Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12|Resign

سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Terkadang seseorang memilih menjauh bukan berarti ingin memutus silaturrahmi, namun ia sedang menghindarkan dirinya dari penyakit hati."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Note:
Mohon dikoreksi jika ada salah huruf, kata, dan kalimat.
.
.

"Astagfirullah." Thia mendesis kesakitan saat tangannya tidak sengaja menyenggol sauce pan. Sejak memasuki waktu pagi, perempuan itu menjadi tidak fokus. Nyaris saja ia memotong tangannya sendiri ketika sedang memotong sayuran. Sekarang, punggung tangannya sedikit memerah akibat tersentuh panci panas.

"Aww," ringisnya ketika mengoleskan salep pada area yang memerah tersebut.

"Kenapa tangannya?" Sebuah suara bernada khawatir terdengar dari arah belakang. Thia menoleh dan memasang senyumnya.

"Gak apa-apa, Mas. Tadi gak sengaja nempel di panci," ujarnya lembut.

"Ya Allah, pasti perih. Sini saya obatin." Dia meraih tangan istrinya lalu mengolesi salep dan meniupnya. Thia lagi-lagi tersenyum melihat pemandangan indah itu.

"Udah. Masih perih?" tanyanya.

"Sedikit," ucap Thia bermaksud menenangkan sang suami.

"Mas, boleh ya aku ke klinik hari ini?" pintanya.

"Mau ngapain? Kan kita masih libur," ucap Akas sedikit heran.

"Thia ada keperluan. Cuma sebentar kok."

"Ya sudah. Saya tungguin boleh?"

"Emm, gak usah, Mas. Nanti Thia hubungi kalau urusan Thia selesai," ujarnya beralasan.

"Ya sudah. Kalau gitu Mas siap-siap dulu."

Thia mengangguk lalu kembali melanjutkan kegiatannya membuat sarapan. Sambil termenung ia mengaduk sup makaroni. Seharusnya ia masih menikmati cuti pernikahannya, menikmati kebersamaannya dengan Akas. Namun, sebuah kabar yang dberikan Aza kemarin sukses menyita seluruh perhatiannya. Membuatnya kepikiran terus menerus dan menjadi tidak fokus dalam pekerjaan.

Usai sarapan, Akas mengantar istrinya sesuai perbincangan mereka pagi tadi. Tak banyak yang mereka bahas dalam perjalanan. Hanya sekadar basa-basi karena Thia tidak ingin berterus terang atas urusannya hari ini. Gadis itu juga lebih banyak merenung dan terdiam memandang keluar jendela.

"Jangan lupa kabari kalau udah selesai, ya? Mas mau ke yayasan," ujarnya setelah sampai di klinik.

"Iya, Mas. Hati-hati, ya."

Setelah berpamitan, Thia keluar dari mobil dan masuk ke klinik. Aroma obat herbal langsung menguar merasuki indra penciumannya. Membuat rasa rindu perempuan itu mencuat seketika.

"Assalamu'alaikum," sapanya.

"Wa'alaikumussalam, masyaallah, si pengantin baru!" seru Lily ketika menyadari orang yang baru saja masuk. Ia langsung menghampiri Thia dan bercipika-cipika.

"Ngapain ke sini?" tanyanya kemudian.

"Memangnya tidak boleh, Mba?" ujar Thia hendak mengerucutkan bibirnya.

"Hehe, penasaran aja. Kan kamu masih libur." Lily memegang wajah dan bahu perempuan itu.

"Oh iya, Aza belum datang ya, Mba?" alihnya.

"Hu'uh, tadi dia izin datangnya telat. Mau ketemu dia?"

"Hehe, iya, Mba."

"Aza benar mau resign, ya, Mba?" Lanjutnya dengan wajah sendu.

"Mm, ngomongnya sih kemarin begitu. Mertuamu ada di atas loh. Siapa tau mau ketemu," usulnya.

Thia mengembuskan napas.

"Iya, Mba. Nanti Thia naik," ucapnya seraya tersenyum.

"Hmm, ya udah. Mba ke atas, ya."

Thia mengiyakan lalu Lily pergi ke ruangannya, meninggalkan Thia yang sedang tersenyum kepada Amar. Lelaki itu membalas dengan senyum serupa.

"Apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Mas."

"Bareng Akas?" tanya Amar dengan sangat canggung.

"Em, iya. Tapi dia lanjut ke yayasan," balas Thia tak kalah canggung. Perempuan itu duduk di kursi tamu memperhatikan sekitar.

Thia masih setia menunggui sahabatnya hingga 20 menit kemudian. Namun gadis itu belum menampakkan diri sedikit pun. Ia mulai bosan duduk sendiri tanpa ada yang menemani berbicara. Karyawan yang lain sedang sibuk terhadap tugasnya masing-masing. Sedangkan di meja resepsionis, sudah ada Ivy yang menjadi pengganti sosoknya untuk sementara waktu.

Tak lama kemudian, pintu klinik terbuka. Menampakkan sosok yang sedari tadi ditunggu kehadirannya. Tanpa buang-buang waktu, Thia segera menghampiri perempuan itu dan memeluknya. Raut kesedihan menggantung di wajah cantiknya. Namun, perempuan yang sedang dipeluk itu hanya tersenyum samar.

"Apa kabar? Kamu kemana aja beberapa hari ini, Za? Kenapa gak ada kabar?" Thia memberondonginya dengan pertanyaan, sedangkan Aza menampilkan raut tidak nyaman.

"Mm kita duduk dulu, ya," ajaknya. Thia mengangguk dan menggiring Aza ke kursi tunggu.

"Maaf ya, Thia. Beberapa hari kemarin aku sibuk," ucapnya.

"Iyaa. Tidak apa-apa. Yang penting kamu sehat dan baik-baik saja."

"Maaf aku juga tidak datang ke pernikahan kamu," timpalnya lagi.

"Iyaa, aku sudah memaafkanmu."

Aza mengangguk lalu hendak beranjak. Namun Thia dengan cepat mencegatnya.

"Mau kemana?"

"Ke ruang Pak Altar," jawabnya lugas.

"Benar ya kamu mau mengundurkan diri?" Thia bersuara dengan nada tidak rela. Tampak Aza menghela napas. Ia tahu keputusannya pasti akan ditentang oleh sahabatnya itu. Tetapi hal ini sudah dipertimbangkan baik-baik olehnya.

"Iya."

"Kenapa, Za? Kamu masih kecewa sama aku?" tanya Thia dengan mata berkaca-kaca.

"Bisa gak kita bahas ini di luar klinik?" bisik Aza enggan. Thia yang sadar telah terbawa emosi hanya beristigfar dan mengangguk.

"Aku tunggu di kafe depan, ya. Kamu harus menemui aku," ucapnya dengan tatapan penuh harap.

"Ya, aku akan ke sana. Aku mau ketemu pak Altar dulu."

Thia mengiyakan lalu melepaskan gadis itu dengan rasa tidak rela. Sorot matanya begitu sendu menatap kepergian Aza. Dengan berpindahnya surat pengunduran itu, disaat itu pula hubungannya dengan Aza akan merenggang. Thia tidak akan pernah rela.

Aza melangkahkan kakinya menuju ruang pimpinan dengan berat hati. Sejujurnya ia telah nyaman bekerja di tempat itu. Namun, ada sebuah alasan yang membuatnya mau tidak mau harus mengambil keputusan tersebut.

"Assalamu'alaikum," salamnya. Papa Akas mendongak melihat kedatangan Aza.

"Wa'alaikumussalam. Masuk," ucapnya.

Aza masuk dengan sedikit gugup. Sambil memegang amplop putih yang berisi surat keputusannya.

"Saya mau menyerahkan ini, Pak." Aza mendorong amplop itu hingga ke depan Altar.

Pria paruh baya itu mengambil amplop yang diserahkan Aza dan membukanya. Keningnya berkerut setelah membaca perihal surat.

"Surat pengunduran diri?"

"Iya, Pak," ucap Aza sambil menunduk.

"Hm, kamu yakin sama keputusanmu ini?"

"Insyaallah, Pak."

Altar menghela napas. Resign dari suatu pekerjaan memang hak semua karyawan. Namun, sangat disayangkan bagi pria itu jika ada karyawannya yang meminta pengunduran diri. Itu artinya ia tidak becus dalam memimpin suatu perusahaan. Sehingga ada orang yang tak nyaman dan tak puas dengan kinerjanya.

"Ya sudah, saya tidak bisa memaksakan kehendak. Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, maka saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Insyaallah kamu akan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari sekarang."

Aza tertunduk nyaris menangis mendengar perkataan Altar. Ia tidak kuasa menahan gejolak di hatinya. Semua tidak seperti yang pria itu sangkakan. Namun, ia tidak bisa mengatakan penyebab yang sebenarnya.

"Terima kasih, Pak," ucapnya pelan. Ia masih menahan air mata yang mendesa keluar.

Setelah pamit dan memberikan penghormatan terakhir, Aza benar-benar keluar dari tempat itu. Ia kemudian menghampiri Lily dan memeluknya erat. Air matanya sudah tak bisa dibendung. Ia meluruhkannya di bahu gadis tersebut.

"Its okay. Ini sudah menjadi keputusan terbaik, kamu," ucapnya berusaha menenangkan.

"Terima kasih atas semua kebaikan Mba Lily selama ini." Aza terisak. Lily mengangguk dan mengusap-usap pundak perempuan itu. Aza melerai pelukan dan menghapus air matanya.

"Mba doakan yang terbaik untukmu," ucap Lily tulus.

"Terima kasih, Mba."

Usai berpelukan, Aza benar-benar memisahkan diri dan pamit kepada karyawan yang lain. Wajah sedih penuh ketidakrelaan mengiringi kepergian gadis itu. Meskipun berat, ia membuka pintu dan menghirup oksigen sebenyak-banyaknya sambil memejamkan mata. Menenangkan perasaan sembari melangkah menjauh.

☀️

Senyum Thia melengkung ketika melihat sosok Aza menghampirinya. Ia senang Aza mendengar dan menemui dirinya. Ia menyodorkan minuman kesukaan gadis itu. Aza tersenyum tipis dan duduk di hadapan Thia.

Keduanya terdiam. Masih sibuk dalam pikiran masing-masing. Aza menunggu Thia membuka suara. Thia pun menunggu Aza bercerita. Namun sepertinya gadis itu enggan berbicara.

"Kamu beneran udah resign, Za?" tanya Thia dengan suara tercekat.

"Iya," jawab Aza pendek.

"Kenapa?"

"Maaf Thia, tapi aku gak bisa mengatakannya," putus perempuan itu mencoba memasang wajah biasa.

"Aku sahabat kamu, Za. Masa kamu tega enggak beri tahu aku," ujar Thia sendu. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Meskipun kita sahabat, gak semua perasaan dan keputusan-keputusan yang aku pilih harus aku bagi ke kamu. Terkadang ada hal-hal yang bersifat privasi," jelas Aza tampak tenang. Sedangkan Thia sudah baper duluan.

"Ya udah, itu memang hak kamu untuk mengatakannya atau tidak. Tapi alasannya bukan karena kamu kecewa sama aku kan?"

Kepala Aza langsung menegak dan menatap wajah ayu sahabatnya itu. Matanya memerah menahan tangis. Membuat hati Aza semakin perih.

"Kenapa sih kamu selalu merasa bersalah disetiap keputusan yang kuambil? Semestaku bukan hanya kamu, Thi! Aku punya banyak alasan mengapa harus resign."

"Karena masalah kita sebelumnya, Za. Aku selalu mengaitkan hal tersebut," ucap Thia sambil menunduk. Tak ingin memperlihatkan wajah bersalahnya.

"Kamu tuh selalu begitu, Thia. Sampai kapan sih kamu harus menyiksa diri sendiri? Orang lain salah, kamu yang minta maaf. Orang lain kecewa, kamu yang merasa bersalah. Kamu itu terlalu baik atau bodoh sih?" sarkas Aza larut dalam emosi. Ia melihat Thia dengan mata berkilat.

"Aza," lirih Thia tidak mampu menahan air matanya agar tidak merembes.

"Maaf." Aza ikut menyeka air matanya yang keluar tanpa sengaja.

"Aku harap meskipun kita tidak bekerja ditempat yang sama, hubungan kita tetap sama," pinta Thia dengan harapan yang mendalam.

"Aku pergi bukan karena ingin memutus silaturrahmi. Aku hanya ingin melindungi diriku dari penyakit hati," jujur Aza kemudian. Ia tak sanggup menahan rasa itu lebih lama.

"Aza." Thia kembali berucap dengan hati resah.

"Jangan merasa bahwa itu dirimu!" ancamnya.

"Lantas siapa?"

"Biarkan hanya aku dan Allah saja yang tahu," pungkasnya lalu berdiri berniat untuk pergi.

☀️
.
.

Berikan dukungan terbaik, insyaallah Allah akan memberikan balasan yang terbaik pula 😊

Terima kasih^^

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro