Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10. Resmi Pacar Pura-Pura

"Meski masih pura-pura hari spesial ini juga perlu diingat, barangkali nanti bisa jadi beneran. Semua berawal dari mimpi 'kan?"
____________________________________

Hari Senin setelah hari dimana Ulangan Bulanan selesai adalah hari yang ditunggu-tunggu. Ada yang menunggu berharap nilainya naik, berharap nilainya tetap, atau berharap nilainya tidak turun. Begitulah sudut pandang tiap siswa.

Kilana sengaja berangkat lebih cepat lima menit dari jam biasanya ia berangkat, meskipun tidak terlalu cepat Kilana masih melihat sekolah kosong. Seperti saat ini yang entahlah tidak seperti biasanya, di mading yang jumlahnya lima sudah penuh dihinggapi oleh para manusia.

"Ada apaan sih? Biasanya kalo ada pengumuman kayak gini mereka nggak akan dateng sepagi ini." Kilana mempercepat langkahnya supaya dapat mendekati mading dengan segera sebelum ada orang lain memenuhi mading.

Tepat di mading nomor 2 Kilana masih mencoba mengintip dari sela-sela yang ada walaupun minim sekali harapan ia bisa melihat dengan jelas peringkatnya.

"Yang udah minggir dong gantian," ucap Kilana memohon. Pasalnya kaki Kilana sudah letih karena berjinjit terus menerus akibat tubuhnya yang kecil.

Selesai mengucapkan kata itu semua pasang mata yang sibuk melihat kertas peringkat berpaling menatap Kilana. Kilana yang ditatap begitu tentu saja risih tapi mungkin ini ada yang lebih penting dari sekadar itu, yaitu mengapa mereka?

"Why?" Kilana menunggu jawaban dari salah satu dari mereka namun tak ada satu pun anak yang mau menjawab pertanyaannya.

"Sumpah gue kaget, nggak nyangka! Kok bisa?" Suara seorang siswi berteriak histeris. Hal itulah membuat tanda tanya Kilana semakin banyak dan kuat. Dengan segera ia mencoba menyelip dari tubuh ke tubuh hingga tibalah ia di bagian depan.

Kilana bergeser ke kiri sedikit untuk melihat peringkatnya. Di lembar 1 tertera peringkat 1-20 yang predikatnya siswa-siswi pintar. Dengan cepat ia meneluluri dari nomor satu yang masih dipegang Digan, kemudian Livana hingga sampailah pada peringkat ke-10.

Tunggu! Mata Kilana sungguh normal kan? Tapi mengapa namannya tidak tertera di peringkat 10? Justru yang ada adalah nama Luan Gramastya. Keringat dingin mulai bermunculan dari pori-pori kulitnya seiring dengan keberanian Kilana menengok ke peringkat 11. Di sanalah nama lengkapnya tertera, Kilana Resilda.

Kaki Kilana mulai terasa lemas. Harapannya pupus saar itu juga. Mimpinya seakan runtuh. Semangatnya perlahan redup. Tak tahan dengan kondisi ini ia memilih keluar dari gerombolan dan berjalan menuju kelasnya.

"Kok bisa sih? Bodoh lo Na! Bodoh! Masa' ngalahin Luan aja nggak bisa. Mau jadi apa lo!" Kilana berulangkali memukul kepalanya dengan tangannya sendiri. Entah apa yang ia lakukan dengan tujuan apa. Dirinya hanya perlu pelampiasan.

Fokus Kilana hilang hingga mengakibatkan jidatnya membentur tubuh seseorang. Ia mendongak dan saat itu pula dirasakannya amarahnya tiba-tiba memuncak.

"Puas lo? Puas udah bikin peringkat gue turun cuma gara-gara hal bodoh yang sama sekali nggak menguntungkan gue? Puas lo hah!" Kilana berteriak di koridor seangkatannya hingga muncullah beberapa orang sedang asyik mengintip drama dadakan pagi hari yang tak pernah ia saksikan sebelumnya.

"Maksud lo apa? Gue bisa ngalahin lo?" Luan bertanya bingung.

"Nggak usah sok polos deh! Bilang aja maksud asli lo apa nggak udah pake alesan pacar pur ... Mmmppphhhppp."

"Lo diem! Atau gue bisa laluin hal lain yang lebih dari ini." Kemudian Luan melepaskan tangannya dari mulut Kilana. Kilana berdecih.

"Nggak usah sok lo, anceman lo nggak mempan sama gue."

Luan tertawa mengejek kemudain salah satu sudut mulutnya tertarik ke atas.

"Hei kalian inget taruhan gue minggu lalu? Sekarang perjuangan gue nggak sia-sia. Di tangg 01 Desember 2018 pukul 06.21 WIB Kilana udah jadi pacar gue. Jadi jangan ada yang macem-macem sama dia."

Semua penonton gratisan besorak histeris, antara senang, kaget, sedih, atau iri. Kemudian dilanjut dengan tepuk tangan mereka yang membuat senyum kemenangan Luan terbit. Sedangkan Kilana menatap tajam Luan, giginya bergemelatuk, dan tangannya mengapal kuat.

Ia bersiap mengayunkan tinjunya untuk wajah sombong Luan. Saat tangannya sudah melayang dalam hitungan detik saja ia sudah yakin tinjunya akan menghantam kuat muka Luan jika saja tak ada suara yang mengintrupsi untuk mengehentikan perbuatannya.

"Kilana lo mau ngapain!" Suara Irada yang cetar sanggup menyelamatkan muka Luan dari luka yang membiru.

Kilana menurunkan tangannya dari muka Luan. "Lo boleh maksa masuk ke hidup gue. Tapi jangan harap lo bisa tahu gue sebenarnya!" Setelah mengucapkan kata tersebut Kilana berbalik dengan amarah yang masih membara dan menggandeng tangan Irada menuju kelas.

Di dalam kelas Kilana tidak dapat mengontrol emosinya. Ia melempar tasnya ke arah mejanya dengan keras, penuh emosi, dan tanpa perhitungan. Kemudian ia duduk namun bahunya tak berhenti naik turun.

"Udahlah Na gapapa, ini cuma sandiwara aja kok. Lagian juga Luan itu cowok yang nggak bakal aneh-aneh."

"Sandiwara menurut kita, tapi nggak menurut orang lain. Dan apa lo bilang? Dia nggak bakal aneh-aneh? Nggak salah tuh, terus apa artinya dia tiap hari telat?" Kilana mendengus kasar. Menenggelamkan mukanya di balik lipatan kedua tangannya yang bertopang di meja.

"Lo untung juga Na, Luan ganteng lo." Irada berujar sembari tersenyum menggoda.

"Otak lo apa aja, iya, kalo berkaitan sama orang ganteng." Irada terbahak mendengar pernyataan Kilana yang seratus persen benar.

Jam keempat telah berakhir dan tibalah waktu istirahat yang sangat dinantikan tiap pelajar. Termasuk Kilana, gadis rajin yang juga pelajar. Tak dapat dipungkiri, ia juga sangat menantikan jam istirahat untuk mengisi energi atau hanya merefresh pikiran.

"Kantin yuk Na!" Irada berdiri dari tempat duduknya.

"Nggak deh, lo aja. Gue bawa bekal. Atau mau makan bareng?" tawar Kilana.

Irada menggeleng kemudian ia melenggang keluar kelas dengan entengnya tanpa bertanya lagi. Sepergian Irada, Kilana mengambil kotak bekalnya dari loker. Membukanya dan mulai memakan nasi bererta oseng-oseng tempe masakan Grina.

Baru dua suapan masuk dalam mulut ketenangannya terusik dengan kedatangan seseorang yang kini berdiam diri di samping mejanya dengan kedua tangannya yang bertumpu pada meja yang dibawahnya ada buku diary milik Kilana. Ia menoleh ke kiri dan sedikit mendongak supaya bisa melihat siapa gerangan yang berani-beraninya mengusik ketenangan Kilana.

"Lo lagi." Kilana menatap malas. Hari ini ia sungguh muak. Sudah peringkatnya turun, setiap ada kesempatan waktu selalu dia yang ada di hadapannya. Mengapa dia rajin sekali membuat Kilana semakin kesal?

"Kenapa? Seharusnya lo seneng dong pacar ganteng lo itu ada di sini menemani hari-hari lo tanpa bosan." Luan mengerling genit. Kini ia sudah duduk di meja seberang kiri Kilana yang entah siapa penghuninya.

"Najis. Gue justru seneng kalo lo nggak dateng ke kelas gue." Nada bicaranya terus saja ketus, hal inilah yang Luan incar dan dinanti. Kilana memang spesies yang berbeda bagi Luan.

Luan mengangguk untuk mengiyakan penolakan Kilana, maksudnya supaya dia senang. "Lo nggak ada niat mau nawarin bekal lo itu buat gue?" tanya Luan.

Kilana menatap bekalnya dan Luan secara bergantian. "Mau?"

Luan mengangguk semangat.

"Masak sendiri!" Kilana menjukurkan lidahnya tanda mengejek dan mulai melanjutkan acara makan siangnya tanpa memedulikan tatapan Luan.

"Ohhh, jadi lo pelit sama gue." Luan mengangguk penuh arti. Dalam hitungan persekian detik disambarlah kotak makan Kilana dengan cepat dan dibawanya keluar kelas dengan kaki cepat. Jangan mengira Luan akan setega itu memakan jatah makanan Kilana. Luan hanya ingin iseng saja, ingin melihat kekesalan Kilana kembali walaupun ia sudah melihatnya berkali-kali yang seharusnya ia bosan.

"Luwaaak balikin bekal gueee!" Suara Kilana menggema dalam kelas. Ia tak membuang waktu untuk memberikan Luan kesempatan untuk lolos dari pandangannya apalagi hukumannya. Ia terlanjur kesal hari ini.

Walaupun langkahnya tidak bisa menyamai langkah Luan, Kilana tak akan pernah menyerah karena kata menyerah masih asing di kamus hidupnya dan terus asing.

Di sebuah lorong yang Luan lewati Kilana melihat seorang siswi terkejut dengan kedatangan Luan apalagi dengan kondisinya yang berlari. Ia berdecak kesal karena sampahnya yang ia sapu harus berserakan karena ditendang Luan. Sebuah ide cemerlang muncul bebas di otaknya saat melihat sapu yang dipegang siswi itu.

"Pinjem sapunya bentar, ntar gue kambaliin." Tanpa menunggu persetujuan siswi tersebut Kilana segera menyambar sapu yang dipegangnya yang kini telah ada digenggamannya. Sapu itu sedikit terangkat untuk bersiap memukul Luan atau memiarkan sapu ini melayang bebas bagai tak terikat gravitasi. Itu ide cemerlang.

Tanpa buang waktu lagi Kilana melemparkan sapu tersebut ke arah Luan yang masih berlari dengan membawa bekal siangnya.

Takkk

Suara sapu jatuh membuat pekikan kegirangan Kilana pecah, apalagi ditambah dengan melihat secara langsung bahwa Luan kini tengah mengelus kepalanya yang sehabis tertimpuk sapu terbang ala Kilana.

Ia mendekat dan mengambil bekalnya secara paksa dari tangan Luan. Ia menatap Luan prihatin kemudian beralih pada kotak bekalnya. Dibukanya kotak bekal tersebut dan isinya tidak berbentuk lagi alias berantakan. Percuma dong gue kejar dia, batinnya kesal.

"Na tolongin kek, sekiranya lo punya jiwa manusiawi sama pacar lo."

"Idih ogah salah lo sendiri." Kilana diam-diam mengulum senyum karena sudah berhasil membuat Luan kesakitan. Hatinya sedikit lega karena berhasil membuat Luan setidaknya jera mengerjainya.

"Hei...."

Luan menoleh ke belakang dan nampaklah Pak Nayo sedang berjalan mendekatinya dan Kilana. Ngapain tuh orang ke sini," mulut Luan mulai berkomat-kamit, semoga saja ia tak kena hukuman karena baginya ia tak berbuat suatu hal yang nakal.

"Hai Pak Nayo, Pak Nayo. Dia guru ramah. Yang ganteng, baik hati, dan selalu ceria. Indahnya hari ini mari bergembiraaa!" Luan bertepuk tangan meriah sendiri. Sedangkan Kilana melongo dibuatnya.

"Kilana ngapain kamu di sini sama bocah nakal?" Pak Nayo menatap keduanya curiga. Jangan-jangan ada hal lain yang membuat mereka akrab. Kasihan Kilana harus terjerat Luan, pikir Pak Nayo.

"Pak jangan gitu dong! Jangan pisahkan kami." Luan mulai bangkit dan sifat aslinya keluar yaitu mendamatisir keadaan. "Kami tidak salah Pak. Biarkan Kilana pacar saya menemani hidup saya," lanjutnya sembari menangis sesenggukan, palsu tentunya.

Kilana memasang sunyum palsu tanda ingin sekali menyangkal bahwa ia adalah pacarnya. Lalu Pak Nayo yang sekarang dibuat melongo dengan ucapan Luan.

"Benar Kilana?"

Kilana yang ditanya hanya diam, bingung menjawab apa. Hingga ia memutuskan pergi dari sana tanpa pamit pada keduanya.

"Nah nah lihat Luan. Kilana pacar kamu aja pergi gak mau jawab pertanyaan bapak. Bohong kamu yaaa?" Pak Nayo menuding Luan sebagai pembohong tapi Luan merasa tak rela dan menggelang.

"Nggak Pak suer. Kilana tuh pacar saya."

"Halah. Ngapain kamu pacarin Kilana? Kayak nggak ada stok cewek lain aja." Pak Nayo menatap diri Luan remeh.

"Ya, kan, saya mau cari istri yang shalihah bagi anak-anak saya. Jadi cocok dong saya yang shalih dan Kilana yang shalihah." Luan tersenyum manis di koridor. Menyebabkan beberapa pasang mata cewek memekik kegirangan karena telah melihat senyun manis Luan yang dianggapnya semangat hidup.

Pak Nayo teratih menuju dinding dan mulai bertopang pada dinding. Ia merasakan kepalanya pening dan ingin muntah-muntah kerena telah mendengar penuturan Luan yang alay atau lebay dan bisa saja menjijikkan.

"Yah yah Pak jangan alay deh. Bilang aja sirik."

"Saya sudah punya isti Luan, ngapain sirik sama kamu."

"Udahlah Pak ngomong aja to the point nggak usah bebelit kayak cewek."

"Tahu apa kamu soal cewek?"

"Kilana dan mama saya, kan, cewek Pak. Ya kali mereka banci." Luan berbicara mulai ngegas. Tapi Pak Nayo masih sabar menghadapinya..

"Terus Pak Nayo ngerti apa soal cewem?" tanya Luan yang maksudnya adalah menantang.

"Ya, kan, ibu dan istri saya cewek. Ya kali mereka banci." Kali ini gantian, Luan yang mengangguk.

"Emang gimana kalo istri bapak ngomongnya bebelit?" tanyanya penasaran. Barangkali pengalaman Pak Nayo ini memberi pengalaman juga bagi Luan untuk menghadapi Kilana.

"Biasanya sih, ya, dia ngode gitu. Halah kayak nggak tahu cewek aja kamu An, sukanya ngode tapi kalo kita nggak peka...." Pak Nayo mempraktikkan akan memenggal kepala yang membuat Luan merinding seketika.

Luan tersadar bahwa topik pembicaraan mereka mulai melenceng jauh. Bilangnya tadi mau A tapi karena ngomong sesama orang kurang ngeh tiba-tiba topik melenceng jadi X dan justru ke Y.

"Eitttt, Pak Nayo ini pasti cewek soalnya ngomong dari tadi nggak to the point. Udah-udah hentikan pembicaraan gila kita, saya mau pamit ke kantin daripada dengerin cerita aneh Bapak. Bye Pak Nayo."

Sepergian Luan, Pak Nayo tersadar apa maksud ia memanggil Luan. Ia menepuk jidatnya kasar, mungkin ini efek usia atau efek bicara sama Luan yang mengakibatkan amnesia mendadak dan bego maksimal.

*****

Yeaayy siapa yang seneng mereka jadian? Gapapa walau masih pura-pura Luan tetap bahagia meskipun Kilana menderita. Diinget-inget, ya, tanggal 01 Desember mereka jadian nanti saya akan buat pesta 😂.

Saya sengaja up hari ini karena kemungkinan besar hari sabtu aku nggak bisa, jadi nikmatilah.

Sudah hentikan obrolan unfaedah ini, mohon saran, kritik, vote, dan komennyaa untul mereka terutama saya, bubayy.

qolintiknov

13-12-18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro