[fh · 15] - they are just (not) that into them
Ketika semesta turun tangan, manusia berlagak seolah bisa menghentikan. Padahal, menentang saja membuat takdir berubah kian menyakitkan.
***
Pertengahan Oktober, 2021.
Aprilia Faranisa memercayai jika spekulasinya tak pernah salah. Skenario dalam kepalanya yang orang lain kira aneh, adalah sebuah kenyataan yang seharusnya memang terjadi. Seperti saat ini, tanpa sepengetahuan siapa pun, gadis itu memilih mengikuti ke mana Randi sebenarnya pergi.
Gadis itu mungkin akan terlihat seperti orang yang kurang kerjaan jika ada yang mengetahui aksinya. Akan tetapi, ia hanya penasaran; dibarengi dengan hendak membuktikan apakah spekulasi yang dibuat kepalanya dapat dibenarkan.
Asramanya sepi, April pikir mungkin para penghuninya masih terlelap sebelum kelas yang rata-rata akan dimulai pukul sembilan atau sepuluh. Gadis yang masih memeluk buku-bukunya itu bersandar di balik tembok di ujung lorong. Sesekali ia mengintip kamar yang merupakan kamarnya dan Fira.
Kepalanya benar, tepat di ambang pintu kayu yang tertutup rapat, seorang lelaki berdiri dengan gugup. Randi perlahan membungkuk, meletakkan secarik kertas berwarna kekuningan---yang sepertinya sama dengan kertas yang sepanjang koridor kampus lelaki itu pegang---di depan pintu.
Pintu kamarnya diketuk agak tergesa. Randi menoleh ke ujung lorong di mana April tengah memerhatikannya. Gadis itu buru-buru menyembunyikan diri kembali di balik tembok. April menghela napas panjang. Ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga begitu angin bertiup kembali.
April menaikkan sudut bibir kirinya. "Ternyata Randi."
Semuanya sudah jelas, spekulasi kepalanya kali ini benar. Dari surat pertama hingga saat ini, yang diam-diam menyelipkannya adalah lelaki itu. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana Randi bisa mengenal dan mengetahui soal Fira?
Suara gesekan sepatu dengan lantai kayu perlahan membelai telinga. April rasa, lelaki itu sudah menjauhi kamarnya sebelum daun pintu terbuka. Langkah yang awalnya samar kian terasa dekat. Gadis itu benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya memergoki orang yang baru saja melakukan sesuatu diam-diam.
Ada hentakan sepatu yang berhenti terdengar, sepasang mata saling bersua dengan emosi berbeda. Gemerisik dedaunan akibat angin bertiup gegabah membuat gemuruh tersendiri di dada salah satu dari mereka. Tergambar jelas di mata dan wajah yang tampak tak percaya pada penglihatannya.
Detik berikutnya terjadi agak janggal. Pintu berdenging terbuka, tetapi sepasang insani di balik tembok itu belum juga saling melempar suara yang setidaknya membuat sekeliling mereka menjadi begitu dingin.
Di wajah berbingkai rambut pendek yang beterbangan itu ada seulas senyum yang entah apa maknanya. Sepasang mata gelap dari tubuh tegap itu makin bergulir tak henti. "Ngapain, Ran?"
***
"Jadi kamu suka sama Fira?" April berucap terlalu datar. Sembari menyesap moccachino hangatnya, gadis itu tak melepas pandang dari Randi yang masih terus bergerak gelisah sejak April menangkap basah dirinya tengah menaruh secarik kertas di depan pintu kamar asramanya.
Sahutan belum juga terlontar dari bibirnya untuk beberapa saat. April memilih bersandar di kursi kafetaria, mungkin lelah juga sedari tadi Randi belum membuka mulut. Gadis itu memilih menatap sekitaran kafetaria yang masih belum terlalu ramai. Sesekali ia menyesap minumannya kala menatap air mancur kecil di dekat meja mereka, berangkali hampir habis sebab menunggu dirinya yang masih bertahan bungkam.
Sebenarnya, Randi hanya masih terkejut. Bertemu di koridor saat memegang secarik kertas saja sudah membuat dirinya kalang kabut. Di pikirannya, sama sekali tak ada terbesit jika April akan mengikuti setelah pertemuan itu. Randi menghela napas dengan mata tertuju pada cangkir kopinya yang masih belum tersentuh.
Ia takut, tetapi bahkan tak tahu tengah menakuti apa; April yang juga masih bertahan membisu padahal pertanyaannya tak kunjung dijawab, gadis itu akan memberitahu Fira, atau Fira yang setelahnya akan menjauh.
Randi yang sedari tadi menurunkan pandangan, mendongak begitu mendengar derit kursi besi yang April duduki. Sejenak ia berpikir gadis itu akan pergi sebab pertanyaannya tak kunjung disahut. Akan tetapi, ia hanya mendapati April yang memperbaiki posisi duduknya. "Sejak kapan kamu suka sama Fira?"
Kali ini ia memang berniat menyahut. Lelaki itu hanya berfirasat kalau April tidak akan berhenti melontarkan tanya sebelum dijawab dengan jelas. Namun, tenggorokannya terasa agak tercekat. Agak gegabah, ia menyesap kopinya yang mungkin hampir dingin di atas meja.
Randi Gunadhya menelan saliva. "Aku nggak yakin. Tapi aku pertama kali liat dia pas OSPEK."
Gadis itu mengangguk paham, lantas memilih menatap lagi air mancur di taman dekat kafetaria. Meskipun sudah menjawab, hentakan-hentakan dalam dada Randi belum juga bersedia mereda. Bahkan ketika angin lagi-lagi meniup rambut April yang tak pernah terikat, degup di sana malah makin tak karuan.
"Love at first sight, huh?" Bersama tiupan angin, Randi tertawa. Terdengar hambar dan cenderung dipenuhi kegugupan. April melanjutkan setelah menyesap lagi moccachino-nya. "Berarti pas di kafe itu kamu bacaain puisi, sebenarnya kamu udah suka sama Fira?" Pandangannya lalu beralih pada Randi. "Puisi itu sebenarnya buat Fira, kan?"
Bola matanya kembali berlarian. Dari bibirnya, berulang kali terdengar desisan yang entah untuk apa gunanya. Randi kebingungan lagi, mencari jawabannya yang sama dengan yang April lontarkan.
"Aku nggak yakin juga, itu cuma dare dan kebetulan kalian di sana." Lelaki itu menghela napas sejenak sembari mengerjab. "Aku pikir ... setelah kalian pergi dari kafe."
Randi pikir, ia adalah satu-satunya yang bergerak agak gelisah. Namun, begitu mengangkat wajah setelah menaruh kembali cangkir kopinya, April bertingkah seolah tak nyaman dengan jawabannya. Meskipun begitu, Randi lebih memilih mengawatirkan diri sendiri. Sebenarnya ada apa dengan dadanya?
"Kenapa bilang perasannya lewat kertas?"
Sejujurnya kalimat April sedikit menyentil harga dirinya. Hanya sedikit. Sebab memang dirinya tak seperti lelaki lain yang akan menyatakan perasaan secara langsung, bukan bersembunyi di balik secarik kertas atau daun pintu yang tertutup. Randi hanya senang saja menuliskan pesan-pesan, tetapi tetap saja tak punya cukup keberanian untuk memberikannya langsung.
Randi menggedikkan bahunya. Dia lebih terlihat santai dari sebelumnya meskipun masih sedikit-sedikit menyipratkan kegelisahan di matanya. "Ya, aku nggak seberani cowok lain." Jeda sebentar, lelaki itu ingin melihat reaksi April. "Tapi aku udah ada rencana buat ketemu langsung sama Fira."
Namun, lebih dari itu, yang paling membingungkan adalah April sendiri. Randi memang tidak pernah memerhatikan seorang gadis sedetail ini, tetapi untuk April sendiri berbeda. Gadis di depannya ini terlalu sulit dibaca. Begitu Randi ingin mengetahui apa yang April pikir atau rasakan, ia bisa dengan cepat mengubah ekspresi menjadi biasa saja.
"Kapan?" Semoga ini hanya perasaan Randi saja jika April bertanya dengan nada agak mengintimidasi.
Lelaki itu menghela napas panjang, berembus bersama angin yang tak lagi bertiup gegabah. "Belum tau." Jeda yang dibuat Randi tidak terlalu lama, ia menyondongkan sedikit tubuhnya ke depan. Di dalam pikirannya, mungkin tak apa jika meminta. "Boleh aku minta tolong? Bisa nggak siapin pertemuan sama Fira."
Anginnya memang masih berembus lembut, gemerisik dedaunan, gemecik air mancur seharusnya memang menjadi momen tepat untuk menenangkan pikiran dan hati seseorang. Namun, gadis yang duduk di seberang meja itu malah bergerak gelisah. Raut wajah biasanya berubah sebentar; seolah tak menyetujui isi kepala Randi.
Meskipun begitu, air muka April kembali lagi seperti semula. Dua pasang mata saling bersua walau hening di antaranya tak sungkan terus membubung.
***
Pintu kamar berdenging terbuka ketika Fira sibuk membereskan diktat-diktat kuliahnya dan April di atas meja belajar. Gadis dengan rambut terkucir itu memutar tumit dan mendapati wajah April yang tampak kusut dan lebih lelah dari biasanya. Mungkin dosennya ngasih banyak tugas kali, ya, pikir Fira.
Lantas kemudian, Fira berjalan ke arah ranjang; mendudukkan diri. Memerhatikan April yang meletakkan berangnya satu-persatu dengan helaan napas lelah yang terus-menerus menguar.
"Tadi pagi kamu perginya awal banget. Aku telponin tapi kamu nggak angkat." Fira menggulirkan matanya pada April yang tak henti hilir mudik, meletakkan semua barang-barang pada tempatnya. "Kamu kenapa?"
"Hah?" Gadis yang tengah sibuk mengeluarkan diktat-diktat kuliahnya itu tiba-tiba berhenti. April menolehkan sedikit kepalanya. "Aku kenapa?" Gadis itu lanjut menyusunnya di atas meja belajar. "Aku nggak pa-pa. Tadi pagi cuma buru-buru. Ada tugas yang harus dikumpul sebelum jam delapan."
Zhafira Freya mengangguk beberapa kali, mencoba percaya saja walaupun ada setitik kecil di kepalanya yang menampik. Kakinya yang sengaja tidak disampaikan menyentuh ubin kayu itu diayunkan beberapa kali. Matanya sejenak menatap keluar jendela yang tirainya masih disampirkan. Walaupun sore belum menua, langit di luar sana terlalu gelap. Akibat terlalu lama memangku awan keabu-abuan.
Ada ranting-ranting pohon yang meranggas mengetuki jendelanya begitu angin tiba-tiba bertiup agak kencang. Gadis itu masih memerhatikan sahabatnya yang hilir mudik ke seluruh penjuru kamar. Mulai dari meletakkan sepatu pada tempatnya, hingga mengeluarkan pakaian ganti dari dalam lemari. Fira memiringkan kepalanya, bukan April banget.
"April, kamu tau, nggak?" Fira memberi jeda sebentar sebelum melanjutkan, melihat apakah April masih menganggapnya ada atau tidak di sana. Gadis itu bersyukur, sahabatnya masih menyahut, walaupun hanya gumaman samar. "Tadi pagi ... aku dapet memo lagi."
Gadis berambut pendek itu bergumam lagi. "Isinya apa?"
Bukannya langsung menjawab, Fira malah agak terhenyak. Tiupan angin memang tak sampai masuk ke kamar asrama mereka, apalagi harus pula menerbangkan tirai putih bergambar lily di sana. Akan tetapi, ranting-ranting pohon yang mengetuki jendela seolah berkata jika memang sedang ada yang tak beres dengan sahabatnya.
"Isinya puisi, tapi secara garis besar ngajak ketemu." Fira bersuara, meskipun kepalanya masih dipenuhi pertanyaan ada apa sebenarnya dengan April.
"Di mana?" Nada April terlalu datar.
Lagi-lagi Fira harus berkesimpulan jika hari ini April tidak seperti biasa. Seolah ada yang mengganggu kepalanya, ada sesuatu yang membuat April tak nyaman. Namun, April barangkali lebih tak nyaman jika harus menceritakan.
Fira menggedikkan bahu. "Dia nggak bilang."
Ia masih memerhatikan mengapa April bertingkah seolah sangat-sangat sibuk. Dari lemari pakaian, dengan handuk putih yang bertengger di bahunya, April kembali ke meja belajar; mencari-cari entah apa. Seperti memang tengah menjauhi kontak mata dengan Fira.
"Kamu udah tau siapa yang ngasih memo itu?" April bertanya lagi setelah menghela napas panjang. Gadis itu memutar tumit, bersandar pada meja belajar dengan air muka tanpa riak. Akhirnya, ia memilih berbicara pada Fira dengan saling begini.
Fira menggulirkan matanya sebentar, lalu menggeleng. "Kamu tau?"
Jeda sebentar sebelum akhirnya April ikut menggeleng. Gadis itu memutar tumit lagi menghadap meja belajar. Memisahkan satu atau dua diktat dari tumpukannya, lantas diletakkan di sudut meja yang lain. "Dia ngajak ketemu, kan? Nanti kamu juga tau dia siapa."
Zhafira Freya memicing, masih menatap siluet April dari belakang yang entah sedang apa. Namun, pada akhirnya tetap mengiyakan pernyataan sahabatnya juga. Ia memilih pasrah saja mencoba membaca pikiran April, toh, juga ia tidak akan tahu jika tidak diberitahu. Fira menunggu saja saat yang tepat nanti April bercerita.
"Kamu kenapa, sih, April?" Fira mungkin terdengar agak menuntut, tetapi ia juga tak tahan berlama-lama penasaran.
"Hah? Aku kenapa?" April tak lagi sibuk dengan meja belajar. Namun, langkahnya yang hendak menuju kamar mandi terhenti begitu saja kala mendengar pertanyaan ambigu dari Fira.
Gadis itu bangkit. melangkah pelan menuju April yang sudah memutar tumit menghadapnya dengan alis tertaut. "Akhir-akhir ini kamu nggak keliatan kayak April yang aku kenal."
Air muka April agak berubah sedikit terkejut, tetapi April adalah April. Ia bisa dengan cepat mengubah rautnya menjadi agak malas. "Aku cuma capek, Ra. Tugas-tugas bikin aku pusing."
Gadis itu memutar tumit lagi, meninggalkan Fira yang masih berkelung dengan pikiran sendiri. "Udah, ah. Aku mau mandi dulu, abis itu tidur. Mana tau entar malem dapet berkah buat ngerjain semuanya." April menutup pintu kamar mandi agak kencang.
Meskipun samar, Fira masih dengan jelas mendengar celotehan April yang biasanya selalu membubung di kamar mereka. "Hadehhh ... padahal pengen ngedrakor."
Namun, Fira masih saja merasa ada yang janggal. Pertanyaan-pertanyaan dari April seolah memberi isyarat jika gadis itu memang sudah tahu siapa yang memberikan empat memo berturut bulan ini. Fira tak ingin bertanya lebih lanjut, ia hanya tak ingin membuat April semakin tak nyaman.
Alasan tugas-tugas memang agak klise, tetapi tetap saja tak ada masalah kecil yang harus dianggap sangat sepele. Sebab, badai kadang dimulai dari semilir angin yang bertiup terlalu lembut.
***
Akhir Oktober, 2021.
"Makasih, April."
Fira mendongak dengan air muka penuh kebingungan. Padahal Fira dan April baru saja duduk di sisi kafe yang berdampingan langsung dengan kaca besar---seperti biasa. Belum lima menit. Bahkan belum sempat menghampiri atau dihampiri oleh salah satu pekerja. Namun, Randi yang tiba-tiba datang dan berterimakasih membuat kerut dalam di dahinya. Apa apa ini?
Gadis itu beralih menatap April yang menanggapi dengan sahutan gumam rendah, terdengar tak begitu tulus.
Bahkan sahabatnya itu malah menorehkan senyum yang semestinya lebih baik tak diulas. Lantas di luaran kafe tempat Randi bekerja paruh waktu itu, di sore yang sedikit cerah, terdengar gemerisik dedaunan bintaro yang diterjang angin bertiup grasak-grusuk. Seperti bertindak sama gelisah dengan mereka bertiga meskipun dengan alasan yang berbeda-beda.
"Ran, aku pesen Frappe dingin sama pie susu, ya." April bahkan berucap tanpa memandang lama Randi yang masih berdiri. Senyum aneh tadi juga masih terulas di sana. "Aku ke toilet dulu, Ra."
April bangkit dari duduknya, menghilang di balik tembok di ujung sana, meninggalkan Fira dan Randi berdua yang tiba-tiba malah berselimut canggung.
"Kamu mau pesen apa, Ra?" Jeda beberapa saat dipecah suara bariton milik Randi. Membuat atensi Fira yang sedari tadi masih menaruh pandang pada bayangan April kembali padanya.
Gadis dengan cardigan hijau tua itu bergumam sebentar. "Samain aja kayak April, tapi Frappe-nya hangat."
Randi mengangguk, sedikit tersenyum. Dengan note kecil di tangan, ia menuliskan pesanan di sana. Agak bergetar dan kaku. Fira sendiri juga bertanya-tanya mengapa tiba-tiba dirinya bisa memerhatikan seseorang yang baru ia kenal sedetail itu.
Ini hanya perasaan Fira saja atau bagaimana? Semua orang bertingkah aneh hari ini.
Sebenarnya tidak semua orang, maksudnya hanya April dan Randi. April yang tiba-tiba saja meninggalkannya seperti ini, dan Randi yang bersikap agak canggung. Bahkan suaranya saja sedikit bergetar saat berbicara tadi.
"Sebenarnya ada sesuatu yang mau omongin ke kamu." Ucapan Randi terlontar bersama angin yang bertiup makin gelisah. Sebelum Fira selesai dengan kebingungannya, lelaki itu sudah duduk lebih dulu di tempat yang tadinya diduduki April.
Gadis itu sama sekali tak menanggapi, hanya terus memaku tatap pada Randi yang bergerak sama gelisah dengan gemerisik dedaunan di pohon bintaro yang tumbuh tepat di depan jendela. Sesekali ia melirik ke ujung sana; pada tempat punggung April yang menghilang. Berharap dalam diam April segera kembali sebelum suasananya semakin tak beraturan.
"Fira ...," lirih lelaki yang masih menggunakan celemek hitam milik tempatnya bekerja. "Sebelumnya aku mau jujur, semua memo yang kamu terima sebulan terakhir ...."
Jedanya sedikit menggelisahkan, Fira terlalu tak sabaran untuk menunggu lebih lama. "Semua surat itu, asalnya dari aku. Aku yang nulis, aku juga yang kadang menyelipkan di depan pintu asrama kamu."
Zhafira Freya memang terlihat sedikit terkejut dengan pengakuan itu. Akan tetapi, tetap saja ia tak bisa menjadi sangat terkejut sebab semuanya tampak jelas begitu mengetahui Randi agak memaksa untuk mengajaknya dan April ke pameran mini itu.
Kegelisahan Fira mungkin tak sebanding dengan gelisah yang menerjang Randi.
Dibanding disahut suara, kebisuan nyatanya lebih membuat seseorang makin tak terarah. Pada akhirnya lelaki itu memilih melanjutkan daripada harus terus-menerus memaku tatap pada kebisuan. Mungkin juga bermaksud memaklumi, sebab tak semua harus ditanggapi dengan suara.
"Dan ada satu hal lain yang seharusnya kamu tau sejak lama." Randi menjeda lagi ucapannya, barangkali kafe yang tidak terlalu ramai hari itu membuat gugupnya menjadi-jadi. Atau bisa saja ia bingung bagaiman hendak menerjemahkan apa yang diingankan kepalanya. "Sebenarnya aku suka sama kamu, Ra."
Namun, lebih dari itu, Fira sama sekali tak berpikir apalagi berharap hal seperti ini akan terjadi. Tidak saat pertama kali Randi menghampirinya dan membacakan puisi. Tidak pula di menit-menit ini, saat Randi terang-terangan mengaku tentang surat-surat yang tertulis dengan jelas bagaimana perasaannya.
"Bohong kalau aku bilang nggak pengen perasaannya dibalas." Fira yang menunduk sebentar, mengangkat kepala lagi. Memaku tatap kembali pada Randi yang kali ini sudah berubah raut menjadi lebih pasrah. "Tapi untuk kali ini, yang terpenting aku udah bilang yang sejujurnya; soal surat ataupun soal perasaan."
Randi menorehkan seutas senyum yang menenangkan di tiap kedipan Fira yang hanya berujung kebisuan. Mungkin bermaksud menghibur diri juga, sebab hal-hal baik tidak langsung datang saat itu juga ketika kita memutuskan untuk melakukan suatu hal besar.
"Semoga setelah ini kamu nggak ngejauh karena aku udah ngomong gini."
Di jeda yang terasa janggal itu, lonceng tepat di atas pintu masuk kafe yang terbuat dari kaca berdenting. Lelaki itu menoleh sebentar, sebelum akhirnya berdiri. "Kalau gitu aku buatin pesenan kalian dulu, ya." Randi melangkah menjauh, mendekati meja pantri putih panjang dengan senyum yang hampir urung luntur.
Fira masih bersitahan dengan kebisuannya. Ada gurat-gurat risau yang tergambar tipis-tipis di dahi. Satu-satunya orang yang paling Fira butuhnya saat ini adalah April yang memberinya celotehan panjang lebar, apa pun itu. Namun, yang menjadi masalah adalah, mengapa gadis itu belum juga kembali?
Ia hanya berfirasat tak enak saja, jangan-jangan sahabatnya itu memang sengaja meninggalkannya berbicara berdua dengan Randi.
Tetapi, Fira juga tak begitu yakin.
Lalu, sekarang bagaimana?
***
[ to be continue ]
--[22/06/21; 14.02]--
--[10/07/21]--
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro