23 - Kebenaran Tak Terduga
Mencari informasi tentang seseorang di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang sulit, terlebih jika orang tersebut memiliki pengaruh yang besar. Hanya sekadar mengetikkan namanya saja, beberapa informasi pribadi akan langsung muncul dari beberapa sumber. Terkadang hal itu bisa melewati batas privasi, tapi ternyata ada untungnya juga.
Laki-laki yang baru saja tiba di rumah langsung bergegas menuju ke ruangan pribadinya. Membuka sebuah situs demi menemukan informasi tentang Cho Wooyeon. Ia harus membuat segalanya lebih jelas hari ini. Beralih dari satu laman ke laman lain, manik hitam Jihyuk tidak sedetik pun beralih. Banyak penjelasan terkait pianis muda yang sedang naik daun itu, tapi belum ada data yang menjawab rasa ingin tahu Jihyuk.
Berbagai prestasi yang diraih Wooyeon beberapa tahun terakhir, kisah awalnya turun di ranah musik, dan foto-foto diri terpampang di layar ponsel Jihyuk. Lelaki itu hampir menutup peramban yang terbuka lantaran tidak menemukan hasil, sampai sebuah potret tiga manusia menyita pandangan Jihyuk. Kedua matanya membulat, pun dengan mulut yang sengaja ditutup karena terkejut. Tidak mempercayai apa yang netranya dapatkan.
"Aku belum pernah bertemu dengannya, tapi aku yakin kalau orang yang bersama Wooyeon ini adalah ...."
Jihyuk kembali memperbesar potret tersebut. Memaksa pikirannya kembali ke masa lampau untuk memastikan. Bukan hanya dugaan semata, tetapi pria yang diamatinya juga memiliki garis wajah mirip dengan yang diingat oleh Jihyuk sampai sekarang.
"Ayahnya Hyora?" lanjut Jihyuk kemudian jarinya membuka sebuah situs yang mengunggah foto tersebut.
Apa yang ditangkap oleh indra penglihatan Jihyuk adalah hal yang sama sekali tidak pernah terbesit di pikirannya. Namun, jika sekarang lelaki itu diminta untuk memahami keadaan yang sedang terjadi, tampaknya sedikit-sedikit ia mulai mengerti. Kalimat yang tertulis dengan ukuran lebih besar dibandingkan lainnya seolah memperjelas dugaan yang ada di dalam pikiran Jihyuk.
Merayakan Keberhasilan Konser Pertama Cho Wooyeon, Pria Kelahiran Seoul Itu Mengaku Kedua Orang Tuanya Punya Peran Besar.
"Orang tua Wooyeon? Bagaimana bisa?"
Ponsel yang masih menampilkan laman berita Wooyeon itu diletakkan di atas meja, sedang pemiliknya menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. Saraf otaknya bekerja untuk mencari jawaban melalui serangkaian peristiwa yang kian terasa jelas.
Hari itu, ketika foto Hyora sengaja diambil dan dikirimkan oleh Wooyeon bersamaan dengan surat pertama tanpa identitas, sudah dipastikan bukan kebetulan belaka. Seseorang telah merencanakannya. Teringat dengan perkataan Hyora jika si pengirim mencoba untuk membuatnya ingat akan sesuatu yang nyaris terlupakan, Jihyuk jadi berasumsi sendiri bahwa sebenarnya Wooyeonlah dalang dari semua surat yang diterima oleh Hyora. Bukan tanpa nama, melainkan lelaki itu menunjukkan jati diri melalui petunjuk terpisah. Wooyeon ingin Hyora mengingat ayahnya kembali dan bukannya tidak mungkin kalau laki-laki itu akan mengungkap kebenaran akan keberadaan Hajoon pada Hyora. Namun, dengan cara seperti ini sebenarnya apa yang hendak dilakukan Wooyeon terhadap Hyora?
Satu per satu fakta tentang Cho Wooyeon yang tidak diketahuinya mulai terungkap. Jihyuk yang kembali mencari tahu lebih jauh tentang pianis itu mendapat satu lagi kenyataan mengejutkan. Bahwa sesungguhnya Wooyeon bukanlah sosok yang asing dalam kehidupan Jihyuk. Seakan dibawa oleh mesin waktu untuk mengingat kejadian lalu, semua tentang Jihyuk, Wooyeon, dan keluarganya tergambar jelas. Pantas jika sejak pertemuan pertama mereka, putra sulung Keluarga Lee itu merasa pernah mengenali Wooyeon. Seluruh sikap yang ditunjukkan oleh Jihyuk, sejak dulu lelaki itu memang tidak bisa menerima kehadiran Wooyeon. Sebuah eksistensi yang dikhawatirkan mampu merebut segala rasa peduli. Namun, meski demikian juga Jihyuk tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya.
***
Mobil berwarna putih telah berhenti tepat di sebuah bangunan abu-abu berpadu hitam. Seseorang yang baru saja melangkah turun segera melambaikan tangan begitu salah satu jendela kaca mobil direndahkan, menampilkan laki-laki berkacamata hitam yang hendak berlalu pergi.
"Hati-hati, Kak! Terima kasih sudah repot-repot mengantarku."
Mengistirahatkan diri lantaran kegiatannya dipenuhi oleh pengecekan venue dan kepentingan teknis lain, rasanya Wooyeon sudah ingin membaringkan tubuh di atas kasur. Pintu yang seharusnya ia buka, terpaksa harus diabaikan ketika suara bariton memanggil. Seseorang dari arah berlawanan segera datang menghampiri, tapi masih memberi jarak. Wooyeon masih bergeming, sedikit menduga bagaimana lelaki itu bisa menemukan dirinya di sini.
"Apa kau tidak bisa sekali saja tidak mengusik kehidupanku, Cho Wooyeon?"
Sempat mengerutkan dahi karena laki-laki yang datang itu sama sekali tidak menyampaikan maksud kedatangan dan langsung berkata demikian. Namun, membaca sorot mata yang ditujukan oleh Jihyuk, membuat Wooyeon paham dengan situasi yang sedang terjadi.
"Jadi, kau sudah ingat denganku lagi, ya?" tanya Wooyeon memastikan. Kini menjauh dari halaman rumah dan mendekat dengan Jihyuk. Lelaki itu tidak ingin berbicara saling berjauhan yang bisa saja menyebabkan orang tuanya menyadari keberadaan mereka.
"Aku tidak akan melupakan seseorang yang selalu berupaya menjadi lebih baik di depan ayahku."
Perkataan Jihyuk menarik Wooyeon kembali ke belasan tahun laluㅡketika ia belum memutuskan untuk melenyapkan diri dari hadapan Jihyuk dan keluarganya. Putra tunggal Cho Daehyun dan ibunya terpaksa harus menjalankan hidup tanpa seorang ayah karena kenyataannya Daehyun meninggal akibat penyakit yang diderita.
Kala Wooyeon menyalahkan waktu lantaran begitu tega mengacaukan keluarga kecilnya, sosok pria yang berumur sama dengan sang ayah muncul. Mendongakkan kepala Wooyeon dan tanpa ragu menghapus bulir air yang masih tersimpan di sudut mata. Pria itu merendahkan tubuhㅡmenyamakan tinggi dengan Wooyeonㅡbegitu juga dengan seorang anak laki-laki yang semakin mengencangkan cengkeraman tangan pada jas hitam Jaesung ketika matanya bertemu dengan milik Wooyeon.
Tanpa perlu banyak berbicara, pria itu membawa tubuh Wooyeon ke dalam pelukannya. Satu yang ia ingat, seseorang bernama Jaesung berjanji untuk menggantikan posisi Daehyun, sahabat terbaiknya, dalam menjaga dan mengurus Wooyeon. Sikap Jaesung teramat baik, lebih dari perkiraan Wooyeon, hingga sang anak kandungㅡJihyukㅡmerasa bahwa keberadaan Wooyeon akan mencuri perhatian ayahnya.
"Jihyuk masih tidak ingin mengikuti kemauanku. Segala bisnis yang kubangun dari nol ini juga untuknya, tapi tetap saja dia tidak mau mengerti. Apa kelak kuberikan jabatan ini pada Wooyeon saja, ya? Sepertinya lebih mudah mengajarkan Wooyeon."
Kalimat yang Wooyeon tahu hanya diucapkan sebagai umpan agar sang anak mau berpikir kembali tentang keputusan yang diambil itu ternyata justru menjadi puncak kekesalan Jihyuk. Sadar akan posisinya yang bukanlah siapa-siapa, Jaesung tidak mungkin semudah itu memberi kepercayaan pada Wooyeon melampaui Jihyuk. Namun, apa yang Jihyuk pikirkan bukan seperti itu.
"Ayah memang selalu saja membanggakannya."
Itu adalah perkataan Jihyuk yang terakhir kali Wooyeon dengar sebelum ia memutuskan untuk pergi. Menjauh demi menghindari situasi yang menjadi semakin runyam akibat dirinya. Ia hanya ingin memberi ruang untuk Jihyuk membangun hubungan lebih baik dengan Jaesung, tapi ternyata laki-laki itu tidak juga memanfaatkan waktu yang Wooyeon berikan.
"Kau muncul di hadapan Hyora untuk memberi tahu tentang ayahnya, 'kan?"
Untaian yang baru terlontar membuat Wooyeon mengerjapkan mataㅡterlepas dari lamunan masa lalu. Lelaki yang berdiri di hadapannya bukan sekadar mengingat tentang Wooyeon, tetapi juga hal yang disembunyikan. Tidak peduli dari mana Jihyuk bisa tahu, Wooyeon tidak ingin lagi berucap dusta untuk menutupinya.
"Memang benar. Ada sesuatu yang mengusikmu dengan itu?"
"Kalau memang itu tujuanmu, mengapa kau tidak langsung mengatakan ketika pertama kali bertemu Hyora? Mengapa kau harus mengirimkan berbagai surat padanya? Apa kau tidak tahu kalau itu cukup mengganggu?"
"Mengganggumu atau mengganggu Hyora?" tanya Wooyeon cepat sembari memberi tatapan tajam pada Jihyuk. Dengan kalimat singkat, lawan bicaranya bungkam. "Mengapa kau terus ikut andil dalam kehidupannya padahal Hyora juga sedang menjauhkanmu, bukan?"
Mendengar apa yang disampaikan oleh Wooyeon mengingatkan Jihyuk akan tuturan dari bibir Hyora beberapa waktu lalu. Ucapan Hyora terasa semakin nyata ketika kenyataan menampar Jihyuk begitu keras. Kala itu keduanya sedang terduduk di sisi jalan setelah selesai membicarakan tentang rekaman CCTV dan paket tanpa identitas. Jihyuk yang baru saja membeli minuman dari kedai terdekat terlihat sangat terkejut dengan perkataan Hyora.
"Aku akan pergi dalam beberapa hari ke depan. Kembali ke Jeju."
"B-bagaimana bisa? Bukan ...," elak Jihyuk terbata sambil menggeleng karena berita yang melewati rungunya memang terlalu mengagetkan, "bahkan belum genap dua bulan seperti kontrak yang dibuat."
"Timku sudah menyelesaikannya lebih cepat," balas Hyora kemudian sedikit menunduk dan tertawa canggung. "Kau heran, bukan? Aku juga tidak menyangka kalau bisa menuntaskannya secepat ini. Sama sekali bukan seperti Hyora yang selalu kebingungan mengatur waktu."
"Aku senang kalau pekerjaanmu berjalan lancar, tapi ini ...."
"Akan kukatakan sekarang padamu sebelum kejadian yang sama terulang, Kak. Kau tidak perlu menemaniku ke bandara karena aku juga tidak akan menunggumu seperti waktu itu. Tolong gunakan waktu ini untuk berbaikan dengan Kak Yeonmi, ya?" pinta Hyora sembari tersenyum tipis setelah mempertemukan matanya dengan milik Jihyuk.
Decakan Jihyuk jelas menunjukkan bahwa laki-laki itu merasa kalah dari Wooyeon. Melupakan apa yang terjadi antara dirinya dan Hyora, Jihyuk kembali pada tujuan utamaㅡmembuat Wooyeon mengakui segalanya dan mengungkap pada Hyora sebelum gadis itu pergi.
"Kau hanya perlu menjawab pertanyaanku dan jangan mengalihkannya!" gertak Jihyuk.
"Yang seharusnya tahu tentang ini adalah Hyora. Jadi, aku akan menceritakan semua hanya pada Hyora dan tidak ada kewajiban untukku mengatakannya padamu."
"Ya!"
Tidak memedulikan gertakan Jihyuk, Wooyeon memilih untuk melanjutkan kegiatan yang sempat tertahan akibat kehadiran lelaki itu.
"Lagi pula kau akan berterima kasih padaku nanti setelah sadar apa yang kulakukan juga ada baiknya untukmu. Meski kau tidak menyukai keberadaanku, tapi kau tetap teman laki-laki yang pertama selalu ada di sisiku setelah kepergian Ayah," jelas Wooyeon panjang dengan memunggungi Jihyuk.
🔸🔸
Sejatinya setiap orang bertemu karena satu alasan, entah itu alasan yang diharapkan atau justru dihindari.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro