Part 17. Siapa Lana?
"Ketika dengan perlahan rasa penasaran akan bermetamorfosis menjadi rasa sayang, kita sebagai manusia pantaskan mengelak ketika takdir mulai menguasai?"
___________________________________
Jangan pernah remehkan ucapan lelaki jika tak mau menahan muka memerah. Itulah yang Luan anut untuk membungkam mulut penuh kuman yang perempuan punya, supaya tidak membuka dan menimbulkan penyakit.
Niat awalnya memang membuka buku kecil milik Kilana yang nama lainnya atau kerennya diary. Dia memang melakukannya, dan sudah berlalu dari beberapa jam yang lalu. Tapi ada beberapa sudut lain mungkin hatinya yang mencegah untuk membuka diary itu. Namun ia sudah berniat sejak awal untuk membukanya, paling sedikit selembar. Jadi ia tidak ada urusan lagi dengan hatinya yang bertolak belakang dengan tangannya yang segera membuka satu lembar.
"Asal gak banyak gapapa kali," katanya pada diri sendiri.
Terbukalah pada lembar pertama yang kosong. Apa-apaan! Kalau begini jadinya ia harus membuka lembar selanjutnya, yang dalam arti dua lembar telah terbalik dan terlihat. Jangan sampai kosong lagi, Luan akan membakar buku ini sekarang juga.
Pikirannya mulai teringat tentang ucapannya. Bahwa ia berjanji akan membuka jika Kilana membantah. Tapi kemarin Kilana hanya menolak ajakannya untuk pulang terlalu sore yang memang awalnya kemauannya dia sendiri. Jadi bila dipikir-pikir ada hak Luan untuk membuka walau selembar atau hanya bagian belakang cover?
Turuti saja apa maunya. Luan benar-benar telah membukanya beberapa waktu lalu. Jadi ini terlalu tanggung untuk ditutup begitu saja karena sebuah janji yang Kilana ingkari.
Terpampang dengan besar pada lembar kedua. Lana. Hanya kata itu yang tertulis, disertai bebetapa riasan memperramai seperti bintang terkikis atmosfer, love yang melayang hingga menghancurkan bentuk, bunga berkelopak hampir lepas, dan tak lupa balon-balon berterbangan yang seakan akan lepas landas di udara mencari kebebasan supaya tak terkurung lembar kusut.
Siapa Lana? Luan sepertinya tidak mengenalinya atau tidak mengenalinya. Lana apa sangkut pautnya dengan Kilana?
"Kilana? Lana? Namanya kayak dipisah. Apa Lana adalah Kilana yang sengaja dibedakan? Atau kembaran?"
Luan semakin bingung dengan nama tersebut. Hanya pada awal diary ia disuguhkan sebuah nama yang hanya terdiri dari empat huruf sudah membuatnya berpikir logis. Apalagi ia membuka ke halaman selanjutnya? Bisa mati terkapar dengan otak tercecer? Atau Luan membakarnya sebelum otaknya tercecer.
Sengaja ia membuka halaman selanjutnya. Biasanya seseorang menuliskan sebuah namanya di akhir tulisannya, dan di sana memang ada. Awalnya masih dengan nama Lana, namun pada halaman hampir bagian akhir Luan dibuat akan membakarnya ketika namanya berganti menjadi Kilana. Simpulan tentu dapat ditarik dengan makna yang menggantung.
"Lana adalah Kilana," simpul Luan sembari menutupnya, "lalu kenapa diubah padahal itu artinya sama? Bebelit amat nih orang. Irada pasti tahu."
⏱⏱⏱
Entah hal apa yang membuat Luan menjadi pribadi yang lain. Dari hal ia berani membuat keputusan, menanggung risikonya, dan mau bersusah-payah mencampuri uruusan lain.
Sengaja ia menunggu di bibir kantin, menunggu seseorang untuk mengorek sebuah informasi. Meski tidak yakin akan berhasil, ia tetap mencoba.
Setelah yang ditunggu datang ia sengaja memajukan sedikit badannya yang entah dengan tujuan apa.
"Hai Na, Ra." Luan melambai sekilas. Namun yang didapat hanyalah lirikan oleh Kilana dan senyum cerah yang selalu Irada pancarkan. Tidak salah Nazel menyukainya.
"Ra gue mau ngomong sesuatu sama lo. Kita berdua." Luan sengaja menekan kata akhir tersebut. Melirik Kilana barangkali ia menangkap sesuatu ekspresi, dan berharap ada raut muka cemburu. Lagi-lagi Luan hanya mendapat respons lirikan mata yang tak bermakna secara nyata. Tak ada tanda-tanda sebuah rasa kecemburuan yang terpancar.
"Boleh aja. Tapi soal?" Irada memajukan tubuhnya, sengaja lebih dekat dengan Luan.
"Nazel," jawabnya cepat dan pendek. "Juga Kilana," lanjutnya dalam hati.
"Gak mungkin gue nolak. Jadi, mau meja yang mana?" Irada mundur perlahan. Mencondongkan sedikit tubuhnya ke kanan karena terhalang oleh bahu Luan. Matanya berkeliar menatap setiap inci meja yang kosong.
"Di sana." Telunjuknya mengarah ke arah yang cukup jauh.
"Terus gue?" Suara seseorang yang Luan tunggu sebelumnya.
"Lain kali aja kalo lo mau semeja lagi sama gue." Luan mengerlingkan mata untuk membuat semburat merah muncul di pipi Kilana, selalu itu tak akan terjadi. Pandangannya beralih pada Irada, dan ia menggiringnya menuju meja yang tadi ditunjuk.
Kini mereka duduk bersebrangan, membuat pandangan mereka langsung bertemu sekali tatap tanpa sengaja.
"Gue mau tanya tentang Kilana," ucapnya mengawali. Sekali berucap mampu membuat Irada bereaksi, ia lebih menegakkan tubuhnya dan tangannya menopang dagu dengan tatapan lurus.
"Katanya tadi Nazel. Kok malah ke Kilana?"
"Nazel terakhir aja gampang." Luan mengibaskan tangan tak peduli karena tujuan utamanya adalah menguak info tentang Kilana.
"Gue sama Kilana aja kalo gitu." Irada tak lagi bertopang dagu. Kakinya sedikit berhentak.
"Nazel suka kacang," ucap Luan untuk menahan langkah Irada yang siap melangkah.
"Kacang goreng, kering, apa rebus?" serbunya. Kini ia kembali duduk dan lebih semangat ketika berkata.
"Pokoknya kacang. Mau bermerk atau nggak gue mana peduli." Lagi Luan mengibaskan tangan ke udara. "Jadi, lo kenal Kilana berapa lama?" tanyanya langsung tanpa jeda.
Irada mulai meopang dagu. Matanya menyipit, dahinya berkerut. Kemudian ia mulai memelintir segelintir rambutnya, tak lagi bertopang dagu. "SMP."
"Lo tahu gue ambil bukunya?" Irada menangguk mengiyakan.
"Dan lo tahu isinya?"
Irada mengangkat kedua bahunya. "Dia udah cerita, jadi ngapain gue harus baca?" tanyanya balik.
"Lana. Lo tahu itu apa 'kan?"
Irada hampir saja terhuyung ke belakang jika saja ia tak dapat menyeimbangi berat badannya. Mengusap lengannya yang tak menggigil. Matanya mulai berkeliaran. "Lo udah baca?" tanyanya dengan mata yang enggan menatap. Gila! Bahkan ia dan Kilana tak berpikir bila Luan berani membuka apalagi membacanya.
"Sebagian kecil. Dan itu cuma bagian nama pena di akhir."
Irada memincingkan matanya. "Sebenernya lo nggak berhak." Pandangan Irada menyapu mata Luan kali ini. "Sama sekali," lanjutnya dengan nada yang berbeda, terkesan menyedihkan.
"Kalo lo udah tahu, apa yang lo perbuat?" Sekarang nadanya berbeda lagi, antara putus asa atau meremehkan. Mungkin keduanya.
"Membuatnya lebih baik, sebisa mungkin," jawab Luan mantap. Entah dari mana kata itu berasal, terlontar dengan mulus tanpa berpikir. Seakan-akan ia sudah merencanakan berucap sedemikian.
"Lo? Yakin bisa?" Suara Irada berubah lempeng. Luan berkerut, nada Irada bisa berubah dalam tempo yang singkat.
Luan tidak menjawab. Ia hanya menatap mata Irada yang kini berpaling. "Sekarang mungkin akan yakin, dulu gue gitu. Tapi nyatanya, sebisa mungkin, gue nggak akan bisa." Irada mendesah berat seakan-akan telah melakukan aktivitas berat, "Bahkan Kilana sendiri nggak bisa."
Keheningan seakan menyelimuti mereka. Padahal suasana kantin di siang hari tidak pernah sepi.
"Lana. Sebutan dari keluarganya ketika Kilana masih kecil, tepatnya panggilan dari ayahnya. Tapi ketika suatu hal yang besar terjadi hingga Kilana benci panggilan itu, kecuali dari keluarganya sendiri. Kilana teramat membenci Lana, sapaan akrabnnya ketika kecil." Irada mengucapkan kata dengan makna yang sama, bahwa itu sebuah garis bawah yang Luan harus tahu dan mematuhinya.
"Namanya lucu. " Irada tertawa, terkesan hambar karena sudut matanya mengilap dan hidungnya memerah. "Gue suka, mau sebut Lana juga ke dia. Tapi gue tahu posisi, gue sahabatnya, hanya sebatas itu. Jadi gue nggak ada hak. Gue harap lo tahu maksud gue." Irada menatap Luan penuh kesedihan. Mengartikan bahwa kisah Kilana adalah kisahnya juga.
"Apa ini ada sangkut pautnya dengan ayah Kilana yang kabarnya tak pasti?" Luan bertanya dengan ragu. Ia hanya mendengar info itu, entah gosip atau fakta. Jadi ia berniat bertanya, memastikan sebenarnya. Bahwa ayah Kilana entah hilang ke mana. Pergi? Atau meninggal?
Irada dengan cepat berdiri. "Waktu habis, gue lapar. Sampai jumpa besok dan makasih tentang Nazel." Irada berbalik, berjalan menjauh dan hilang ditelah kerumunan manusia. Luan hanya menatapnya dalam diam. Mengamati sikap Irada yang tiba-tiba berubah ketika akan pergi. Sikapnya menggambarkan bahwa mereka tak berucap sesuatu hal yang cukup serius. Padahal Luan tahu dan menangkap dengan jelas, bagaimana sorot mata Irada mengatakan bahwa dia terkepung kesedihan yang tiada tandingnya. Juga, mungkin kesedihan itu akan terpancar dengan jelas di mata Kilana sendiri.
Setelah sekian lama ia berdiam diri tanpa melakukan apa pun, Luan memilih berdiri dan berniat pergi dari kantin.
Namun di penghujung bangku yang ia tadi duduki Luan masih berdiri terpaku di sana karena kerumunan SMA Langit Biru yang cukup kuat.
Setelah dirasa cukup sepi Luan mulai menata langkah untuk melaju. Lagi-lagi ada saja halangan untuk ia keluar dari kantin.
Tubuhnya terhuyung cukup kuat hingga langkahnya harus mundur lima langlah dengan lebar-lebar. Lima langkah cukup membuatnya kesal, emosinya tersulut.
Sesosok gadis dengan seragam yang kaku menghampirinya. Luan menggeram jengkel ketika dia makin mendekat.
"Heh liat itu pake mata, mana ada orang liat pake hidung!" cerca Luan langsung tanpa berpikir. Tubuhnya langsung menegak ketika berkata, seakan mendukung emosinya.
"Maaf, tadi gue kedorong dari belakang. Lagian lo cuma jatuh, mana jatuhnya di bangku. Cowok kok alay," balas gadis di depan Luan. Bahkan sekarang ia berkacak pinggang, manandakan ia kesal atau marah, tapi mengapa kondisi berbalik?
Luan membelalak tak terima. Ia menatap name tag yang terdapat di bajunya. Veniza Tamia.
"Lo anak baru itu kan? Yang sekelas sama gue?" Luan bertanya.
"Kalo iya kenapa?!" bentak Veniza.
"Biasah dong! Anak baru aja belagu lo, mau jadi apa? Nama lo keren sih cocok sama wajahnya." Luan menatap muka Veniza yang sedikit memerah, "tapi percuma kalo songong," ejek Luan tak berperasaan.
"Heh cowok kurang ajar banget lo. Sok kegantengan!" hina Veniza semakin memburu.
"Gue emang ganteng kali," jawab Luan. Ia merapikan rambutnya yang tidak berantakan dan membenahkan kerah seragamnya supaya rapi. Maksudnya hanyalah menampakkan pada gadis sombong di depannya bahwa dia punya aura kegantengan tiada tandingnya.
"Idih."
"Idih idih." Luan menirukan nada bicaranya. "Awas kalo lo suka, gue nggak akan tanggung jawab." Luan mendekat dan menatap mata Veniza dalam-dalam. Entah apa maksudnya, mungkin ia sedang menghipnotis Veniza dengan aura kegantengan yang ia punya.
Lalu Luan benar-benar hilang bergabung dengan kerumunan yang lain. Meninggalkan Veniza dengan mata tak berkedip. Ia tersadar dan merapikan seragamnya yang tak kusut.
Tak sadar ia berucap. "Gue harus dapentin dia," ujarnya pada diri sendiri.
"Lo bisa bekerja sama dengan gue. Kita singkirkan Kilana dari kehidupannya, gimana?" Veniza menoleh dan mendapati seorang dengan berkucir kuda menatapnya dengan senyum sinis. Di sebelahnya ada dua orang dengan ekspresi yang sama.
"Gue Livana. Ratu di sekolah Langit Biru."
*****
Gimana, kalian puas udah tahu kenapa ada beberapa orang yang manggil Lana. Hmm ternyata Irada tahu, tapi ada teka-teki lagi dari sini yang belum Luan dapatkan. Kira-kira apa, ya?
Daaan ternyara Veniza muncul lagi nih haha denga tokoh yang cukup ikut andil dalam berjalannya cerita ini. Semoga kalian nggak bosen, ya, dengan perjalanan kisah mereka. Kan masih banyak teka-teki samar yang belum terselesaikan.
Oh, iya, aku mau tanya. Di sekolah kalian ada nggak sih kayak cewek paling populer yang anggep dirinya ratu sekolah? Menurut kalian gimana sih itu?
Nah sekian dari part ini, semoga kalian tetap setia membaca FTS. Juga jangan lupa mohon bantuannya untuk membagikan cerita ini kepada teman, kerabat, pacar, mantan, doi, sahabat, dan siapa pun yang kalian kenal. Jangan lupa dukungan vote dan commentnya. Byeee.
24-02-19
qolintiknov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro