Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 19. Mengungkap Sedikit Rahasia

"Laki-laki merasa terhormat apabila perkataanya dapat dipercayai oleh perempuan. Namun perempuan perlu perbuatan untuk dapat membuat sebuah kepercayaan, bukan sekadar ucapan belaka."
____________________________________

Hari Minggu adalah hari yang tepat untuknya. Luan harus tahu siapa Kilana sebenarnya. Nama ibunya, ayahnya, dan siapa pun anggota keluarganya. Hal ini bukanlah tanpa alasan karena Luan sangat malas membuat aktivitas tambahan yang super ribet. Melainkan kerena mamanya yang mulai menuntut untuk memperkenalkan pacarnya.

Kemarin malam ia cukup terkejut melihat notif Whatsapp dari mamanya. Namun ia cukup kecewa dan sadar diri. Isinya hanyalah "Kurang dua minggu lagi kamu kenalkan pada mama."

Hanya itu, tanpa salam pembuka apalagi salam penutup. Jangankan begitu, mamanya saja tak menyebut namanya, apalagi menanyainya kabar? Terlalu naif Luan tidak apa-apa.

Ia akan menghalalkan segala cara supaya Kilana mau keluar bersamanya. Alasannya jooging, lalu skeeping, atau naik sepeda. Kalau dia nggak mau Luan sendiri harus bertindak, menggeretnya dengan paksa contohnya?

Tepatnya sekarang ia sudah ada di depan rumah Kilana. Naik apa tadi dia ke sini? Naik kaki. Masa' jalan satu kilometer aja nggak kuat? Potong aja burungnya.

"Assalamualaikum, Kilanaaa main yuuuk," teriaknya sedikit kencang. Takutnya Kilana masih membuat peta dunia.

"Waalaikumsallam." Muncullah wajah ibu-ibu yang masih dikategorikan muda. "Sini masuk jangan di depan pagar nanti jodohnya seret loh," candanya sembari membuka pagar untuk Luan.

"Nggak akan Tante soalnya 'kan jodohnya aku jemput sekarang." Grina dan Luan tertawa.

"Nama kamu siapa?" tanyanya mempersilakan Luan untuk duduk. Grina membuka gorden jendela supaya cahaya lebih mudah masuk.

"Luan Gramastya. Anak mama dan papa, bukan anak soleh," jawabnya enteng.

"Ohhh Luan. Kamu ganteng juga, cuma sayangnya Kilana kok nggak anggep kamu teman, ya?"

"Saya memang bukan temannya Kilana Te," tutur Luan menjelaskan.

"Haaah? Terus kamu siapanya Kilana?" Grina makin dibuat bingung oleh pemuda di depannya ini.

"Saya calon imamnya Kilana esok," terusnya disertai tawa membahana. Grina ikut tertawa kecil kemudian ia masuk ke dalam kamar Kilana.

"Lana di dalam ada calon imammu katanya. Dia jemput ke sini mau ajak kamu main." Grina berbicara dengan Kilana yang sedang asyik membaca buku Biologi.

"Calon imam siapa Bu? Kilana nggak ada waktu buat hadepin pasien Menur¹ yang kabur." Kilana mendengkus kesal. Apa-apaan ini! Masih pagi sudah didatangi orang nggak jelas yang ngaku-ngaku calon imam pula! Iya kalo sholatnya bener.
[¹: Salah satu Rumah Sakit Jiwa di Surabaya]

"Mulutmu Lana, udah sana temuin dulu. Ibu izinin kalo mau main asal nggak aneh-aneh."

"Ibu apaan sih siapa juga yang mau izin." Kilana kesal, meskipun begitu ia turun dari ranjangnya untuk menemui si orang yang ngaku-ngaku calon imam. Baru saja ia membuka pintu di hadapannya ralat di kursi tepatnya memang benar ada pasien Menur yang kabur. Ia harus cepat-cepat mengusirnya.

"Pagi Kilana cantik, gimana kabarnya di pagi hari yang cerah ini tapi lebih baik lo senyum biar silau."

"Nggak usah banyak omong, ngapain lo ke sini?!" Dari nadanya Luan tahu Kilana dalam tahap tidak selow.

"Mau ngajak lo jalan-jalan di pagi hari. Yuk daripada lo cuma diem aja di rumah," tawarnya. Kemudian ia mengeluarkan buku kecil berwarna biru dari saku celana treningnya. "Kalo nggak mau nggak papa Na, gue mah ga mau ribet."

"Oke kita keluar." Dengan cepat Kilana melasak ke kamarnya dan segera mengganti bajunya.

"Mau Na keluar sama pasien Menur yang kabur?" Grina tak habis-habis menggoda Kilana.

"Ini kepaksa! Dia pegang buku dari Bang Juan, dan kalo aku nolak dia bakalan baca. Itu nggak boleh terjadi, dia ga boleh tahu tentang kita." Mulut Kilana tak berhenti berkoar sedari tadi. Pasalnya Luan selalu tahu apa saja kelemahannya, itu menjengkelkan.

"Lambat laun dia pasti tahu. Lagian ibu liat dia anaknya baik kok. Wajahnya keliatan--"

"Ngeselin," timpalnya cepat.

"Kamu itu, ya! Awas aja nanti kalo ibu denger ada yang lagi jatuh cinta." Grina mengerling sekilas dan menghilang tertelan pintu.

Kilana mendengar ejekan ibunya tak terima bukan main. Ia mencak-mencak jijik. Sangat tak terbayangkan jika ia bisa jatuh hati pada cowok tengil.

Setelah selesai mengucir rambutnya serta tak lupa untuk membawa ponsel Kilana langsung keluar dan menemui Luan yang terduduk manis.

Luan melihat kehadiran Kilana langsung terlonjak senang. Ternyata semudah itu mengajak Kilana keluar, hanya bermodalkan buku.

"Lo cantik Na kalo gini," puji Luan.

"Makasih, gue cewek jadi wajar cantik. Kalo lo cantik baru gue kaget." Kilana mana mempan terkena omongan enteng lelaki. Ia harus membalas lebih serkas dan membuat dia diam.

"Bener juga sih," ujar Luan terkesan polos. Ia mengikuti Kilana yang berjalan menuju pintu.

"Bu Kilana keluar, Assalamualaikum."

"Calon iman Kilana juga camer, Assalamualaikum," salamnya bergurau.

"Waalaikumsallam," sahutan kencang terdengar dari belakang.

Di saat mereka asyik jooging Luan tak berhenti berceloteh untuk hal yang kurang penting. Seperti halnya mengapa gerbang sekolah berwarna hijau yang pasalnya nama sekolahnya Langit Biru. Dan Kilana sebagai satu-satunya orang yang berada di sebelah Luan hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan karena apabila tidak maka orang-orang akan berpikir Luan benar-benar pasien Menur yang kabur.

"Nah gue tahu lo capek kan?" duga Luan mengada-ngada.

"Gak."

"Jangan sungkan. Kita istirahat dulu, makan, minum, sambil ngobrol santai." Sengaja Luan berujar begitu. Inilah maksud kedatangannya dan mengajak Kilana, guna mengorek informasi tentang Kilana dan memberitahunya perihal mamanya.

"Gue mau langsung pulang aja," tolak Kilana mentah-mentah.

"Gue orangnya ga mau ribet Na. Cukup...."

"Oke duduk di sana." Kilana menuding bangku kosong yang tak jauh dari posisi mereka berdiri. Menyaksikan ekspresi Kilana saat ini benar-benar lucu, Luan sangat menikmatinya.

"Lo jaga bangkunya dulu Na gue mau beli sesuatu buat kita," pamit Luan. Sedangkan Kilana berjalan mendekati bangku dengan gerutuan yang tak kunjung selesai. Ia ingin mengumpat, sangat mudah sekali Luan membudaknya. Ia harus mengambil bukunya kembali tak peduli dengan risiko yang ada. Demi buku dan demi rahasianya.

Tak lama kemumculan Luan kembali hadir. Dia duduk di sebelah Kilana dengan menciptakan sejengkal jarak. Ia masih tahu aturan kalo mau deket cewek galak harus jaga jarak dulu sebelum ditonjok. Yah taati saja lah selama ia masih bisa bersama.

"Ini buat lo, makan aja gratis tanpa dipungut biaya ongkir, khusus Kilana." Luan memberikan sebotol air mineral dan sebuah roti isi cokelat.

"Kenapa roti?" tanyanya memerima.

"Masih pagi juga Na roti bisa ganjel. Ntar di rumah baru makan, atau mau makan di rumah gue? Deket dari sini," tawar Luan.

"Gak usah, roti cukup kok," ujarnya sembari membuka bungkus roti. Mulai memakannya dengan nikmat.

"Minta dikit dong Na yang cokelat, gue nanas nih." Luan sangat ngiler melihat ada aroma cokelat menguar. Siapa sih yang nggak doyan cokelat?

"Salah lo sendiri." Kilana kembali makan tanpa peduli reaksi Luan.

"Kurang dua minggu lagi lo harus mau dikenalin ke ortu gue Na. Mama gue yang minta."

"Heem trus?"

"Selama kita deket, gue anter jemput lo, gue ke kelas lo, gue coba buat bikin lo terbuka ke gue sulit benget sih. Ayolah Na, gimana ortu gue percaya kalo kita pacaran sedangkan gue cuma tahu nama lo doang."

"Itu risiko lo kenapa milih gue. Cari sendiri lah." Kilana terus memakan rotinya tanpa peduli. "Selain nama gak ada yang lo tahu dari gue?" lanjutnya penasaran.

"Ada. Lo suka makan, tadi ibu lo, rumah lo di sana, Irada sahabat lo, kelas sebelas IPA dua, trus denger-denger ayah lo gak di sini, bener?"

Kilana sedikit terkejut saat Luan mengetahui perihal ayahnya. Meski ada embel-embel denger-denger. Jadi sudah seluas itukah berita tentang ayahnya?

"Tahu dari mana?" tanyanya balik.

"Gama sama Nezel." Kilana tak menyahut kembali.

"Dan nama panggilan lo dulu itu Lana kan?" pancingnya.

Kilana terdiam lama. Masih tergugu saat bayangan masa kecilnga lewat, buru-buru ia tersadar.

"Irada yang bilang? Kan!" tebak Kilana. Emosinya memburu, berapa kali Kilana harus bilang, jangan kasih tahu siapa pun perihal dirinya. Mengapa Irada tak mau diam.

"Iya, tapi gue yang minta. Na gue mohon apa susahnya sih buat lo terbuka sama gue?" tanyanya lesu. Ia bukan menyerah, hanya kecewa kenapa Kilana tak semudah dililuhkan seperti pikirannya.

"Karena lo laki-laki!" ujarnya keras. Amarahnya mulai menampak, matanya memerah, dan tangannya terkepal kuat. Ia muak, kenapa orang-orang tak bisa berhenti mencampuri urusannya. Selama itu pula ia berusaha mengubur lukanya, kenapa orang-orang tak bisa berhenti dan mengerti dirinya? Mereka terlalu memaksa, mengerti dengan tujuan yang remeh. Dan selama itu Kilana harus merasakan sakit yang tak kunjung pulih.

"Kenapa kalo gue laki-laki?" tanyanya lirih.

"Gue. Benci. Laki-laki." Penuh penekanan Kilana berucap. Supaya Luan tahu dan bila perlu dunia harus tahu.

Luan ternganga, baru kali ini ia mendengar seorang cewek membenci laki-laki, yang padahal laki-laki adalah pasangan hidupnya.

"Kenapa?" tanya Luan kembali.

"Kerena mereka sok baik tahu nggak!"

Luan menelan salvianya susah. Ia baru bisa menyimpulkan bahwa ada seorang laki-laki telah memberi Kilana luka dalam hingga ia membenci semua kaum Adam.

"Menurut lo gue sama dengan orang di masa lalu lo itu Na?"

"Mungkin. Semua mental cowok kayak gitu 'kan? Itu sebabnya gue nggak mau lo tahu gue."

"Kalo semua mental cowok sama, pasti semua cewek pasti tersakiti Na. Dan ga ada pasangan suami istri yang langgeng sampai tua. Pasti baru kenal pisah lagi. Lalu akan terjadi pasangan cewek dengan cewek dan cowok dengan cowok supaya nggak ada yang saling menyakiti. Gitu maksud lo?"

Kilana tergugu mendengarkan tiap kata yang Luan ucap. Ia sama sekali tak berpikir sejauh itu. Dan baru kali ini ia tak mau berbebat. Luan benar, semua lelaki tak sejahat yang ia pikirkan. Tak semua lelaki sama seperti ayahnya dan akan menyakiti perempuan seperti ibunya.

Tak mau terus bertarung dengan pikirannya Kilana memutuskan bangkit. "Gue mau pulang An," ucapnya dan dijawab Luan dengan anggukan. Mereka berjalan menyelusuri jalanan menuju rumah Kilana.

Sesampainya di depan rumah Kilana menatap Luan sejenak. "Hati-hati." Kemudian Kilana masuk menginggalkan Luan yang masih terdiam.

Lalu mencul Grina yang menyembul di balik pagar. "Luan."

"Iya Te?" jawab Luan.

"Tante minta nomor kamu boleh?"

"Mending Tante minta ke Kilana aja," sarannya sambil tersenyum tengil.

"Emang Kilana punya? Orang dia aja ga anggep temen waktu itu." Grina bertanya kembali.

"Dia mah malu-malu kucing Tan. Pertama kali ketemu saya aja dia udah berani minta nomor pensel saya," ungkapnya yang membalikkan fakta. Padahal Luan yang dengan sukarela memberikan nomornya untuk Kilana. Sebagai pengganti dari dia menjatuhkan martabak milik Kilana.

"Oke deh nanti saya minta."

"Tan," panggil Luan.

"Bilangin ke Kilana. Saya orangnya baik, nggak akan sakiti orang. Apalagi sama perempuan yang selalu saya hargai. Tolong buat dia percaya sama saya dan saya akan coba pertahankan rasa percaya itu. Kalau saya membuat rasa percaya itu runtuh jadi runtuh juga harga diri saya. Assalamualaikum." Sejurus kemudian Luan pergi dari hadapan Grina.

Masih terpaku menatap kepergian Luan yang kian mengecil. "Semoga kamu memang ditakdirkan dengan Kilana. Dan saya sendiri yakin, ucapanmu nggak akan menjadi omong kosong. Mungkin kamu memang lelaki yang pantas membahagian Kilana, sebagai pengganti Juan dari Tuhan."

*****

Alhamdulillah saya bisa sempat up disaat waktu yang mencekik. Saya benar-benar minta maaf karena tidak dapat serajin dulu saat up. Juga apabila ketika saya menulis cerita, menulis quote, atau pun menulis note ini ada kata yang tidak berkenan di hati kalian saya benar-benar minta maaf. Baik yang sengaja maupun tidak.

Saya ingin hati ini plong karena sudah meminta maaf walaupun saya tidak tahu apa jawaban kalian. Semoga dengan kata-kata saya di atas bisa membuat saya sedikit tenang. Tahu kan dalam mengejar kesuksesan itu ada aja halangannya, dan saya tidak mau terhalang oleh hal bodoh yang saya lakukan.

Saya mohon doanya saja karena saya sedang mengalami masa yaah begitulah. Belajar dan belajar. USBN telah dekat, dan saya mau fokus supaya tidak terpecah pikiran saya. Terima kasih untuk yang sudah berbaik hati memaafkan saya dan mendoakan saya. Semoga hal itu berbalik kepada kalian. Selamat berjumpa pada part berikutnya yang saya tidak tahu kapan. Bye.

23-03-10
qolintiknov

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro