Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08 - Memperjelas Keadaan atau Memperkeruh?

Lelaki bersurai hitam yang tengah duduk di hadapan Hyora itu segera menutup tasnya yang sempat terbuka. Pandangan Hyora sudah mengarah tajam padanya, seakan tidak mengizinkan satu kata dusta pun terlontar dari bibir Wooyeon. Namun, Wooyeon masih juga membungkam mulut sampai akhirnya gadis dengan rambut terikat itu mengulangi kalimatnya.

"Bagaimana kau bisa mendapatkannya? Atau jangan katakan kalau apa yang ada di dalam pikiranku ini benar?" cecar Hyora. Salah satu alisnya naik, menanti jawaban.

Satu tarikan napas Wooyeon hela. Kedua tangannya dilipat di atas meja. Ia berbicara dengan nada yang teramat lembutㅡmembawa suasana di antara keduanya supaya lebih santai. "Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiranmu, tapi aku akan jelaskan. Jangan berpikir yang tidak-tidak karena aku sudah mengambil gambar tanpa izin."

Hyora ternganga usai mendengar kalimat yang baru didengarnya. Laki-laki yang sedang berbicara dengannya itu memang selalu berhasil membuat Hyora tidak habis pikir dengan bagaimana jalan pikirannya. "Jadi, aku tidak pantas berpikir aneh atas perilakumu? Benar-benar ...."

"Aku melakukan apa pun yang memang menarik bagiku," tanggap Wooyeon singkat sembari mengamati kedua netra Hyora.

"Jadi, yang kau maksud adalah ...." Gadis itu tertawa hambar. "Berhenti bersikap seperti itu padaku. Kau juga mengikutiku sampai tahu di mana aku tinggal?"

"Bukan tanpa alasan. Aku harus tahu seperti apa rekan kerjaku."

Tidak percaya dengan penjelasan singkat yang dikatakan oleh Wooyeon, gadis itu mengernyitkan kening. "Awalnya aku tersanjung karena kau memilihku secara pribadi, tapi setelah mengetahui ini rasanya aku menyesal telah mengikuti kemauan Manajer Yoon."

Sebelum pesanan mereka datang, Hyora sudah meraih kembali tas selempang miliknya. Menyampirkan benda itu pada salah satu bahu kemudian berbalik setelah mendecak. Tidak berpamitan pada seseorang yang sedang bersamanyaㅡsama sekali bukan sikap yang baikㅡdan justru membiarkan lelaki itu menatapnya dengan sorot penuh kebingungan.

Baru dua langkah kaki Hyora gerakkan, kalimat yang diucapkan Wooyeon membuatnya terhenti. "Lalu apa yang akan kau lakukan? Kontrak sudah dibuat."

Setiap kata yang didengar oleh gadis itu selalu membuat kepalanya terasa semakin berat. Sikap Wooyeon membuatnya tidak nyaman, tapi ia juga benar karena bagaimana pun Hyora tidak bisa pergi dan membatalkan kontrak kerja mereka. Menganggap omongan Wooyeon sebagai angin lalu, Hyora hanya menggeleng pelan kemudian kembali melangkah sampai sosoknya menghilang di balik dinding.

"Eoh?" Suara lain mengusik penglihatan Wooyeon. "Apa Hyora sudah pergi lebih dulu?"

Soyoung baru kembali dan hanya mendapati Wooyeon duduk seorang diri. Gadis itu menggaruk tengkuk kepala kemudian menoleh ke arah pintu masuk, berharap menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

"Maaf, tapi aku tidak mungkin di sini kalau tidak ada Hyora. Kalau begitu, aku pamit." Soyoung membungkukkan tubuhnya, ditanggapi dengan anggukan dan senyuman tipis dari Wooyeon.

"Bukannya aku sudah mengatakan padanya untuk memberi kesan yang baik? Bagaimana Hyora ini?" Rutukan Soyoung mengiringi langkahnya pergi.

***

Masih mengenakan pakaian yang sama, gadis berkuncir satu itu terduduk di ruangan tengah rumah. Melemparkan tasnya secara asal, sedang ia menempelkan tubuh pada sandaran sofa. Sempat terdiam beberapa saat, Hyora membawa rambutnya ke depanㅡuntuk menutupi wajahㅡkemudian menggerutu.

"Apa yang ada di pikiranku? Bagaimana kalau dia sampai melaporkan sikapku pada Ketua Kim? Manajer Yoon? Habislah aku!"

Hyora mengacak rambutnya kasar, pun dengan kaki yang ia hentakkan di udara. Pikirannya kacau, tapi tidak juga menyalahkan diri karena telah berkata demikian di depan Wooyeon. Untuk seseorang yang tiba-tiba muncul dengan cara seperti itu, Cho Wooyeon pantas mendapatkannya.

Gadis bermarga Shin itu mulai berasumsi sendiri. Tentang bagaimana Wooyeon memiliki pikiran untuk mencari tahu tentang dirinya. Tentang kebetulan datangnya foto yang laki-laki itu kirimkan tepat bersama ditemukannya sebuah surat tanpa nama di depan pintu rumah. Sebenarnya apa yang Wooyeon inginkan dari Hyora?

Mengembuskan napas berat, gadis itu menegakkan tubuh. Hari sudah malam, rasanya ia butuh istirahat untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang terasa begitu mengganjal. Kakinya melangkah menuju ruangan berdinding ungu muda. Hyora membaringkan tubuhnya dan mengamati langit-langit.

"Tidak, ternyata aku tidak bisa diam saja," keluh gadis itu kemudian terbangun.

Salah satu tangannya membuka laci mejaㅡtempat di mana ia menyimpan seluruh barang. Mencari sebuah benda berwarna putih di antara tumpukan dokumen kerjanya. Setelah menemukan apa yang sejak tadi dicarinya, ia membaca kembali apa yang tertulis di bagian depan benda tersebut.

Untuk Hyora, batin gadis itu sembari membalik surat yang sudah ada di genggaman.

Bagian atasnya masih tertutup dengan rapi. Sejak pertama ia menerima benda tersebut, Hyora memang bersifat tidak acuh. Ia sama sekali tidak peduli dan tertarik pada sesuatu yang tidak memiliki identitas jelas.

Tangannya meraih kertas dari dalam amplop kemudian manik cokelat tuanya terpusat pada kalimat singkat yang dituliskan. Namun, berapa kali Hyora membaca isi dari surat tersebut, ia sama sekali tidak mengerti dengan maksud yang ingin disampaikan padanya. Kening Hyora mengerut.

Bahwa apa yang ingin kau hindari, sejatinya adalah hal yang perlu kau hadapi. Mengapa menyulitkan diri sendiri?

"Apa yang ingin seseorang tunjukkan dari surat ini? Apa yang sedang kuhindari?"

***

Seorang pria berumur 54 tahun tengah terduduk di balik meja kerjanya. Sibuk memeriksa data perusahaan di balik sebuah kacamata yang bertengger di hidungnya. Ruangan tempat ia berada sekarang terlihat cukup luas, tapi tidak ada penghuni lain selain dirinya. Pria itu mengasingkan diri jauh dari tempat seharusnya. Bukan untuk menghindari seseorang, melainkan membangun usaha yang sekarang sudah banyak dikenal bahkan sampai ke penduduk negara asalnya.

Ditemani dengan secangkir kopi dan sebuah pigura kecil yang selalu diletakkan di atas meja, pria itu membalikkan halamanㅡmenciptakan satu-satunya sumber suara dari ruangan yang begitu sunyi. Ponselnya berdering, sebuah kontak dengan nama yang begitu ia nantikan muncul di layar. Menyudahi kegiatannya di atas tumpukan kertas, pria itu beranjak sembari menerima panggilan. Sedikit berjalan ke arah jendela hanya untuk mengamati bagaimana malam menemani perbincangannya dengan sang anak.

"Ada apa kau menghubungiku?" Suara beratnya terdengar usai mendengar salam dari seseorang di ujung telepon.

"Ayah, aku sudah mengirimkan uang padamu. Dengan ini, aku hanya perlu melunaskan setengah dari pinjamanku, benar?"

Pria itu terdiam, tidak langsung menanggapi. "Lee Jihyuk ...."

"Jika Ayah hanya mengulangi kalimat yang sama tiap kali aku menelepon, sebaiknya kita sudahi saja pembicaraan ini. Aku hanya ingin memberi tahu tentang itu saja."

Mendengar apa yang dikatakan oleh Jihyuk, pria itu justru tertawa. "Ayah hanya ingin memanggil namamu karena sudah terlalu rindu dengan kalian. Bagaimana kabarmu, Eunso dan ibumu?"

Terdengar suara helaan dari ujung sana. "Nyaris saja aku akan menutup telepon ini. Aku dan semuanya baik-baik saja. Ayah bagaimana?"

"Tentu saja baik. Sudah malam, seharusnya kau istirahat. Mengapa repot-repot meneleponku di jam-jam seperti ini?"

"Bukannya aku yang harus bertanya pada Ayah, mengapa kau masih menerima teleponku? Selain untuk menyampaikan hal tadi, aku juga ingin memastikan apa Ayah sudah istirahat malam-malam begini. Ternyata dugaanku tepat. Berhentilah bekerja terlalu keras, apa lagi yang kau cari, Yah?"

"Bagaimana lagi? Dalam waktu dekat, Ayah akan menutup perusahaan ini. Ayah juga harus memberikan yang terbaik bahkan sampai akhir."

"Ayah ... aku benar-benar tidak ingin kau bersikap seperti ini, tapi aku juga tidak bisa melakukannya. Ayah tahu? Aku tidak ingin menyia-nyiakan apa yang pernah aku lewatkan dulu."

Memang adalah hal yang percuma jika berbicara dengan Jihyuk. Lelaki itu hanya melakukan apa yang memang ingin ia lakukan. Sekalipun kedua orang tuanya yang meminta, ia jarang goyah. Keras kepala.

Mendengar banyak penolakan dari Jihyuk membuat rasa sakit di kepala Jaesung kambuh. Mungkin juga bukan sekadar sakit kepala, sel-sel itu mulai beraksi kembali. Sempat memejamkan mata dan memegang pelipis guna menahan nyeri, tapi nyatanya tidak banyak berpengaruh. Pria itu mengambil butiran obat, sedang seseorang di ujung panggilan masih menunggu.

"Ayah mengerti. Sudah, ya. Segeralah istirahat."

Jaesung memilih untuk mengakhiri perbincangan keduanya. Usai meletakkan ponsel di atas meja, pria itu mengamati potret yang tersimpan di dalam pigura sembari menunggu keadaannya pulih.

"Apa yang sudah kulakukan pun ternyata percuma saja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro