Prolog
Aku, kamu, dan kita masing-masing punya luka. Selalu dalam benak luka itu muncul tiba-tiba. Terkadang aku berpikir, usaha untuk mengenyahkan luka yang sebenarnya itu apa? Tanpa menghilangkan bekas, jejak, apalagi seputar ingatan. Itu kendala dalam tiap orang menghadapi luka.
Aku, kamu, dan kita mungkin pernah berpikir untuk cara mengenyahkan luka dengan cara sendiri. Melupakan, merahasiakan, atau mengikhlaskan? Entahlah bagiku semuanya tak bisa benar-benar mengenyahkan luka dalam jiwa.
Merahasiakan? Itu sebenarnya mudah, tapi bukankah itu menyiksa diri semakin mudah juga?
Melupakan? Kau yakin bisa benar-benar melupakan tanpa bekas, itu usaha keras, tapi kalau tidak mampu bukankah juga luka semakin membara?
Pilihan terakhir mengikhlaskan? Baiklah ini usaha paling keras dari kedua pilihan. Mengikhlaskan semua hanya karena luka semata. Lalu apa arti semua bila hanya diikhlaskan?
Aku, kamu, dan kita sama-sama mencari cara untuk membuat luka hilang. Bagaimanapun caranya. Karena kebahagiaan tak akan muncul apabila luka juga tak ikut serta.
Jadi, usahamu apa?
Kilana
Aku menjejelkan martabak spesial panas ke dalam keranjang sepeda angin. Pantatku daratkan secara mulus di atas sadel spons warna hitam keabu-abuan yang telah pudar warnanya karena termakan usia. Tak terlalu tua tapi cukup menyita ketegaran sepeda angin. Kedua tanganku menggenggam erat stir sepeda dan kakiku menginjak pedal untuk memutarkan rantainya kemudian diikuti kedua roda. Hingga telah melaju sepeda warna biru tua itu di atas bumi bulat nan menggemaskan.
Di persimpangan jalan aku menarik rem secara perlahan untuk menahan agar roda tak melaju terlalu cepat, hingga tibalah saat kakiku mulai berpijak di atas tanah. Tak lupa agar kaki sepeda menahannya agar tak roboh. Di samping taman aku memarkirkannya agar dihinggap nyamuk. Mengambil satu kantong plastik putih beraroma telur untuk dialih fungsikan oleh majikan. Aku mengetuk pintu sebanyak tiga kali hingga tergeraklah engsel pintu dan menyembulkan wajah ibu-ibu. Aku tersenyum untuk menyapanya.
"Bu ini martabaknya." Kuserahkan martabak menggugah perut, dan diterimanya dengan tukaran uang 25 ribu sebagai gantinya karena beliau membeli martabak spesial tiga telur.
"Terima kasih." Ibu pelanggan mulai menutup pintu dan membiarkanku kembali mengantarkan satu pesanan lagi kepada pelanggan lainnya.
Braaakkk.
Aku menggerakkan kaki lebih cepat supaya tahu suara apa yang mengejutkan diriku. Hingga tibalah di tempat aku membiarkan sepedanya berdiri sendiri yang kini telah terbaring kaku. Satu buah bola menggelinding perlahan dan berhenti telah menyita perhatian. Menoleh ke sekitar barangkali ada sang empu yang juga si pelaku peroboh sepeda.
Sesesosok bayangan kecil yang tak lama membesar tiba di hadapanku. Kamu mengambil benda bulat itu dan memeluknya. Tatapanmu jatuh pada sepeda yang roboh tak berdaya. Kamu berjongkok dan memberdirikan sepeda dengan entengnya. Hingga membiarkanku sebagai penonton televisi yang diam membisu.
"Maaf, ya, gue nggak sengaja sampai sepeda lo roboh." Suaranya masuk di indra pendengaranku hingga membuat aku hanya diam sejenak. Tatapanku beralih ke dalam keranjang yang kosong melompong yang seharusnya ada sekantong plastik berisi martabak. Ke mana larinya?
Aroma martabak masuk ke hidungku hingga aku tahu ke mana perginya. Di atas tanah kering yang lama tak terguyur hujan terdapat sepuluh biji martabak berkeliaran di sana. Kini fokusku beralih pada si pelaku yang telah menghancurkan semuanya. Kali ini aku tak tinggal diam karena sang pelanggan pasti sudah merengek minta jatah.
"Lo lihat, kan, di sana ada martabak jatuh," ujarku sembari menunjuk martabak yang berserakan.
Kamu hanya mengangguk santai.
"Lo harus ganti senilai tiga puluh ribu!"
Ia mengangkat bahu santai, mulai melacak di mana uang dalam saku celananya. Lama sudah kumenunggu untuk kamu mengeluarkan jumlah uang yang sesuai, namun kamu tak kunjung menunjukkannya.
"Bentar deh kayaknya gue nggak bawa uang," ujarmu kelewat santai, bahkan kalau bisa aku ingin sekali menjejelkan martabak kotor itu ke dalam mulutmu sekarang juga.
"Nggak bisa gitu dong lo harus tanggung jawab," tukasku cepat. Enak sekali sudah berbuat tapi tak mau bertanggung jawab.
"Punya pulpen nggak?" Segera saja kuberikan satu pulpen yang menginap di saku bajuku.
Kamu memberikan kertas lusuh kepadaku setelah menuliskan beberapa kata yang acak-acakan. Tanpa menunggu lagi kamu pergi menyisahkanku yang berusaha membaca karyamu di atas kertas. Aku mengenalinya, dan mulai dari sini kamu memperkenalkan dirimu tanpa kamu minta memperkenalkan diriku juga.
Bila rasa keingintahuan kalian belum sirna juga akan kutunjukkan apa isinya. Memang tak sepesial martabak yang biasa kubuat bersama ibu tapi itu benda berharga yang dapat kugunakan lagi untuk bertemu denganmu.
⏱⏱⏱
Luan
Gue mulai kembali berjalan ketika sudah memberikan secarik kertas lusuh buat lo. Malu sebenarnya tapi gimana lagi gue lupa membawa uang, yang ada di dompet hanyalah kartu kredit. Ya kali lo, gue kasih kartu kredit.
Sebenarnya juga yang tendang bola bukan gue, gue nggak sehebat itu nendang benda bulat ini sejauh itu, nggak sama sekali. Ini semua ulah Gama yang emang asem. Tak lupa Nazel yang ikut-ikutan nendang bolanya sejauh itu. Akhirnya berimbas ke gue yang malah tekor.
Gue mulai menendang nendang bola yang ada di kaki gue, perlahan lahan yang penting gue bisa. Kalau kalian mau tahu gue ini nggak punya bakat sama sekali di bilang sepak bola. Tapi kalau di bidang badminton lumayan walau nggak pernah menang, soalnya nggak pernah ikut lomba. Walau sering dihujat dibilang laki-laki kurang mateng karena nggak ahli sepak bola gue lumayan ahli dalam bidang basket juga. Orang ganteng punya banyak bakat pasti banyak yang suka, katanya sih gitu gue, ya, tinggal percaya aja. Toh gue ganteng pake banget jadi walau nggak bakat apa-apa pasti banyak yang suka.
Hingga tibalah gue di dalam rumah, mendorong pagar rumah yang tingginya melewati tubuh gue. Gue masuk ke dalam rumah dan langsung menghempaskan tubuh di badan soffa. Juga seperti biasa rumah selalu sunyi nggak ada bunyi apa-apa, palingan cuma bunyi piring. Perut gue jadi laper nih.
"Bi, Luan laper," ujar gue lesu juga.
Bibi Fara datang dan rautnya mengisyaratkan sabar. "Bentar den tadi bibi pesen martabak tapi kok nggak dateng-dateng, ya?"
"Luan, ya, mana tahu bi. Udah bibi masak apa kek biar perut Luan berisi," ujar gue sambil berdiri menuju kamar yang ada di lantai dua.
Gue keluarkan handphone dalam saku dan ada sesuatu lagi yang numpang hinggap. Ternyata satu pulpen milik lo yang terbawa di saku baju gue. Sekilas gue lihat ada tulisan Kilana di badan pulpen itu. Entah itu memang nama lo atau merk pulpen itu.
*****
Jeng jeng jeng, terserah baca pake nada Upin Ipin nggak papa, nggak masalah.
Cerita baru 🙌 tokoh baru 🙌 alur baru 🙌 semua serba baru, tapi penulisnya lama 😂. Nggak papa kan, ya? Yang penting aku tetep mastah.
Mau tanya dong kesan lihat cerita ini apa? Boleh lihat dari cevernya dulu lalu kesan prolog kali ini. Pendek-pendek tak mengapa yang penting kalian comment dan aku biar semangat lanjutin ceritanya kalo ada yang minat.
Untuk prolog aku pake sudut pandang masing-masing tokoh dulu, ya, biar perkenalannya kerasa. Untuk part satu masih aku pikir-pikir dulu pake sudut pandang siapa.
Tetap vote, comment, dan share, ya, kalau kalian mulai tertarik dengan kisah Kilana dan Luan 💏. Dukungan kalian sangat menentukan aku tetap melanjutkan kisah mereka atau tidak. Aku sama sekali nggak menuntut untuk kali ini, aku cuma minta tolong aja untuk tetap suport aku.
01-10-18
qolintiknov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro