-26-
Sama seperti Matt, tentu saja Dad menganggap kemunculanku di danau besok malam adalah ide terburuk di dunia. Jadi, setelah menyerahkan kedua amplop dan menjelaskan bagaimana suratku ditemukan Manuel di teras sementara surat Celline diselipkan di sela-sela jendela kamarnya, lalu menjawab beberapa pertanyaan polisi—yang kemudian kuketahui ternyata adalah detektif—lainnya, kini aku kembali duduk di meja kerja.
Kabar baiknya, kata detektif polisi, James tidak tahu di mana letak kamarku.
Tentu saja hal itu tidak terlalu melegakan. Maksudku, mengingat di hari sebelumnya dia pernah berjalan di ruangan ini, dan tatapan menuntutnya yang seakan menyiratkan, "Kau adalah milikku, Ashley," dengan cara yang sama sekali tidak seseksi CEO posesif di sampul novel dewasa, aku yakin James bisa kapan saja muncul di balik jendela kamarku.
"Halo, bumi memanggil Ashley." Suara Vivian mengalihkan tatapanku dari jendela kantor. "Jadi tidak ada yang ingin kauceritakan pada kami?"
"Oh. James tampaknya terlibat kasus dengan ... um, Mr Drowen," jawabku seadanya.
"Dan kau yakin ini tidak ada hubungan dengan skandalmu dengan Mr Drowen?" Stella memberiku tatapan menuduh, tidak menyadari desisan Vivian yang menyuruhnya diam.
"Maaf?" tanyaku sambil mengernyit.
"Semua orang sudah tahu," kata Stella sambil menggulung rambutnya dengan pulpen. Dia tampak yakin sekali. "Kalau kau adalah simpanan Mr Drowen, lalu cowok kemarin adalah kekasih yang tidak ingin melepaskanmu, kemudian ketika James membelamu, kekasihmu tidak terima. Pasti ada baku hantam hebat, lalu cowokmu melapor polisi."
Aku menoleh pada Vivian, baru saja berpikir kalau kami akan tertawa bersama sebelum menyadari dari raut cemas cewek Asia itu, ternyata Stella tidak sedang bercanda. Well, aku juga tidak tahu bagaimana gaya bercanda Stella, tapi sekarang aku ingat kalau cewek itu hampir tidak pernah melucu.
"Karena itulah kata Heather kau masuk tanpa proses seleksi," kata Vivian, suaranya terdengar seperti bisikan seakan sedang menceritakan gosip.
Yeah, gosip tentangku.
"Lalu kau berada di jajaran bawah untuk memata-matai kinerja kami dan memutuskan siapa yang akan dipecat," tambah Vivian.
"Masalah tampaknya tidak sesederhana itu," geleng Stella, "karena kekasihmu—atau kayaknya mantan, aku tidak tahu, deh—itu adalah kekasih Celline Drowen juga, putri Mr Drowen."
Selama beberapa saat aku hanya bisa mengerjapkan mata dengan mulut setengah terbuka, bergantian menatap Vivian yang dari tadi bergerak tidak nyaman dan Stella yang terlihat sama yakinnya saat mengatakan warna lipstick merah marun membuatku tampak tua. Bahkan Natasha, yang memang jarang melontarkan kata apa pun, ikut memandangku serius seakan ikut menghakimi dalam diam.
Entah bagaimana mereka bisa menyimpulkan skenario itu, tapi rasanya begitu detail hingga aku hampir bisa membayangkan kisah itu benar-benar terjadi pada seseorang. Hanya saja itu bukan aku.
"Dengar, aku tidak tahu kenapa semua orang mengatakan ini, dan aku sudah lelah meluruskannya, tapi Justin bukan kekasihku. Atau mantan kekasih. Apalagi kekasih gelap," kataku tegas.
"Jadi, bagaimana dengan yang lain?" tanya Vivian. "Semua itu benar?"
"Dan aku bukan kekasih gelap siapa pun," tambahku. Sambil memijit pangkal hidung, aku meraih cangkir kopi yang sudah dingin.
"Tapi Susie bilang, Justin memanggilmu Ashley Drowen," kata Stella.
Ah, ya, tentu saja. Si pengacau.
Aku menghela napas sambil meletakkan kembali kopi yang tidak jadi kuminum, sadar bahwa tidak ada gunanya jika terus menyangkal identitasku. "Yeah, itu memang nama belakangku."
Vivian mengerjap, raut wajahnya kecewa. "Jadi kau memang bagian dari Drowen."
"Tidak, aku tidak tertarik untuk memata-matai kalian dan melaporkan setiap ucapan kasar yang kalian lontarkan ke perusahaan ini," tambahku malas, yang membuat bahu Vivian sedikit lebih rileks.
"Oh, kau adik Mr Drowen?" tebak Stella.
"Tidak, Stella, dia tidak punya adik. Dan umurku benar-benar masih delapan belas."
"Tentu saja," angguk Vivian. "Ashley pasti keponakan Mr Drowen."
"Guys, aku putrinya. Kalau mau tahu, DNA-nya juga mengalir di tubuhku." Jawaban itu membuat mata semua orang terbelalak menatapku, seolah aku baru saja berbicara kasar. Stella menjatuhkan pulpennya.
"Putrinya?" Vivian terkesiap, lalu melirikku lama seakan sedang mencari kemiripan antara aku dan Dad. Kurasa dia tidak menemukan banyak selain warna rambut dan mata.
"Aku tidak tahu Mr Drowen punya putri ilegal," ucap Stella.
"Aku putri legalnya," jelasku, hendak memutar bola mata sebelum sebuah pemikiran menyadarkanku. "Tunggu. Selama ini Dad menyembunyikan pernikahan pertamanya, ya?"
"Wah, ini masalah yang rumit," kata Vivian sambil tertawa gugup. Dia mencoba mengalihkan topik. "Jadi apa hubungan semua itu dengan James? Apa kalian, um, juga saudara? Maksudku, dia juga berambut merah."
"Tidak," bantahku sambil meringis. "Vivian, tidak semua orang yang berambut merah itu bersaudara."
"Jadi kenapa polisi mencari James?" tanya Natasha. Ketika semua orang menatapnya, dia melanjutkan dengan canggung, "Maaf, dari tadi topik kalian berputar-putar."
Aku menimbang sesaat. Bisa dibilang tim administrasi adalah rekan kerja yang paling dekat dengan James selain Frank. Mengucapkan hal buruk mengenai teman dekat seseorang di depannya bukan ide bagus. Dengan nada diplomatis, aku berkata, "Kurasa dia terlibat sedikit konflik dengan Celline Drowen."
"Sial. Kau kakaknya." Vivian menepuk dahinya dengan keras. "Aku sering bilang kalau aku membenci Celline."
"Kau belum pernah menyebut soal kau membenci Celline sejak Ashley masuk," Stella mengingatkan.
Vivian mengernyitkan dahi tidak yakin. "Oh?"
"Sekarang kau menyebutnya," kataku.
"Sial," umpat Vivian. "Dia bilang kalau aku harus memakai eyeliner karena mataku begitu kecil. Aku melakukannya. Lalu dia tertawa dan bilang aku terlihat seperti Batman."
"Well," kataku. "Dia memang sangat muda dan terkadang kurang beradab."
"Jadi," Natasha menginterupsi, "apa yang dilakukan James?"
"Taruhan, James berhasil mengancam Celline dan membuatnya ketakutan?" decak Vivian, yang membuatku menolehnya penasaran.
"Bagaimana kau tahu—"
"Tidak," potong Natasha sambil menggeleng.
"James juga membenci Celline!" seru Vivian.
"Kenapa kau tidak—"
"James tidak membenci Celline," bantah Natasha, memotong ucapanku lagi.
"Kuakui James agak gila," celetuk Stella. Untuk pertama kalinya, cewek itu mengatakan sesuatu yang langsung kusetujui.
"Stella, dia teman kita," tegur Vivian. "Celline yang musuh kita."
"Stella benar. Apa kalian tidak bisa melihatnya? James mengirim serangkaian teror lalu mengajak Celline bertemu," ucapku, tanpa repot-repot menambahkan bahwa dia juga 'mengajak'-ku.
"Itu bukan kejahatan serius," kata Vivian. "Jika dilakukan pada Celline."
"Kau tahu bagian terburuknya? Dia membuat seolah aku adalah pelakunya."
"Well, kalau itu agak serius," aku Vivian. Dia mengetuk dagu. "Tapi tunggu, bagaimana dia bisa tahu soal kau dan Celline?"
"Sudah kubilang, terkadang James agak menyeramkan," bisik Stella.
Tidak ada yang membalas lagi setelah itu, termasuk Natasha yang mulai pura-pura sibuk mengetik sesuatu—tidak ada orang yang mengetik dengan kepala menunduk terus menerus. Stella tampak melupakan masalah James dan fakta bahwa aku adalah putri bosnya. Tapi Vivian selalu terlihat sedang berpikir keras, dan sesekali aku memergokinya menghela napas dan bergumam sendiri, "Tapi dia kelihatan baik."
Tentu saja, tidak ada yang mengakuinya sekeras Stella, tapi diam-diam semua orang sepakat bahwa James memang menyeramkan.
Dan, seperti yang dikatakan Jose dengan dramatis saat kami makan siang bersama di T&C! di area sekitar kantorku: Pembawa Malapetaka.
"Nah, sekarang kita sudah tahu siapa orangnya." Jose melempar gumpalan tisu yang mendarat sempurna ke tempat sampah di samping kami.
Aku mendengus sambil mengaduk soda dinginku dengan sedotan. "Lucu ketika kita selama ini menebak seseorang, sementara semua orang di sekitarku berlomba-lomba menyeretku ke dalam malapetaka."
"Kau mau tahu sebuah fakta?" tanya Jose sambil mengambil sebuah fortune cookie.
"Apa saja, asal tidak berasal dari sebuah kue."
Jose memutar bola mata. "Semua ini tidak akan terjadi jika kau tidak tinggal di rumah ayahmu. Ayo, pindah ke apartemenku. Aku bosan setengah mati dan Harry tidak bisa pindah dari rumahnya sebelum dia lulus SMA."
"Oh, lihat, 'warna keberuntungan Anda adalah biru'. Cocok sekali." Jose memamerkan pesan fortune cookie-nya sambil mengibaskan rambut ke belakang bahu.
"Lalu bagaimana setelah Harry lulus SMA? Aku akan diusir?"
"Ashley," gelengnya, "kau tidak mungkin sendiri terus dalam dua tahun ke depan."
Aku mengerti maksud Jose. "Sebenarnya sekarang aku sedang berada dalam hubungan."
"Oh, dengan cowok gereja itu?" Kedua mata Jose melebar. "Tunggu, tapi bukankah akan sulit saat kalian memutuskan tinggal bareng? Maksudku, dia cowok gereja."
"Matt tidak ingin menjadi cowok gereja," bantahku. "Lagipula ini bukan saat yang tepat untuk membahas itu. James si psikopat mengerikan sedang berkeliaran di luar sana, ingat?"
"Yeah, memangnya apa lagi yang bisa kau lakukan, Ashley?"
"Menangkapnya besok," ujarku santai.
Jose menatapku seakan aku gila. Persis Dad saat aku mengutarakan ideku tadi. "Kau bilang akan ada polisi yang menyamar di sana."
"Dengar, James tidak akan menampakkan diri jika aku tidak muncul di sana malam besok. James mengharapkan seseorang yang hadir, entah aku atau Celline, dan mengingat mustahil Celline yang pergi, maka aku harus bersiap."
"Kau akan menjadi umpan?" Jose mengernyit. "Bukannya apa, tapi terdengar seperti mengorbankan diri."
"Polisi akan melindungiku."
"Damn, Ashley, kau benar-benar akan mengorbankan diri," decaknya. "Pergi ke pesta terdengar lebih asyik, dan aku bisa menemanimu. Tapi ke danau angker dan menunggu psikopat?"
"Pertama, aku hanya ingin mempercepat penyelesaian kasus. Kedua, aku tidak memintamu menemaniku. Ketiga, ini hanya James, cowok pengecut yang bersikap hebat di balik layar dan kini mungkin sedang bersembunyi ketakutan di balik selimut. Plus, terlalu dini bagi kita untuk menyebutnya psikopat."
"Pria yang menyukai semua postingan sosial mediamu sejak lima tiga tahun yang lalu jelas psikopat," kata Jose mengotot.
"Yeah, memangnya apa yang akan dilakukan seorang penguntit sosial media? Berkata, 'Hey, Ashley, followback Instagram-ku atau kugores nadimu'?"
Aku benar-benar bisa membayangkan James melakukannya. Tapi sebelum itu terjadi, kupastikan bibirnya sudah menyentuh ujung sepatuku—atau telapak tanganku, karena aku tidak yakin bisa mengangkat kakiku setinggi itu.
"Ashley, dengarkan aku." Jose menyentuh kedua lenganku, lalu menatapku dengan sungguh-sungguh. "Kau sudah membuat kesalahan dengan bekerja kantoran di usia dini. Lalu sekarang kau ingin menangkap penjahat. Kukira tujuan kita ke Tashver untuk kabur dari orangtua?"
"Hei, bukan aku yang memesan kasus ini. Apa lagi pilihan yang kupunya?" balasku, mengabaikan fakta bahwa Jose lupa aku tidak benar-benar kabur dari orangtua sejak aku tinggal bersama Dad di sini.
Jose berdecak. "Keluarlah dari rumah toxic itu dan tinggal denganku! Lupakan mereka. Lagipula si psikopat hanya mengincar Celline."
"Dia kini mengincarku," aku mengingatkan.
"Baiklah, kita tinggal kembali ke New York. Aku tidak suka ide ini, tapi aku juga tidak mau sendiri di sini tanpamu."
Sejujurnya itu adalah saran paling masuk akal dan termudah yang bisa kuambil jika menginginkan hidup tenang selamanya. Tapi itu berarti meninggalkan beberapa hal yang tidak terselesaikan di sini. Mulai dari kasus teror Celline (akhir-akhir ini dia jadi menempel padaku, bahkan tidur di kamarku semalam dengan alasan ketakutan sejak menemukan surat di kamarnya), Dad yang ternyata diam-diam tidak mengakuiku di publik, sampai Matt yang tidak jelas ingin menjadi pacarku atau tidak.
Tetap saja, gagasan aku yang pindah kembali ke New York dan memulai kuliah di Columbia University, seperti tujuanku semula, terdengar menggiurkan. Dad tetap akan membiayaiku, dan aku tidak perlu tahu bagaimana dia menganggapku di sini. Lalu, setelah lulus kuliah, aku akan bekerja sungguhan, melepas hubunganku dengan Dad sepenuhnya ....
Tidak ada Celline, Justin, James, dan Matt.
Mungkin aku akan bertemu dengan cowok pirang berlengan bagus di Columbia? Yang kebetulan tidak pernah berciuman dan masih terpengaruh oleh beberapa aturan gereja.
Sial, sejak kapan cowok gereja adalah tipeku?
"Mari kita lihat apa kata ramalanmu," senandung Jose sambil mengambil sebuah fortune cookie. "'Ini adalah waktu yang sempurna untuk duduk-duduk di bawah cahaya matahari pantai Malibu.' Lihat." Jose menunjukkan tulisan di kertas fortune cookie dengan ekspresi girang. "Inilah tandanya. Sepupuku punya rumah yang tidak ditinggali di sana, dan kurasa kita bisa menyewa. Aku akan meriset beberapa referensi universitas di sana. Oh, bayangkan, bunyi ombak dan aroma garam di setiap Minggu."
"Bagaimana dengan Harry?" tanyaku heran. Jose tidak pernah memiliki masalah dengan keuangan, jadi mengganti lokasi kuliah dan tempat tinggal semudah berpindah bangku duduk. Tapi beberapa menit yang lalu dia baru saja mengutarakan ingin tinggal bersama pacar barunya.
"Dia bisa mengunjungi kita kapan pun. Jaraknya hanya beberapa jam," ujarnya santai. "Lagipula, kami baru mengenal. Tidak sulit jika ingin berpisah dan menyesuaikan kehidupan baru masing-masing. Hidup ini panjang, Sis."
Aku ingin bilang kalau aku cukup keberatan jika harus berpisah jauh dengan Matt, tapi itu akan terdengar konyol. "Kau benar-benar akan pindah hanya karena fortune cookie?"
"Coba pikirkan, bukankah ini ide bagus?"
Tentu saja, hanya Jose yang bisa mengajukan pada orangtuanya tanpa kesulitan kalau dia akan pindah kota sesuai petunjuk fortune cookie, seperti ketika ia mengambil keputusan spontan untuk mengikutiku ke Tashver karena tidak tahu apa tujuannya.
"Baiklah, coba kuambil ramalanku. Mungkin kueku menyuruhku ke Las Vegas. Kurasa kita akan pisah jalan kalau begitu?" dengusku sambil mengambil kue lain. Aku menarik kertas yang terselip tanpa berniat memakan kue itu, merasa de ja vu, lalu membentangkan tulisan yang familier tepat di depan mataku.
'Seseorang di sekitarmu akan membawa malapetaka.'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro