Part 9. Bazar Malam Minggu
"'Kan gue bilang jangan urusin gue apalagi ngatur-ngatur. Lo nggak tahu apa-apa tentang gue."
____________________________________
Ruang 2 bagaikan bazar malam minggu disaat ulangan hari terakhir. Sesak penghuni dan juga suara yang tak jelas asalnya. Semua karena penjaga kelas adalah Pak Suanto. Guru IPA yang terkenal easy going, ramah senyum, doyan godain cewek, dan semacamnya untuk ukuran guru kurang tegas namun berpendidikan. Kalau begini caranya lembar jawaban Kilana tak kunjung penuh karena harus berulangkali menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang untuk meladeni panggilan penuh harapan.
Arah pandangan Kilana mengikuti langkah Reyhan yang berjalan ke belakang untuk mencari contekan. Melirik ke bagian singgasana guru dan hampalah harapan Kilana dapat mengerjakan soal dengan tenang karena Pak Suanto raib ditelan bumi.
Kilana melirik ke sebalah kanan yang terdapat Luan sedang serius menatap langit-langit. Mungkin ia sedang mencari hidayah. Tenang sekali dia kalau mengerjakan ulangan tanpa gangguan para manusia pengejar nilai palsu. Sedangkan Kilana mati-matian membuat telinganya tuli secara mendadak.
Seperti sekarang, seseorang sedang dengan gopohnya menendang kursi yang Kilana duduki, dengan harapan Kilana mau menoleh.
"Apalagiiii?" Greget bukan main. Berulangkali pula Wendi menendang kursinya hingga membuat pantat Kilana kurang nyaman. Wendi pula kerjaannya di rumah ngapain? Udah tahu ulangan bukanya belajar malah hura-hura bereng kawan gengnya.
"Nomor tiga apa Na?" tanya Wendi cepat. Mungkin ia takut saat lengah sedikit atau memberi celah pada Kilana kembali menoleh ke depan, masa depannya akan suram secara mendadak
"Lo bawa buku nggak?"
Wendi mengangguk kuat-kuat.
"Nah buka lah buku lo, daripada nyontek gue yang jawabannya kurang pasti. Ya, kan?" tanyanya. Sebenarnya ini adalah taktik supaya Wendi tak terus menendang kursinya dan menyalin semua tulisan yang susah payah Kilana hapalkan kemarin.
"Oh bener juga lo." Saat itu pula senyum lega Kilana mengembang.
"Daripada lo ladeni para kadal gak tahu diri, mending isi jawaban lo itu, setengah jam lagi ulangannya kelar. Gue mau kita saingan secara sportif, gue tenang lo juga tenang."
Kilana melirik Luan yang selesai berucap. Ini pertama kalinya ia mendengar Luan berucap seserius ini, dan juga demi kebaikan dirinya.
Tapi tak urung Kilana menurut. Ia mencoba kembali fokus pada soal di tangannya dan menuliskan jawaban dengan tenang. Walau berulangkali ia mendengar beberapa orang memanggilnya, ia mencoba tak peduli. Plis kali ini aja biarin gue tenang.
"Na," panggil Wendi sekali lagi. Kilana berdesis mulai jengah. Ini sudah kesekian kalinya Wendi memanggilnya, dan kesekian kalinya pula Kilana sudah memberinya jawaban. Apa semuanya masih kurang?
"Mulut sampah lo bisa diem sejam aja gak sih! Panas kuping gue denger lo manggil buat nyontek! Mangkanya kalo tahu ulangan itu belajar, bukan pacaran!"
Kilana sedikit menyingkir ke kiri ketika tahu Luan berdiri dan menyemprot Wendi dengan kata-kata sarkas. Ia terkejut bukan main saat Luan berani bertindak sedemikian rupanya. Walau di ucapan Luan menyebut bahwa kupingnya panas tapi hati Kilana tak bisa berbohong. Dirinya sedikit terenyuh atas pembelaan Luan untuk membuat Kilana sedikit merasa nyaman.
Luan kembali duduk walau Kilana tahu emosinya tak akan mereda dalam hitungan detik. Apalagi diiringi dengan bahu Luan yang naik turun membuat Kilana semakin yakin bahwa Luan masih emosi.
Melirik Luan sesaat dan pandangannya langaung beralih ketika melihat Luan juga tengah meliriknya.
"Hey ada apa tadi?" Suara Pak Suanto membuat perhatian seluruh ruang 2 teralihkan. Tapi tak ada seorang pun yang berniat menjawab pertanyaan mudah Pak Suanto.
"Liat kucing lewat lagi pacaran Pak," ujar Nazel berbohong. Semua menatap Nazel malas namun semua tiba-tiba mengangguk meng-iyakan pernyataan Nazel supaya Pak Suanto cepat-cepat pergi.
Namun lagi-lagi harapan membuat banyak rasa kecewa bagi kebanyakan manusia. Nyatanya Pak Suanto memilih duduk pada singgasana yang lengkap dengan kipas angin sebagai tempat ternyamannya untuk menjaga ruang 2.
"Lah Pak dari mana?" tanya Nazel.
"Dari kantin Nak. Bapak belum makan tadi," jelas Pak Suanto.
"Kok cepet banget Pak?" Serbu Nazel dengan pertanyaan.
"Kan Bapak makan Nak, bukan buang hajat."
"Oh, iya, ya." Terdengar nada kecewa yang terselip di dalamnya. Raut kecewa hampir semua penghuni ruang 2 juga kecewa karena tak bisa bebas jalan-jalan ke sana-ke mari untuk mencari jawaban.
Selang beberapa menit bunyi bel berakhirnya jam pelajaran berdering nyaring. Tiap siswa yang belum menuntaskan pekerjaannya semakin banjir keringat. Mulai merangkai kata-kata karangnan yang mustahil benar di mata guru. Sedangkan yang sudah menuntaskan semua jawaban segera maju untuk mengumpulkannya.
Kilana juga begitu, ia bersyukur akibat perlakuan Luan. Setelah ucapan Luan terdengar tak ada lagi seorang yang memanggilnya untuk meminta jawaban. Itu adalah berkah supaya nilai UB kali ini semoga tak akan tergeser oleh niat Luan.
Kilana beranjak dari tempat duduk setelah membereskan semua peralatan alat tulis miliknya. Menyampirkan ranselnya di pundak dan menghampiri Irada untuk keluar gerbang bersama.
"Eh Na nanti malem ada bazar loh. Kita ke sana yuk!" ajaknya antusias. Mata mereka berdua berbinar ketika mendengar kata bazar. Sudah lama mereka tidak keluar malam, paling sering juga kerjakan tugas. Selain itu tak ada.
"Oke, jam tujuh aja gimana?" tanya Irada.
"Iya, jam segitu aja. Tapi kita jalan kaki aja, ya, biar seru?" tawar Kilana dengan ide cemerlangnya.
Irada diam sejenak untuk menimang. Tak lama ia mengangguk dengan riangnya dan dijawab Kilana dengan senyum lebar.
Mereka berdua berniat melangkahkan kaki untuk keluar dari kelas. Namun suara seseorang membuat langkah mereka terjeda.
"Gue ikutan boleh, ya?" tanya Luan menawarkan diri.
⏱⏱⏱
Sekarang di sinilah mereka berkumpul. Di tempat permainan anak-anak, yaitu mandi bola. Semua telah sepakat dengan datang ke bazar tidak membawa kendaraan, biarkan mereka sama-sama menikmati malam minggu dengan hati riang walau tanpa pasangan.
"Gue inget waktu dulu itu kenangan paling kocak yang gue inget." Suara Nazel membuat mereka terfokus dan menanti kelanjutan ceritanya.
"Mama gue bilang mau ajak mandi bola, tapi betapa bodohnya gue tetep maksa bawa handuk karena takut basah." Tawa kelima remaja itu tak dapat ditahan.
"Itu bukan kocak Zel, tapi koplak."
Luan tak dapat mencegah tangannya untuk menonyor kepala Nazel. Semua terlalu bego untuk dicernanya. Nazel memang cowok terlugu yang Luan kenal.
"Hahaha." Kilana tertawa hambar karena baginya ini tak lucu. "Lo tahu Zel? Anak-anak bawa handuk itu cerita lumrah. Jadi cerita lo nggak ada lucu-lucunya."
Tawa mereka berhenti mendadak ketika ucapan Kilana selesai. Mata mereka menatap Nazel malas. Betul kata Kilana, itu adalah cerita lumrah. Jadi ditambahi bumbu apapun cerita itu tak akan lucu.
Nazel pura-pura sedih. Mengusap matanya yang sama sekali tak berair. "Kilana jahat sama Nazel."
Kilana, Luan, dan Gama mencoba mati-matian menahan tawanya. Mencoba menghargai perasaan si lugu yang sedang terluka.
"Kalian jangan gitu sama Nazel, kasian dia. Udah Zel biarin anjing mengonggong."
Mereka menyerengit, kemudian tawanya tersembur ketika Nazel dengan entengnya mengangguk polos.
"Kalian ada hubungan apa sih?" Kilana tak dapat menahan mulutnya untuk bertanya.
Semua diam dengan seketika menanti jawaban Nazel atau pun Irada.
"Kita beli makanan aja yuk, laper nih tiba-tiba." Semua mendengus geli ketika tahu bahwa Irada hanya mengalihkan pembicaraan. Namun tak ada seorang pun yang dapat membantah bahwa masing-masing perutnya lapar
Pilihan mereka sepakat pada jasuke (jagung susu keju). Aroma jagungnya yang sangat menggoda iman apalagi ditambah malam hari ini yang dingin apabila memakan jasuke ibaratnya surga malam hari.
"Bu jasukenya lima, ya. Yang satu susu cokelatnya yang banyak," ujarnya mewakili pesanan mereka.
"Yang susu cokelatnya banyak siapa?" tanya Luan menyambar.
"Gue lah." Kilana menjawab tanpa niat, bahkan untuk menoleh saja tidak.
"Samain aja semuanya Bu," ucap Luan membatalkan pesanan keinginan Kilana barusan.
Mata Kilana membulat, ia tak terima. "Bu pesanannya kayak tadi aja. Yang satu susu cokelatnya dibanyakin."
"Gue bilang enggak, ya, engak Kilana!" Suara penolakan dari Luan menimbulkan banyak tanya dalam benak Kilana.
"Kenapa sih? Itu pesanan gue, lo nggak usah sewot." Kilana juga membantah. Baginya itu tak masuk akal. Itu adalah pesanannya yang telah ia sesuaikan dengan keinginannya.
"Ini itu udah malem."
"Terus hubungannya?"
"Cokelat nggak baik kalo malem-malem."
"Teori siapa tuh? Ya, terserah gue lah. Tubuh-tubuh gue. Gak ada hubungannya sama lo."
Adegan cekcok antara Luan dan Kilana tak dihiraukan oleh ibu penjual jasuke. Ia terpaksa memberikan susu cokelat dengan sama rata. Karena baginya juga banyak mengkonsumsi cokelat pada malam hari tidak baik untuk kesehatan gigi.
"Mbak, Mas, udahan berantemnya. Jasukenya udah jadi. Dan saya harap kalian nggak berantem buat bayar." Ucapan ibu penjual jasuke menjadi penengah diantara mereka.
"Jadi yang satu gimana Bu?"
"Saya samakan Mbak. Cokelat di malam hari emang nggak baik buat gigi. Bener kata pacarnya."
Mata Kilana sekali lagi membulat akibat ucapan terakhir dari ibu penjual jasuke. "Dia bukan pacar saya Bu," bantah Kilana.
"Jadi siapa yang bayar? Jangan berantem lagi karena ini bukan arena debat."
Suaranya mengalihkan fokus Kilana kembali. "Dia lah yang bayar." Tunjuknya pada Luan yang saat itu sedang merogoh uang pada saku di celana jeansnya.
Kilana menerima uluran tangan ibu penjual jasuke dengan raut sedih. "Sayang."
"Siapa yang lo panggil sayang?" tanya Luan lagi-lagi menyambar. Kayaknya Luan ini sukanya ikut campur urusan orang. Gawat ini, tipe-tipe tukang gosip.
"Gak usah ngarep, ya! Gue sayang aja sama cokelatnya yang dikit, gara-gara lo pula." Luan terkikik akibat ucapan Kilana. Ini adalah sebuah kepuasan baginya. Membuat Kilana kesal adalah kebahagiannya tersendiri. Karena menurutnya ketika Kilana kesal dia akan terlihat semakin lucu
"Gak ngerep sih, tapi kalo iya juga gak nolak." Kilana mendengus geli saat itu juga.
"Lo berdua beli jasuke aja kayak antre sembako. Lama amat." Gama menggerutu karena perutnya mulai meminta jatah. Di tangannya ada beberapa minuman yang mungkin mereka belikan untuk Kilana dan Luan.
"Ya, maap. Abisnya temen lo ini bikin kesel tahu gak!"
"Idih ngapain gue? Lo aja yang dibilangin ngeyel."
"Udah diem. Kapan makannya kita kalo kalian berentem mulu. Gue nikahin juga kalian ini," celetuk Irada mulai terbawa kesal.
"Ogah!" tolak Kilana ngegas. Sedangkan Luan mesam-mesem karena menikmati ekspresi kesal Kilana.
*****
Udah aku ga mau basa-basi, kalian cukup vote dan komen untuk menghargai karya, ga hargai gapapa nanti bakal ngerasain bhaks. Aku gak galak kok selow aja, kalo mau curhat atau tanya-tanya silakan kirim pesan lewat Wattpad. Salam manis KiAn.
qolintiknov
08-12-18
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro