Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34 - Bukan Menghindar

"Ada banyak sekali pengunjung yang datang. Kau tahu kalau tempat ini termasuk taman kota terbesar keempat di Tokyo?" tanya seorang pria paruh baya yang sengaja menyimpan kedua tangan di balik punggung.

Seseorang yang masih memusatkan pandangan ke area sekitar itu menoleh sekilas. "Pantas jika banyak orang rela datang jauh-jauh karena tempat ini benar-benar nyaman."

Angin yang berembus cukup hangat dengan matahari di titik teratas menemani pasangan ayah dan anak menyusuri jalan di Taman Yoyogi. Kala musim semi datang, taman yang terletak di Distrik Shibuya itu memang memiliki pemandangan indah tersendiri. Bunga-bunga sakura yang bermekaran indah menjadi daya tarik pengunjung. Tidak terkecuali Jaesung dan Jihyuk. Keduanya sengaja menghabiskan waktu di sana sebelum Jihyuk harus kembali ke Seoul.

"Jadi, hari ini benar-benar datang, ya? Kenapa Ayah harus membangun usaha di negara orang?" gerutu Jihyuk, tatapannya tidak lagi terfokus pada keindahan taman seluas 54 hektar itu.

Pria itu menghentikan langkahnya begitu tiba di bagian tengah Taman Yoyogi, dekat dengan kolam yang membentang luas.

"Jika seseorang mau sukses, ia harus rela melangkah lebih jauh. Di mana ada peluang, ia harus bisa mencari cara untuk bisa menggapainya. Usaha yang sedang Ayah bangun ini punya potensi yang besar di sini."

Sesungguhnya, Jihyuk sangat setuju dengan pernyataan sang ayah. Sama seperti yang dilakukannya juga, selalu berusaha untuk mewujudkan keinginan dan bisa memetik kepuasan begitu satu impian dapat terpenuhi.

"Nikmati saja harimu yang singkat di sini dan kunjungi Ayah lagi ketika musim gugur, ya. Dari yang Ayah dengar, pemandangan musim gugur di taman ini juga tidak kalah menarik," tambah Jaesung sembari menorehkan senyum.

Bunyi gemercik air mancur yang jatuh mengenai permukaan kolam membuyarkan lamunan Jihyuk. Begitu mata yang sejak tadi terpejam itu terbuka, keindahan tempat yang sudah lima tahun tidak dikunjunginya masih tetap sama. Mendapati beberapa pohon ginkgo dengan daun berwarna keemasan tengah berjajar rapi di hadapannya.

Jaesung benar, musim gugur di tempat ini juga layak dinikmati. Jihyuk pun sudah menepati janji untuk kembali ketika musim daun-daun pohon berjatuhan tiba, tapi lelaki itu justru datang seorang diri. Menjadi satu-satunya tempat wisata yang diketahui laki-laki kelahiran Daegu itu, Jihyuk tanpa ragu mengunjungi taman tersebutㅡmeski kepingan memori yang terputar sedikit memilukan.

Jujur saja, sebenarnya keadaan di sekitar taman sama sekali tidak jauh dari kata ramai. Namun, terduduk di tepi kolam dan membiarkan gemercik air serta desir angin memanjakan rungunya, menjadi ketenangan tersendiri bagi Jihyuk.

Ketika kala itu Jaesung berhasil meyakinkan Jihyuk bahwa apa yang dilakukannya di Tokyo akan menjadi kesuksesan besar kelak, pria itu sungguh-sungguh berusaha keras dan memetik hasilnya. Nama yang sering masuk ke dalam portal berita sebagai apresiasi atas pencapaiannya. Hal itu juga yang mendorong Jihyuk untuk merealisasikan mimpinya. Jika Jaesung bisa, ia pasti juga bisa.

Jihyuk adalah pribadi yang tidak pernah ingin mendapat keberhasilan karena pengaruh orang lain. Meski Jaesung sudah menjadi seseorang yang sukses, ia sama sekali tidak ingin meminta bantuan sang ayah. Jalan yang ditempuh Jihyuk juga tidak selamanya mulus lantaran Jaesung secara tiba-tiba meminta laki-laki itu menjadi penerus dari perusahaan yang berdiri di Tokyo.

Sempat terkejut karena sebelumnya Jaesung tidak pernah membahas atau mengatur Jihyuk, kepala keluarga Lee itu cenderung membebaskan keinginan anak. Di mana ada kejanggalan, seharusnya Jihyuk bisa sadar lebih awal jika ada hal yang tidak beres di baliknya. Namun, Jihyuk justru menolak secara terang-terangan dan terus berpegang pada pendirian. Sampai akhirnya Jaesung menyerah, tapi tidak sepenuhnya. Pria yang hampir mencapai usia 50 tahun itu memberikan penawaran yang akhirnya disetujui oleh Jihyuk.

Jika Jihyuk kembali melihat ke belakang, rasanya ia sudah menempuh jalan yang cukup panjang. Namun, nyatanya perjalanan panjang yang dihadapi sekarang memiliki semakin banyak rintanganㅡentah bisa Jihyuk lewati atau tidak.

Segala keraguan dalam diri lelaki itu beserta niat untuk menikmati kesejukan di Taman Yoyogi harus dijeda sejenak ketika seseorang membuat panggilan di ponselnya. Sebelum menerima, Jihyuk menghela napas dalam-dalam dan memulas senyum samar di wajah.

"Ya! Apa yang terjadi sampai adikku satu-satunya ini menghubungi lebih dulu?" pekik lelaki itu, sengaja dengan nada penuh semangat dan sedikit meledek. Melupakan segala kecemasan yang sempat menghampiri.

Terdengar embusan napas penuh keluhan untuk menanggapi kalimat yang baru saja Jihyuk lontarkan. "Tadinya aku ingin menghubungi Ibu, tapi sialnya tidak bisa. Jadi, aku terpaksa menghubungi Kak Jihyuk."

Jihyuk mendesis sebelum melanjutkan kalimatnya, "Mana bisa kau sebut ini sebagai sebuah paksaan? Kau baik-baik saja di sana?"

"Tentu saja! Ah, ini tidak adil karena Kak Jihyuk dan Ibu bisa berlibur ke Tokyo, tapi aku justru terjebak di sekolah."

Tiba-tiba Jihyuk jadi teringat kala Eunso terus merengek sebelum kepergiannya yang terbilang sangat mendadak.

"Bagaimana lagi, ya? Kewajiban seorang pelajar memang belajar di sekolah, 'kan?" Ada tawa yang Jihyuk selipkan di antara perbincangan mereka. "Lagi pula ini bukan berlibur, kau tahu itu."

Usai seseorang di ujung sana menanggapi dengan gumaman, nada bicara sang lawan bicara berubah menjadi lebih sendu.

"Jadi, keadaan Ayah bagaimana?"

Jihyuk paham kalau adiknya akan bertanya demikian sejak obrolan melalui telepon mereka dimulai. Sama seperti dirinya, Eunso juga pasti akan merasa kecewa jika menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu kebenara. Namun, alih-alih mengatakannya sekarang, Jihyuk berpikir akan lebih baik jika disampaikan secara langsung begitu ia kembali ke Seoul.

"Sudah baik-baik saja sekarang. Aku akan ceritakan semuanya nanti, ya!"

"Baiklah. Aku ikut senang karena kalian baik-baik saja di sana."

Mencoba mengalihkan topik, Jihyuk membicarakan hal lain. "Kau tidak menyusahkan Bibi Jung selama aku dan Ibu tidak ada, bukan?"

"Mana mungkin! Aku ini anak yang baik, Kak," bela Eunso.

"Bagus kalau begituㅡ"

"Tapi, Kak," sela laki-laki di ujung sambungan, "kapan kau akan pulang? Hmm ... tadi Kak Hyora datang ke sini menanyakanmu."

Jihyuk terpaku begitu mendengar nama seseorang disebut. Rasanya pikiran tentang gadis itu sejenak menghilang usai mendapat kabar lain yang lebih menyita daya pikirnya.

"Kau tidak mengatakan yang sebenarnya, 'kan? Aku akan pulang lebih dulu secepatnya."

"Tidak. Karenamu, aku harus berbohong lagi."

"Terima kasih sudah mendengarkan permintaanku. Kau lanjutkan saja kegiatanmu, ya. Sampai nanti!"

Setelah Jihyuk menyudahi perbincangan dengan Eunso, ia tidak langsung menyimpan ponsel. Jemarinya tergerak untuk membuka satu per satu pesan yang terabaikan sejak tiga hari lalu. Ada satu nama yang memenuhi kotak masuknya. Jihyuk jadi teringat bahwa terakhir kali ia bertemu Hyora dengan keadaan yang sangat berantakan.

Waktu itu, ketika Jihyuk terus mengucapkan kata rayu demi meluluhkan dinding pertahanan Hyora, Myunghee menghubunginya. Memberi kabar bahwa salah satu pegawai yang bekerja di perusahaan Jaesung baru saja meneleponnya. Membicarakan tentang kondisi pria itu yang melemah, bahkan tidak sadarkan diri. Tanpa perlu berpikir panjang, Jihyuk segera berangkat ke bandara untuk menyusul Myunghee yang sudah lebih dulu tiba di sana.

Meski sebenarnya Jihyuk belum menyelesaikan masalahnya dengan Hyora, tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Lelaki itu memilih untuk meninggalkan Hyora, tanpa mengucap kata pamit. Wajar bila gadis bermarga Shin itu sedang mencari keberadaannya seperti yang baru saja dikatakan oleh Eunso. Pasalnya, Jihyuk tidak pernah benar-benar menghilang dari hadapan Hyora.

Hanya membaca beberapa pesan yang dikirimkan oleh gadis itu tanpa ada niat untuk membalas, Jihyuk menutup wajah dengan tangan yang masih menggenggam ponsel. Masalah terus berdatangan dan ia bahkan tidak memiliki tempat untuk bersandar. Semua harus lelaki itu selesaikan seorang diri. Apa dunia tidak terlalu kejam untuknya?

🔸🔸

Oke, Jihyuk tiba-tiba pergi dari hadapan Hyora bukan karena habis kesabaran menghadapi tingkahnya. Ada hal mendesak yang nggak diketahui Hyora.

Kalau Hyora tahu alasan sebenarnya, kira-kira gimana reaksinya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro