Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1] Bagas: Ngobrol


Jadi, cerpen ini dilanjut berhubung aslinya cerita ini aku konsep buat jadi cerbung. Semoga asik dan semoga nyantol sama isi kepala Bagas dan Ivana ❤

Awal dulu nih ya~

-

Bagas

Betapa nikmatnya liburan, Du Gusti Nu Agung.

Yah, tadinya gue berpikir begitu, dengan bayangan malas-malas penuh kenikmatan yang sudah siap gue lakukan.

Tapi semuanya berubah begitu negara api menyerang.

Grup Tukang Minyak ’15 yang sebelumnya diisi dengan ajang pamer kegiatan waktu liburan—yang sebenarnya hanya diisi dengan malas dan game—seketika berubah begitu Devi mengirimkan pesan dan bertanya soal laporan observasi.

Sialan! Gue betulan lupa soal observasi. Senin kemarin gue memang habis observasi sih, tapi soal laporan itu... asli, gue benar-benar lupa. Belum lagi setelahnya gue dikirim file sama Pak Januar yang meminta gue untuk merekap absen adik tingkat gue di kelas termodinamika dasar dan gue diminta untuk jadi moderator di seminar perihal sumber daya.

Ajigile nggak tuh?

Nyatanya liburan selama 3 hari ini hanya sebuah sebutan semu, dengan gue yang baru berniat untuk malas-malasan dan main game saja di rumah, tapi harus membuang itu semua karena tugas yang kini seakan tertawa sinis ke arah gue dan berbisik, “Hakan sia tah tugas. Hakan!”

(*bahasa Sunda:
makan tuh tugas, makan!)

Karena gue juga baru baca chat-nya siang setelah pulang jogging bareng teman-teman yang lain, gue memilih mampir dulu ke supermarket untuk membeli camilan penyemangat saat mengerjakan tugas-tugas. Yang masuk ke keranjang gue nggak muluk-muluk, hanya Biskuat, Oreo, dan Pocky. Yang buat banyak karena gue belinya bukan hanya satu kotak.

Ya kali cuman satu kotak. Cuma ngotorin gigi doang, kali.

Gue membawa keranjang gue ke kasir, dan kasir mulai menghitung belanjaan gue.

“Lho, lo bukannya...”

Si kasir mengangkat kepalanya untuk memandangi gue, bisa gue lihat mata biru kehijauannya. “Um, kakak tingkatnya Adel kan, ya?”

Gue tersenyum kecil kemudian mengangguk. Gue pikir dia ingat nama gue, apalagi waktu ketemu dulu, gue juga kan antarin dia. Well, oke. Cuma ngantarin sampai ke parkiran sih, karena dia juga menolak gue mengantar dia sampai ke kampus. Syukur-syukur juga ini gue diingat.

K

alau gue sih masih ingat namanya. Ivana.

“Kerja di sini?” tanya gue. Ivana kembali terus men-scan belanjaan gue sambil mengangguk.

“Sambilan di sini kalau weekend.”

“Memang nggak ada kelas?”

“Kamis sampai minggu kosong.” Semua camilan gue sudah masuk ke dalam kantung kresek ketika Ivana melanjutkan, “Totalnya 103.300, Kak.”

Gue agak kaget. Ya Allah, beli beberapa kotak ternyata sampai mengorbankan selembar uang merah. Gue keluarkan dompet dan uang merah dan kuning, yang kemudian Ivana ambil dan dikembalikan dengan beberapa keping logam.

Mau ngerjain tugas biayanya mahal banget, buset. Atau, perut gue aja kali yang bikin susah.

“Kembaliannya 1.700, ya. Terima kasih.”

Sekonyol kedengarannya, tapi gue merasa seperti orang yang kurang belaian hanya karena tangan gue bersinggungan dengan tangan Ivana. Beda dengan kulit gue yang sedikit langsat, kulit Ivana ini putih banget, dan dengan matanya itu, jelas normal kalau gue menarik kesimpulan dia ini keturunan bule.

Tapi sebelumnya dari acara menguping tidak disengaja gue di perpustkaan waktu itu, dia pernah bilang soal kontak lensa dan anak... oke, pikiran gue kejauhan. Harusnya gue juga nggak nguping sih.

Gue baru saja memegang plastik belanjaan ketika seorang pria dengan baju hitam putih berdasi—yang gue rasa manajer jaga atau apalah—datang ke meja kasir.

“Ivana, kamu sudah boleh pulang. Thank you sudah mau gantiin yang sakit, maaf juga dihubungin tiba-tiba. Untuk uangnya biar nanti Mbak Shifa yang hitung.”

“Nggak papa kok, Pak. Saya juga hari jumat kan kosong.” Satu senyum kecil gue lihat terbentuk di bibirnya.

Si pria berdasi ini menoleh ke gue dan tersenyum sebelum meninggalkan gue dan Ivana di berdua di kasir. Satu plat bertuliskan “Closed” diletakkan di depan meja kasir, sementara Ivana beres-beres lebih dulu.

Gue harusnya pergi dari tadi, tapi yang ada gue menunggu Ivana keluar dari meja kasir kemudian bertanya, “Udah selesai jam kerjanya? Mau pulang bareng gue nggak? Kebetulan lagi gabut.”

Bohong banget, memang. Tapi entah kenapa, gue pengin ngajak Ivana pulang bareng. Gue pengin ngobrol sama cewek satu ini. Nggak masalah, kan?

*

Lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro