[fh · 21] - cause with hope, someone's going to move
Pertengahan November, 2021.
Jari-jemari terkepal kuat di bawah meja, buku-bukunya bahkan sampai sampai memutih, dan urat-urat di tangannya juga kelihatan. Jika saja bukan karena alasan kesopanan, lelaki itu pasti akan langsung melayangkan tinju pada pria berjas hitam yang menyandang kepongahan itu. Namun, ia tak melakukannya. Sangat konyol melukai ayah sendiri sebagai alasan masuk penjara.
"Kamu nggak bisa balik semudah itu," ucapnya dingin, tak terbantahkan. Alih-alih memutar tumit, pria dengan setelan formal serba hijau itu memilih menatapi jendela kaca yang memamerkan langsung pemandangan gedung-gedung modern pencakar langit. "Papa, kan, udah bilang. Kamu nggak bakal balik kalau belum pegang perusahannya."
"Tapi, Pa, aku nggak bisa," kata lelaki yang duduk di belakang meja kerja kaca. Ia bergerak gelisah sebentar sebelum akhirnya melanjutkan. "Aku nggak berbakat di bidang manajemen bisnis atau apa lah itu. Aku punya-"
"Maksudnya kamu hobi menggambar tidak jelas itu?" potong si pria paruh baya cepat. "Kamu pikir itu berguna, hah? Sudah Papa bilang, kan, kamu harus berusaha belajar. Kamu nggak akan bisa kalau nggak berusaha!"
Ia berbalik, menggemakan amarah, penekanan, dan pemaksaan dalam satu kalimat. Lelaki yang duduk itu tersentak sebentar. Putranya sampai harus menelan lagi bantahan-bantahan lain yang sudah berada di ujung lidah dengan pandangan turun dan kepala yang sedikit menunduk. Memang itu tujuannya. Tidak ada yang akan atau harus membantah.
"Reputasi perusahaan itu bagus. Kamu seharusnya dengan senang hati nerima kalau mereka dengan cuma-cuma kasih ke kamu."
Hawa di sekitar laki-laki muda itu mulai terasa dingin. Ia tahu ada tatapan ayahnya terlalu tajam tengah mencoba menusuknya, menghancurkan tiap-tiap mimpi yang sedang ia dirikan tinggi-tinggi.
"Dan kamu dengan bodohnya malah nolak. Kamu mau perusahaan kita bangkrut dalam waktu dekat? Kamu mau kita jadi miskin? Kenapa kamu nggak mikir soal itu? Kamu pikir hobi gambar kamu bisa ngasilin uang jutaan, hah?"
Meskipun ingin, laki-laki muda itu tak berani mengangkat kepala. Ada mata elang yang memandangkan terlalu intens, seperti anak panah yang hendak menjatuhkan rusa. Tanpa sempat mencicip sebentar, mimpi-mimpi di ujung tangannya terasa tak tergapai lagi. Ia lelah menjadi budak keinginan ayahnya, ia lelah menjadi semua yang orang inginkan, ia lelah dituntut untuk menjadi sempurna.
Laki-laki itu hanya ingin menjadi laki-laki pada umumnya. Ia ingin menuntut ilmu atas kehendak sendiri, untuk menggapai asanya yang tergantung tinggi. Bukan dipaksa seperti ini tanpa dimintai persetujuan dia suka atau tidak. Dia hanya ingin bebas.
"Percuma kamu Papa sekolahkan kamu terlalu tinggi di sini. Terlalu banyak membantah," lanjut pria ia berdiri pongah di balik meja kaca itu. Tak hanya ucapnya yang dingin, matanya juga masih bersinar sama saja.
"Kalau Papa kecewa, kenapa Papa nggak bawa aku balik aja? Selalu gitu, kan? Kalau aku nggak sesuai ekspektasi, semuanya selalu nyalahin aku. Nggak ada yang pernah nanya apa yang aku inginkan. Semuanya cuma mau keinginan kalian terwujud."
Sesungguhnya lelaki itu tidak tahu dari mana semua keberanian untuk mengutarakan suaranya berasal. Apalagi setelah ini mungkin ia akan berakhir dipukuli atau langsung saja dilempar ke luar jendela kaca itu. Lebih dari itu, ia hanya ingin didengar sekali saja. Diam-diam kembali menggantungkan asanya takut-takut. Meskipun ia tahu jika harapnya mungkin hanya tetap berakhir menjadi harap tanpa sempat dicicip barang sesaat.
Benar saja, pria paruh baya itu memukul meja kaca di depannya. Mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Sayang sekali suara yang mungkin akan merusak telinga itu tak jadi ia dengar sebab ketukan lebih nyaring terdengar lebih dulu di pintu kaca ruangan itu, satu-satunya akses masuk di sana.
Daun pintu terbuka sebentar, menampilkan gadis dengan orientasi wajah campuran Asia dan Eropa. Rambutnya kecoklatan, tetapi ada yang pirang di beberapa tempat; seperti sengaja diwarnai. Bergelombang, tidak diikat, dibiarkan jatuh sedikit di bawah bahunya. Wanita muda itu berjalan anggun dengan gaun lilac di bawah lutut.
"Ah, Nona Laura!" sapa si pria paruh baya dengan nada riang yang dibuat-buat. Senyum yang menyungging terlalu lebar di wajahnya itu juga sama.
Laki-laki muda yang duduk itu tahu jika ayahnya sangat penuh kepalsuan dengan orang-orang. Si gadis mungkin juga tahu soal itu, tetapi memilih pura-pura tak tahu saja dengan membalas senyum ayahnya. Lebih baik. Setidaknya gadis yang bernama Laura ini lebih pandai berlakon dibanding si pria paruh baya berjas dan berdasi merah putih itu.
"Ada yang bisa saya lakukan, Nona?" tanya si pria berjas berusaha ramah. Setelah merapikan jasnya sebentar, ia duduk di kursi kebesarannya. Sayang sekali ia sama sekali tak terdengar begitu. Si laki-laki muda sudah bilang, kan, ayahnya terlalu banyak kepalsuan.
Laura memilih menarik kursi di samping si laki-laki muda, menyamankan diri dengan bantalan busa yang tidak seberapa lembut itu. Ia tersenyum sebentar. "Aku pikir, aku mau pindah kampus. Di sini terlalu sumpek."
Dua pasang mata memandangnya dengan kerut-kerut heran di sekitaran dahi mereka. Wanita muda itu membalas dengan tawa bernada rendah. Untuk apa dia memberi tahu? Apakah kepindahan itu urusan ayahnya? Kalau mau pindah, ya, tinggal pindah saja. Sama sekali bukan urusan si pria paruh baya itu, apalagi urusannya.
"Kenapa?" Si laki-laki muda hampir sama melemparkan tanya yang sama, tetapi kalah cepat. Sepertinya memang lebih baik ia mendengarkan saja. "Stanford, kan, salah satu universitas terbaik di dunia. Belum tentu nanti Nona Laura mendapatkan yang lebih baik dari Stanford."
Palsu sekali. Mana pernah dia seperhatian itu pada orang-orang. Benar-benar bermuka dua. Tadi saja si pria itu memarahinya karena memutuskan hendak pindah lagi. Sekarang dengan mulut manis---yang bahkan semut saja tak sudi mengerubunginya---ia seperti sedang mengemis pada Laura. Menjijikkan! Si laki-laki muda hampir tak sudi menyebut pria itu ayahnya.
Laura tersenyum lagi, tak lebih lebar, tetapi setidaknya lebih menunjukkan kewibawaannya dibanding si pria paruh baya berlatar bangunan-bangunan pencakar langit itu. Hendak menyamai tinggi gedung, tetapi ia malah berakhir menjilati kaki tuannya seperti anjing peliharaan.
"Anda pernah dengar 'sesuatu yang baik untuk sekelompok orang, belum tentu baik pula untuk diri sendiri'?" Laura masih bersitahan memangku senyum di wajahnya. Entah apa penyebab mukanya memilih lebih lama berseri seperti itu. Mungkin harinya berjalan baik hari ini, tidak seperti si laki-laki muda di sebelahnya. "Aku rasa Stanford tidak terlalu baik juga. Aku mau suasana baru."
Si pria paruh baya mengangguk beberapa kali. "Mau pindah ke mana?"
Laura bergumam panjang. Jari-jemarinya yang berhias kutek merah muda itu bergerak naik ke atas meja kaca. Memilih mengambil sebuah pulpen dan menatapnya lamat-lamat sembari diputar-putar. "Ke tempat kalian dulu sebelum ke sini."
Jedanya terlalu lama. Si pria tua tak lagi menanggapi karena mungkin masih tak percaya juga mengapa Laura memilih tempat itu. Padahal ia baru saja mempermasalahkan putranya yang ingin kembali ke sana. Si laki-laki muda sebenarnya terkejut juga, tetapi ia lebih ingin tahu mengapa. Seolah ia mendapatkan kembali tiketnya untuk mencicip sebuah benda yang dinamakan mimpi yang terwujud.
Si wanita muda tertawa, memecah canggung yang baru sebentar hening sudah hendak menyelimuti saja. "Jangan salah sangka dulu, Tuan." Ia melirik lelaki di sampingnya sebentar. "Aku ke sana juga karena urusan bisnis. Papa bilang ia ingin buka cabang di sana. Tapi belum sempat melihat-lihat tempatnya. Aku pikir, kalau aku bisa, kenapa tidak aku saja? Benar, kan?"
Laura tersenyum, mengangkat kedua alisnya, meminta persetujuan yang sama. "Lagi pula, aku dengar pendidikan di kota itu juga bagus. Memang tidak sebaik Stanford, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali."
Si pria paruh baya mengangguk lagi, tersenyum lebih lega. Si laki-laki muda tidak mengerti ayahnya tengah mengkhawatirkan atau menakuti apa. Tidak ada juga yang tahu apa yang dia pikirkan. Si laki-laki muda kadang bingung, bagaimana ibunya bisa sebegitu cinta pada orang seperti ini? Sama sekali tidak cocok dicintai.
"Ada yang perlu saya siapkan? Dokumen penting?"
Laura menggeleng, meletakkan pulpen tadi kembali ke tempatnya. Ia menyilangkan kaki dengan kedua tangan saling bertautan di atas meja kaca. Anggun dan penuh kewibawaan. Memang sudah cocok untuk jadi bos baru menggantikan ayah Laura.
"Nggak perlu. Sebenarnya aku ngasih tau itu sekalian minta izin untuk bawa anak Anda ke sana juga. Buat bantu-bantu." Ia menoleh pada laki-laki di sebelah sebentar, masih dengan senyum yang sama. "Lagi pula, nanti dia juga bakal dapat bagian besar di perusahaan ini, kan?"
Si laki-laki muda tersentak, ada harap-harap yang memercik di dadanya. Macam-macam semangat ketika tahu jika gadis di sampingnya ini tengah membukakan sebuah pintu keluar dari neraka. "Aku? Ikut pindah?"
Laura bergumam sembari mengangguk meyakinkan. Ia beralih menoleh pada si ayah dari anak yang akan diajaknya pergi itu. "Itu pun kalau Anda izinkan."
Sia pria paruh baya menatap putranya sebentar. Ada kilat-kilat tak suka dan menerawang di matanya. Mungkin sedang menerka-nerka apa yang sudah dilakukan si laki-laki muda berharap gadis itu. Ia tidak melakukan apa-apa padahal, hanya tak henti berharap saja.
Ia beralih menatap Laura lagi, dengan senyum palsu menjijikkan itu. Ditambah tawa yang sama sekali tidak ada merdu-merdunya. "Tentu, boleh! Kalau Nona Laura sendiri yang minta, mana bisa saya cegah. Kalian juga seharusnya bisa lebih semakin dekat."
Ah, ekspektasi lagi. Kalau dipikir-pikir, ayahnya itu tidak terlalu salah jika memaksanya untuk terus-terusan mendesak agar mendekati gadis di sebelah ini saja. Perusahaan pemasaran produk besar milik ayahnya ada dalam kendalinya karena dia adalah anak tunggal. Cantik, anggun, pintar, berwibawa, apa lagi.
"Terima kasih banyak." Gadis itu tersenyum anggun dengan sekali anggukan. Ia bangkit setelahnya diikuti si pria paruh baya. "Mungkin tidak akan pindah dalm waktu dekat, tapi secepatnya." Laura menoleh pada si laki-laki muda, menepuk bahunya dua kali. "Saya permisi dulu."
Sepatu hak tingginya mengetuk lantai beberapa kali sebelum akhirnya tenggelam di balik pintu kaca yang kembali tertutup rapat. Si laki-laki muda menatap kepergian Laura sebentar sebelum akhirnya kembali menatap si pria paruh baya yang ekspresinya telah berubah 180 derajat. Dingin yang menusuk kembali.
Si laki-laki muda tersenyum, menantang. Ia akan keluar dari sana. Keluar dari neraka buatan ayahnya. Dengan bantuan Laura, ia akan menggapai lagi mimpi-mimpi yang sempat berjatuhan untuk dikutipi lagi. Ia beranjak, pergi meninggalkan ayahnya sendirian dengan amarah yang tetap dipendam. Percuma juga dikeluarkan.
"Kak! Kak Laura!" panggil si laki-laki begitu baru saja keluar dari pintu kaca ruangan neraka.
Laura yang belum berjalan terlalu lalu berhenti mengayungkan langkah. Ia memutar tumit begitu tahu si laki-laki muda sudah berada di belakangnya dengan setengah berlari. "Udah berapa kali dibilang kalau tidak usah pakai embel-embel 'Kak'?" Ia menghela napas dengan mata merotasi jengah.
"Maaf, Kak, tapi kesannya bakal nggak sopan." Si laki-laki muda tertawa canggung sembari mengusap-usap tengkuknya. "Tapi ... kenapa tiba-tiba pengen pindah?"
Gadis itu menatapnya lama tanpa menjawab apa-apa. Setelah menatap lorong sekeliling mereka yang sepi, barulah ia menjawab. "Dia menelepon kemarin."
***
Sepertinya seharian ini, langit akan terus memangku warna biru muda tanpa gulungan awan atau serak-serakannya saja. Terlalu cerah. Mataharinya bahkan bersinar terlalu terik meski pagi baru memilih lahir beberapa waktu lalu. Randi hanya takut, hari ini malah tidak akan berakhir sama bagus dengan cuacanya.
Manusia lucu sekali, bukan? Kalau nanti langit bertahan muram sepanjang hari lalu berakhir dengan menangis disertai gemuruh dan petir, pertandanya akan buruk. Akan tetapi, kalau langit juga riang, tak berniat memangku awan keabu-abuan, tetapi malah memiliki mentari yang bersinar terlalu bersemangat, harinya juga tidak akan berakhir terlalu baik.
Jadi, kapan waktu yang tepat untuk seseorang berkata jika hari ini akan berakhir baik? Mungkin jawaban yang tepat adalah ketika seorang punya harapan.
Randi sama sekali tak pernah bilang jika ia tak menyesal melakukan hal kemarin. Ia juga tak pernah bilang menyesal mengakui secara gamblang di depan orang yang disakitinya langsung. Yang ia sesalkan tentu saja pikiran tak jelas yang tiba-tiba mendorongnya untuk mencorat-coret foto April lalu ditempelkan di papan mading kampus. Ditambah lagi dengan foto-foto yang dicoret lainnya yang sengaja diselipkan di kolong meja. Belum lagi dengan alasannya yang hanya untuk bersenang-senang.
Bodoh sekali, kan, dia? Tidak, bodoh masih terlalu biasa. Tolol. Benar, itu yang lebih cocok.
Laki-laki itu mendesah terlalu berat dan lelah. Tubuhnya yang berbalut selimut putih masih bertahan di atas ranjang tanpa bergerak. Matanya menyorot lurus pada sebuah kontruksi jembatan yang terbuat dari stik-stik es krim, lidi, dan tusuk gigi.
Ia tidak tidur semalaman sebab menyelesaikan tugas praktek yang batas pengumpulannya benar-benar pendek itu. Semena-mena. Seharusnya ia memang punya waktu tidur beberapa jam sebelum kelas pertamanya hari ini dimulai. Namun, perasaan bersalah dan pertanyaan apakah April dan Fira akan memaafkan atau tidak terus-menerus mengganggunya. Belum lagi, sepulang dari kamar asrama April dan Fira, ia kehujanan.
Lihatlah kondisinya sekarang. Matanya hampir menyamai milik panda, rambut dan wajah sama kusutnya, pucat, lesu, serta sekujur tubuhnya terasa nyeri. Mungkin akan sia-sia saja Randi menyelesaikan tugasnya. Barangkali ia tak akan mengumpulkannya hari ini. Tidak punya tenaga bahkan untuk bangkit dari posisinya sekarang.
Kalau ditanya dari mana semuanya bermula, maka Randi akan menjawab di hari ketika dirinya dan April duduk di meja yang sama. Untuk pertama kalinya dan berdua saja. Di hari ketika pertanyaan, "Kamu nggak inget aku, Ran?" dibiarkan tetap mengambang tanpa pernah dijawab. Randi bertahan membisu meskipun ia sadar kalau pertanyaan itu seharusnya punya jawaban yang terlalu mudah.
Randi mengaku, ia adalah laki-laki yang dulu pernah satu kelas dengan April dan Fira. Pernah juga secara terang-terangan memberi bakpau isi ayam pada April. Dan yang paling penting, ia juga pernah menyukai gadis dengan wajah oriental penuh riang dan berambut pendek bergaya bob yang membuatnya dulu sangat lucu.
Sayang sekali, perasaan cinta monyet itu tidak pernah terucap. Randi terlalu cepat pindah dan mungkin orang-orang di sana melupakannya terlalu cepat pula. Meskipun namanya sering disebut dalam buku absensi, tetapi kepindahannya mungkin juga hilang bersama jejaknya. Mengikutinya hingga ke Pontianak. Orang-orang boleh saja melupakannya, tetapi Randi tidak.
Lantas sekarang, ia malah menaruh rasa pada sahabatnya April. Fira mungkin terlihat sama saja dengan gadis-gadis baik dan tak banyak omong lainnya. Aneh sekali jika dunia rasanya menyimpit kalau setelah Randi menyukai April, berlanjut menyukai sahabatnya juga.
Dia sungguh-sungguh menyukai Fira dan berniat mengejarnya? Tidak juga.
Itu dia masalahnya. Randi menganggap semuanya bisa dijadikan sesuatu hanya untuk bersenang-senang kalau ia bosan. Tidak peduli kalau orang lain tiba-tiba menyadari kalau telah tersakiti. Laki-laki itu baru menyadari kalau semua perbuatan yang dilakukannya salah di saat mengerjakan tugas prakteknya tadi malam.
Beruntungnya, Randi dan Fira tidak sempat menjadi sepasang kekasih. Semisal waktu di kafe tempat dirinya bekerja paruh waktu itu dia menyatakan perasaan dan Fira menerimanya, Randi benar-benar akan gila karena terlalu banyak dihantam rasa penyesalan.
Hening yang terlalu kentara di kamarnya terpecah dengan nada dering ponsel dari meja belajar. Randi menghela napas berat. Jika saja kepalanya tidak memberi alarm kalau itu mungkin panggilan yang penting, Randi lebih memilih mendengarkan saja sampai deringnya selesai. Ia menyibak selimut dengan kesal, berjalan perlahan untuk mengangkat panggilannya.
"Apa?" Hampir ketus, tidak bersahabat. Terdengar malas menanggapi lama-lama dan berharap orang di seberang sana lekas-lekas mengatakan maksud dan tujuannya menelepon.
Gelak tawa di seberang sana terlalu heboh. Randi tebak, mungkin ada sekitar tiga atau empat orang temannya. "Baru bangun, Prince Charming? Buruan dateng ke kampus. Molor mulu!"
Laki-laki itu mendengkus. "Ngapain?" Sebelah tangannya yang bebas mengacak-acak rambutnya yang sedikit panjang. "Kelas juga masih lama."
Di seberang sana terlalu hening. Bahkan kalau pun mereka sebanyak itu, seberang teman-temannya pasti akan selalu berisik. Membuat Randi mau tak mau berspekulasi jika ada sesuatu tak beres yang sedang terjadi.
"Belum liat grup chat-nya?"
"Kenapa?" Randi menyahut agak tak sabaran.
"Jadwalnya diganti, woi!" Suaranya berbeda, mungkin sudah berganti karena suara-suara di seberang telepon berubah menjadi dengungan lebah. "Buruan cek. Cepet dateng!"
Tepat setelah sambungannya terputus, Randi kalang kabut membuka grup chat kelas yang dikatakan temannya. Dosennya bilang, jadwal diubah menjadi lebih awal. Dan yang membuat lelaki itu lemas adalah kelas akan dimulai empatpuluh menit mulai dari sekarang.
Randi mematung, termangu di tempatnya dengan sebelah tangan menjambak pelan rambutnya yang sudah sangat berantakan. Ia terlihat seperti gawai yang sedang memuat data terlalu lama. Lantas beberapa detik setelahnya barulah dia tersentak. Kalang kabung, hilir mudik ke sana-kemari. Jika ibunya sedang di rumah sekarang, mungkin wanita itu akan berpikir kalau anaknya hendak membuat gempa dan badai di kamar sendiri.
Laki-laki itu mendesah frustrasi. Menatap lagi konstruksi dari stik es krim dan lidi yang ia buat sepanjang malam. Tidak, ia tidak akan membiarkan tugas itu menjadi sia-sia atau bahkan kena diskon nilai.
Mentang-mentang dosen, seenaknya aja ganti jadwal!
***
Randi baru saja menyesap cappuchino dinginnya sekali begitu hendak beranjak menuju meja yang berisi teman-teman satu jurusannya. Ia baru bisa bernapas lega di saat-saat seperti ini. Tugasnya dikumpul tepat waktu. Tidak kena marah atau setidaknya kena diskon nilai.
Bagaimana bisa? Jawabannya mungkin ada pada asa. Randi berharap jika ia bisa mengumpulkan rugas praktek itu tepat waktu---dan boom!---dosennya datang limabelas menit lebih telat dari jadwal yang ditentukannya sendiri.
Setidaknya ada yang mematahkan pemikiran kalau hari yang terlalu cerah tidak akan berakhir terlalu baik. Keberuntungan Randi yang pertama hari ini.
Orang-orang di sekitarnya mungkin lebih sering memperhatikan mulai saat ini. Tidak heran, seharusnya Randi yang berusaha membiasakan diri. Ini juga karena dirinya sendiri, sebab kejadian semalam. Untuk beberapa hari atau minggu ke depan, sepertinya ia akan jadi artis dadakan di kampus.
Semilir angin yang bertiup menghapus gerah yang mulai merajalela membuatnya menoleh tak lagi pada meja teman-temannya yang hampir dekat. Mengarah pada sudut kafetaria kampus di dekat air mancur yang airnya hampir tak pernah absen mengucur.
Dua gadis yang sibuk dengan laptopnya masing-masing. Ada tumpukan buku yang beberapa di antaranya dibiarkan terbuka dan tentu dua cangkir kopi yang Randi tidak tahu apa jenisnya.
Rasa bersalah itu menyusup lagi dalam dadanya di setiap semilir angin yang menggoyangkan rambut-rambutnya. Di setiap helaan napas dan langkah yang terayun pelan, Randi mengumpulkan keberanian. Mengucapkan maaf lagi. Bersemoga jika kedua gadis itu dapat menerima permintaannya. Berharap dalam dadanya semoga ada hal baik lainnya yang terjadi di hari yang terlalu cerah ini.
"April, Fira ...," lirihnya cukup pelan dengan suara serak. Seperti tercekat dan terlalu memaksakan suaranya yang tersangkut untuk lolos.
Kedua gadis itu serempak menoleh. Suaranya memang terlalu rendah, mungkin mereka menyadari kehadirannya sebab bayangan Randi menutup datangnya cahaya. Namun, bukan itu yang membuat laki-laki itu terhenyak. Alih-alih menatapnya dengan pandangan jijik, marah atau tak suka, April dan Fira malah lebih menatapnya bingung disertai garis-garis yang sedikit risau.
"Kamu keliatan pucat, Ran." Fira memecah hening lebih dulu di antara mereka. Beberapa pasang mata mungkin memerhatikan sebab kejadian kemarin bahkan belum genap duapuluh empat jam. Namun, apa pedulinya? "Duduk dulu."
Randi mengangguk sekali dan menarik satu-satunya kursi kursi kosong di meja dua gadis itu. Menatap April dan Fira bergantian setelah meletakkan se-cup cappuchino dinginnya. Masih mengumpulkan keberanian untuk kembali berucap.
"Kamu juga malah minum yang dingin." Kali ini April yang mengutarakan suara. Terdengar mengomel pada teman sendiri. Laki-laki itu terhenyak sebentar, gadis yang saban hari ia sakiti malah seolah tak punya nada dendam.
April menggeser cappuchino dinginnya, menggantikan dengan cup lain yang asapnya masih mengepul-epul. "Minum punya aku aja. Moccachino hangat. Kebetulan belum diminum tadi."
"Makasih." Laki-laki itu berusaha mengulas senyum meski masih terlihat kaku. "Tadi malem begadang karena harus nyiapin tugas praktek yang dikumpul hari ini. Belum sempat istirahat."
Kedua gadis itu mengangguk paham bersamaan. Randi menghela napas lebih panjang. Benar sekali, dia bodoh. Tolol. Mereka baik dan Randi tidak seharusnya melakukan sesuatu yang melebihi batas.
Ia menolehkan kepala pada April yang memaku tatap pada layar laptop. Mengumpulkan keberanian terakhir. Randi memang tak pantas dimaafkan. Namun, jika ia tak dimaafkan, rasa bersalah akan terus meranggas hingga ke seluruh dadanya. Ia tidak akan pernah hidup tenang.
"April ...," panggilnya yang membuat gadis itu langsung menoleh dengan gumam pendek. "Soal yang kemaren itu, aku minta maaf. Aku bodoh banget. Aku---"
"Sshhh!" potong April cepat. Ia mengulas senyum manis sekaligus hangat seperti satu cangkir moccachino yang baru saja disodorkan. "Nggak usah bahas itu lagi, ya. Aku udah maafin, kok. Udah lupain juga. Tenang aja."
Benar, tolol memang cocok disematkan pada namanya. Randi Tolol Gunadhya. Sudah lelah juga rasanya terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Kedua gadis itu seperti bukan manusia, seperti baru saja jatuh dari surga.
"Jangan ulangin lagi, ya, Ran," peringat April, tetapi tetap saja ada garis-garis jenaka di wajahnya. "Tapi kalau just for fun buat kita bertiga, nggak pa-pa, lah!"
Ia tertawa, disahut Fira juga. Wajahnya yang oriental itu membuat matanya hanya tinggal lengkungan saja. Manis, persis pertama kali Randi melihatnya saat masa SMA. Randi seharusnya merasa sangat beruntung dipertemukan dengan mereka berdua ini.
Angin yang bersemilir membuatnya mengingat sesuatu. Sebuah keputusan untuk melangkah lebih baik. Ia melirik Fira yang baru saja membolak-balik sebuah buku.
Randi bergumam panjang. "Fira, soal pernyataan perasaan itu---" Belum selesai seluruh kalimatnya diutarakan, Fira lebih dulu memotongnya.
"Kamu bisa mencoba sekeras apa pun, tapi seharusnya kamu nggak naruh terlalu banyak ekspektasi kalau akhirnya pasti kayak yang kamu inginkan." Gadis itu menepuk-nepuk pundak Randi beberapa kali. Fira tersenyum hangat, hendak melanjutkan kalimatnya. "Daripada kamu nunggu seseorang yang nunggu orang lain---jelas-jelas dia udah orang lain, lebih baik kamu berbalik dan ngejar seseorang yang nunggu kamu."
Randi tidak mengerti apa maksudnya. Meskipun begitu, bersama lengkung senyum yang terulas perlahan itu, Randi memutuskan untuk tak lagi meminta cintanya dibalas. Ia tak akan lagi mengejar. Menyerah pada perasaannya yang hendak terus bermain-main. Berteman dengan kedua gadis ini lebih baik. Bersama dua malaikat ini.
Dari dua keberuntungan, ah, tidak. Seharusnya tiga; maaf yang diterima dan dua penerimaan oleh dua malaikat. Sesuatu yang patut disyukuri untuk sepanjang hidupnya.
***
[ to be continue ]
--[04/07/21; 16.38]--
--[08/08/21]--
Maafkan aku. Sepertinya aku terlalu bergairah mendeskripsikan bagian jelek si pria paruh baya. Duh, aku merasa berdosa sekali pada orang tua. T-T
Aku ingin curhat juga, meskipun mungkin tidak ada yang membaca:((
Waktu itu aku menulis bab ini di laptop, Ms. Word. Besoknya pas aku mau cek lagi, filenya hilang. Cari di Recycle Bin pun tidak ada. Masih jadi misteri kenapa dan kemana file itu bisa hilang.
Aku memang tidak badmood, tetapi kesal saja kenapa bisa hilang padahal aku ingat sekali selalu save tiap lima menit. T-T
Alhasil aku ketik lagi dengan versi agak berbeda dari sebelumnya. Tidak di laptop lagi, langsung dari gawai. Setidaknya aku sedikit lebih puas karena hasilnya lebih baik dari sebelumnya.
Salahku juga. Seharusnya begitu selesai, langsung simpan di flashdrive. T-T
Tidak lagi deh. Aku kapok. T-T
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro