13 - Dua Sisi Berbeda + TRAILER 2
Halo! Karena kebetulan banget kepikiran ide sekaligus dapat lagu yang cocok, aku bikin trailer kedua untuk FORELSKET! Senang banget bisa menyelesaikan trailer ini huhu ❤
Sebelum melanjutkan baca chapter ini, coba intip dulu trailer kedua di bawah ini yuk! Ada gambaran untuk kamu yang penasaran cerita ini bakal seperti apa.
Happy watching!
https://youtu.be/jF07sC_MMPA
🔸🔸
Bunyi derit pintu membuat sepasang manusia yang berada di ruang tengah mengalihkan pandangannya. Laki-laki yang baru tiba dua menit lalu itu melangkah masuk usai melepaskan alas kaki. Senyumnya terulas, membalas salah seorang yang juga melemparkan senyum padanya. Wanita paruh baya menghampiri lelaki itu, menyodorkan segelas air minum yang telah disiapkannya.
"Kau pasti lelah, 'kan? Segeralah istirahat," ujar Soohwa, ibu Wooyeon.
"Iya, Bu. Segera setelah aku mengganti pakaian," tanggap Wooyeon kemudian beralih untuk meletakkan gelas miliknya. Lelaki itu sempat melirik ke arah sofa, tapi seseorang yang ada di sana ternyata masih juga enggan bicara.
"Kau sudah berada di rumah pada jam seperti ini?"
Ketika hendak melangkahkan kaki, suara tersebut kembali membuat Wooyeon terdiam di tempatnya. Oh, bicara juga akhirnya meski jauh dari yang diharapkan oleh laki-laki itu. Kedua ujung bibir Wooyeon tertarik perlahan ke atas sebelum ia menoleh.
"Hari ini adalah hari libur Wooyeon. Kita bisa menghabiskan waktu bersama-sama. Bagus, bukan?" Soohwa berpindah, tidak lagi berdiri di dekat Wooyeon. Wanita itu mendudukkan tubuhnya di sofa, mendekatkan diri dengan sang pemberi pertanyaan.
"Seseorang harus bekerja lebih keras lagi jika ingin berhasil. Ayah selalu mengatakannya padamu, ingat?" Tatapan pria itu masih terfokus pada lembaran koran yang ada di tangannya. Nada bicaranya terdengar begitu dingin.
Soohwa sontak menoleh. "Keberhasilan seperti apa lagi yang ingin kau lihat dari Wooyeon? Dengan apa yang sudah didapatkannya sekarang, bukankah anak kita sudah lebih dari kata berhasil?"
Tampaknya sang ibu lebih merasa tidak nyaman dengan perkataan pria di sebelahnya, sementara Wooyeon masih bergeming. Bukan pertama kalinya Wooyeon mendapatkan perlakuan seperti itu. Semakin lama, rasanya ia sudah semakin kebal.
"Apa Ayah sebegitu tidak inginnya melihatku?"
"Wooyeon!" pekik Soohwa segera, menunjukkan ketidaksetujuan. "Kau tahu kalau ayahmu belum lama kehilangan pekerjaannya, 'kan? Pikirannya sedang tidak stabil dan sama sekali tidak seperti yang kau katakan."
Laki-laki yang baru saja disebutkan namanya itu mengangguk paham. Terlampau paham, melebihi Soohwa. Wooyeon mengetahui semua alasan di balik sifat ayahnya yang belakangan tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengannya.
"Ibu, aku ke kamar dulu," pamit Wooyeon. Lelaki itu memilih untuk menyudahi pembicaraan secara sepihak. Mau sebanyak apa pun kalimat yang terlontar dari mulutnya, sang ayah juga tidak akan mendengarkan. Percuma.
Samar-samar lelaki itu mendengar bahwa Soohwa masih saja berbicara pada ayahnya. Tentang bagaimana seharusnya pria yang menjadi kepala keluarga itu memperlakukan sang anak. Soohwa adalah penengah di antara keduanya. Jika terus bersikap keras kepala, tidak akan ada yang ingin mengalah.
"Ayah sudah pernah merasakan kegagalan, makanya tidak ingin hal yang sama juga terjadi padamu. Seharusnya kau mengerti itu," ujar sang ayah sebelum Wooyeon menutup pintu kamarnya.
Lengkungan senyum terlihat jelas di wajah Wooyeon meski hanya sekilas. "Aku sangat mengerti. Terima kasih sudah perhatian padaku, Yah."
Akan ada saatnya aku bisa mengembalikan ayahku yang dulu, bagaimana pun caranya.
***
"Aku pulang!" seru Hyora sembari membuka sepatunya. Jihyuk mengikuti gadis itu dari belakang.
Wanita yang berdiri di dekat meja makan tersenyum lebar. Sementara itu, lelaki yang sedang asyik di depan televisi hanya melambaikan tangannya dan menoleh sekilas. Hyora langsung menghampiri Aeri usai meletakkan tas di atas sofa, sedang Jihyuk ikut bergabung dengan adiknya.
"Anak Ibu sudah pulang. Sudah puas berkelilingnya?" tanya Aeri.
Hyora mengangguk, sekali lagi memeluk sang ibu. "Sudah, sekarang waktunya untuk menghabiskan waktu bersama Ibu."
"Makanlah. Eunso hampir menghabiskan semua makanan ini." Wanita itu menarik salah satu kursi untuk duduk.
Keduanya mengikuti permintaan wanita itu. Lama di perjalanan memang membuat mereka lapar. Hanya dengan mencium aromanya saja, membuat selera makan Hyora dan Jihyuk meningkat.
"Pasti enak!" puji Jihyuk seraya memasukkan suapan pertamanya. Matanya membulat, berbinar. Kedua ibu jarinya diangkat tinggi-tinggi, membuat Aeri tersenyum.
Wanita dengan rambut pendek sebahu itu meletakkan tangannya di atas meja dan memangku dagu. Hanya ingin melihat anak-anaknya makan dengan lahap. Rasanya senang karena rumah ini seperti bernyawa lagi dengan kehadiran mereka.
"Pekerjaanmu berjalan lancar, Hyora?"
Hyora masih sibuk dengan sendok di tangannya. Tanpa menoleh, ia menjawab, "Tentu, Ibu tidak perlu khawatir."
Aeri ikut senang mendengarnya, putri tunggalnya telah bekerja begitu keras. Melakukan segalanya seorang diri. Namun, raut wajah Aeri sedikit menunjukkan hal berbeda. Jemarinya terus bergerak asal di atas meja. Ia memundurkan kursi dan beranjak. Jihyuk dan Hyora menyadari hal itu dan mengalihkan pandangannya dari piring makanan.
"Ada apa, Bu?" tanya Hyora. Aeri sejak tadi memang diam saja usai mengatakan pertanyaan terakhir.
"Ada yang mau Ibu tunjukkan padamu, Hyora." Wanita itu pergi setelah melihat Hyora mengangguk, masuk ke ruangan yang terletak dekat dengan meja makan.
Hyora menoleh ke arah Jihyuk. Dari gerakan mulut Hyora, Jihyuk mengerti bahwa gadis itu menanyakan apa dirinya tau tentang sikap ibunya. Namun, sama halnya dengan Hyora, ia tidak paham apa pun mengenai itu.
Tidak lama, wanita yang dibicarakan mereka keluar dari kamarnya. Membawa benda kecil berwarna putih, tapi tidak langsung ditunjukkan pada Hyora. Seperti ada yang mengganggu di pikirannya sehingga ia sempat tidak yakin dengan apa yang dilakukan.
"Ini," ujar wanita itu sambil menggeser benda yang sejak tadi di tangannya.
Hyora memajukan tubuhnya, begitu pula Jihyuk yang terlihat penasaran. Hanya sebuah amplop berukuran kecil. Warnanya pun sudah tidak terlalu putih. Kelihatannya benda itu sudah tersimpan cukup lama.
Mata Hyora menyelisik setiap bagian dari amplop tersebut. Mencari apa yang ingin ibunya tunjukkan dari sana. Hanya sebuah prangko dan nama lengkap dengan alamatnya. Namun, berulang kali membaca nama pengirim itu membuatnya ingat akan satu hal.
"Shin Hajoon. ShinㅡOh! Bukankah ini nama Ayah?" tanya Hyora. Kedua matanya terbelalak. "Ayah mengirimkan surat?"
Ibunya mengangguk. "Hampir satu tahun yang lalu. Ibu ragu mau mengatakannya padamu."
Sekilas saja, ekspresi wajah Hyora sempat menunjukkan rasa bahagia sebelum gadis itu tersadar dengan maksud yang ingin Aeri sampaikan padanya. Ia meletakkan amplop tersebut kembali di atas meja.
"Aku sudah berusaha melupakan semuanya, Bu. Dengan Ibu memberikan surat ini padaku juga tidak akan ada yang berubah. Ayah sudah memiliki kebahagiaannya sendiri."
Aeri tidak menyangka bahwa perkataan seperti itu akan keluar dari mulut Hyora. Tersadar akan kenyataan, rasanya menyakitkan. Ia juga tahu kalau anak semata wayangnya itu sedang berpura-pura. Bertingkah seakan tidak peduli.
"Ibu tahu kau sengaja menyibukkan diri dengan bekerja, tapi tidak sepenuhnya melupakan tentang ayahmu."
Kepala Hyora tertunduk. Gadis itu tidak bisa mengelak tebakan Aeri karena memang benar begitu adanya. Diamnya terusik ketika seseorang menyentuh punggung tangannya.
"Bukankah baik jika ayahmu perlahan menunjukkan keberadaannya lagi pada kita? Kau bisa gunakan surat ini."
Masih bergeming, netra Hyora mengamati kembali kertas yang sudah sedikit usang. Hanya sesaat karena tidak lama Aeri berucap, pusat penglihatannya itu telah menghilang. Pandangan Hyora beralih mengikuti gerakan kertas tersebut. Lelaki yang duduk di sebelahnya tersenyum pada sang ibu, mengangkat amplop tersebut sebelum akhirnya menyerahkan pada Hyora.
"Hyora pasti akan menyimpannya, Bu," ujar Jihyuk seraya menaikkan kedua alisnyaㅡmenoleh ke arah gadis itu.
Kernyitan di dahi Hyora menunjukkan bahwa ia tidak mengerti akan situasi yang terjadi sekarang. "Aku tidak mengatakannya."
Dengan sedikit berbisik, Jihyuk membalas, "Jika bukan sekarang, suatu saat kau akan membutuhkannya."
***
Seisi rumah sudah gelap, begitu pula keadaan di luar. Semuanya sudah terlelap, menyisakan seseorang yang masih terjaga. Terduduk di lantai dengan cahaya lampu yang hanya dihasilkan dari ponselnya. Gadis itu merobek salah satu ujung kertas di tangannya. Ia lebih dulu menarik napas panjang.
Gadis berbaju panjang itu membuka lipatan surat. Matanya menyapu tiap huruf yang tertulis di sana. Bibirnya tersenyum kala membaca kata pertama, sama sekali tidak bisa ia sembunyikan. Nama ibunya tertera di paling atas.
Teruntuk Kim Aeri,
Sudah lama, ya. Bagaimana kabarmu? Apa aku terlalu tidak tahu diri jika muncul lagi ke hadapanmu setelah bertahun-tahun lamanya? Dan setelah kesalahan yang pernah kulakukan dulu? Aku mau bertemu denganmu. Aku merindukan Hyora.
Belum selesai membaca, tapi gadis itu tidak melanjutkannya. Manik cokelat tuanya berpusat pada kalimat terakhir. Dinding pertahanan yang ia bangun tinggi-tinggi seketika runtuh. Sekeras apa pun Hyora berusaha untuk melupakan ayahnya, ia tidak pernah mampu. Bohong jika Hyora tidak merindukan Hajoon, bahkan dalam ruang hatinya yang terdalam diam-diam gadis itu berharap dapat merasakan kebersamaan seperti dulu walau hanya beberapa detik saja.
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini?"
Mendengar seseorang menyadari dirinya yang belum tertidur, Hyora cepat-cepat melipat kertas yang ia baca. Menepuk-nepuk pelan kedua matanya sebelum beranjak.
"Hanya belum bisa tidur. Kau?"
"Aku ingin mengambil minum, tapi ...."
Jihyuk memajukan sedikit langkah, memperhatikan gadis di hadapannya yang terlihat menyembunyikan sesuatu di balik badan. Beruntung Jihyuk memiliki postur tubuh yang tinggi sehingga dapat dengan mudahnya menemukan sesuatu di tangan Hyora meski gadis itu terus menghindar.
"Kau membacanya, 'kan?"
"Karena kau sudah melihatnya, aku mengaku saja lah." Gadis itu membawa tangannya ke depan.
"Aku tahu seberapa inginnya kau bertemu dengan ayahmu, setidaknya sampai sebelum kau pergi. Kurasa keinginan itu masih ada sampai saat ini, benar?"
Samar-samar, gadis bersurai cokelat itu mengangguk. Terlebih ketika membaca pengakuan Hajoonㅡmeski sudah terlalu lama. Lantas, apa yang ia harapkan? Secara tidak sengaja bertemu dengan sang ayah? Seoul luas, pilihan pertama tidak mungkin terjadi. Hajoon secara tiba-tiba menghampirinya? Tentu itu menjadi harapan Hyora sekaligus pertanyaan. Apa Hajoon juga mencari keberadaannya seperti apa yang pernah ia lakukan?
"Tidak pernah ada kata terlambat untuk seorang anak yang merindukan ayahnya. Kalau kau ingin bertemu dengannya, bukan tidak mungkin jika kita bisa menemukan ayahmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro