[fh · 36] - gifts from the people you love
Awal April, 2022.
Ada yang berbeda dengan langit hari ini, terlalu cerah. Kerlap-kerlip bintang yang bertabur dan bulan purnama yang menggantung malah membuat gadis itu resah. Ia ingin berharap saja kalau hari itu akan hujan sangat deras agar ulang tahun yang akan dirayakan di tepi kolam renang berakhir batal. Namun, mengingat di dalam rumah luas, April mendesah lemah. Hampir pasrah.
Aprilia Faranisa sampai lupa, sudah berapa lama ia mengurung diri di dalam kamar bernuansa lila dan putih itu. Mendudukkan diri di ranjang king size dengan selimut yang bagian atasnya berbalut satin. Mendesah terus-menerus ketika ketukan dan suara ibunya yang memanggil turun berkali-kali berdengung.
Seharusnya, momen bertambah usia adalah salah satu hal yang paling ditunggu hampir setiap orang. April akan menginjak sembilan belas beberapa jam lagi, tetapi tetap saja masalah perasaan gamang menjadi salah satu hal yang masih menjadi masalahnya.
"April?" Jedanya terpotong oleh ketuk lembut di pintu. "Kamu ngapain, sih, Sayang? Temen-temen kamu udah pada nungguin di bawah, loh. Bentar lagi acaranya juga mulai."
Satu-satunya gadis itu kamar itu berusaha mati-matian agar tidak meneriakkan kefrustrasian. Ia ingin mengacak rambut atau wajahnya, tetapi mengurungkan niat karena telah semuanya telah rapi dan cantik. April berakhir dengan mengacak-acak selimut dan bantalnya.
Ia menghela napas panjang sebelum menyahut. "Iya, Ma. April turun bentar lagi."
"Jangan lama-lama. Cepet turun, ya." Sayup-sayup terdengar ketukan sepatu hak tinggi yang menjauh. April mendesah lagi, bahunya merosot dan dia terduduk di lantai dengan gaun lila selutut yang bagian bawahnya mengembang sedikit.
Aprilia terus-menerus mendesah frustrasi. Sorak-sorai teman-temannya dari arah kolam renang terdengar sampai ke salah satu kamar yang ada di lantai dua itu. Ia berakhir dengan menenggelamkan wajah di dalam selimut, berteriak sekencang mungkin. Namun, suaranya terbenam akibat kepala yang menyusup terlalu dalam.
Semua ini bermula dari perbincangannya dengan Fira di perpustakaan waktu itu. Jika saja ia dengan tidak bodohnya berjanji untuk mengungkapkan perasaan pada Randi di hari ulang tahunnya, maka April tidak akan seresah ini di hari yang seharusnya menjadi yang paling ditunggu itu.
Ia terjebak, terperangkap dalam janji yang diucapkan terlalu gegabah. Menyesali sekarang juga sudah terlalu terlambat. Acara ulang tahunnya hari ini dan sudah jelas April tidak punya pilihan selain turun ke bawah, meniup lilinnya, dan mengatakan perasaan yang terus ditahan beberapa bulan terakhir lamanya.
"April?" Suara seseorang terdengar lagi dari balik pintu kayu yang tertutup rapat. April mendongak ketika mendengar kalau hendel pintunya tengah berusaha dibuka, tetapi tertahan sebab gadis itu mengunci dari dalam. "Kamu nggak pa-pa, kan? Kenapa belum keluar? Kamu yang punya acara, loh."
April mengembuskan napas lagi, lebih panjang. Itu Fira, ia hapal benar suara itu. Setelah menatap cermin sebentar, April membuka pintu. Membiarkan wajah kusutnya ditatap oleh sang sahabat. Setuju atau tidak, Fira sebenarnya ikut andil membuat keresahan yang terus terpupuk seiring dengan waktu yang terus bergulir.
"Kamu kenapa?" Langkah dijejaki mendekat, bahunya disentuh lembut bersamaan dengan nada yang sarat akan kekhawatiran yang kentara. "Bukannya ultah selalu bikin seneng? Tapi kenapa kamu malah kayak nggak suka gini?"
Embusan napas berat menguar. Dengan wajah yang ditekuk, April melangkah melewati Fira yang menunggu jawabannya. "Bukannya kamu udah tau? Jangan nanya lagi, deh."
Suara ketukan sepatu dan derap-derap langkah terdengar berirama di sepanjang jalan menuju tangga hingga menemui rolling door kaca yang membatasi ruang tengah dengan kolam renang.
"Ohh, iya." Fira merangkul bahu sahabatnya singkat. Meskipun April tidak melihat, ia tahu pasti gadis itu tengah menyunggingkan senyum jenaka. "Bagus, deh, kalau kamu nggak lupa."
Sepasang kaki berhenti mendadak di depan pintu kaca, dihentak bersamaan dengan suara yang merengek kesal. "Raaa!"
"Kamu lucu banget kalau lagi ngambek gini." Fira tertawa. Tangan kanannya berniat mencubit pipi April, tetapi lebih dulu ditepis keras. "Nikmatin dulu aja pesta kamu, jangan pikirin banget. Tadi pas aku sampai, Randi juga belum ada. Seharusnya kamu bisa sedikit bernapas lega."
Napas dihela dan diembus spontan. Fira tertawa kecil sebelum akhirnya menarik April melewati pintu kaca yang telah digeser. Macam-macam riuh suara yang sedari tadi hanya terdengar samar, perlahan masuk dengan paksa ke gendang telinga.
Balon aneka warna dibiarkan mengapung di atas kolam renang. Di atasnya ada string lights yang melintasi, memberi sedikit cahaya yang cukup untuk menerangi keremangan di bawah bulan purnama yang sesekali dikungkung awan. Semua teman satu jurusannya tampak menikmati pesta dengan kudapan yang disediakan meski acara sesungguhnya belum dimulai.
Tidak, sama sekali tidak bisa. April tidak mampu bernapas dengan semestinya. Ia terengah-engah, tetapi sama sekali tidak berlari dari mana-mana. Udara terlalu banyak, hingga April sendiri tak tahu bagaimana caranya mengais hawa.
Ada yang janggal. Meskipun April yakin sudah menatap setiap sudut kolam renang dengan lamat, tidak ada satu pun dari teman-temannya yang berperawakan seperti Randi. Memang tidak ada penerangan yang cukup, tetapi rasanya string lights dan cahaya bulan yang menggantung penuh di atas sana sudah cukup untuk mengenali setiap orang yang bercanda ria.
Seharusnya itu cukup untuk membuat rongga di dalam dada berhenti berdegup terlalu banyak dan berakhir tak terus memangku resah. Namun, sudut hatinya yang lain tengah merasa kecewa. Meskipun nanti kalau pernyataan rasa itu tak terlontar dari bibirnya, April ingin Randi berada di sana. Tak apa jika tak mengucapkan selamat atau memberi hadiah, menatap dari kejauhan saja sudah cukup menabur bahagia.
April dituntun menuju sebuah meja bundar yang dilapisi kain satin putih. Semua orang mengerubungi, bernyanyi lagu selamat ulang tahun ketika gadis itu dihadapkan pada sebuah kue dua tingkat yang hampir seluruhnya dilapisi coklat yang meleleh. Di atasnya ada dua lilin dengan nyala api yang masing-masing berangka satu dan sembilan.
Sekitarannya ramai, sempurna, sesuai dengan apa yang diidamkan sejak lama. Namun, tetap saja ada yang kurang dari acaranya. Orang-orang barangkali tidak mengetahui bagaimana air muka yang ditampilkan April, mereka hanya bernyanyi riang dan mendesak agar nyala api dipadamkan dengan sekali tiup bersama harap.
Senyum ditorehkan perlahan. Ini hari ulang tahunnya, April harus menyenangkan diri sendiri, bukannya menunggu orang lain yang membuat rongga dadanya terus menampung keresahan.
April menoleh sebentar pada ayah dan ibu yang ada di sisinya, pada Fira juga yang menunggunya dengan tepukan dan riak wajah terlampau riang. Mata terpejam sebentar, harap-harap diucap beriring dengan riuh riang nyanyian selamat ulang tahun yang terlalu memekakkan telinga, tetapi menyuntikkan banyak keharuan. Nyala api di ujung lilin angka padam dalam sekali tiup, tepuk tangan meriah mengudara. Namun, tetap saja, gundahnya masih membara.
Rangkaian acara selesai terlampau monoton. Potong kue, suap-suapan, mengolesi dengan krim kue, lalu sekarang semua orang sibuk berbincang satu sama lain sembari menyantap kudapan. April juga tidak tahu mengapa tiba-tiba pesta ulang tahunnya kali ini terasa tidak menyenangkan. Padahal kalau dibandingkan dengan tahun lalu, hari ini lebih banyak kemeriahan.
Semua orang berpencar entah ke mana, membiarkan si pemilik acara sendirian di depan kolam renang dengan raut yang memangku resah terlampau kentara. Ayah, ibu, bahkan Fira tidak kelihatan. Sesekali memang temannya menghampiri, tetapi hanya sekadar berbincang singkat, memberi kado, mengucapkan selamat, lalu pergi ke sudut lain tempat itu.
Tiap sudut belakang rumahnya ditatap terus-menerus. Satu-satunya pintu kaca yang membuka akses masuk juga tak absen dilihat berkepanjangan. Ini hari ulang tahunnya, tetapi setiap orang yang memberi macam-macam kado tak dapat membuat April menorehkan senyum tulus. Barangkali, hanya bingkisan berisi Randi saja yang bisa membuat kedua sudut bibirnya baik, tulus, dan benar-benar memancarkan bahagia.
Sebegitu berpengaruhnya laki-laki itu untuk April. Bahkan mereka hanya sekadar teman. Kalau memang Randi punya urusan mendadak dan tak sempat bilang, itu juga bukan salahnya. Malah seharusnya ini salah April yang terlalu berharap kalau Randi benar-benar menginjakkan kakinya, tersenyum hingga matanya menyipit, memberi ucapan selamat dengan nada jenaka, dan memberi kado yang isinya entah apa. April ingin itu semua. April mau Randi datang sekarang juga meski taruhannya adalah janji yang harus ditepati segera.
Telinganya lantas mendadak berdenging panjang ketika April berusaha mendengar tiap orang yang berbincang satu sama lain. Gundah dalam dada menjadi-jadi, kian bercampur dengan kewaspadaan yang datang hati-hati. Tanpa aba, manik kecoklatan milik April bergulir ke pintu kaca. Daunnya bergeser, sesosok manusia melangkah perlahan dengan pandangan menelisik sana-sini.
Ada apa ini? Bukankah baru saja April berharap kalau laki-laki itu harus berada di hadapannya? Sekarang Randi sudah hampir sampai, tetapi mengapa gadis itu malah ingin menenggelamkan diri saja di kolam? Oh, astaga. Degup dalam dadanya malah lagi-lagi berpesta pora.
Randi tersenyum begitu berdiri tepat di depannya. Gadis itu mendongak sedikit, menatap pantulan sinar string lights dan bulan purnama yang membuat laki-laki itu seolah baru saja turun dari kayangan. Singkat saja, sebab April tiba-tiba merasa malu untuk menatap balik mata yang memancarkan sedikit rasa bersalah itu.
April beralih menatap sekotak kecil bingkisan kubus yang berbalut kertas kado berwarna merah muda dan biru, ada pita putih besar di atasnya. Dalam tunduknya ia tersenyum kecil. Padahal, meskipun Randi tidak membawa hadiah, kedatangannya laki-laki itu sendiri adalah hadiah kesukaan April malam itu.
"Maaf, telat." Sebelah tangan mengusap tengkuknya, laki-laki itu tertawa canggung. "Btw, Happy birthday, April."
Ucap dilisankan bersama kota kado yang hendak diangsurkan. Suaranya lembut, menelusup masuk ke dalam dada bak sulur-sulur yang dirawat terlampau rajin. Ketika tangan Randi bergerak menepuk-nepuk pelan puncak kepalanya, April seolah hendak menjadi puzzle yang menyerpih jatuh.
Kepala mendongak, sepasang mata kembali bersua. Gadis itu sesak napak, diam-diam berusaha mengais udara yang tiba-tiba menghilang entah kemana. April mengangguk kaku sembari menerima kotak hadiahnya. "Makasih, Ran. Tapi kamu sebenarnya nggak perlu ngasih hadiah. Kedatangan kamu aja udah cukup."
Tawa mengudara bersama denting gelas dan sendok yang mencumbui piring. Gaduh di sekitar mereka seperti bukan apa-apa. April hanya punya satu titik fokus saja. "Kamu pikir aku percaya sama kata-kata kamu? Nanti beberapa hari kemudian kamu pasti minta hadiah." Laki-laki itu mengakhiri kalimatnya dengan nada meledek.
Resah akan janjinya memang belum hilang, tetapi sepanjang acara yang berlangsung, baru kali ini senyum yang terulas di wajahnya tampak benar-benar tulus. Barangkali memang benar, bahagianya terletak pada sosok yang berdiri dengan mata menyipit di depannya ini.
"Kalau gitu, aku ke sana dulu, ya. Ada kudapan, oh, sayang kalau dilewatkan." Laki-laki itu berucap dengan nada jenaka. Begitu mendapat balasan senyum canggung, ia memutar tumit.
April bergumam panjang. Salivanya ditelan berkali-kali dengan sedikit susah payah. "Ran?" Begitu tubuh tegap berbalut kemeja abu-abu itu berbalik, ia berusaha meyakinkan diri lagi, menepati janji yang telanjur diucapi.
"Kenapa, April?" Meski pinggir kolam renang remang-remang, gadis itu yakin sekali jika kilat-kilat penasaran di mata dan kerut di antara alisnya sangat kentara. "Ada yang mau kamu bilang?"
April melarikan matanya ke sudut lain dari tempat itu, mencari-cari sekiranya di mana Fira sekarang. Namun, ia tak menemukan apa pun? Di mana pula sahabatnya itu saat dibutuhkan seperti ini? April benar-benar sedang butuh ide untuk mengatakan dan melakukan apa.
Pada akhirnya, memang ia diharuskan melakukan janjinya sendiri. Sepasang mata yang kentara akan penasaran ditatap lagi, April menghela napas panjang sebelum menunaikan janji.
"Aku sebenarnya suka sama kamu, Ran." Ucapnya dilisankan dengan nada bicara yang tidak bisa dibilang kecil. Meski harus meringis akibat tidak bisa menjaga nada, April setidaknya bersyukur sedang berada di tempat berisik. Semua teman-temannya memang tidak harus mendengar ini.
Gadis bergaun lila itu menunduk, memaku tatap pada ujung high heels putihnya, tak berani balas melihat sepasang mata yang berkilat heran sekaligus terkejut di hadapannya. "Aku nggak tau sejak kapan; entah di waktu kamu ngasih bakpao ayam, kepindahan yang tiba-tiba, atau kamu yang bacain puisi cinta di kafe waktu itu." Kalimatnya serupa bisik saja, sengaja hanya diperdengarkan untuk mereka berdua. April menelan saliva agak kesulitan, jemarinya yang dingin saling bertautan penuh kegelisahan.
"Maaf, Ran. Mungkin ini bakal bikin kamu ngerasa nggak nyaman kalau nanti harus tetap bertingkah seolah nggak ada apa pun yang terjadi di antara kita." Keberanian yang ia tumpuk terlalu lama itu nyatanya terlampau cepat tergerus waktu yang berderak lambat. April seharusnya tak butuh lagi nyali yang terkumpul di waktu lalu, ia hanya butuh untuk hari ini saja. Ia mendongak, balas melihat mata yang memantulkan cahaya dari bulan. "Apalagi hakikatnya perempuan nggak seharusnya ngungkapin perasaan lebih dulu. Tapi aku cuma mau ngasih tau aja yang sebenarnya soal perasaan aku selama ini."
April tidak menghitung berapa lama detik berlalu untuk menunggu sahut yang tak kunjung datang itu. Sekeliling mereka riuh, tetapi hanya ada hampa di antara keduanya. Gadis itu masih terus menunggu. Meski sedikit beban telah luruh dari benaknya, sekarang ia malah disesaki sedikit rasa kecewa.
"Oh, gitu." Randi mengangguk beberapa kali, wajahnya berpaling singkat menatap kolam renang yang airnya memantulkan cahaya. Jawaban macam apa itu? Namun, begitu April hendak melisankan kedongkolan, laki-laki itu lebih dulu melanjutkan. "Kamu segitu yakinnya aku cowok yang sama?"
"Kamu masih mau ngelak?" Barangkali nadanya terdengar tak suka, dongkol juga, hampir menyerah. Namun, April memilih menghela napas agak panjang. "Ya, nggak masalah, sih. Mungkin kalimatnya lebih baik diganti aja jadi seseorang yang dihadapan aku ini. Lagi pula, aku nggak minta lebih, kok. Aku cuma ngasih tau."
Randi Gunadhya mengangguk lagi. Langkah dijejaki mendekat, memangkas jarak hingga tinggal tersisa dua saja. Sepasang mata menghujam April terlalu lama, jenis pandangan yang belum pernah dilihat gadis itu sebelumnya. Atau mungkin pernah, saat laki-laki itu membacakan puisi milik Neruda.
"Kalau aku ngasih tau sebenernya aku juga suka sama kamu, percaya?"
April berkedip beberapa kali. Tatap yang terlampau dalam membuatnya tenggelam. Ia berusaha mengais udara yang tiba-tiba menghilang. Dia bilang apa?
"Kamu mau jadi pacar aku, April?"
Degup dalam rongga dadanya bertalu berantakan. April terengah-engah ketika berusaha meraup udara. Tolong katakan pada April kalau laki-laki ini sedang tidak bercanda atau April juga tidak salah dengar. Ia pusing, kepalanya penuh sekali.
"Tunggu, tunggu---"
"Kalau boleh jujur, puisi yang aku bacain di kafe waktu itu sebenarnya buat kamu." Sinar di mata Randi terlalu menyilaukan. Dari sana, April baru menyadari laki-laki itu berucap terlalu lembut. Berbeda dengan jenis nada yang beberapa saat lalu memberinya ucapan selamat ulang tahun. "Ketika aku sadar kalau perasaan suka sama Fira itu cuma kagum belaka, aku pikir aku baru nyadarin perasaan sama kamu. Soal foto kamu yang dicoret itu, aku cuma kesel sama diri aku sendiri. Aku linglung sama perasaan aku ke kamu."
Sulur-sulur keresahan dalam dadanya mendadak hangus. Tatapan Randi yang terlalu dalam itu adalah pelakunya. April mendadak hilang arah. Ia melupakan kalau sedang terengah-engah. Gadis itu jatuh, luruh yang terasa indah.
"Aku minta maaf soal itu. Keliatannya emang nggak etis suka sama seseorang, tapi nyakitin hatinya. Cuma, yang mau aku bilang adalah kalau aku suka sama kamu, April. Terus bertambah; barangkali udah berubah jadi cinta." Selain kilat-kilat yang seolah meminta untuk dipercaya, binar di mata Randi mengatakan kalau ia sedang dihantam rasa bersalah, ingin diterima, dan macam-macam bebungaan yang hendak bersemi ketika kedua sudut bibirnya naik perlahan.
"Sebenarnya aku mau ngasih tau tepat sebelum kamu, tapi ternyata kamu yang ngambil langkah duluan. Rasanya harga diri aku ...."
April tertawa sebelum sempat Randi melanjutkan. Begitu cepat binar dalam matanya berubah canggung. Laki-laki itu mengusap tengkuknya singkat. "Lucu banget, ya? Astaga, emang aku idiot."
Gadis berwajah oriental itu tersenyum sumringah, hingga kedua matanya terbenam dan berubah menjadi lengkungan saja. "Iya, kamu idiot banget. Bodoh. Cowok paling nyebelin, bahkan melebihi Arya."
April tidak benar-benar menyumpahserapahi. Ia hanya kesal sebab Randi selama ini ternyata punya rasa yang sama, tetapi sama sekali tidak peka. Ia dongkol sebab harus memulai langkah lebih dulu ketika Randi yang seharusnya melakukan. April---
"Jadi ... kita pacaran, kan?"
Lagi, April merasakan jika kepalanya kembali kosong. Ia linglung. Setelah berkedip beberapa kali, gadis itu mengembuskan napas panjang. "Aku nggak ngerasa ... udah jawab."
"Kita saling suka, seharusnya udah jelas."
"Tapi tetep aja, kan, harus ada jawaban."
Kali ini, Randi yang mengembuskan napas terlalu panjang. Barangkali sudah lelah juga harus berdebat lagi. Jika April yang memulai, seharusnya Randi yang mengakhiri, kan?
"Okee." Randi membasahi bibirnya. Senyum lembut yang hilang tadi, perlahan diulas kembali. April meleleh, ia benar-benar telah jatuh. "Will you be mine, birthday Girl?"
Meskipun April tahu menyembunyikan rona merah dan berusaha mengulum senyumnya adalah hal yang mustahil, ia tetap melakukannya. Degup di rongga dada makin menggila, mungkin akan jatuh segera jika tak berusaha ditahan lebih lama.
Pada akhirnya, April menyerah. Senyum tak lagi ditahan, kepala mengangguk sebagai tanda persetujuan. "Iya, aku mau."
Di tepi kolam renang yang airnya memantulkan cahaya dari string lights bergelantungan dan bulan purnama sempurna, ada senyum yang perlahan naik bersama. Meski keremangan merajalela, barangkali rona di kedua pipinya tidak akan dapat ditutupi. April lega sekaligus bahagia, teringat lagi ucapan Fira waktu itu. Ada benarnya, seseorang harus mengambil langkah lebih dulu.
Sepasang mata bersua setelah terus berlarian mengubur canggung yang tiba-tiba menghinggapi. Ketika jemarinya ditaut lembut, April merasakan sengatan listrik hebat. Randi tertawa rendah, tetapi tak melepas tautan tangannya. Lelaki itu malah berakhir tersenyum terlalu lembut sembari menyalurkan hangat melalui jemari yang membungkus.
Satu hal yang menjadi penyesalan April adalah ia terlalu lama memupuk keberanian yang digunakan entah untuk apa. Padahal kalau dari dulu gadis itu mengatakannya, ia akan mendapat manisnya buah jauh-jauh hari. Namun, setidaknya April sudah mencoba daripada tidak sama sekali, kan?
"April?"
"Hmm?"
"Kamu masih suka bakpao ayam, nggak? Aku mau ngegas dulu belinya sebelum acara kamu selesai."
"Apa, sih, Ran?"
Laki-laki itu tertawa riang. Jemari yang ada digenggaman diremas lembut. "Aku harap ini salah satu hadiah ulang tahun terbaik kamu, April."
Benar, tidak ada yang bisa dielak dari pernyataan itu. Hadiah terbaik dari orang yang kau cinta. Apa lagi? Ulang tahunnya sudah lengkap. April tidak butuh apa pun lagi. Sepasang tangan yang menggenggam erat, sepasang mata yang menatap lamat, dan ungkapan rasa di akhir yang berasa jauh dari sepat. Gadis itu berharap tidak ada rasa yang harus menjadi karat.
Setelah ini, April harus mencari Fira dan berterima kasih. Tidak, itu masih kurang. Seharusnya April bersujud dan mengabulkan semua permintaan sahabatnya itu. Semua ini juga berkat Fira yang tidak bosan memberinya pidato panjang.
"April ... aku mungkin nggak janji untuk bakal selalu ada. Tapi aku janji untuk tetep jaga perasaan ini terus tumbuh lebih banyak selamanya."
***
[ to be continue ]
--[22/08/21; 22.12]--
--[08/09/21]--
...
Bab ini full fokus sama Randi-April. Kemajuan mereka pesat sekali, ya. Ada yang seneng Randi-April jadian?
Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di kesempatan selanjutnya. Jangan lupa jaga kesehatan, ya. Luv u! ♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro