Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07 - Sebuah Permulaan

"Apa kau bilang?!" pekik gadis berambut pendek sambil sedikit menggebrak meja kerjanya. Gadis itu refleks beranjak dan menatap lawan bicaranya dengan mata membulat.

Hyora meraih salah satu lengan Soyoung dan memintanya untuk tidak membuat kehebohan. Semua pasang mata sudah terarah ke arah mereka ketika gadis bermarga Jeon itu berbicara keras-keras. Melalui gerakan bibir Hyora, terlihat jelas kalau ia ingin sahabatnya diam saja. Sungguh, reaksi yang ditunjukkan oleh Soyoung sama sekali tidak meringankan pikiran Hyora dan justru sebaliknya.

"Coba kau ulangi," pinta Soyoung, kali ini dengan suara yang lebih pelan. Kepalanya sengaja didekatkan dengan Hyora.

Gadis yang diajaknya bicara itu menghela napas. "Cho Wooyeon mengajakku makan malam."

Mulut Soyoung sukses terbuka lebar. Sorot mata keterkejutan gadis itu semakin membuat pikiran Hyora kacau. Ia memijat pelipisnya berulang kali.

"Kau pasti juga berpikir sama denganku, 'kan? Apa yang dia pikirkan saat memberiku undangan makan malam ini? Apa dia ingin menyuapku dengan perilaku manis supaya bisa mendapat bayaran yang lebih rendah?"

"Tidak," sela Soyoung sembari segera menutup mulut dengan kedua tangannya. "Ini keren! Bagaimana bisa seseorang yang terkenal mengundangmu secara pribadi? Ah, aku iri padamu."

"Astaga, kau ini!" Hyora memutar bola matanya. "Kau iri pada hal semacam ini? Sementara aku ingin menolaknya atau ...."

"Atau apa?" Tangan Soyoung tidak lagi berada di wajahnya. Ia mengerjapkan matanya berulang kali, memundurkan tubuh untuk menjauh dari Hyora.

"Kau saja yang datang menggantikanku," putus Hyora cepat sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Kedua netra Hyora mengamati wajah Soyoung, menaikturunkan alisnya seraya menanti jawaban. Salah satu tangannya digunakan untuk menopang wajah. Samar-samar, ia mengangguk. Tersadar bahwa kalimat yang secara asal dilontarkannya juga bukan sebuah ide yang buruk.

"Sebentar, sepertinya aku melupakan sesuatu," sela Soyoung sembari beralih dari hadapan Hyora. Tangannya sibuk mencari sesuatu dari tumpukan dokumen yang ada di meja.

Mengamati tingkah rekan kerjanya itu, Hyora ikut beranjak dan sedikit berjalan menuju ruang kerja Soyoung. Tubuhnya dicondongkan ke arah gadis yang terus bergeser. Dengan sedikit memiringkan kepala, ia dapat memperhatikan raut wajah Soyoung dari bawah.

"Berhenti membuang tenagamu dengan melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak ada," ujar Hyora santai kemudian tersenyum. "Kau saja tidak memberikan tanggapan yang benar, makanya aku berusaha mencari jalan keluar terbaik."

Soyoung mendecak. Gerakan tangannya terhenti. "Untuk apa aku datang ke sana? Muncul di depannya lalu berkata, 'Hyora tidak dapat datang malam ini, jadi aku yang menggantikannya. Boleh aku duduk di sini?'. Aku sudah bisa menebak reaksi Wooyeon."

"Bagaimana?"

"Dia akan menanggapiku sekilas, beranjak lalu pergi. Meninggalkanku yang sudah berperilaku bodoh atas keinginanmu."

Gadis berambut gelombang itu tergelak. Mendengar segala perkataan Soyoung lengkap dengan gerak-geriknya. "Tidak akan sejahat itu. Aku serahkan saja padamu, ya?"

"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Terima saja ajakan itu. Hitung-hitung mendekatkan diri dengan klien," bantah Soyoung. Dering telepon mengalihkan fokus gadis itu. "Halo, Kepala Kim?"

"Kalau memang dia ingin mendekatkan diri, seharusnya kita bertiga yang datang dan bukan hanya aku. Soyoung, temani aku ke sana saja, ya. Adil, 'kan? Bukan perkara hanya aku atau kau, tapi kita," rengek Hyora. Jarinya menunjuk lawan bicara dan dirinya secara bergantian. Terus-menerus berbicara, tidak peduli meski Soyoung sedang sibuk menerima panggilan.

Usai gagang telepon dikembalikan oleh Soyoung ke tempat semula, ia meraih sebuah buku kecil dan berdiri. Segera berpaling dari hadapan Hyora yang masih tidak berpindah sedikit pun, tapi Soyoung membalikkan tubuh sebelum benar-benar pergi.

"Kau pergi saja, tapi ingat untuk berikan kesan yang baik padanya! Anggap saja ini adalah kesempatanmu untuk mendapat nilai tambah di mata laki-laki itu. Kau sama sekali tidak dirugikan di sini, mengerti?"

***

"Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Hyora sekarang?" tanya Wonseok.

Lelaki itu masih mengunci atensi pada buku yang ada di tangannya. Terduduk di atas sofa, sementara kedua sahabatnya terlihat sibuk dengan konsol permainan.

"Kurasa apa yang selama ini kita khawatirkan adalah hal sia-sia," tanggap Jeongchan sembari terkekeh. "Pertama kali aku bertemu keduanya di kafe kemarin terlihat baik-baik saja."

Jihyuk menoleh ke arah Jeongchan sekilas kemudian kembali melihat layar lebar di hadapannya. "Siapa yang mengatakan kalau itu sia-sia? Kau harus tahu kalau malam sebelumnya terasa begitu canggung untuk aku dan Hyora."

"Setidaknya kau sudah bisa menangani masalahmu dengan Hyora sendiri. Kalau begitu, hari-hariku akan lebih tenang tanpa keluhanmu." Wonseok menganggukkan kepala, sedang jemarinya sibuk membalik halaman buku.

Jeongchan meletakkan konsol permainannya, menggeser tubuh supaya menjadi sedikit lebih dekat dengan Jihyuk. "Lihat, semua yang kukirimkan tidak ada yang ia tanggapi. Apa aku mengatakan hal yang salah? Bagaimana ini?"

Manik hitam Jihyuk terbelalak mendengar apa yang diucapkan oleh Jeongchan. Dipukulnya lengan laki-laki itu sampai ia meringis kesakitan. Kalimat yang baru saja dikatakan oleh lelaki berlesung pipi itu hanya sedikit dari sekian banyaknya keluhan Jihyuk usai kepergian Hyora. Terlalu sering, tidak heran kalau Jeongchan mampu menghafalnya. Segera Jihyuk merampas konsol permainan milik Jeongchan, tapi lelaki itu tidak mau diam saja.

"Kau pulang saja! Aku tidak mau mengizinkan orang yang suka berbicara omong kosong bermain di sini," rutuk Jihyuk.

"Fakta, itu fakta!" Setelah berhasil merebut benda dari tangan Jihyuk, lelaki itu sengaja fokus pada permainannya saja. Jihyuk tidak akan membantah perkataannya lagi kali ini karena memang tidak ada yang bisa ia elak.

"Lalu ...." Wonseok menutup bukunya kemudian menyondongkan tubuh ke depan. "Bagaimana dengan Yeonmi?"

Kedua alis Jihyuk tertaut. Dahinya mengerut lantaran bingung tentang ke mana topik pembicaraan mereka mengarah. Hyora dan Yeonmi, kedua gadis itu tidak ada hubungannya sama sekali.

"Setelah Hyora kembali, kau tidak akan mengabaikannya, 'kan?" Menyadari sorot kebingungan dari mata Jihyuk, Wonseok langsung mengutarakan pertanyaannya dengan jelas. Namun, balasan lelaki itu hanya tertawa, berbeda dengan Wonseok.

Jihyuk sempat menoleh ke belakang sekilas. "Apa? Tentu saja tidak, mereka sama pentingnya bagiku."

"Baguslah kalau begitu."

Suasana di antara ketiganya menjadi hening setelah pembicaraan yang diakhiri oleh Wonseok. Jihyuk terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya. Beberapa kali tersenyum, tapi setelahnya tersentak. Lelaki itu refleks beranjak dan berteriak.

"Yang benar saja?!"

Akibat suaranya yang terlalu lantang, Jeongchan mendengus kesal. "Ah, permainanku kalah karenamu!"

"Ada apa? Bicara yang benar. Jangan langsung berteriak dan membuat semuanya kaget seperti itu," timpal Wonseok yang sudah menegakkan tubuhnya.

Tidak menanggapi satu pun ucapan sahabatnya, Jihyuk kembali meraih ponsel. Matanya menyipit, mengamati gambar yang baru diterimanya beberapa detik lalu. Penglihatannya tidak salah.

"Hyora sedang makan malam bersama laki-laki yang datang ke kafe kemarin. Siapa namanya? Klienmu itu," tanya Jihyuk dengan gerakan alisnya.

Baik Wonseok maupun Jeongchan menghela napas. Keduanya kembali dengan aktivitas mereka sebelumnya. "Pianis itu? Cho Wooyeon. Bukan hal yang asing karena beberapa klien memang melakukan hal seperti itu untuk menjaga hubungan baik."

"Kalau begitu, bukankah seharusnya kau ada di sana juga?" Jihyuk memutar posisi duduknya, menghadap Jeongchan.

Lelaki yang ditanyanya itu sempat terdiam kemudian mengangkat bahu. "Benar juga, tapi tidak masalah. Biar perwakilan dari kami saja."

Mendengar jawaban dari Jeongchan, lelaki itu mengangguk. Ia mendesis seraya kembali membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Hyora. "Aku baru tahu kalau hubungan kalian bisa seperti itu."

***

Gadis dengan pakaian formal melangkah masuk. Kakinya bergerak pelan, sedang matanya tidak berhenti memandangi setiap sudut gedung tersebut. Tempat yang luas dengan dekorasi berunsur klasik modern. Semua yang ditangkap oleh netra Hyora tidak ada hentinya membuat gadis itu terperangah. Bisa dikatakan kalau ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di sebuah restoran mewah.

"Berjalanlah lebih cepat sedikit," keluh seseorang yang juga berjalan di belakangnya.

"Oh?" Hyora menoleh. "Iya, iya. Aku juga harus mencari tahu di mana ia berada."

Adalah Jeon Soyoung yang terpaksa datang bersama Hyora. Kalau bukan karena Hyora yang datang ke rumahnya dan meminta izin pada ibu Soyoung atas dasar pekerjaan, ia pasti tidak akan berada di sini. Lebih baik menghabiskan waktu malamnya di telepon bersama sang kekasih, daripada harus bertemu seseorang yang jelas-jelas tidak menginginkan keberadaannya.

"Aku harus bilang apa kalau dia bertanya? Aku ini tamu yang tidak diundang," cecar Soyoung.

"Sekali in saja, tolong bantu aku. Rasanya akan sangat canggung jika hanya berdua saja. Kau tidak perlu memberikan alasan apa-apa, biar aku yang mengatakannya." Hyora terus melangkahkan kakinya dan mencari keberadaan Wooyeon.

"Itu, di sana!"

Seorang laki-laki dengan kemeja berwarna hitam sedang duduk di bagian tengah ruangan sembari bersedekap. Sesekali memandangi jam yang melingkar di tangannya, juga menoleh ke arah pintu masuk. Ketika menyadari keberadaan Hyora, lelaki itu menorehkan senyum. Sebuah senyuman yang menuntun Hyora dan Soyoung untuk menghampirinya.

Wooyeon beranjak saat keduanya sampai di hadapan lelaki itu. Saling membungkuk sebelum akhirnya mendudukkan diri. Laki-laki itu menyadari kedatangan Soyoung bersamanya, tapi nyatanya tidak mengatakan apa punㅡatau bahkan protes. Sangat jauh dari ekspektasi Hyora, terlebih Soyoung.

"Maaf aku tidak memberi tahumu sebelumnya, tapi tidak masalah jika aku mengajak Soyoung juga, 'kan?" Hyora berinisiatif untuk mengatakannya lebih dulu seraya melihat ke arah Soyoung dari ekor matanya.

Melepas pandangan dari buku menu yang sedang ia baca, lelaki itu mengangkat kepalanya. Menatap Hyora dan Soyoung kemudian menggeleng. "Tidak masalah."

Hyora menyenggol siku Soyoung setelah mendengar jawaban dari Wooyeon. Berbicara dengan nada pelan supaya laki-laki di hadapannya tidak mendengar. "Sudah kukatakan, bukan?"

Keduanya saling tersenyum canggung. Wooyeon itu seseorang yang memiliki nama, tidak mungkin bersikap yang merugikan dirinya ketika berada di tempat umum. Setidaknya begitu yang ada di dalam pikiran Hyora. Usai pelayan pergi dengan membawa buku menu dan pesanan ketiganya, laki-laki yang mengundang mereka makan malam tidak juga berbicara satu patah kata pun. Aneh. Ia yang memaksa Hyora untuk datang, tapi setelah bertemu justru seperti ini.

"Tuan Cho," panggil Hyora pelan, "apa yang ingin kau katakan padaku?"

Wooyeon menyandarkan tubuhnya. "Tentang itu? Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, tapi kau bisa berbicara santai saja padaku. Umur kita tidak berbeda jauh."

Tidak habis pikir dengan apa yang ingin dilakukan oleh lelaki itu, Hyora mengernyitkan dahi. Jika tidak ada yang ingin ia bicarakan, lantas mengapa tidak membatalkan pertemuan mereka malam ini. Alih-alih bertanya, gadis itu memilih untuk diam saja. Anggukan Hyora menjadi akhir dari percakapan singkat keduanya.

"Kurasa aku harus ke toilet sebentar," izin Soyoung yang mengundang tatapan tajam dari Hyora. Gadis itu benar-benar tidak mengerti waktu dan seenaknya pergi saat suasana seperti ini.

Usai Hyora dan Wooyeon ditinggalkan hanya berdua saja, raut wajah lelaki itu berubah. Dari sorot matanya, terlihat bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. Sementara itu, Hyora menundukkan kepala—sibuk mengamati lelaki di depannya diam-diam.

"Sebenarnyaㅡ" Suara Wooyeon memecah keheningan di antara mereka.

"Eoh?" Hyora menunjuk ke arah tas milik laki-laki itu, pun dengan Wooyeon yang mengarahkan penglihatannya mengikuti Hyora. "Kau punya foto yang sama denganku?"

Cepat-cepat gadis itu mengambil sebuah benda dari dalam tas. Benda yang sebelumnya ia tunjukkan pada Jihyuk, potret dirinya di kafe tempo hari. Ia mengangkat kertas tersebut dengan jelas.

"Apa mungkin ... kau?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro