Part 21. Juanda Putra
"Ada hal mengapa beberapa orang lebih memilih meninggalkan daripada ditinggalkan. Tingkat perbedaanya tampak di rasa sakitnya ketika terlalu terbiasa."
____________________________________
Kilana meletakkan buku Fisika di atas nakas seberang kasurnya. Saat hendak tidur terlantang suara decitan pintu mengurungkan niatnya untuk berbaring. Grina masuk ke dalam dan duduk di kasur hingga beringsut.
"Na, ibu minta nomor handphone Luan dong," ujarnya tanpa basa-basi. Grina menyodorkan ponsel pipih berwarna hitam.
"Ibu minta nomor Luan ke Lana? Nggak salah? Bu, bahkan Luan nggak aku angggap sebagai...."
"Teman," potong Grina cepat. Ia menatap malas putrinya. "Iya dia bukan teman kamu tapi pacar kamu, bener kan?" tebak Grina tanpa pikir panjang. Feeling ibu-ibu biasanya benar, tidak meleset, apalagi salah.
Kilana membelalak, dengan cepat menetralkan raut mukanya kembali. "Jangan ngarang Bu," sergahnya. Ia beringsut duduk di samping Grina.
"Ibu malas debat, udah berapa nomornya?" tanya Grina kembali ke topik awal.
Kilana mendengkus kesal, harus berapa kali ia bicara kalau tidak mempunyai nomor Luan. Ibunya keras kepala sekali, sama sepertinya. "Nggak ada Bu, nggak ada."
"Kamu berani bohongin ibu Lana?" Nada bicara Grina berubah sendu. Ia tidak benar-benar sedih, hanya ingin Kilana memberikan nomornya.
"Nggak gitu Bu. Tapi aku emang nggak punya."
"Luan bilang kok sama ibu kalo waktu pertemuan pertama kalian aja kamu udah berani minta nomor Luan. Genit banget anak ibu ini." Grina yang gemas menyubit pipi Kilana cepat, membuat Kilana dongkol.
Kilana terdiam, mencerna kalimat Grina perlahan. Dirinya yang minta nomor Luan? Gila! Benar-benar gila! Sejak kapan ia membiarkan mulutnya berucap demikian? Meminta nomor Luan? Siapa dia! Dan kalimat pertemuan pertamanya dengan Luan membuat Kilana memutar memori, ia meminta uang pengganti martabak yang jatuh, bukan nomor sialan itu. Luan mempermainkannya hingga membuat Grina percaya dan menganggapnya genit, kegatelan, atau apalah itu, memangnya ia gadis butuh belaian apa!
"Bentar bu." Kilana berdiri dan mendekati ranselnya yang tak jauh. Membuka resleting bagian depan yang kecil, tangannya meraba-raba bagian dalam dan mendapatkan secarik kertas kecil. Ia membawanya dan membacanya sebelum ia berikan kepada Grina.
"Nah ini ada, kamu ini." Grina menerima secarik kertas dari tangan Kilana. Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya dan sesekali melirik ke arah kertas. Tak lama ia memberikannya kembali pada Kilana.
"Lana juga baru inget," ucapnya ketus dan menerima kertas dari tangan Grina.
"Udah ah ibu mau chatan sama calon menantu," ujarnya riang menuju pintu, membukanya dan menutupnya kembali. Iris mata Kilana melirik tiap gerakan Grina hingga beliau membuka pintunya kembali, menyembulkan tubuhnya sebagian.
"Ibu lupa kalo Luan pernah bilang gini ke ibu yang intinya Luan itu orangnya baik, nggak akan sakiti orang apalagi sama perempuan yang dia hargai. Kalo kamu mulai percaya sama dia dan Luan akan akan juga kepercayaan itu. Kalo dia buat kepercayaan itu runtuh maka harga diri Luan runtuh juga," jelasnya panjang, sesuai dengan apa yang Luan ucapkan.
Terlalu mendalami apa makna dari sederet kalimat yang Grina ucapkan membuat Kilana tak tahu bahwa Grina telah pergi dan menutup pintunya rapat.
Kilana berbaring, menatap langit-langit dengan raut tak terbaca. Haruskan ia kembali percaya pada seorang lelaki asing yang masuk ke dalam hidupnya? Bang Juan, Lana bingung.
⏱⏱⏱
Kilana tersenyum senang karena akhirnya Juan memperbolehkannya ikut naik bersama sepeda gunung. Meski pantatnya sakit karena ia duduk di besi bagian depan semua hilang karena rasa senang bisa mengitari komplek minim dengan sepeda gunung.
"Bang lebih cepet bang," teriak Kilana dengan girang. Ia menggerakkan tangan Juan yang masih fokus membawa kendali sepada. Kacau, satu kata yang dapat mendeskripsikan saat Kilana dengan hebohnya menggoyang tangannya, ia kuwalahan menyetir.
"Lana jangan ganggu abang nanti kita jatuh," titahnya yang dijawab Kilana dengan tatapan kesal. Juan tak menyanggupi keinginannya.
"Lana cuma minta lebih cepet aja," pintanya penuh harap.
"Lebih cepat kita berkendara maka lebih cepat pula kesempatan kita jatuh Lana, nanti ibu marah." Juan masih setia pada pendiriannya. Ia takut hal buruk menimpa Kilana.
"Abang mah." Kilana mencebik kesal, memukul pelan tangan Juah yang dekat jangkauan. Bukannya memukul kembali Juan justru mencium puncak kepala Kilana dengan lembut, menyalurkan rasa sayangnya sebagai seorang kakak.
"Ehhh Bang kucing Bang, awas!" teriak Kilana histeris. Kilana megggoyang tangan Juan dengan ganas, takut menabrak kucing yang lewat. Juan kelabakan, kaget ada kucing ditambah goyangan dahsyat pada setir sepedanya. Ia menarik remnya kuat, kakinya terjulur untuk menahan beban supaya sepeda tidak roboh. Sayang sekali nasib buruk sedang menyerangnya tanpa ampun karena remnya kurang tadas, tanpa pikir panjang ia melepaskan tangannya pada setir, mengangkat tubuh Kilana yang berusia sepuluh tahun, ia bersiap turun dan melompat.
Brakkk
"Awww," ringis Kilana tertahan. Ia meringis saat dahinya yang sedikit membencol, lebam yang cukup sakit. Ternyata mimpi buruk bisa berefek pada dunia nyata, kini ia memegang dahinya yang sehabis membentur lantai dengan kuat.
"Na kenapa teriak-teriak?" tanya Grina muncul dari pintu. Ia menatap khawair pada putrinya yang masih dalam posisi tengkurap.
"Jatuh Bu. Tapi nggak papa kok, cuma benjol dikit," ujarnya serak, efek bangun tidur ditambah baru saja kepalanya menghantam benda keras. Bukan main pening dan sakitnya. Ia mencoba bangkit dari posisi tengkurapnya, menatap jam di dinding yang menunjukan pukul lima subuh pertanda ia harus menjalankan kewajiban seorang muslim.
Setelah melakukan sholat subuh Kilana duduk di tepi ranjang. Matanya tak sengaja melihat kalender dan mendekat untuk meraihnya. Ia menatap satu tanggal yang dilingkari pena hitam, di bawahnya ada keterangan yang membuat Kilana tersadar.
"Pantas aja Bang Juan mampir, ternyata dia mau dikunjungi." Kilana meletakkan kalender ke dalam tempatnya semula. Ia keluar kamar dan menuju dapur, dimana tempat singgasana ibunya bersarang pagi hari.
"Bu," panggilnya pelan.
"Kenapa?" sahut Grina tanpa menoleh.
"Abang mau dikunjungi," katanya duduk di kursi plastik di dekatnya. Ia melirik tempe yang masih dipotong sebagian, meraih pisau dan mulai memotongnya telaten.
Tak ada percakapan setelahnya, hanya suara tabrakan antara pisau dengan telenan. Grina asyik menatap sayur yang ia rebus dan Kilana masih fokus memotong tempe.
"Jadi jatuhmu tadi karena mimpi Juan?" Tebaknya yang sepenuhnya benar. Kilana merasa tak wajib menjawabnya. Grina tahu jika Kilana jatuh dari kasur pasti pertanda ia mimpi buruk.
"Kamu kesana aja sama Irada sepulang sekolah, siang nanti ibu sama Satya yang kesana. Ajak Luan sekalian gapapa Na."
"Sama Irada aja. Orang asing nggak harus ikut." Kilana berdiri membawa telenan, meletakkannya di meja dekat posisi Grina. Tak lama ia pergi dari dapur.
Grina menatap tempe yang telah dipotong. "Juan, adikmnu itu keras kepala, susah sekali percaya pada orang asing, apalagi lelaki. Kau harus sering-sering mampir ke mimpinya dan buat dia percaya pada lelaki, ibu kasih tahu namanya, Luan. Indah bukan? Sebelas duabelas dengan namamu. Juan dan Luan, semoga kepribadian kalian juga sama." Grina berbicara pada dirinya sendiri dengan senyum merekah, dan berharap Juan mendengarnya.
⏱⏱⏱
Kilana sudah memberi tahu perihal kegiatan yang akan ia jalani nanti sepulang sekolah, berziarah ke makam Juan bersama Irada. Dengan senang hati Irada mau menemani Kilana ke makam.
Saat mereka hendak menuju parkiran motor dilihatnya Luan yang berjalan mendekat. Siap mengajukan penawaran.
"Mau langsung pulang?" Luan berdiri tegak di hadapan Kilana.
"Gue nggak bareng lo, ada urusan sama Irada," jawabnya langsung. Hanya alibi, ia enggan menceritakan hal sebenarnya pada Luan, yang ia saja belum mengetahui siapa Luan sebenarnya.
"Urusan apa?" tanya Luan penasaran.
"Urusan perempuan," jawab Kilana sekenannya. Tanpa membuang waktu ia menggandeng Irada supaya pertanyaan Luan tidak macam-macam.
"Dadah Aann," teriak Irada sembari melambaikan tangan kepada Luan. Luan tentu saja membalasnya tak kalah riang.
"Kenapa Luan nggak diajak aja biar dia tahu." Obrolan pembuka yang Irada ajukan membuat Kilana mendengkus kesal. Namun mereka tetap berjalan bersisihan menuju motor Irada. Setelah mengeluarkan dari area parkir segera menuju abang-abang parkir dan membayar dua ribu rupiah.
"Terus kalo dia tahu biar apa? Biar dia kasihan sama gue yang ditinggalin dua laki-laki gitu? Cih kampungan, Ra. Mau belas kasihan itu juga buat apa." Kilana menaiki jok motor belakang dan segera memakai helm.
"Yaaa nggak gitu lah. Kalian kan kayaknya udah deket, barangkali dia tertarik sama lo dan kalian bisa saling menggabungkan hati gitu. Kuncinya sih harus saling beri info kehidupan." Irada terus berceloteh sepanjang perjalanan ke makam.
"Tertarik? Yakin? Ntar juga terdorong," jawab Kilana ogah-ogahan.
"Jayus amat sih. Ngalihin topik nggak usah segitunya, lo kira gue siapa sampai nggak tahu lo."
"Cukup aja gue percaya sama dua laki-laki yang sekarang enyah dari kehidupan gue. Males nambah satu, nanti kalo kecewa lagi sakit banget Ra. Gila gue bisa-bisa." Kilana tertawa kecil menyadari kalimatnya yang alay. Bisa saja kan seseorang gila karena tidak kuat menelan semua kekecewaan, dan Kilana tidak mau menjadi salah satunya.
"Emang sakit sih. Tapi kan jodoh lo laki-laki. Otomatis lo harus belajar buka hati dong," sarannya yang tak kunjung dijawab Kilana.
Kilana tetap diam, mencerna saran Irada dan sederet kalimat yang Grina ucapkan kemarin. Mereka sungguh ingin dirinya membuka hati untuk Luan, ya?
Tak lama mereka telah sampai di makan yang lokasinya dekat dengan rumah Kilana. Sebelum masuk ke gerbang makam, mereka menyempatkan diri untuk membeli bunga dan mampir ke tempat air mengalir.
Irada dan Kilana mencuci kedua tangan dan kakinya. Lalu memantapkan hati memasuki daerah makam dan mencari tempat dimana rumah Juan.
Setelah menemukan tempat akhir Juan mereka berjongkok di samping undukan tanah tersebut. Namun pikiran Kilana terusik, pasalnya sudah ada taburan bunga di atasnya, dan tanah di sekitar juga lumayan basah.
"Siapa yang ke sini?" tanyanya pada diri sendiri.
"Ibu mungkin," jawab Irada sembari mencabuti rumput yang ada di dekat batu nisan bertuliskan Juanda Putra.
"Ibu ke sini selalu do'a aja Ra karena Bang Juan butuhnya do'a, bagian tabur bunga baru gue." Kilana ikut serta mencabuti rumput hijau di sekitarnya.
"Jangan-jangan...." Irada tak berniat melanjutkan ucapannya. Ia melirik ke arah Kilana dan mendapati Kilana menatapnya sekilas dan menghela napas panjang. Kilana tahu apa kalimat selanjutnya, dan Irada juga enggan memerjelas.
"Dia nggak sepeduli itu Ra. Dia bukan yang dulu, yang selalu ingat kalao ada manusia di sisinya." Kali ini Kilana menaburkan beberapa bunga di atas tanah, membuat gundukan tanah tersebut kian hidup. Dan Irada juga ikut serta menaburi bunga di atasnya.
"Tapi bukan berarti ayah lo lupa Na." Irada berbicara dengan nada dibuat selembut mungkin, berharap Kilana mempercayai ucapannya.
"Kalau dia ingat pasti sekarang dia coba cari kita, Ra." tekan Kilana. Ia menggelatukkan giginya, mencoba meredam amarah pada tempat yang kurang pantas.
"Dan lo masih berharap," sahut Irada membuat Kilana tersadar.
"Gak!"
"Maafin ayah lo Na. Dia juga manusia, Tuhan aja pasti maafin ayah lo," saran Irada. Kini tangan kiri Irada mengusap pelan punggung Kilana, menyalurkan rasa ketenangan dan kekuatan.
"Bahkan gue yakin dia nggak akui kesalahannya, dan dia pasti nggak minta maaf sama Tuhan."
Irada menghala napas pendek. "Terserahlah." Final, sampai di situ pembicaraan mereka tantang Ramandi. Selanjutnya diisi kesunyian.
"Bang, di sana indah kan? Nyaman kan? Aku yakin, karena Tuhan pasti menempatkan Abang di tempat yang semestinya." Bahu Kilana mulai bergetar pelan, lambat laun getaran itu makin cepat. Irada hanya bisa mendengarkan dan mengusap punggung Kilana kembali.
"Andai aja orang itu nggak nabrak abang pasti sekarang kami punya pelindung. Tapi sekarang kami cuma bisa bertahan bang."
"Di sini Kilana baik-baik aja kok. Ibu mungkin iya. Apalagi Satya, aku berharap dia jadi pengganti abang. Pelindung kami satu-satunya. Untuk dia...." Kilana semakin terisak. "Dia bahkan nggak ingat kita."
Setetes air mata jatuh di tangan kanan Irada. Secepat kilat ia mengusapnya. Dirinya bukan kasihan pada kehidupan Kilana, ia hanya merasa bahwa Kilana kurang pantas diberi ujian seberat itu. Apalagi ditambah mental Kilana yang lemah. Ia sudah berulang kali mencoba menghilangkan rasa kebencian Kilana pada ayahnya, namun Kilana justru menganghapnya jahat, atau dengan kata lain ia sama seperti ayahnya. Irada juga sudah mencoba memberi pengertian keikhlasan, namun Kilana bilang hatinya tidak selapang itu menerima luka. Dan Irada juga menyarankan Kilana melupakan masa lalu yang sendu, tapi lagi-lagi Kilana menolak. Sampai kapan pun luka tidak akan bisa musnah dalam kamus Kilana.
"Hidup gue hancur Ra," Kilana berujar lirih. Pandangannya terarah pada nisan dengan sendu.
"Tapi lo bisa memupuk harapan dan membuat impian."
"Jangan kasihan sama gue Ra."
"Ngapain gue kasihan sama orang yang punya tujuan hidup jelas. Justu gue kasihan sama diri gue sendiri."
"Kita do'a Na, lalu pulang. Lo harus istrirahat," lanjut Irada kembali.
Kilana mengangguk. Mereka menunduk, dan mulai berdoa. Tak lama mereka bangkit dan keluar dari makam dan menuju tempat air mengalir. Setelah itu mereka kembali ke rumah Kilana.
Seseorang yang sedang mengamati di balik sumur yang tak jauh dari posisi Kilana dan Irada segera bangkit. Luan menaikkan sedikit topi hitamnya. Setelah memastikan mereka telah pergi dari makam. Luan segera mendekat di tempat Juan.
Berada di samping makam Juan membuat sensasi kesedihan tiba-tiba menyeruak. Ia tidak tahu mengapa sensasi itu kian memerjelas. Mungkin kerana ia mendengar curahan hati Kilana yang sama sekali belum dan tak akan pernah ia dengar dari mukit Kilana sendiri.
"Juanda Putra," ejanya lirih sembari menatap nisan. Dengan posisi masih tetap berdiri Luan menatap nisan terus menerus. Merasa tak asing dengan nama Juanda. Kemudian dilihatnya tanggal di hari Juanda meninggal, sekitar tiga tahun yang lalu. Masih baru, pantas saja Kilana masih sangat kehilangan. Turun lagi ke bawah, Luan melihat tulisan ayah dari Juanda, Ramandi Teguh.
"Ramandi Teguh?" ejanya sekali lagi. Dahi Luan berkerut makin kuat, nama Juanda dan Ramandi seperti hal yang tak asing lagi. Meski belum sepenuhnya ingat dan yakin dengan hal itu tapi Luan merasa dirinya mengenal mereka berdua, tapi lagi-lagi ingatannya belum mendukung. Lalu yang bisa dilakukannya adalah menggaruk tepi alisnya, tanda bingung atau gugup.
Luan memilih jongkok. Menatap nisannya kembali. "Sore Bang Juan, di sana sekarang jam berapa, ya, bang gue nggak tahu. Jadi ala kadarnya aja, pake Waktu Indonesia Barat dulu, ya. Nama kita mirip tuh bang, barangkali ini pertanda dari Allah kalo gue jodoh Kilana. Tolong restui lah bang, kan kasian Kilana nggak ada yang dampingi nanti kalo gue nggak mau sama dia, mubadzir juga sih.
Gue ngerasa kita pernah ketemu atau kita kenal. Sebenernya lo siapa sih bang. Masa' iya gue kenal lo tapi gue nggak kenal adik lo, lucu kan. Kalo kita sebelumnya pernah ketemu apalagi kenal semoga aja ini jalan dari Allah untuk memermudah jodoh gue bang. Udah, ya, bang gue takut dikira gila. Gue kirim do'a aja." Sejenak Luan menunduk dan melafadzkan beberapa do'a yang ia hapal. Seusai itu Luan bangkit dan pergi dari sana.
Seseorang mengamati dari luar di dalam mobilnya. Ketika Kilana dan Irada, Grina dan Satya, hingga Luan pulang ia masih mengamati dari jauh. Cukup lama ia berdiam diri di sana, lelaki itu memutuskan pulang mengendarai mobil hitamnya dengan kecepatan standart, namun berbalik dengan pikirannya yang kacau.
*****
Alhamdulillah akhirnya aku berani mempublish part ini. Maaf lama banget aku up. Mohon doanya supaya idenya lancar jaya. See you guys.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro