Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 - Musim Penuh Kehangatan

Seorang pria tengah duduk di sisi meja berukuran segi empat, sedang satu penghuni rumah lainnya terus terdiam di dekat lemari pendingin. Usai menyajikan minuman di atas meja, gadis itu tidak langsung bergabung dengan sang ayah. Tangannya mengangkat sebuah kotak makan berisi jajangmyeon. Mi tersebut sudah tidak layak disantap bersama lantaran terlanjur dingin. Buruk sekali, Hyora tidak memiliki stok makanan apa pun selain beberapa mandu yang sedang dipanaskan.

"Kenapa kau terus berdiri di sana?" tanya seseorang di belakang, membuat Hyora menoleh kemudian tersenyum kikuk.

Begitu mesin pemanas berdenting, Hyora segera mengalihkan perhatiannya. Mengeluarkan sepiring mandu yang siap untuk dinikmati. Tepat ketika gadis itu berbalik, seseorang yang bersamanya telah beranjak dari kursi.

"Bagaimana kau bisa memakan mi yang sudah dingin seperti ini?" Hajoon mendecak setelah mengecek apa yang sedari tadi putrinya perhatikan lalu mengambil alih makanan yang ada di tangan Hyora. "Kau tidak perlu memperlakukan Ayah seperti ini."

Pria itu kembali ke tempatnya semula bersama dengan mandu yang telah diletakkan menemani dua gelas teh hangat. Tangannya menepuk-nepuk meja pelan, sedang netranya terus memandang ke arah Hyora. Seolah memberi perintah agar gadis itu tidak lagi berdiri menjauh, Hyora pun akhirnya mendekatkan diriㅡmenarik kursi di hadapan Hajoon.

Kepala Hyora tertunduk. Tidak mampu menatap seseorang di depannya meski hati kecilnya berkata sangat ingin.

"Ayah pikir sedang bermimpi karena bisa melihatmu sedekat ini lagi," ujar Hajoon, mencoba memecah keheningan.

Samar-samar, sudut bibir Hyora terangkat. Dengan suara yang teramat pelan, bibir gadis itu juga berkata, "Aku juga."

Lantaran keadaan rumah yang begitu sunyi, suara Hyora masih dapat terdengar jelas. Mengundang senyuman di wajah Hajoon yang semakin melebar. Kekhawatiran yang sempat memenuhi pikiran pria itu seketika luruh. Terlebih ketika Hyora mengajaknya untuk masuk, berbicara lebih banyak dengannya.

Jemari Hajoon saling menaut kemudian diletakkan di atas meja. Sebelum melanjutkan pembicaraan, pria itu terlebih dulu membenarkan posisi kacamatanya. "Semua yang kau lewati terasa sangat sulit, ya?"

Begitu satu kalimat tersebut lolos dari mulut Shin Hajoon, Hyora segera mengangkat kepala. Satu dari banyak keinginan Hyora, bercerita tentang kehidupannya dengan ayah. Mengatakan bahwa selama ini ia hanya berusaha baik-baik saja, menjadi seseorang yang terlihat hebat di mata orang lain. Namun, yang sebenarnya terjadi tidak pernah baik-baik saja. Perpisahan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sangat menyisakan luka dalam, bagaimana gadis itu bisa menjalani hari tanpa rasa cemas?

"Kau, Ayah, dan juga ibumu ... pasti memiliki titik kesulitan masing-masing. Maaf karena Ayah tidak bisa bersamamu sejauh ini."

Penyesalan singkat yang dituturkan oleh Hajoon justru semakin membuat atmosfer ruangan tersebut semakin sendu.

"Ayah tidak tahu apa ini sudah terlambat untuk dikatakan atau tidak, tapi rasanya kau juga perlu tahu. Kau sudah cukup dewasa untuk mengerti." Hajoon sedikit mengambil jeda untuk menarik napasnya dalam.

"Ayah pergi bukan karena tidak menyayangimu. Hubungan Ayah dan ibumu memang tidak pernah berjalan baik sejak awal, bahkan orang tuanya juga tidak menghargai keberadaan Ayah. Aeri selalu menganggap apa yang diucapkan orang tuanya benar dan berakhir menutut Ayah lebih, seperti yang mereka inginkan. Ketika Ayah tidak mampu lagi menuruti keinginannya, ketika sadar bahwa jalan pikiran kami sudah berbeda, Ayah pikir berpisah adalah jalan terbaik."

Kala itu Hyora masih terlalu kecil untuk mengerti kehidupan orang dewasa. Yang ia tahu hanyalah tidak bisa bersama dengan ayah dan ibunya kembali seperti dulu. Setelah melihat Hajoon angkat kaki dari rumah, Aeri terus menumpahkan tangis meski wanita itu secara berani menyatakan untuk berpisah dengan Hajoon. Sejak saat itu, yang ada di dalam pikiran Hyora adalah Hajoon telah melakukan kesalahan besar sehingga membuat Aeri menangis dan Hyora membencinya. Lebih dari rasa benci, bahkan ia merasa bahwa tidak ada kebersamaan yang benar-benar membawa bahagia.

"Tapi Ayah juga tahu kalau ini bukan hanya tentang Ayah dan Ibu, 'kan? Bagaimana denganku?"

Hajoon tahu benar bagaimana keputusan yang ia ambil justru berpengaruh besar pada Hyora. Gadis itu mau tidak mau rela melepas kasih sayang yang seharusnya dirasakan, seperti seorang anak dari keluarga lengkap pada umumnya.

"Ayah tahu. Itu sebabnya Ayah tidak pernah merasa bahagia setelah melepas kalian. Pernah satu kali Ayah melihat seseorang yang mirip denganmu ... atau mungkin memang kau."

Hyora masih meletakkan seluruh perhatiannya pada Hajoon. Ada banyak hal yang ingin gadis itu dengar.

"Sempat terbesit rasa bahagia melihat gadis kecil Ayah bisa menjalani harinya dengan tawa, tapi kemudian ada kebencian yang tumbuh untuk diri Ayah sendiri. Tidak bisa memaafkan kesalahan di masa lalu yang justru terasa semakin menyakitkan."

Melalui sorot mata sang ayah, Hyora bisa mengerti bahwa setiap perkataan yang terucap didasari rasa tulus.

"Ayah mencoba berdamai dengan ibumu, mencari tahu tentang keberadaan dan kabarmu, tapi semuanya tidak berhasil. Begitu Wooyeon membicarakan tentangmu, Ayah pikir masih ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi dulu."

"Aku juga sama," sela Hyora hingga Hajoon terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya dan membiarkan gadis itu mengambil alih. "Aku mencari Ayah padahal sama sekali tidak mempunyai petunjuk. Bertahun-tahun sampai tiba saatnya untuk menyerah. Satu-satunya yang kulakukan untuk mengalihkan pikiran adalah belajar dan bekerja supaya kelak ketika aku bertemu Ayah, Ayah bisa merasa bangga dan mungkin menyesal telah meninggalkanku."

Gadis itu menarik salah satu sudut bibirnya kemudian menunduk. Merasakan ada panas yang menyambar mata, Hyora menghela napasㅡmengatur emosi yang jika tidak ditahannya akan meluap sewaktu-waktu. Namun, seberapa kuat gadis bermarga Shin itu membendung, akhirnya air mata itu jatuh juga.

"Kerja bagus! Kau sudah melakukan yang terbaik dan semua ini layak untuk kau dapatkan. Kau berhasil menunjukkan pada semua orang bahwa kau bisa berhasil meski harus melewatinya sendiri. Setidaknya aku hanya mengharap Ayah akan mengatakan itu," papar Hyora yang sudah menatap lekat wajah Hajoon dengan mata memerah.

Lantas, pria yang ikut larut dalam suasana itu segera beranjak. Menghampiri sang putri dan memeluknya. Tangannya bergerak untuk mengusap pucuk kepala gadis yang sejak lama ditinggalkan. Mulai hari itu, Hajoon berjanji pada dirinya sendiri untuk mengembalikan satu per satu waktu berharga yang telah ia sia-siakan.

"Melepas seseorang yang berarti adalah sebuah kesalahan. Kerja bagus untuk terus bertahan, Hyora. Meski kebersamaan kita tidak akan kembali utuh seperti dulu, tapi Ayah harap kau bisa menerima Ayah kembali."

Hyora mengerti alasan di balik ucapan Hajoon. Ia juga tidak mau meminta banyak hal karena apa yang didapatkannya sekarang sudah lebih dari cukup. Alih-alih membalas ucapan ayahnya dengan kata-kata, gadis itu justru semakin mempererat pelukan.

***

Dari dalam mobil berwarna merah, laki-laki yang menyandarkan lengannya pada bagian jendela terus memandang ke satu bangunan. Sudah hampir 30 menit ia memantau, sang pemilik rumah belum juga menunjukkan batang hidung. Setelah memberi tahu Hajoon tentang lokasi tinggal Hyora, Wooyeon menjadi sedikit khawatir. Kira-kira apa yang akan terjadi antara keduanya, takut bila Hyora yang sikapnya sama sekali tidak bisa diperkirakan itu akan menyuruh Hajoon pergiㅡtidak ingin bertemu. Sungguh, biasanya lelaki itu tidak pernah membiarkan pikiran-pikiran negatif mempengaruhinya.

Berniat untuk pergi dan tidak membuang waktu hanya untuk mengamati, Wooyeon menyalakan kembali mesin kendaraannya. Baru ia ingin melaju, tapi sosok yang ditunggu akhirnya muncul. Karena posisi yang tidak begitu dekat, Wooyeon tidak bisa benar-benar memperhatikan air muka keduanya. Namun, laki-laki berambut hitam itu mampu tersenyum lega ketika melihat pasangan anak dan ayah tersebut saling bergandengan tangan.

"Syukurlah, keputusan seorang Cho Wooyeon tidak pernah salah," ucapnya bangga pada diri sendiri.

Mengalihkan pandangan dari dua manusia yang masih bercengkerama, Wooyeon meraih ponsel dari kursi yang ada di sebelahnya. Masih dengan senyum yang terpatri di wajah, lelaki itu memberikan kabar baik pada seseorang.

"Aku sudah mengatakan semuanya pada Hyora, sama seperti saranmu, Kak."

Lawan bicaranya terdengar sangat antusias. "Lalu apa yang terjadi setelahnya?"

Wooyeon mendecak kemudian menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. Mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai. "Kelihatannya semua berakhir baik."

"Ah! Betul kataku, 'kan? Tidak ada yang perlu kau khawatirkan tentang itu dan justru kau bisa memberi tahunya lebih awal."

Lelaki itu mengangguk setuju. "Kak Seunghan, kosongkan jadwalmu besok. Karena aku sedang senang, bagaimana kalau kita pergi ke karaoke? Aku yang akan membayarnya."

"Benar? Setuju! Kalau begitu, selamat menikmati kesenanganmu saat ini."

Pekikan penuh semangat dari Seunghan mengakhiri panggilan tersebut. Lelaki yang sudah menjadi sahabat Wooyeon itu memang mengambil peran penting sejak Wooyeon memutuskan untuk ikut campur dalam hidup Hyora. Lantas, mengapa tidak mengungkapkan rasa terima kasih? Lagi pula keduanya terlalu sibuk dengan persiapan resital sampai lupa bersenang-senang.

Garis lengkung pada wajah Wooyeon masih ia pertahankan, setidaknya sampai netranya menangkap sebuah berita yang ditampilkan oleh layar. Rautnya berubah 180 derajat, pun salah satu tangannya dibawa menutup mulut karena rasa tidak percaya. Apa yang baru saja dibacanya benar-benar membuat lelaki itu terperangah.

🔸🔸

Adem banget kalau hubungan yang sempat menjauh akhirnya mendekat lagi. See, kalau saling terbuka satu sama lain pasti rasanya lebih lega.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro