-23-
Celline muntah hebat keesokan paginya. Semua orang mengira dia masuk angin atau semacamnya, dan Hannah baru saja ingin membawa Celline ke dokter sampai dia membaui aroma anggur dari tubuhnya.
"Celline," desahnya sambil mengamati Celline yang mengambil obat di dapur, "kau mengambil simpananku lagi?"
Sambil mengunyah pancake, aku mengangkat alis, menyadari bahwa ternyata itu bukan pertama kalinya Celline mencuri minuman di rak. Kulihat Juliet diam-diam menyelinap ke teras belakang sambil membawa sapu, mungkin ingin menyembunyikan jejak bau apa pun yang mencurigakan hingga tak bersisa walau pagi ini dia beraroma seperti pewangi ruangan.
"Maaf," ujar Celline seadanya. Wajahnya masih pucat, dan jelas sekali dia belum menyikat gigi dari kemarin. Dia bahkan tidak repot-repot melirikku untuk menyalahkan, dan ini membuatku sedikit terharu. Bukannya aku tidak mau mengaku, tapi pagi ini tidak akan terselamatkan jika Hannah tahu aku yang melakukannya.
Apalagi jika dia benar-benar ingin aku mampus.
Hannah melangkah mendekati Celline, lalu memeluknya lembut. Sepatu pump merah muda Barbie-nya membuat Hannah terlihat semakin tinggi hingga wajah Celline terbenam di dadanya. Dia mengelus rambut Celline, tidak menyadari kalau putrinya bertatapan kosong.
"Aku paham. Itu pasti berat untukmu," bisik Hannah.
Aku tidak tahu apakah wanita itu berpura-pura, tapi jika iya, dia seharusnya mengikuti casting film di Hollywood. Siapa yang rela memeluk gadis bau saat kau sudah menyemprotkan parfum mahal ke gaun mewahmu?
"Kurasa kau harus melepaskannya," lanjut Hannah. "Kita beritahu ke ayahmu. Serahkan ke polisi."
Celline menarik diri dari dekapan Hannah, lalu memberinya tatapan protes. "Mom, tidak!"
"Maksudku, aku hanya memikirkan Justin. Aku ... aku merindukannya," tambah Celline.
"Hannah benar, kita harus melapor ke polisi." Aku menimpali.
"Apa kau menguping pembicaraan kami?" tanya Hannah.
"Oh, maafkan pendengaran ultrasonikku karena suara kalian begitu keras," decihku. "Aku hanya ingin membantu adik tiriku karena aku punya bukti yang bisa disampaikan ke polisi."
"Bukti?" Hannah menatapku sangat tertarik, lalu mendekat dengan tangan terlipat. "Kebetulan, aku juga punya bukti."
"Wah, kelihatannya polisi akan mendapat banyak kemudahan."
"Hentikan kalian." Celline menatap kami dengan berang, lalu memutar bola mata sebelum menaiki tangga.
"Celline, kita harus bicara," panggil Hannah.
"Tidak, Celline, bicaralah padaku!" seruku.
Hannah menoleh cepat ke arahku dengan tatapan tajamnya di balik bulu mata yang lentik tidak alami, seakan menyalahkanku. "Aku serius soal menghubungi polisi. Tidak peduli kalau ayahnya mungkin akan melarang Celline berkarir di dunia permodelan."
"Bukankah itu aneh, bagaimana kau awalnya memintaku membantu mencari tahu siapa penerornya dengan imbalan harta Dad yang secara resmi bukan milikmu, lalu tiba-tiba kau ingin menyerahkan semua ke polisi dan bertindak seakan kau sudah tahu siapa pelakunya?" Aku mengelap bibir dengan serbet. "Pertama-tama, seharusnya kau sudah siap menangani sendiri jika menemukan pelaku. Lalu sekarang kau ingin pelaku ditangkap polisi, lalu Dad akan tahu, bahkan jika harus mempertaruhkan impian Celline."
Hannah tidak menjawab, dan itu memberiku kesempatan untuk melanjutkan setelah meneguk air putih. "Karena risiko itu tidak sebanding dengan kepergianku yang kauanggap sebagai ancaman, bukan?"
Kusilangkan kakiku, tersenyum tipis bagai pemain catur yang melakukan check mate. Secara teknis aku belum menang, karena posisiku masih berbahaya mengingat bukti yang ada terasa bagai ujung pisau yang siap menusukku. Tapi jika menunjukkan bahwa aku menyadari keberadaan pisau itu dan siap membalikkannya ke Hannah, hal itu bisa dihindari.
Alih-alih terkejut seperti yang kuharapkan, Hannah hanya memandangku tanpa ekspresi. Aku meyakinkan diri bahwa itu pasti efek dari perawatan botox-nya yang membuat wanita itu tidak banyak menunjukkan emosi selain dengusan sinis. Tapi sayangnya, hal itu justru menambah kesan dingin dan mengintimidasi dari Hannah sehingga rasanya seolah ada jubah hitam yang melingkari pundaknya dan siapa pun yang berada di depannya harus berlutut dan menyerukan, "Hidup Sang Ratu Hannah!"
"Aku tidak mengatakan kau pelakunya," katanya.
"Tapi aku tidak bodoh," dengusku sambil memutar bola mata. "Lokasi alamat IP peneror dari kantor Jaxon Group? Yang benar saja."
"Sungguh mencurigakan, bukan?"
"In many levels," gelengku.
Hannah hanya mengangkat bahu, lalu melangkah pergi sebelum berhenti di pintu dapur dan menoleh padaku. "Satu-satunya alasan aku sempat mempercayaimu adalah karena kau sedikit mengingatkanku pada diriku yang dulu. Dan kalau kita memang mirip, aku tidak akan heran jika kalau sekarang kita jadi saling mencurigai."
"Tetaplah seperti ini," saranku.
"Satu hal. Aku melarangmu menemui Celline."
"Aku tidak akan melakukannya," kataku sambil tersenyum lebar.
Tentu saja, aku akan melakukannya.
Karena itulah, di sela-sela waktu senggang sambil menunggu jam pulang kerja, aku mengirim pesan singkat ke Celline. Satu minggu yang lalu, aku tidak akan percaya kalau pesan pertamaku ke nomornya adalah: "Mau makan malam bareng?"
Sungguh normal. Bahkan hampir terdengar seperti saudara.
Celline membalas dengan panggilan video beberapa menit kemudian. Dengan terkejut, kumatikan teleponnya dan mengetik, 'Kau tahu aku sekarang bekerja dan tidak etis rasanya melambai-lambai padamu di depan kamera, kan?'.
Sebagai balasannya, dia meneleponku lagi. Kali ini panggilan suara. Setelah menimbang sejenak, kuputuskan mengangkatnya dengan earphone.
"Sori, aku tidak bisa mengetik karena kukuku baru dicat," katanya dengan suara bergema di telepon.
"Jadi bagaimana ajakanku? Kurasa sesekali kita harus mengobrol bagai kakak-adik normal."
"Aku akan makan bubur gandum."
"Demi Tuhan, siapa yang makan bubur gandum di malam hari?"
"Sebenarnya itu menu yang bagus untuk diet," kata Celline.
"Baiklah, Cewek Ukuran Nol, aku yakin ada restoran yang menjual bubur gandum instan. Bersiap sebelum pukul enam."
Celline menghela napas dengan keras. Terdengar suara tumbukan pelan, sepertinya dia baru saja menjatuhkan diri ke tempat tidur. "Sudahlah. Aku tahu alasan kau mengajakku makan. Kau hanya ingin membujukku menyerahkan kasus teror itu ke polisi."
"Aku bersumpah, Celline, jika masalah itu tidak selesai hari ini, aku akan keluar dari rumah dan persetan dengan makhluk fiktif mana pun yang mengirim surat teror itu."
"Jangan mengancamku," Suara Celline bergetar.
"Bukan kau yang dituduh sebagai pelaku, lalu mencoba membantu menemukan pelaku asli dan justru semua bukti mengarah padamu. Atau diarahkan padamu. Kau tahu bagaimana repotnya diriku? Tidak, karena satu-satunya hal yang kau pedulikan hanya karir model payahmu dan diet untuk tubuh tengkorakmu," kataku tanpa jeda. Aku bernapas cepat seolah baru saja berlari satu kilometer, lalu pura-pura menunduk saat Vivian dan yang lainnya menatapku penasaran.
Aku keterlaluan, aku tahu itu. Tapi aku sudah tidak tahan.
Bagaimana pun, merendahkan pilihan karir dan dietnya adalah tindakan yang kekanakan.
Tapi aku sedang kesal.
"Aku minta maaf," isak Celline. "Aku minta maaf karena membebanimu. Aku sudah memberitahu Hannah kalau bukan kau pelakunya—"
"Tentu saja, karena dia yang melakukannya," potongku gemas.
"Bukan ...."
"Aku menunggu sebuah nama."
"Aku tidak bisa," bisik Celline.
"Telepon aku saat kau sudah bisa berpikir." Tanpa basa-basi, kumatikan sambungan telepon. Sial, ini tidak seperti yang direncanakan.
Menghempaskan tubuh ke sandaran kursi, aku sudah hendak menutup program komputer sebelum melihat notifikasi pesan berwarna biru dari resepsionis. Seluruh karyawan Jaxon Group terhubung dalam sebuah grup sosial media, sehingga memudahkan kami untuk mencari akun dan saling mengirim pesan satu sama lain. Susie mengirimku belasan pesan dan ia masih mengetik.
Isinya tentang ada orang yang ingin mencariku dan Susie tidak ingin menunggu lebih dari satu menit lagi karena ia bertekad untuk pulang tepat waktu.
"Ah, ya," celetuk Stella di sampingku, "Susie barusan menelepon kalau ada tamu untukmu di bawah."
"Di jam lima sore?" Vivian melirik arlojinya sambil beres-beres. Ia memberiku tatapan prihatin.
"Apa jangan-jangan Hexagon tidak terima karena kita mengajukan penundaan pembayaran?" gumamku, karena beberapa hari yang lalu aku sempat membuat suratnya.
"Wah." Tiba-tiba saja Stella sudah berdiri, menyambar tas dan jaket. "Seharusnya ini urusan Keuangan. Daah."
"Perusahaan ini memang tidak jelas," decak Vivian yang berhenti di depan mejaku. "Kerjaan kita tercampur aduk dengan bagian Keuangan dan Pemasaran. Kenapa tidak membagi tim Administrasi ke dua bagian itu saja? Nanti aku akan memilih departemen Keuangan, di mana pun yang penting tidak ada Maggie. Kau pilih apa?"
Telepon yang terletak di antara mejaku dan Stella berdering.
"Ashley, jadi kau mau turun tidak?" Suara Susie terdengar tidak sabar.
"Ah, maaf," kataku merasa bersalah, tapi nadaku terlalu dingin akibat percakapan dengan Celline tadi. "Bisakah kau menyuruhnya naik ke ruanganku saja?"
"Kenapa tidak bilang dari tadi!" geramnya sebelum menutup telepon.
Menghela napas, aku ikut kesal walaupun sebenarnya aku lah yang salah. Bekerja di perusahaan tidak sekeren yang kubayangkan jika aku bukan siapa-siapa. Dad pura-pura tidak melihatku dan semua orang hanya menganggapku sebagai si anak baru yang lemah, kecuali Vivian dan, yeah, tentu saja James, seandainya cowok itu berhenti mengira kalau aku tergila-gila padanya.
"Butuh bantuan?" tanya Vivian berbaik hati.
"Tidak perlu, Vivian, terima kasih. Kau pulang saja."
Sambil melambai pada Vivian, aku mengangkat gagang telepon, menekan tombol yang terhubung ke bagian resepsionis.
"Aku tidak suka kau mengakhiri percakapan secara sepihak dan tidak menghargaiku," kataku langsung saat Susie mengangkat.
"Aku tidak peduli, aku akan pulang sekarang," dengusnya.
"Dengar, Susie, aku terlambat menjawab pesanmu dan aku meminta maaf untuk itu. Tapi kau tidak bisa membentakku hanya karena kau harus menunggu satu menit lebih lama untuk melayani tamuku."
"Oh, siapa kau, Bos Besar?"
Ashley Drowen, putri bosmu.
Tapi jawaban itu terdengar kekanakan dan melanggar perjanjianku dengan Dad.
Jadi aku hanya menjawab, "Mungkin akan menjadi bosmu suatu hari," sebelum menutup telepon.
Aku membaca ulang pesan Susie untuk mencari tahu siapa tamu yang mengganggu jam pulang kerjaku, sampai ada suara ketukan di pintu ruangan.
"Masuk!" seruku antara kesal bercampur heran setelah membaca nama yang jelas-jelas bukan dari salah satu mitra perusahaan.
Sosok itu melangkah dengan gaya santai dan cengirannya yang tidak berubah sejak ia menawariku naik ke mobilnya, yang rasanya seperti satu abad yang lalu. Ia masih memakai kaus longgar dan celana kedodoran yang payah. Hal yang tampak berbeda hanya rambutnya yang kini terlihat pucat dan kusut, tanpa poni, satu-satunya bukti bahwa baru-baru ini ia menjalani hari sial di kantor polisi akibat pesta bodohnya.
"Kau betul-betul salah kostum," komentarku. Bagaimana mungkin Susie megijinkan orang itu naik sendirian? Bisa saja ia baru saja membiarkan gelandangan masuk.
"Wow, kau terlihat bagus dengan blazer merah," balasnya dengan pujian.
"Terima kasih. Percakapan kita selesai dan kau boleh pulang dan jadilah anak baik." Aku mulai mematikan komputer dan membereskan barang-barangku ke tas.
"Ayolah, kau terdengar seperti cewek yang merajuk pada pacarnya." Justin berjalan ke jendela di seberangku, mengagumi betapa mobilnya terlihat keren dari sini.
Aku meringis. "Aku tidak memiliki urusan denganmu lagi, Justin."
"Setelah kau membuat hidupku hancur?" Dia memandangku dramatis sambil berkacak pinggang, sama sekali tidak seperti orang yang hidupnya hancur. "Aku putus dengan Celline dan Nikki sekaligus."
"Selamat," ucapku bosan, "bukankah itu yang selalu kau inginkan?"
Justin menarik salah satu kursi plastik dan duduk di depanku. "Kau harus bertanggung jawab, Sayang. Harga diriku hancur setelah dicampakkan oleh Nikki setelah dia berteriak di depan semua teman-temanku kalau aku bercinta seperti pria impoten."
"Aku baru tahu kalau sebelumnya kau punya harga diri." Aku mendengus. "Dan impoten."
"Tidak!" bantahnya. Ia berdeham, lalu melanjutkan dengan lantang, "Kau harus menjadi pacarku untuk memperbaiku reputasiku."
Aku harus menahan diri untuk tidak mengentakkan kepalaku ke belakang dan tertawa keras sampai mengeluarkan air mata. Tingkat kepercayaan diri anak ini telah melampaui batas kewarasan.
"Kenapa kau bisa berpikir kalau aku akan memenuhi keinginanmu? Kau bahkan bukan tokoh utamanya, Justin."
"Karena, Sayang, mungkin aku tahu siapa peneror Celline." Justin melipat lengannya sambil menyandarkan tubuh, tersenyum padaku seakan ia baru saja mengeluarkan kartu AS. Tapi dia tidak tahu kalau Celline bahkan mungkin tidak benar-benar diteror, dan yakin sekali kalau aku cukup bodoh untuk mempercayainya.
"Begitu denganku. Tawaranmu tidak berguna."
Jawabanku memudarkan senyum Justin. Ia tampak gusar dan putus asa hingga aku hampir merasa kasihan padanya.
"Kau tidak mungkin tahu!" sergahnya. "Kau tidak tahu apa-apa soal Celline. Dengar, kami sudah beberapa kali bertengkar dan putus dengan masalah yang sama, lalu besoknya dia akan menelepon dan semuanya baik-baik saja. Tapi kali ini dia tidak meneleponku, dan aku tahu itu ada hubungannya dengan si peneror."
"Biar kujelaskan artinya, Justin, satu-satunya alasan Celline tidak menghubungimu lagi karena sekarang ia sudah pintar membedakan yang mana berlian dan sampah," gelengku prihatin.
Justin sudah bersiap menghadang pintu saat aku menggantung tas di bahu dan beranjak dari kursi. "Hei, hei, aku bukan satu-satunya orang jahat di sini. Apa kau tahu kalau Celline juga pernah bermain pria?"
"Kau punya sepuluh detik untuk pergi, atau aku akan keluar menekan tombol pengunci pintu dan kau akan terkunci di sini sampai besok pagi sementara mobilmu diderek."
"Bukankah Celline telah jahat padamu? Menusuk ban dengan paku, tomat busuk di tempat tidur, keju busuk di lemari ... dia psikopat. Kau punya kesempatan untuk membalas dendam jika kau terlihat bersamaku," ia masih mengoceh.
Fakta bahwa Celline rutin menceritakan dosa-dosa kecilnya pada Justin membuat pikiranku tergelitik. Mau tidak mau aku jadi mencurigainya.
"Apa semua itu idemu?"
Mulut Justin menganga. "Tentu saja tidak!" sergahnya. Ia tertawa gugup. "Bagaimana mungkin?"
Itu idenya.
Dasar Celline bodoh. Apa cewek itu juga tidak ingin menyebut nama pelaku hanya karena dia tidak diperbolehkan? Karena jika begitu, aku jadi tidak bisa menyalahkan pelaku sepenuhnya.
Aku menghela napas marah, memutuskan tidak ada gunanya mempermasalahkan hal dengan Justin. "Waktumu habis."
"Sebentar." Dengan panik, Justin menahan kedua lengan atasku tiba-tiba, yang membuatku terkejut dan kehilangan keseimbangan hingga ujung hak sepatuku menginjak salah satu kabel komputer di lantai. Memanfaatkan keadaanku yang sempoyongan, Justin mendorongku ke dinding.
"Ups, tidak sengaja," kekehnya, tapi masih belum melepaskan tanganku.
"Hei!"
Aku mendengar suara seseorang berseru sambil membuka pintu, lalu mengernyit saat mendapati James masuk alih-alih Vivian yang ketinggalan tas atau semacamnya. Justin perlahan menurunkan tangannya, tapi masih belum berpindah posisi. Pikiranku cukup teralihkan oleh kehadiran James yang melepaskan kacamata, yang membuat kantong matanya terlihat semakin jelas.
"Lepaskan Ashley," kata James pada Justin.
"Apa kau buta? Aku sudah melepaskannya," kata Justin sambil menaikkan kedua tangannya dengan agresif. Seharusnya aku berterima kasih pada James, tapi mau tidak mau aku setuju dengan Justin.
Sial, ini seperti adegan murahan. Kenapa aku harus diperebutkan dua cowok paling payah, dan bukannya Edward Cullen dan Jacob Black?
"Pergi dari sini," balas James kaku. Dia bahkan tidak berani melihat mata lawannya.
"Apa kau sekuriti, huh?" dengus Justin. Tiba-tiba saja, dia mengangkat alis dan mendekati James dengan ketertarikan tinggi seolah menemukan harta karun. "Tunggu, pantas saja kau familier. Kau ini paman yang pernah menggoda cewekku, dan sekarang kau mengincar kakak perempuannya?"
Sialan Justin.
James mengernyit. Sebelum dia menyadari apa yang dikatakan Justin yang juga harus kucerna nanti, kudorong tubuh Justin dengan kuat hingga ia bergeser ke arah pintu.
"Pergilah," kataku ketus. Kami berhenti di depan pintu terbuka, lalu aku menganga saat mendapati beberapa rekan kerja yang mengintip dari balik jendela bertirai setengah terbuka. "Dan kalian semua, pergi!"
Teriakanku berhasil membuat mereka terbirit-birit melangkah ke tangga, kecuali Justin. Cowok itu masih bertahan di tempatnya, tapi kali ini perhatiannya berpindah ke James alih-alih diriku.
"Kau tahu. Celline Drowen, Bodoh," seru Justin padanya. "Jangan kira aku bodoh dan tidak tahu, dasar kau om-om bodoh."
James melangkah dengan hentakan keras ke arah Justin. Tatapan tajamnya membuat anak itu mengerut seketika, lalu sebelum mengatakan sesuatu, teriakan Frank dari puncak tangga mengalihkan perhatiannya.
"Hei, Mate, jadi menebeng tidak?"
Setelah menatapku dengan ekspresi yang sulit terbaca, James akhirnya pergi, meninggalkan Justin yang mengomel kekanakan dan aku yang mengerjap kosong. Butuh beberapa saat untuk mengusir Justin yang masih mengoceh tidak penting, lalu kurenungkan lagi kejadian tadi sambil mengunci pintu ruangan lambat-lambat. Suara telepon dari Celline membawa kembali fokusku ke dunia nyata, dan sekarang pikiranku sudah lebih mantap saat menggeser tombol hijau.
"Halo, Ashley?" sapa Celline di telepon. Suaranya terdengar gugup. "Aku ... jadi ...."
"Itu James, kan?"
Tidak ada jawaban selama sepuluh detik.
"... Dari mana kau tahu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro