
Matt, yang tersenyum canggung, berbalik pada si orang asing dan tidak memandang mataku saat mengenalkan kami. "Ah, ya. Ini, um, temanku, Ashley. Ashley, ini Kennedy Watson, salah satu klien bosku."
"Mr Holyson membantuku menemukan kucing yang hilang," kata Kennedy dengan wajah berseri saat menyalamiku.
Aku tersenyum seadanya. Pikiranku masih berpusat antara betapa Matt memanggilku 'teman', juga nama belakang Matt yang ternyata ... well, pantas saja dia tidak mau mengakuinya. Setelah Kennedy pamit untuk pergi menemui temannya dan punggungnya sudah tidak kelihatan lagi, kata 'teman' masih bergema di kepalaku.
"Kurasa kau benar-benar ditakdirkan menjadi Pastor," komentarku.
"Terima kasih," kata Matt datar.
"Aku setengah berharap itu benar-benar terjadi. Sehingga aku punya alasan yang dramatis untuk kuceritakan soal kenapa aku tidak bisa berkencan dengan orang yang kusuka."
Matt tampak ingin membalas sesuatu. Tapi apa pun yang hendak ia utarakan, aku tidak akan tahu lagi karena Celline dan Juliet sudah menghampiri kami. Kukira itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengan Matt. Aku bahkan berpikir Matt sengaja tidak ingin menemuiku lagi karena ingin berfokus pada kepindahannya ke Los Angeles.
Aku dan Matt praktis mengira kami saling membenci satu sama lain.
"Apa kalian sedang bertengkar?" Celline menatapku semakin dalam saat melanjutkan, "Apa kalian sedang berkencan?"
"Tidak, kami saling jatuh cinta dan salah paham, lalu sekarang aku akan meluruskannya sebelum adegan mengejar Matt yang hendak berangkat di bandara terjadi," jawabku.
"Ashley!" seru Celline sambil menahanku yang hendak mencari kontak Matt di ponsel. "Kau tidak boleh! Maksudku, kalian apa? Matt itu sepupuku."
"Bukan sepupuku. Mengingat bagaimana Hannah bahkan bukan ibu kandungmu, relasi kami bahkan sama jauhnya seperti aku dan Zac Efron." Tanpa memedulikan Celline, aku menelepon Matt dan tidak menerima jawaban.
"Sebenarnya Matt bilang dia akan pergi hari ini," kata Celline pelan.
Aku menjatuhkan ponsel dengan mulut menganga. "Wow. Jangan bilang dia juga meninggalkan surat."
"Yeah." Celline mengeluarkan sepucuk amplop dari sakunya, lalu menyerahkan padaku yang masih mengerjap dengan mulut terbuka. "Apa kau akan mengejarnya ke bandara?"
"Tidak." Aku menggeleng, menatap tidak percaya pada amplop kecil di tanganku. Ini agak dramatis. Kenapa dia tidak mengirim chat? Sial, kenapa dia bahkan tidak mau repot-repot meneleponku? "Tinggalkan aku sendiri."
Celline tampak tersinggung saat kuusir. Sejak dari rumah sakit, ia selalu menempel padaku, dan bahkan tidur di kamarku dengan alasan ingin menjagaku walau sebenarnya ini malah merepotkanku karena harus menenangkan Celline yang terisak malam-malam karena overthinking.
"Ini salahku. Seharusnya aku yang diserang," tangisnya kemarin malam.
Sambil berbaring, aku terpaksa merangkulnya dan mengatakan, "Hei, sudah, kau melakukan hal yang tepat dengan menghubungi Matt."
Biasanya aku tidak peduli. Sekarang, melihat lingkaran hitam di bawah mata bengkaknya akibat kurang tidur, aku jadi merasa tidak enak telah menyakiti perasaannya.
"Dengar, aku benar-benar butuh waktu sendiri," kataku lebih lembut.
Celline memang meninggalkanku setelahnya, tapi aku tidak benar-benar memiliki waktu sendiri. Telepon terus berdatangan: Mom yang berpikir aku akan kesepian sehingga menceritakan setiap detail perkembangan rencana pernikahannya, Jose yang menelepon sebelum menghabiskan sisa hari di kamarku seperti hari sebelumnya, Vivian yang memekik dan menangis di telepon, lalu Natasha yang meminta maaf karena tidak memperingatiku sejak awal. Tidak ada satu pun telepon dari Matt.
Efek obat lagi-lagi membuatku tertidur dengan cepat malam harinya. Hari itu Celline sudah tidak tidur di kamarku lagi, dan kukira aku bisa melalui malam tenang tanpa suara isakan Celline, tapi setelah James muncul di mimpiku dengan seringai dan pisaunya, mendadak aku terbangun dengan keringat dingin membasahi punggung.
Merasa seluruh kantukku sudah direnggut James, aku berjalan keluar kamar dengan kaki telanjang, lalu berhenti di ruang terbuka tempat aku dan Matt pernah singgah kemarin sebelum dipergoki Manuel. Kusibakkan tirai keemasan panjangnya, lalu jantungku nyaris melompat saat menemukan bayangan Manuel yang terpantul di kaca jendela gelap.
"Tidak bisa tidur, Miss?" tanya Manuel dengan mug di tangan. Sejak Celline mencabut peraturan seragam pekerja di rumah, hanya Manuel yang masih betah mengenakan kemeja putih dan celana hitamnya. Pekerjaannya yang kebanyakan berhubungan dengan urusan bisnis Dad membuatnya harus mengenakan pakaian formal, dan dia dengan yakin dia mengatakan kalau kemeja putih seragam itu adalah favoritnya. Sekarang, melihatnya dalam balutan piyama katun berwarna hijau muda, rasanya agak aneh.
Alih-alih menjawab, aku membalas, "Kenapa kau selalu muncul tiba-tiba?"
"Maaf," kekenya. "Aku baru saja membuat minuman lalu melihatmu lewat di atas tangga. Kukira kau berjalan dalam tidur, jadi menyusulmu."
"Terima kasih atas perhatiannya."
"Don't mention it. Ini sudah tugasku," kata Manuel sambil melangkah ke sampingku dan ikut memandang ke luar jendela. Tidak banyak yang bisa dilihat selain halaman rumah gelap yang diterangi bola-bola lampu di pagar. "Apa yang sedang kau pikirkan, Miss?"
"Ashley saja," pintaku untuk kesekian kalinya.
Manuel tersenyum. "Baik, Ashley. Kau terlihat patah hati."
"Masa?" Aku memiringkan kepala, menatapnya skeptis.
"Aku punya empat adik perempuan dan tampangnya selalu seperti itu setiap patah hati."
Aku terkekeh sejenak, kemudian mendesah panjang. "Kurasa ini pertama kali untukku."
"Biarpun itu kesepuluh kalinya, rasanya akan tetap sama. Itulah uniknya cinta," kata Manuel.
Setelah beberapa detik kami hanya berdiri dalam diam di depan jendela besar, aku menoleh pada Manuel. "Apa kau tidak ingin memberi kalimat mutiara atau semacamnya?"
"Soal cinta?" Manuel menggeleng geli. "Itu bukan bidangku. Aku hampir bunuh diri karena itu sebelum ditemukan ayahmu."
"Tapi kusarankan kau minum coklat panas. Aku bisa membuatnya lagi," tambah Manuel sambil memutar tubuhnya.
"Tidak perlu, terima kasih," kataku sungguh-sungguh. "Aku akan tidur sebentar lagi."
"Oh, ada satu kutipan yang kusuka jika kau mau," ujar Manuel sebelum pergi. Dia mengambil sesuatu dari dalam saku, lalu menyerahkan lipatan kertas kecil panjang yang familier. "Dari fortune cookie."
Sambil menaikkan sebelah alis, aku membuka lipatan itu dan bersiap membaca malapetaka lain.
'Orang-orang yang percaya cinta pada dasarnya sama dengan orang-orang yang percaya dengan fortune cookie.'
Ini konyol.
"Selamat malam," kata Manuel.
------------
A/N:
SEKARANG AKU SEDANG MENULIS CHAPTER TERAKHIR AND I'M SO EXCITED.
Btw, aku sedang dilema sama genre (as always). Ini awalnya chicklit tapi ada bumbu misteri. Slice of life juga? Jadi bagusnya ini masuk genre apa sih ._.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro