Part 2. Sial Bersama
"Apes berturut-turut yang dialami dua orang secara bersamaan itu artinya apa?"
____________________________________
Kilana menetuk pintu sebanyak tiga kali hingga semua fokus semua penghuni kelas terganggu dan menatapnya penuh tanya. Tak seperti biasanya Kilana sang gadis berpestasi datang terlambat dan ini di jam pelajaran PPKN. Lagi-lagi ini musibah bagi Kilana, mengapa juga ia terlambat di jam PPKN yang terkenal semua pengajarnya disiplin tingkat atas.
Bu Bitah menatap Kilana tajam, siapa pun tahu tak ada seorang pun yang bisa raib dari hukuman beliau yang bisa dibilang beliau punya ilmu di atas rata-rata. Kilana meringis menatap tatapan Bu Bitah bagai kucing yang takut kepada harimau.
Kilana berjalan mendekat singgasana Bu Bitah dan saat itu juga Kilana merasa menjadi murid yang paling bau asem karena Bu Bitah punya parfum khas yang siapa saja bisa langsung minder karena takut pingsan. "Maaf Bu saya terlambat."
Bu Bitah mengetuk jam tangannya perlahan memberikan sensasi neraka bagi Kilana. "Saya tahu kamu terlambat, hanya saja kok bisa kamu masuk gerbang?" tanyanya sambil berpangku tangan.
"Anu Bu tadi saya habis jatuh, jadi ke UKS dulu sebentar baru ke sini."
"Alasan klasik!" Bu Bitah mendengus kasar dan mengarahkan dagunya untuk menyuruh Kilana segera duduk. "Jangan lupa nanti istirahat temui saya di ruang guru!" titahnya sembari mengambil spidol dan menulis beberapa kata di papan tulis.
Kilana meneguk salvianya susah payah. Jika ada jurus transparan tubuh saat itu juga Kilana ingin memakainya. Ternyata rumor Bu Bitah guru tak terbantahkan benar juga dan itu arti buruk bagi Kilana. Satu kali ia berbuat kesalahan ia akan terus dicap sebagai murid tak disiplin.
⏱⏱⏱
Luan terbangun dari tidur siangnya karena merasakan kelitikan di kakinya. Melirik ke bawah dan di sana ada kucing berwarna cokelat dan putih. Luan memberi nama Tusi. Berjenis kelamin perempuan dan Luan lumayan menyukai kucing yang satu ini juga Luan merasakan kucing ini menyukainya. Entahlan semoga kucing ini tak jatuh cinta dengan pesona Luan. Soalnya itu gawat, kasihan dia sebelum berjuang cintanya sudah bertepuk sebelah tangan.
Luan mengangkat Tusi ke dalam pangkuannya dan mengelus-elus lembut kepalanya. Tusi bergerak-gerak manja yang berarti sangat nyaman dengan perlakuan ini. Luan melihat sinar matahari sedang menyengat yang berarti sudah siang, melirik jam pada pergelangan tangan kiri yang menunjukan pukul 09.43 WIB. Tepat sekali, Luan berdiri dengan masih membawa Tusi untuk menuju kantin.
Luan menuruni tangga lalu berbelok kanan dan hampir saja memasuki bibir pintu utama kantin kemudian suara panggilan namanya membuat langkah Luan berhenti disertai helaan napas panjang. Tamat riwayatnya.
"Heh Luan berhenti kamu!" Suara Pak Nayo menggelegar hingga membuat kelas terdekat melirik sumber suara dan kembali dengan aktivitasnya karena tahu siapa yang membuat Pak Nayo lagi-lagi berteriak.
"Hai Pak Nayo, Pak Nayo dia guru ramah. Yang ganteng, baik hati, dan selalu ceria. Indahnya hari ini mari bergembiraaa!" Cengiran bodoh menghiasi muka Luan. Luan selalu rutin menyanyi lagu judul Pak Nayo bernada lagu Hai Tayo dengan sahabatnya sebagai tanda penghormatan jika bertemu.
"Diam kamu saya nggak punya uang receh!"
"Lah Pak Nayo ngelawak?" Luan terkikik sambil menoel-noel Tusi.
"Ngapian bawa tas? Dan kamu ngapian ke kantin, ini belum jam istirahat!" Pak Nayo menjewer telinga Luan kencang tanpa perasaan hingga membuat Luan mengaduh dan meringis. Lagi-lagi ia kena hukuman, nasib apes selalu hadir di hidupnya.
"Oittt deh pak ini bentar lagi itu istirahat saya mau boking meja biar nggak ditempati." Jurus membela diri lagi-lagi dikeluarkan. Laki-laki harus bisa menyamatkan diri dari yang namanya hukuman.
"Banyak alasan! Udah langganan telat, buku penghubung ganti dua kali, mau jadi apa kamu ini!" Dengan gemas Pak Nayo semakin menarik telinga Luan.
"Jadi suami yang shalih lah pak," jawabnya enteng.
"Mana ada wanita yang mau sama kamu. Otak rata-rata bawah, langganan telat, mana ini atribut kamu ... Ayo ikut saya! Sudah dikasih hukuman nyikat toilet nggak jera-jera saya kasih kamu ke Bu Jilam."
Glekkk, Bu Jilam lagi, guru ketua BK yang tak akan segan-segan memberi hukuman berkali-kali lipat. Terkadang Bu Jilam suka memukul dengan sapu atau barang yang bisa membuat murid langganan BK jera. Luan pernah satu kali dicekal Bu Jilam dan beliau memang sadis. Waktu itu Luan tidak sengaja membuat teman kelasnya jatuh dan terluka, maka sebagai gantinya Luan diperintah mengangkat meja yang ada di lantai tiga untuk diturunkan ke lantai satu. Itu sungguh membuat Luan kapok setengah mati.
"Pak jangan deh, mending saya dihukum bapak aja, kan, sama-sama laki. Kalo sama Bu Jilam bukan mukhrim."
"Emangnya Bu Jilam mau ngapian kamu heh!" Pak Nayo semakin menyeret Luan kencang hingga mau tak mau Luan harus menyejajarkan langkahnya.
⏱⏱⏱
Sekembalinya Kilana dari ruang guru tepatnya untuk menemui Bu Bitah ia berjalan menuju kantin untuk menyusul Irada yang telah memboking meja dan membelikan makanan.
Kilana menelusuri tiap meja untuk mencari gadis yang di bahu kirinya terdapat dasi yang disampirkan. Itu keunikan Irada yang tak seorang pun mau merirunya. Bagi Irada dasi yang menggantung-gantung itu bikin geli dan Irada benci itu. Jika boleh saja dasi dilepas sudah dari sekolah dasar Irada tak memakai dasi.
"Duuuoorrrr!" Kilana menepuk bahu Irada keras dan menghentakkan kaki ke lantai dengan bunyi debuman yang keras.
"Pak Nayo keselek permen." Saat itu juga Irada merasakan aliran air di hidungnya dan menyisahkan rasa perih. Tawa Kilana membahana saat itu juga.
"Lana ih gue jambak lo, ya!" Irada memencet pangkal hidungnya untuk menghilangkan rasa perih. Tawa Kilana berangsur normal dan tak lagi menyisahkan tawa sesuara pun. Masih senyum-senyum asem Kilana duduk di samping kanan Irada.
"Santai dong Ra." Kilana mulai menyuapkan sesendok bubur ayam ke dalam mulutnya dan mengunyahnya penuh perasaan.
"Btw dikasih tugas apa sama ibu negara?" tanyanya sembari mengangkat alis tanda kepo.
"Hmm, biasa lah seperti kata temen cuma disuruh hapalin bab satu. Katanya 'mengulang materi kembali itu nggak salah' kan?" Irada terkikik wajar saja bila Kilana bilang seperti biasa karena untuk masalah hapal kata perkata itu ahli Kilana.
"Oh iya Ra nanti ikut gue, ya, ke Luwak."
"Luwak?" Kilana mengangguk.
"Anak apa, ya, dia gue nggak tahu."
"Luan Gramastya maksud lo?"
Kilana mulai mengingat-ingat siapa nama cowok kampret itu. Ternyata bila dilihat lihat namanya keren juga tapi sayang orangnya jauh dari kata keren justru lebih cocok dibilang kampret bagi Kilana.
"Yaahh, terserah lah siapa dia." Kilana mengibaskan tangan ke udara tanda tak peduli untuk sesuatu yang tak penting untuk diingat.
"Kenapa emang sama si ganteng?"
"Ganteng?" tanya Kilana sambil menjatuhkan rahang hingga membuat bubur ayam yang belum selesai ditelan terlihat, hingga membuat mata Irada jijik seketika.
"Iya ganteng." Irada berkata sembari menutup perlahan mulut Kilana yang membuat perut mual.
"Mata lo katarak Ra?" Tatapan mata Kilana memperlihatkan prihatin padahal saat itu juga Irada memelotot tajam.
"Lo kali yang katarak! Dia itu ganteng bahkan banyak fannya." Napas Irada memburu seakan telah memperjuangkan hidup dan matinya. Namun Kilana hanya mengangkat kedua alisnya tanda mengejek.
"Nggak bisa angkat satu alis aja banyak gaya lo!" Irada memegang kedua alis Kilana dan menaikkan alis sebelah kiri hingga membuat karya eksperimen ala Irada. Kilana menepis tangan Irada risih karena tak terima.
"Ah iya ngapain ke Luan?" tanya Irada kembali karena pertanyaannya yang belum dijawab Kilana.
"Ambil pulpen," jawabnya santai.
"Pulpen tiga ribu aja ngapain ngemis-ngemis ke Luan." Mulut Irada memang belum dikasih remot control supaya nggak asal jeplos.
Kilana memang paling benci dengan orang yang meminjam barangnya yang kemudian tak kembali, itu namanya mencuri. Awalnya bilang pinjam dan malah masuk kantong. Walau hanya satu pulpen itu berarti ketika nggak membawa.
"Itu pulpen punya gue Iraaa!" Kilana gemas hingga ia ingin sekali menjungkir meja kantin sayangnya meja sudah melekat pada lantai.
"Ikhlasin aja, sih, orang pulpen doang nggak sepeda biru kesayangan lo itu." Kali ini benar-benar Kilana ingin memasukkan sambal ke dalam mulut Irada. Bikin kesel tapi Kilana bisa apa.
"Pokoknya ikut gue titik." Secara paksa Kilana kembali mengunyah bubur ayam yang masih tersisa banyak. Karena membahas Luan seorang membuat Kilana sampai lupa makan.
Tapi ada sesuatu yang Kilana pikirkan sembari makan. Sebegitu hebatkan pesona Luan sampai mempunyai fans. Lalu jika memang begitu mengapa Luan masih mau menolongnya sebagai siswa tak populer. Padahal bisa saja dia meninggalkannya dengan sikap angkuhnya.
⏱⏱⏱
Beserta Irada, Kilana menelusuri tiap sudut sekolah demi mencari Luan. Mereka sudah mendatangi kelas Luan tapi dia tidak ada di kelas sejak jam pertama. Kilana tentu kaget, bukankah seharusnya Luan masih bisa mengikuti pelajaran walau tertinggal beberapa menit.
Di seberang parkiran SMA Langit Biru, Luan sedang berusaha memperbaiki posisi parkir sepeda motor di sana. Bagi Luan itu kesengsaraan yang hakiki tapi, daripada hukuman angkat puluhan meja lalu naik tangga, memperbaiki posisi sepeda motor lebih mudah. Walau sama-sama menghabiskan tenaga.
Sudah Luan duga Bu Jilam adalah guru yang anti mainstream, ketika semua guru memberikannya hukuman lari keliling lapangan Bu Jilam lain dengan semua, tentu lain sadisnya.
Masih sepersempat motor yang Luan jalani dan makin lama tempatnya semakin sempit hingga menyulitkan Luan memperbaiki. Tapi tanpa sengaja matanya menatap dua gadis yang kebetulan tengak-tengok, tapi hanya satu gadis yang dikenalinya.
"Oy mata kucing sini!" Luan melambai-lambai ceria. Niatnya hanya satu supaya kedua gadis itu mau membantunya. Barangkali mereka kuat karena Luan tahu Kilana punya tenaga super.
Sedangkan Irada dan Kilana menjentikkan jari disertai senyuman karena mereka tak perlu letih lagi mencari Luan. Irada yang letih demi kebahagian Kilana seorang.
"Manggil siapa Wak?" tanya Kilana menoleh ke belakang dan tak menemukan seorang pun selain mereka di parkiran. Memang parkiran adalah lokasi sepi.
"Manggil lo lah mata kucing," jawabnya sembari masih membenarkan posisi motor.
Kilana menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk. "Gue?" tanyanya pada Irada dan dibalas anggukan beserta cengiran.
"Lo nggak pernah ngaca Na mata lo emang mirip kucing kali. Lucu sih." Kilana mangap saat itu juga, mengapa Irada baru mengatakannya sekarang? Padahal mereka sudah dua tahun berteman.
Kilana benci kucing, terutama bulunya yang membuat geli. Lantas mata kucing ini dari mana asalnya?
"Tapi gue nggak suka kucing," elaknya tak terima. Apa pun yang berkaitan dengan kucing Kilana tak suka sekali pun hanya namanya. Ingat tak suka bukan berarti benci.
"Berarti lo kena karma," sahut Luan santai. Kilana membelak, karma macam apa yang dilakukanya hingga membuat matanya mirip kucing.
Luan mendekat lalu memegang kedua sudut mata Kilana dan menariknya ke atas hingga benar-benar mirip mata kucing. Kilana mendengus karena ekspresi geli Irada. Menepis tangan Luan dari wajahnya dan tak lupa memukulnya pelan.
"Ngapain cari gue?" tanya Luan dan Kilana bersamaan. Irada memandang mereka curiga tak lupa menyipitkan matanya.
"Ecieeee barengan cieeee." Irada bersiul menggoda.
"Bantuin gue nih rapiin motor." Tudingnya pada motor di depannya.
"Ngapain susah-susah, sana minta bantuan Gama sama Nazel. Gunanya sahabat itu buat disusahin juga," celetuk Irada keras.
"Sebelum lo bilang gue juga tahu itu yang harus diperbuat, tapi mereka nggak mau diajak susah bareng," katanya ngos-ngosan. Luan juga masih setia menggeser posisi motor sedangkan Irasa dan Kilana mengikuti ke mana Luan berpindah.
"Gue ke sini cuma mau minta pulpen gue kemarin bukan mau bantuin lo," ucapnya judes. Ya kali Kilana suka rela bantu Luan yang sudah membuatnya apes berturut-turt hari ini.
"Kalo mau pulpen itu balik bantuin dulu dong," tawarnya sembari mengangkat alis kirinya. Kesempatan emas untuk Luan tak boleh disia-siakan.
"Ishhh." Kilana berdesis dengan terpaksa ia juga ikut membenarkan posisi motor semua murid.
Lima belas menit lamanya mereka telah menjalankan tugas Bu Jilam dengan penuh keringat. Luan tentu senang karena hukumannya cepat selesai dari yang ia kira.
"Cepetan mana pulpen gue keburu masuk nih." Menyodorkan tangan kanan di hadapan Luan.
"Sayangnya pulpen lo ada di rumah gue." Secepat kilat Luan berlari untuk menghindari amukan Kilana beserta Irada. Menghentakkan kaki kesal mereka berdua kembali ke kelas dengan rasa kesal ditambah lagu dalam perut yang kehilangan sember energi.
*****
Panjaanggg yaaaah gapapa kan biar kalian puas. Luan ngeselin yah, kalo kalian jadi Kilana atau Irada kalian apain cowok ketupret itu? 😆
Oh iya minta sarannya barangkali di cerita ini punya kesalahan karena aku tahu banyak banget kesalahan yang belum aku tahu. Ditunggu vote dan commentnya terus ikuti KiAn yaaaa.... 💃💃💃
13-10-18
qolintiknov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro