-13-
Penghargaan makan malam keluarga tercanggung seharusnya diberikan pada kami. Keluarga Drowen.
Setelah mengumumkan dengan semangat bahwa kami harus makan malam bersama, Dad mencoba membuat salad, kentang panggang, dan pai beri-kemudian menyerah dan membiarkan Juliet mengurus sisanya. Kami duduk di meja makan besar lonjong dengan Dad di ujung, kemudian Hannah dan Celline di sisi kanannya, sementara aku dan Matt duduk di seberang mereka. Suasana hati Dad begitu baik sehingga dia memaksa Juliet dan Manuel ikut duduk dan makan bersama. Dia jelas tidak tahu soal pertengkaranku dan Celline tadi.
Rasanya aneh melihat kami semua duduk di meja yang sama.
Dad bahkan tidak menyadari bagaimana Celline menghindari tatapanku sepanjang waktu. Memerankan ayah yang baik, Dad bertanya bagaimana hari kami satu per satu, yang dimulai dariku dan kujawab dengan, "Well, kau sudah bertanya tadi."
"Baiklah," lanjutku setelah menerima tatapan menegur Dad, "semuanya berjalan sangat sempurna. Aku dapat kejutan besar, bahwa Celline ternyata ...."
Giliran Hannah yang memelototiku. Kubalas dengan senyuman miring.
".... punya selera jelek soal pria. Kau tahu Justin?"
"Si gembel yang pernah kemari?" Dad menaikkan sebelah alisnya.
"Dad!" rengek Celline. "Justin bukan gembel. Dan kau, Ashley, tidak punya hak untuk menghakiminya hanya karena cemburu."
"Yah, barangkali Justin bukan gembel. Mungkin dia hanya seorang psikopat yang-kenapa, Matt?" Aku melirik pria di sebelahku saat merasakan tendangan kecil di betis. "Kenapa kau menggoda kakiku? Tidak pantas melakukannya di meja makan keluarga."
Terbatuk, Matt buru-buru meraih gelas dan meneguk air putih banyak-banyak.
"Ini memalukan," decak Hannah, mengingatkanku pada ibu-ibu kaya yang siap melancarkan protes pada pelayan karena brokolinya disusun dengan arah salah. Mungkin karena rambut pirangnya yang digelung.
"Ah, ya, Matt," kata Dad buru-buru sambil berdeham, "bagaimana ... um, harimu?"
"Baik," jawab Matt, masih terbatuk. "Kecuali luka kecil di kepala yang disebabkan oleh orang gila tukang lempar cangkir."
"Oh, itu pasti sakit sekali. Dilempar cangkir," kataku dengan nada prihatin sambil menepuk plester di dahinya yang mengundang ringisan tertahan dari Matt.
Dad terlihat ingin menanyakan sesuatu, tapi akhirnya dia memutar kepalanya dan menatap Celline. Dia berdeham lagi. "Bagaimana minggumu, Celline Sayang?"
Garpu di tangan Celline mendadak berhenti bergerak dengan posisi tegak dan setengah terbenam di tumpukan salad. Cewek itu hanya menunduk seakan sedang berdoa pada mangkuknya, sama sekali tidak merespon pada semua pasang mata yang kini sedang tertuju padanya. Di sampingnya, Hannah terlihat berkonsentrasi mengunyah seakan sedang berusaha menganalisa senyawa apa yang terdapat dalam makanannya. Sementara Juliet, Manuel, dan Matt tampak berharap sekali berada di mana saja selain di meja ini. Kudengar Matt menggumamkan doa dengan tegang.
"Bisa tolong operkan botol mericanya?" pintaku pada Celline, memecah keheningan.
Bukannya melakukan apa yang kuminta, Celline malah memandangku dengan tatapan penuh permusuhan. Dia menyentakkan garpu, lalu berdiri dengan cepat hingga menimbulkan suara gesekan kaki kursi yang keras.
"Aku sudah selesai makan," katanya datar, kemudian pergi meninggalkan Dad yang kebingungan dan wajah-wajah lain dengan campuran berbagai ekspresi.
"Apa yang terjadi? Dia bahkan belum menyentuh makanannya." Dad menatap kami seakan meminta penjelasan. Kecuali Hannah, kami semua mengangkat bahu serentak. Di samping kursi Celline yang kosong, Juliet diam-diam menggeser jari telunjuknya di bawah dagu. Seakan tiba-tiba mendapat pemahaman, Dad menoleh pada Hannah sambil menghela napas. "Jangan bilang kalau Celline sedang dalam program diet tidak masuk akalnya itu lagi."
Hannah meletakkan peralatan makannya, lalu mengelap bibir dengan serbet. "Aku akan bicara padanya."
"Tidak, Hannah." Dad menahan tangan Hannah ketika wanita itu berdiri. "Mungkin aku yang harus bicara padanya. Sudah saatnya Celline melepaskan dunia permodelan dan fokus pada pendidikannya."
"Jaxon," Hannah memanggil pelan, namun ada ketegasan di balik suaranya. "Kau tidak pernah mengerti apa yang Celline inginkan. Kau tidak pernah tahu betapa Celline menyukai fesyen dan betapa seluruh kepercayaan dirinya terpancar paling maksimal ketika dia berjalan di panggung. Karena itulah aku tidak akan membiarkanmu berbicara dengannya soal ini."
Saat kecil, aku jarang melihat Mom dan Dad bertengkar. Tapi setiap kali mereka berdebat, Mom berteriak dramatis dengan suara nyaringnya yang mengganggu sehingga Dad akan menyerah dan berseru, "Baik, terserahlah!"
Walau Hannah tidak berteriak atau semacamnya, wajah Dad tetap memancarkan kekalahan telak, dan dia hanya menatap kepergian Hannah sambil mendesah. Hannah adalah bos. Dad bukan tipe pria yang senang diatur. Kenapa mereka bisa menikah?
"Bagus," dengus Dad. Ada kekecewaan yang terkubur dalam mata coklatnya yang meredup. "Mari kita habiskan porsi makanan yang lebih banyak."
***
"Sedang apa kau di sini?" tanya Matt padaku yang muncul di samping jendela Jeep-nya.
"Boleh aku menumpang? Manuel sedang sibuk dan aku belum mendapatkan izin mengemudiku." Aku menunduk hingga wajahku tepat berada di depannya.
"K-ke mana?" Matt malah menatap lurus ke depan sambil berdeham, lalu memasang sabuk pengamannya dengan canggung sementara aku langsung memutari mobilnya dan duduk di samping kemudi.
"Ke apartemen kemarin, tempat di mana aku salah menaiki taksimu. Alexander Wilson?" Aku menyentuh kartu nama yang tergantung di bawah kaca spion.
"Ini mobil bosku," jelas Matt sambil menyalakan mesin yang berbunyi keras. Dia menekan tombol pendingin udara beberapa kali tanpa hasil, lalu mendesah frustrasi. "Sial, kompresornya rusak lagi."
"Bosmu seorang private investigator?"
"Yeah, aku bekerja sebagai asistennya belum lama ini," katanya sambil mengangkat bahu ringan.
"Keren," komentarku.
"Benarkah?" Matt melirikku, benar-benar terperangah.
"Kenapa kalian tidak menyerahkan kasus Celline padanya? Maksudku, kurasa detektif swasta akan merahasiakannya jika kalian meminta."
"Kami mengambil kasus itu. Kau tidak tahu? Akulah yang mengambil alih sementara Detektif Wilson sibuk dengan kasus besar lain," ucapnya bangga.
"Kau?" Dengan sebelah siku bertumpu pada sandaran yang keras, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memerhatikan profil samping Matt yang imut dengan rahang mulus. Matt memakai jaket denim gelap, tapi aku masih bisa membayangkan bentuk otot lengannya yang mampu membuatku menahan napas.
"Apa?" tanyanya risih.
"Kau terlihat tampan jika tidak sedang menyebalkan," kataku.
"Haruskah aku tetap diam sekarang?"
"Yes, please."
"Kau aneh," komentarnya.
"Kau aneh," balasku.
"Oh, bukan aku yang mengaku naksir dengan seseorang tapi menjelekkan kepribadiannya," decihnya.
"Bukan aku yang menelepon supir taksi demi memprotes ke penumpang yang salah masuk mobil."
Matt melirikku dengan gemas, tidak mau kalah. "Bukan aku yang menawarkan untuk tidur dengan orang asing dan menjadikan itu sebagai candaan."
"Bukan aku yang memperkenalkan diri tanpa nama belakang. Serius deh, apa nama belakangmu Butthurt? Aku tidak akan menghakimi." Sebuah tawa kecil lolos dari bibirku saat mengatakannya. "Baiklah, mungkin aku akan sedikit menertawakannya."
Ketika kami berhenti di lampu merah, Matt menoleh padaku sambil menunjuk perban di dahinya. "Bukan aku yang melempar cangkir keramik ke kepala orang."
"Hei, aku sudah meminta maaf. Dan omong-omong, lampunya sudah hijau." Aku mengusap sebulir keringat yang mengalir di dahiku, lalu mencoba mengipas-ngipas dengan kardigan rajutan tipis. Mobil ini benar-benar pengap.
"Aku pernah mendapatkan fortune cookie yang isi tulisannya jelek. Bukannya aku percaya ramalan, tapi setelah itu kau muncul," kata Matt sambil menginjak pedal gas.
"Seseorang di sekitarmu akan membawa malapetaka," gumamku dan Matt bersamaan. Aku meliriknya tidak percaya, yang dibalas Matt dengan ekspresi serupa. Matt mengernyit saat aku meledak dalam tawa.
"Astaga. Sekarang semuanya sudah jelas. Ramalan kue itu pada dasarnya adalah beberapa tulisan yang dicetak masal dan bisa diambil siapa saja secara acak. Tunggu, kau benar-benar menganggapku sebagai pembawa malapetaka bagimu? Asisten detektif macam apa yang mempercayai ramalan?" Aku memutar bola mata saat Matt masih menatapku skeptis.
"Aku tetap akan berpikir begitu walau tidak membaca ramalan fortune cookie."
"Baik, kita lihat malapetaka apa yang akan kuciptakan," kataku sambil melepas kardigan hingga rahang Matt jatuh.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya sambil menahan napas.
"Ketika seseorang membuka pakaian luarnya, artinya dia sedang kepanasan." Tertahan sabuk pengaman, aku harus memajukan tubuh dengan susah payah untuk menarik kardigan dari belakang, kemudian akhirnya berhasil melepas seluruhnya dan bersandar dengan kelegaan luar biasa. Kulihat Matt mencengkram setir dengan kuat, lalu sebuah ide jahil terbentuk di benakku. "Kecuali kau mengharapkan yang lain."
"Tidak!" bantahnya cepat.
"Aku bahkan belum bilang apa," kataku geli, lalu mencondongkan tubuh untuk memperhatikan ekspresi tegangnya. Jika ada yang melihat, mereka akan mengira ada pisau yang mengancam di belakang leher Matt. "Kau jelas memikirkannya sepanjang waktu."
"Aku. Tidak. Memikirkan. Apa pun." Matt menoleh padaku dengan cepat, hanya untuk memalingkan wajahnya lagi yang dipenuhi rona merah. Dia terlihat semakin imut.
"Apa kau belum pernah melakukannya?"
"Apa?" Kali ini dia menatapku cukup lama dengan terkejut.
"Kau tahu maksudku, Matthias," kataku sambil menyandarkan punggung. "Kau tidak terbiasa dengan bagian tubuh wanita. Apa kau punya fobia? Apa kau terikat sumpah gereja atau semacamnya? Atau kau benar-benar gay?"
Aku menunggu jawabannya atas pertanyaan terakhirku dengan berdebar. Semoga tidak ... semoga tidak ... semoga tidak ....
"Kenapa kau ingin tahu?"
"Setidaknya aku harus tahu kau menyukai wanita sebelum mengencanimu."
"Oh, kukira kau menganggap kepribadianku aneh?" dengusnya.
"Aku tidak bilang mau berpacaran denganmu."
Matt menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi, lalu memberiku tatapan tersinggung. "Yeah."
"Yeah, kau tidak pernah melakukannya. Yeah, kau punya fobia. Yeah, kau terikat sumpah. Yeah, kau gay. Yang mana?" tanyaku frustrasi.
"Aku tidak pernah melakukannya." Sebelum aku sempat bereaksi, Matt buru-buru menambahkan, "Kau tahu, tidak banyak yang bisa dilakukan di sekolah Katolik khusus pria."
"Kau apa?" Aku berusaha untuk menjaga ekspresiku supaya tidak tertawa. "Sekolah khusus pria? Man, kau ini mau jadi pastor ya?"
Matt berdecak kesal ketika akhirnya aku terbatuk kecil. "Itu keinginan orangtuaku."
"Itu aneh," komentarku, berhenti tertawa.
"Orang tuaku ingin aku masuk seminari setelah lulus SMA. Aku tidak mau. Lalu aku kabur ke sini, mencari Aunt Hannah. Ayahku murka, karena secara resmi dia sudah tidak menganggap Aunt Hannah sebagai adik iparnya lagi sejak tahu bahwa Aunt Hannah menjadi, well ...."
"Jadi dia benar-benar wanita malam?" Aku tertegun, membayangkan Hannah di kelab malam dengan pakaian mini sambil menggoda lelaki hidung belang. Rasanya tidak cocok.
"Sebelum menikah dengan ayahmu."
"Begitu dengan ibu kandung Celline?"
"Kelihatannya begitu," kata Matt sambil mengedikkan bahu, lalu kembali menjalankan mobil.
Sekarang aku membayangkan Dad, berpergian saat Mom mengurusku yang berusia dua tahun di rumah, kemudian menyewa pelacur dan menciptakan Celline. Bagaimana jika saat itu Mom tahu? Apa mereka akan bercerai lebih awal? Mungkin aku tidak akan mengenal sosok Dad sejak kecil selain sebuah nama rekening yang mengirimkan uang setiap bulan.
Kami tidak banyak berbicara lagi sampai tiba di depan lobi apartemen Jose. Setelah berjuang membuka sabuk pengaman yang macet-dan sedikit kesal karena Matt tidak turun tangan-aku menatapnya sejenak. Matt melakukan hal yang sama, dengan kedua alis terangkat seolah menanyakan, 'Lalu apa?'.
Mungkin cahaya kekuningan hangat yang terpancar dari bola lampu teras apartemen membuat rambut pirang Matt lebih berkilau sehingga aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari matanya, hidungnya, lalu bibirnya. Jika Matt masuk ke sekolah normal, dia sudah akan mengencani selusin gadis dan tidak akan kebingungan seperti sekarang.
"Kapan ciuman pertamamu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro