Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-20-

Kata-kata itu masih menggema di kepalaku saat aku berbaring di atas kasur malamnya, menatap langit-langit dengan televisi yang menyala tanpa berniat untuk kutonton. Tanpa menoleh, aku mengarahkan remote untuk mengganti saluran televisi saat layar persegi tipis di sampingku ini menayangkan adegan seorang ayah yang meminta maaf pada putrinya sambil tersedu.

Getaran dari sampingku membuatku meraih ponsel-setengah berharap bahwa itu Matt-dan berusaha tidak terdengar kecewa saat menyahut panggilan Mom.

Dia menangis heboh.

"Mom?" panggilku lagi, mulai menegakkan punggung dengan tegang.

"Ash Sayang," panggilnya, lalu menangis sebentar sebelum melanjutkan, "kau tidak akan percaya apa yang baru saja dilakukan Mike padaku."

"Ada apa?" Suaraku terdengar lebih keras, membayangkan segala hal buruk yang bisa dilakukan pacar Mom dan bersumpah kalau ia akan menyesal. Michael adalah laki-laki baik dan menurut pada Mom seperti peliharaan kesayangannya, tapi aku sudah membayangkan jika suatu saat ia akhirnya akan menunjukkan sifat aslinya, karena tidak mungkin seorang laki-laki yang belum pernah menikah menyukai wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya dan memiliki putri yang hampir dewasa. Jadi inilah saatnya, ketika aku tidak ada di samping Mom, dan dia mengambil kesempatan.

"Kuharap kau bisa melihat ini. Astaga, seharusnya kita video call. Astaga, Ash, kau benar-benar harus melihatnya, karena ini benar-benar-"

"Dia memukulmu?" tebakku langsung.

"-indah."

"Tunggu, apa?" tanyaku bingung.

"Cincin ini, Sayang." Mom tetawa di sela-sela tangis kecilnya. "Kami akan menikah."

"Apa?" Semua kemarahan tak berdasar yang sempat muncul tadi mendadak lenyap, digantikan oleh kekesalan luar biasa pada Mom.

"Yeah, bisakah kau percaya itu?" pekiknya.

Aku memejamkan mata, membayangkan Mom dalam balutan gaun pengantin seksi-dia akan melakukannya-serta Michael berjalan di sampingnya, sementara aku menebar bunga di belakang.

Ini tidak benar.

"Apa kau yakin?" tanyaku hati-hati, mencoba tidak menyurutkan kebahagiaannya. "Maksudku, kalian terlalu ..."

Muda. Itu konyol, Mom sudah hampir pertengahan empat puluh. Tapi kata yang terpikir olehku hanya itu.

"Tua?" Mom berhenti menangis, dan terdengar sangat tersinggung. "Tahu tidak kalau Emma Thompson menikah lagi di usia empat puluh empat tahun?"

Jadi itu inspirasinya? "Bukan itu maksudku. Aku tidak merasa kalian siap untuk itu."

"Kami saling mencintai satu sama lain!" rengeknya, dan aku jadi merasa seperti orangtua cerewet yang tidak menyetujui calon suami pilihan putrinya. "Ayahmu menikah lagi, Ashley, kenapa aku tidak boleh? Ini tidak adil."

Aku hanya terdiam sambil menginjak kepala kelinci berwarna kuning di selop berbuluku. Mom benar. Jika Dad menikah lagi dan menanam benih diam-diam jauh sebelum mereka bercerai, aku tidak bisa melarang Mom menikah dengan pria yang membuatnya bahagia.

"Tentu saja kau boleh," kataku, menjatuhkan tubuh ke tempat tidur lagi, "tapi Michael tidak bisa mengurusmu, Mom. Carilah seseorang yang lebih tua. Ingat panci yang penyok?"

"Tahu tidak, Mike sudah bisa membuat pancake yang enak sekarang," belanya.

"Itu kan gampang."

"Terserah, Ashley." Mom menghela napas panjang-sesuatu yang jarang dilakukannya, kecuali sedang mengeluhkan Dad. "Aku tahu kau selalu mengkhawatirkanku. Sudah saatnya kau berhenti menganggapku sebagai putri kecil yang harus kau urus, Sayang. Aku sudah empat puluh dua dan bisa menjaga diri, oke? Astaga, banyak yang ingin kukatakan, tapi aku harus menyimpannya sampai hari pernikahanku nanti untuk menciptakan suasana haru."

Aku memejamkan mataku lagi, membayangkan adegan itu. Mom menikah. Kupikir ia dan Mike hanya pasangan konyol yang akan berpisah suatu hari karena bosan. Tapi mereka menikah.

"Ayolah, kau harus kembali Sabtu ini dan kita rayakan bersama," kata Mom lagi, terdengar berharap.

"Yeah, kita lihat Sabtu nanti. Sudah dulu, Mom, ada telepon lain." Aku mematikan sambungan telepon Mom dan mengangkat panggilan yang menunggu dari tadi.

Suara antusias Matt memenuhi gendang telingaku. "Bagaimana, kau dan Celline sudah bicara?"

***

Jadi gara-gara Matt.

Matt meyakinkan Celline secara berlebihan bahwa aku rela mengorbankan harga diriku ke pesta Justin untuk mengorek identitas peneror dan membongkar betapa menjijikkannya cowok itu demi Celline. Celline tidak punya alasan untuk menuduhku merebut Justin lagi karena Justin memang mata keranjang dan, well, aku terlalu keren. Dia juga tidak bisa mengklaim bahwa aku adalah peneror setelah apa yang kulakukan.

Aku bilang pada Matt kalau tidak seharusnya dia berbohong pada Celline. Matt membantah dan mengatakan kalau ia sedang menjabarkan hal yang sebenarnya agar kami tidak salah paham lagi. Aku membalas kalau apa yang kulakukan murni demi nama baik diriku, bukan karena menyayangi Celline. Lalu Matt bertanya, jika Celline sudah menyadari kesalahannya dan ingin berbaikan padaku, apakah aku tetap tidak akan memaafkannya?

"Aku tidak peduli," kataku sambil berjalan mendekati jendela. Ini kamar tamu, dan jendelanya tidak memiliki pemandangan terbaik di sini, hanya penampkaan deretan jendela lain dari mansion sebelah. "Aku tidak akan dendam padanya. Tapi kami hanya akan saling menyapa jika bertemu."

Matt, yang matanya terpaku pada serial televisi Criminal Minds di depan tempat tidurnya, berkata, "Celline adalah anak yang baik jika kau mengenalnya."

Saat Matt menelepon tadi dan mengatakan bahwa ia sedang menginap di sini, segera saja aku mengetuk pintu kamar tamu tempat cowok itu tidur. Ia gelagapan saat aku menerobos masuk, lalu hanya mengamatiku dari tempat tidur seakan aku adalah alien berbahaya yang menginvasi teritorinya.

Aku mengutuk sifat defensifnya yang berlebihan. Maksudku, kami sudah pernah mencicipi lidah satu sama lain.

"Celline tidak mengakui bahwa Black Petals pelakunya."

"Memang bukan," katanya setelah terdiam sejenak.

Terkejut, aku mendekatinya dan merangkak di atas kasur. Matt melirikku dengan kekagetan yang sama-tapi dengan alasan lain-dan bahunya agak menegang. "Kenapa kau begitu yakin?"

"Tidak sepertimu, Tukang Asumsi, aku punya dasar kuat. Aku sudah menginterogasi mereka. Kau bisa bayangkan bagaimana bokong Justin gemetaran saat melihat wajahku," kekehnya. Saat aku menatapnya tidak yakin, dia menambahkan, "Baiklah, Detektif Wilson yang melakukannya. Aku hanya menonton."

Aku membaringkan tubuh dengan posisi horizontal di tempat tidur, lalu mendesah frustrasi. "Jadi siapa?"

Si peneror itu pasti cukup dekat dengan Celline sehingga punya akses untuk mengetahui informasi pribadinya, termasuk hal paling rahasia yang tidak pernah Celline ungkapkan sekaligus. Pemanfaatan waktu yang tepat dalam mengirim surat teror itu menandakan dia tahu sedikit banyak hal yang terjadi kami, sehingga entah bagaimana semua kecurigaan akan otomatis tertuju padaku. Aku terlalu sibuk berpikir sehingga tidak sadar Matt sudah berbaring di sebelahku dengan posisi kepala yang sejajar namun terbalik.

"Ada sesuatu," kata Matt sambil menerawang ke langit-langit. "Seseorang yang Celline tidak ingin kita tahu."

"Kenapa kau menyimpulkan itu?" tanyaku, menoleh pada Matt. Aroma samar lavender memasuki indra penciumanku, entah berasal dari kaus hijau polosnya, tubuh, atau rambutnya-apa ada shampo beraroma lavender?

"Celline memintaku menghentikan penyelidikan kasus ini." Matt menarik napas panjang dan menghelanya keras, kemudian memutar kepalanya menghadapku. "Awalnya kupikir karena dia sudah putus dengan Justin dan yakin bahwa Black Petals pelakunya, jadi semua ini sudah berakhir."

"Lalu kubilang bahwa bukan Black Petals. Celline menjawab, 'Yeah.' Kubilang lagi, itu juga bukan Ashley. Dia menjawab, 'Yeah.' Begitu saja."

Aku ingin tertawa karena Matt terdengar lucu saat menirukan suara lirihan lemah Celline, tapi wajahnya sedang serius. "Apa Celline punya musuh lain?"

"Itu yang sedang kupikirkan."

"Kau tidak tahu?"

"Hei, aku baru mengenalnya beberapa bulan yang lalu."

"Woah, apa kalimat pertamanya padamu?" Aku memiringkan tubuh, lalu menumpu menopang kepalaku dengan sebelah telapak tangan.

Matt hanya terdiam, sama sekali tidak berkedip atau bahkan bernapas, seakan ada yang menekan tombol 'off' pada punggungnya. Tatapannya terkunci ke kedua mataku, sebelum akhirnya terpejam saat kudekatkan wajahku ke atasnya seakan-akan aku adalah medusa.

"Kurasa kita harus ...." Dia membuang napas lewat mulut, lalu menarik udara dengan cepat seolah sedang tenggelam.

"Buka matamu," kataku sambil menampar pelan pipinya. Sekali, dua kali, semakin keras.

"Hei! Hentikan!" Matt mencengkram pergelangan tanganku hingga aku kehilangan keseimbangan dan terhempas ke atas tubuhnya. Hal itu sukses membuatnya terbelalak.

Sial.

Bukannya aku tidak pernah menyentuh dada pria sebelumnya. Kau bisa mendapatkannya dengan mudah di pesta anak SMA bahkan dalam beberapa detik pertama kau tiba di sana. Tapi berapa banyak kesempatan untuk menindih cowok gereja yang bahkan tidak tahu ciuman itu apa, dan membuatnya bereaksi?

Dan cowok itu bukan senior sok yang dadanya berupa cetakan ruas tulang rusuk berlapis kulit atau anak ingusan yang punya jaringan lemak lebih di bagian tertentu. Ini Matt, yang selain punya mata biru yang cakep, tapi otot dadanya cukup padat. Belum lagi lengannya ....

Matt sama terkejutnya denganku. Ralat, dia jauh lebih syok menimbang seluruh pasokan darahnya sudah didistribusikan ke kepala, mengakibatkan rona merah di wajahnya bagai terbakar parah oleh sinar matahari. Dengan jarak kurang dari dua inchi di antara ujung hidung kami, fokus kedua bola mata Matt berpindah dari mataku, kemudian bibirku, lalu cepat-cepat mengembalikan tatapannya lagi ke mataku. Kuharap wajahku tampak bagus dari bawah.

"Seharusnya kau bergerak," bisik Matt dengan suara tertekan.

"Baik. Dorong aku," balasku.

Matt tidak melakukannya. Tentu saja, siapa sih yang bisa melakukannya? Dan ini bukan masalah tidak kuat mengangkat beban seratus tiga puluh lima pon.

Setelah tiga hembusan napas, akhirnya Matt mencengkram bahuku—sial, dia benar-benar melakukannya. Aku menatapnya datar saat dia mendorongku, lalu perlahan tubuhku terangkat dengan punggung tegak. Segalanya terjadi begitu cepat, sehingga dalam detik-detik keputusasaanku yang singat, aku hampir tidak menyadari kapan persisnya bibir Matt mulai menekan bibirku.

Lupakan segalanya. Aku tidak butuh sedetik lebih lama untuk membalas. Matt, yang mengalami perkembangan pesat sejak pengalaman terakhir kami, tampaknya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Gerakannya lembut, konsisten, dan kali ini nyaris tanpa keraguan saat dia memindahkan tangannya yang besar dari bahu ke pipiku.

Sampai telepon sialan itu berdering tiga detik kemudian.

"Sial," umpatnya. Bagai tersengat listrik, Matt melepaskanku dan melompat dari tempat tidur seakan itu adalah area berbahaya.

"Matt, itu hanya telepon sialan. Tidak ada yang akan memergoki dan menjebloskanmu ke penjara," kataku.

"Tidak, tidak, tidak," gelengnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana jinsnya dengan susah payah. Matt melirikku sekilas, lalu memalingkan wajah sambil mengumpat lagi. Ponsel jelek itu akhirnya berhasil dia genggam. Dia menempelkan benda itu ke daun telinga. "Ya?"

Jeda sejenak. Aku kembali merebahkan tubuh ke kasur sambil memerhatikannya dengan wajah bosan.

"Bagaimana?" Suara Matt terdengar serius. Ada jeda lagi sampai akhirnya dia mengakhiri percakapan.

"Jadi?" tanyaku saat Matt membalikkan tubuhnya.

Dengan posisi miring dan sebelah tangan bertumpu di pinggul, aku yakin aku terlihat semenggoda Rose DeWitt Bukater walau tubuhku dibalut pakaian lengkap. Maksudku, seharusnya Matt menjadi hilang akal karena terpesona atau minimal menelan ludah. Tapi dia hanya berdiri terpaku, bukan dalam arti 'astaga-siapa-gadis-seksi-ini'. Tatapan tanpa ekspresi Matt menembusku seakan aku adalah hantu. Well, atau dialah hantunya.

"Um, aku ...." Suara Matt bahkan tidak lebih jelas dari lirihan. Sekali lagi, bukan dalam arti bagus. Dia mundur selangkah. "Aku harus pergi."

Apa-apaan?

Matt meraih kenop pintu, lalu menoleh padaku lagi. "Aku harus pergi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro