Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-2-

Bukannya aku kesal karena cowok SMA itu lebih memilih Jose untuk dicium ketimbang diriku. Lagi pula siapa sih yang mau saja dicium orang asing di menit pertama bertemu?

Oke, Jose adalah kasus lain. Dia hanya mabuk matahari dan tiba-tiba haus sentuhan, bahkan dari cowok yang mendengar lagu rap payah zaman sekarang dan memakai tato tempel.

Yang membuatku memutar bola mata sepanjang perjalanan kami di taksi adalah, Jose terus mengungkit betapa ia menyesal karena cowok setengah matang yang menciumnya tadi berusia tiga tahun lebih muda darinya, dan bagaimana Fortune Cookie bisa meramal nasibnya dengan tepat, kemudian menakutiku dengan ramalan yang kudapat.

"Itu hanya kebetulan," kataku berulang kali, "dan aku kasihan padamu yang dicium bocah lima belas tahun karena kalah dalam permainan Truth or Dare." Aku sengaja menyimpan kertas ramalanku di saku celana jins biru muda, bertekad akan membuktikan pada diri sendiri kalau itu hanyalah kalimat konyol yang tidak pernah terjadi.

Saat kami tiba di apartemen Jose, yang ternyata serba ada dan lebih mewah dari yang kubayangkan, cewek itu masih menjabarkan secara detail lesung pipit dan rambut pirang cowok itu yang manis, seolah aku tidak berada cukup dekat untuk melihatnya secara langsung tadi.

"Kau bahkan tidak tahu namanya, Jose," seruku pada Jose yang sedang membereskan koper di kamarnya, lalu merebahkan diri di sofa kecil empuk berwarna gading dan menatap datar layar hitam televisi 28 inchi yang tidak menyala di depan. Sebenarnya apartemen ini bisa ditinggali dua orang, dan Jose pernah mengajakku menyewa bersamanya. Namun Papa memaksa agar aku tetap tinggal di rumahnya sampai lulus kuliah nanti. Aku tidak membantah, pilihan kedua jauh lebih hemat.

"Astaga, ceroboh betul!" pekik Jose. "Itu lah kenapa aku tidak punya pacar."

Aku berjalan ke balkon yang menghadap ke kolam renang di samping apartemen, yang berbentuk seperti angka delapan. Dua orang gadis berbikini tampak sedang berjemur di pinggirnya. "Jangan bohong. Aku bisa menyebut beberapa nama cowok yang pernah mendekatimu saat SMA, tahu."

Jose terkekeh. Tanpa menutup pintu kamar, ia membuka celana jins panjang dan memakai celana pendek merah muda yang ujungnya berumbai. "Kita para wanita harus memiliki standar," ucapnya sambil keluar, meninggalkan setengah isi kopernya yang masih berserakan di atas tempat tidur.

"Kata seseorang yang baru saja dicium anak kecil."

"Anak kecil itu lima belas senti lebih tinggi dariku," timpalnya.

Malas mendebat, aku menghembuskan napas, lalu meraih tas tangan Prada imitasi abu-abuku di atas sofa. "Kurasa aku harus memesan taksi sekarang, sebelum hari semakin gelap," kataku sambil mengeluarkan ponsel, membuka situs pemesanan taksi yang kupakai di bandara tadi. Kami turun di apartemen Jose terlebih dahulu, karena letaknya lebih dekat dari bandara. Perjalanan ke rumah Dad dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit lagi.

"Hei, ini baru pukul empat!" protes Jose sambil berkacak pinggang.

"Aku juga perlu beres-beres kamar, ingat?" Aku menunjuk koper cokelat besar Louis Vuitton-ku yang bersender di dinding dekat pintu apartemen. Yeah, yang itu juga imitasi.

"Bagaimana jika hari ini kau menginap?" tawarnya.

"Besok aku kerja."

"Oh, astaga, persetan dengan kerja!" Jose menjatuhkan tubuhnya di sofa, berbaring dengan kedua kaki kecoklatan mulus yang menggantung di ujung. "Seharusnya malam ini kita jalan-jalan di seluruh kota, mengunjungi bar-bar bagus, berkendara dengan para pria seksi di bawah lampu-lampu neon warna-warni ...."

"Ini bukan Vegas, Jose," kataku sambil menempelkan layar ponsel ke telinga, menunggu nada dering yang muncul.

Jose menyilangkan kaki. "Tetap saja. Kau masih delapan belas, dan bekerja di kantor adalah salah satu tanda penuaan dini."

"Ayolah, kau bukannya tidak tahu kalau itulah satu-satunya alasan aku kuliah di sini alih-alih Columbia." Suara berat seorang menyahut di telepon, memperkenalkan diri dan menanyakan alamatku, yang kemudian kujawab singkat ala wanita sibuk. "Tolong jemput di Queen's Way."

Kedua sudut bibirku melengkung naik, membayangkan suatu hari akan menduduki posisi tinggi dan melontarkan perintah-perintah setiap saat pada semua orang.

"Kau pergi sendiri?" Jose menegakkan punggung dan berdiri dengan luwes tanpa bantuan kedua lengannya, yang tidak akan bisa kulakukan tanpa sempoyongan. "Bagaimana dengan 'hati-hati dengan seseorang di dekatmu'?"

"Bukan itu kalimatnya."

"Terserah deh, yang penting intinya tentang ada orang yang ingin mencelakaimu atau apa. Siapa tahu supir taksimu lah pelakunya."

"Bagus, pastikan dirimu tetap hidup untuk menjadi saksi kematianku nanti." Aku memakai sepatu kets putih yang baru kupakai hari ini, tapi bagian bawahnya sudah kotor oleh pasir dan tanah, lalu menarik koper.

"Ashley!" panggil Jose.

"Jangan lupa, katakan pada polisi kalau kau mengetahui itu dari Fortune Cookie," tambahku sambil membuka pintu.

"Telepon aku malam ini!" serunya sebelum pintu kayu bercat putih tertutup. "Untuk sekedar memastikan!" Aku masih mendengar teriakannya dari dalam.

Mendengus geli, aku berjalan ke lift dan segera turun di lantai dasar. Ponselku berbunyi lagi saat berjalan di undakan marmer teras, sedikit kesulitan menurunkan koper yang berat. Aku mengabaikan getaran di saku celana, memberi tatapan protes pada sebuah mobil kuning yang terparkir di depan.

Si supir taksi baru keluar saat aku berhenti di depan bagasi mobilnya. Ia mengernyit padaku sejenak sebelum membuka bagasi dan mengangkat koperku. "Kupikir Anda laki-laki," komentarnya.

Lebih bingung darinya, aku spontan menunduk untuk memperhatikan tubuhku. Sepasang benda itu masih pada tempatnya, dan menonjol dengan ukuran sedikit di atas rata-rata sebagai bonus menjadi cewek berukuran 8. Jadi bagian mana yang menunjukkan kalau ciri fisikku mirip laki-laki?

Kecuali jika minus matanya lebih besar dari ukuran braku.

"Suara Anda agak berat di telepon," tambah si supir sambil membukakan pintu penumpang.

"Makasih," kataku datar sambil duduk di jok belakang. Saat taksi sudah berjalan, ponselku kembali bergetar, dan aku melihat satu miscall dari nomor tak dikenal-kemungkinan si supir taksi-dan satu SMS dari Mom yang menyuruhku menelepon setelah sampai.

"Ke mana tujuan Anda, Miss?" tanya si supir melalui kaca spion. Di dalam mobil, ia memakai kacamata gelap yang besar, hampir menutupi separuh wajahnya yang kecil.

"Precious Crown nomor 19," jawabku seraya menekan nomor Mom dan memilih ikon bergambar telepon.

"Bagaimana, sudah sampai di rumah ayahmu?" sambar Mom setelah deringan pertama.

"Aku bahkan baru di taksi, Mom." Bergeser lebih dekat ke jendela, aku mendongak ke gedung-gedung tinggi yang modern di bawah langit biru cerah berawan tipis. Kota ini tidak seterbelakang yang kubayangkan selama ini. Tidak sepadat New York, tapi aku masih bisa menemukan beberapa mal dan kedai waralaba dengan merk dagang terkenal. Taksi ini melewati papan reklame digital raksasa di tengah jalan, yang menampilkan iklan minuman soda dan beberapa detik kemudian digantikan oleh iklan film bioskop yang tayang minggu ini.

"Bagaimana denganmu? Apa rumah sudah mulai akan hancur setelah tujuh jam aku meninggalkannya?" Aku balik bertanya.

"Duh, astaga, kau berhasil menebaknya." Ia terkekeh. Aku harus menempelkan sumber suara ke telinga karena terganggu oleh suara si supir yang mendebat di telepon. "Aku dan Michael mencoba memasak untuk makan malam nanti, dan sekarang salah satu panci kita penyok," lanjut Mom.

Aku mendesah. "Memangnya apa yang kalian masak?"

"Pasta. Tapi sudahlah, rencana itu sudah dicoret. Kami akan memesan makanan China. Kurasa besok aku harus mencari jasa katering." Suara Mom bertumpang tindih dengan si supir yang juga menelepon, membuatku harus menekan ponsel lebih dekat ke telinga agar bisa mendengar lebih jelas.

"Kau harus," kataku meyakinkan. Jika pasta saja bisa menghasilkan insiden panci penyok, aku tidak berani membayangkan bencana apa yang akan terjadi oleh percobaan masakan lainnya.

"Miss, ada telepon untuk Anda." Si supir tiba-tiba menyodorkan ponselnya padaku dengan sebelah tangan.

"Telepon untukku?" tanyaku dengan nada meninggi. "Maksudmu, seseorang meneleponmu dan berkata, 'Hei, aku butuh bicara dengan penumpangmu'?"

"Ya."

Aku memberinya tatapan skeptis. Jika Jose tidak menakut-nakuti dengan ramalan Fortune Cookie, mungkin ini tidak akan menjadi masalah besar. Tapi gara-gara itu, aku jadi membayangkan kasus hipnotis lewat telepon dan tabungan rekening yang mendadak habis, atau yang lebih parah, berakhir dengan tubuh tak bernyawa tanpa organ, dan kedua dadaku mungkin dipajang ke dinding ruan tamu psikopat itu sebagai piagam penghargaan.

Atau, yang paling masuk akal, menilai dari wajah bosan hidupnya, si supir taksi hanya mendapat telepon rutin dari istri cemburuan yang harus mengkonfirmasi setiap kegiatannya.

"Tunggu sebentar," kataku pada Mom di telepon. "Aku akan meneleponmu lagi sepuluh menit lagi. Berbaik-baiklah dengan Michael."

"Astaga, Ashley, aku bukan putrimu. Kau yang putriku."

"Jangan sering pulang larut. Telepon sepuluh menit lagi. Daah." Aku menambahkan dengan sengaja sambil nyengir sebelum mematikan sambungan, kemudian meraih ponsel hitam si supir dan mendapati mantra aneh yang memasuki gendang telingaku.

"... wiggy wiggy wiggle wiggle wizard ..."

"Apa-apaan!"

"Hei, hei," panggil suara berat itu, "aku sudah menunggu setidaknya setengah abad sampai kau menyahut. Jadi akhirnya kau baru mendapat nyali untuk menghadapiku sekarang?"

Aku mengerjap, memandang si supir dari kaca spion. Dia masih sama, dengan tatapan mata malas yang menyiratkan 'aku benci pekerjaanku'.

"Hei, hei, jangan kabur lagi."

"Maaf, kukira akan mendengar suara wanita," balasku. "Begini, kalau kau perlu bukti, namaku Ashley, dan aku adalah penumpang taksi yang punya destinasi. Jadi jangan ganggu suamimu, biarkan dia mengantarku dengan cepat, lalu kalian bisa segera berangkulan di sofa dan menonton Netflix, sepakat?"

"APA-APAAN?" Gilirannya yang berseru.

"Dengar, aku tidak sedang menghakimi kalian, jadi ngapain tersinggung? Lagipula, serius deh, kita kan tidak saling mengenal. Untuk apa kau repot-repot bicara padaku? Aku tidak peduli jika kau terlalu banyak waktu untuk dihabiskan karena aku sibuk banget, tahu."

"DIA. BUKAN. SUAMIKU." Cowok itu berteriak dengan penekanan di setiap katanya.

"Oh," kataku pendek. "Ya sudah."

"Kita tidak sedang berbicara soalnya. Tapi soalmu."

Aku menghela napas. "Serius, Tuan? Siapa Anda?"

"Namaku Matthias--"

"Bagus, aku tidak mengenalmu. Dah!" Setelah menekan tombol merah, kukembalikan ponsel ketinggalan zaman itu pada si supir. Kepadanya, aku bertanya, "Kenapa kau berikan telepon dari orang asing untukku? Apa kau paham penipuan bisa saja terjadi?"

"Sebenarnya, Miss, itu adalah pelanggan saya," jawabnya datar.

"Oh, jadi kau juga membuka jasa perantara untuk pelanggan gila yang hobi marah-marah tidak jelas pada orang asing?"

"Tidak," katanya cemberut. "Seharusnya dialah yang duduk di tempat Anda sekarang. Anda salah masuk taksi tadi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro