03 - Deretan Tanpa Nama
Seorang anak kecil dengan rambut terikat dua hanya bisa bersembunyi di balik tembok. Ia merapatkan tubuhnya dengan dinding tersebut. Semakin dekat jika dua orang yang sejak tadi diamatinya beradu teriak. Sesekali air mata mengalir di pipinya lantaran sangat takut. Pria berumur 37 tahun itu menggeret paksa beberapa koper yang sengaja ditahan oleh wanita di depannya.
"Aku mau pergi, tidak usah melarangku!" seru pria tersebut.
Wanita itu tidak mau kalah. "Kau gila?! Apa yang kau pikirkan? Kalau bukan untukku, setidaknya berpikirlah demi Hyora!"
Tubuh anak kecil itu tersentak ketika namanya disebut. Sesegera mungkin ia berlindung, tidak lagi menyaksikan perdebatan mereka karena pria itu mulai melihat ke arahnya. Hyora menyandarkan punggungnya ke dinding. Memeluk erat kedua kakinya dan tertunduk. Isak tangis mengiringi perkelahian kedua orang tuanya. Bukan yang pertama kalinya, hal itu sudah sering terjadi.
"Kau memintaku berpikir demi Hyora? Oke! Biarkan dia ikut denganku."
"Sekalipun kau memaksa, ia tidak akan mau."
Semakin mendengar keributan itu, semakin kencang Hyora menangis. "Ibu ... Ayah ... hentikan."
"Ya sudah, silakan kau pergi, tapi jangan harap bisa bertemu dengan Hyora lagi," ujar wanita yang perlahan mundur, tidak lagi menahan seseorang di hadapannya.
Terdengar tawaan kecil, tapi bukan tawa kebahagiaan. Laki-laki itu memajukan wajahnya, mengangkat salah satu alisnya. "Berani mengaturku? Aku masih punya hak atas Hyora."
"Mulai hari ini tidak lagi. Urus saja wanita itu! Dia sudah berani merebut semua momen yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak dari ayahnya. Dia ituㅡ"
"Tidak ada urusannya dengan itu! Sudah berapa kali kukatakan?"
Mendengar apa yang diucapkan oleh seseorang di hadapannya, wanita dengan rambut sebahu itu mendecih. "Lihat, kau membelanya lagi. Baiklah, kau boleh pergi. Aku akan mengurus perceraian denganmu besok."
Gadis yang sejak tadi menangis pun menghentikan isaknya. Satu kalimat singkat yang keluar dari mulut ibunya terasa begitu menyakitkan. Sama seperti anak-anak pada umumnya, ia hanya ingin menjalani hari-hari dengan bahagia bersama kedua orang tuanya.
"Kalau aku tahu jika ini akan menjadi foto terakhir kita bersama, seharusnya aku meminta Ayah mengambil gambar lebih banyak lagi," ujar Hyora sembari meletakkan pigura di atas meja, menyudahi pikirannya yang melayang ke masa lalu.
Dering ponsel berhasil mengalihkan perhatian Hyora. Meninggalkan beberapa barang yang masih diletakkan secara sembarang, ia meraih benda yang terus berdering itu.
"Mengapa kau butuh waktu lama hanya untuk mengangkat panggilanku?"
Sembari berjalan kembali ke depan mejanya, Hyora mengaktifkan pengeras suara supaya masih tetap bisa berbicara dengan seseorang di ujung telepon.
"Aku sedang merapikan kamarku, ada apa, Kak?"
"Eoh? Masih belum selesai? Kau butuh bantuan?"
"Tidak, tidak. Hampir selesai. Kenapa kau meneleponku? Katakan saja, aku akan mendengarkannya."
"Ibu mengajakmu datang untuk makan malam di rumah."
Hyora menghentikan gerakan tangannya sekilas, memandangi layar ponsel yang masih menyala. Ia sedikit terkejut begitu mendengar perkataan Jihyuk.
"Kau mengatakan padanya kalau aku ada di sini?"
Lelaki di ujung sambungan itu mendeham. "Lalu kau mau aku diam-diam saja? Ibu terlihat begitu senang."
"Tidak juga. Baiklah, aku akan datang ke rumahmu setelah ini selesai."
"Oke, sampai bertemu nanti!"
Dua sudut bibir di wajah Hyora mengembang. Ia menghela napas. "Untuk apa aku menyesali waktu yang sudah berlalu, sementara aku memiliki banyak orang yang begitu menyayangiku?"
Ketika banyak orang mengatakan bahwa seseorang bisa menjadi sosok dewasa karena keadaan, Hyora benar-benar membuktikannya. Berbulan-bulan tinggal seorang diri dan jauh dari orang tuanya, mau tidak mau membuat gadis bermarga Shin itu mempelajari banyak hal tentang kehidupan. Apa yang terjadi tidak selalu buruk, pun selalu ada cara yang dapat ditempuh untuk mengubah hal buruk menjadi lebih baik.
Ia melirik jam yang terus berdenting pada dinding cokelat mudanya. Masih ada waktu dua jam sampai saatnya makan malam. Gerakan tangan Hyora dipercepat setelah matanya mengedarkan pandang pada seluruh sudut ruangan, mengamati barang-barang yang masih tergeletak tidak pada tempatnya. Hingga pada akhirnya, ia berhasil membuat keadaan rumahㅡsedikitㅡlebih baik tepat setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan.
"Selesai," ucap Hyora sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Tersenyum puas atas apa yang sudah dilakukan, tapi beberapa detik setelahnya ia mendecak. "Setidaknya lebih baik dari sebelumnya."
Gadis itu segera bersiap-siap mengingat ia harus pergi ke rumah Jihyukㅡyang jaraknya bisa ditempuh sekitar 10 menit. Namun, seseorang memanggilnya dari luar. Memberikan sebuah amplop berukuran kecil. Jika diingat-ingat, Hyora belum memberi tahu siapa pun tentang keberadaannya di Seoul, kecuali Yeonmi dan Jihyuk, tapi ia tiba-tiba mendapat paket yang bahkan tidak memiliki identitas lengkap. Seteliti apa pun kedua netra Hyora memandangi benda itu, ia tetap hanya menemukan satu huruf sebagai inisialㅡatau tidak bisa dikatakan sebagai inisial karena kelihatan seperti sebuah coretan yang tidak sengaja membentuk huruf.
"Pak, siapa yang mengirimkan ini untukku?" tanya Hyora sembari mengangkat amplopnya.
"Aku hanya bertugas sebagai pengantar, kau bisa coba membaca siapa pengirimnya di amplop itu."
"Tapi ...." Usai memberikannya pada Hyora, petugas tersebut langsung berpamitan. "Aku tidak akan bertanya kalau semuanya tertulis jelas di sini."
Gadis itu mengerucutkan bibir dan berbicara dengan suara pelan. Membalikkan tubuh sembari terus membolak-balikkan amplop yang ada di tangannya. Tanpa sadar, kakinya menginjak sesuatu. Kedua alisnya menyatu ketika melihat benda yang sama juga ditemukannya di depan pintu rumah.
"Apa ini?"
***
Semua tampak sibuk dengan beberapa piring di tangan masing-masing. Lee Jihyuk dan Lee Eunso, kakak-beradik yang juga turut serta dalam penyambutan kedatangan Hyora. Bersahabat dengan Jihyuk selama bertahun-tahun, membuat Hyora menjadi lebih dekat bahkan dengan keluarga lelaki itu. Seorang wanita berumur 52 tahun tengah merapikan meja makan sembari sesekali melirik ke arah dapur, sekadar memastikan kalau kedua anaknya melakukan hal yang benar.
"Ya! Ya! Kau tidak boleh memakannya," cegah Jihyuk sambil melayangkan tangannya ke arah wajah Eunso. Terlalu lambat, laki-laki yang diajaknya bicara sudah menunjukkan senyuman tanpa rasa bersalah.
"Kita akan menyiapkan makanan ini untuk Kak Hyora, aku harus memastikan kalau rasanya sudah enak," tanggap Eunso.
"Lalu bagaimana rasanya?"
Eunso cepat-cepat mengangkat ibu jarinya tepat di depan wajah Jihyuk. "Tentu saja enak!"
Jawaban yang sudah Jihyuk duga, lantas ia menyenggol siku adik satu-satunya itu. "Cepat letakkan di sana atau kau akan menghabiskan semua makanannya dengan mengandalkan alasan itu."
Kaki Jihyuk sudah melangkah lebih dulu, tapi Eunso berhasil membuat langkahnya terhenti hanya dengan satu kalimat singkat.
"Kau memakai parfum, Kak?"
Tidak hanya Jihyuk, Myungheeㅡibu merekaㅡjuga ikut menoleh. Situasi yang diciptakan oleh Eunso membuat putra sulung keluarga Lee menjadi pusat perhatian. Jihyuk membulatkan matanya, menggeleng perlahan.
"Tidak! Aku memang wangi seperti ini," elak Jihyuk.
"Kalau tidak, kenapa kau harus melakukan itu kepadaku?" Eunso membelalakkan matanya, sengaja mengulangi respon Jihyuk, dan menggertakkan gigi.
"Memangnya ada arti apa dengan tatapan itu?!"
"Kau sepertiㅡ"
Ucapan Eunso terjeda ketika mendengar bunyi bel dari luar. "Oh! Itu pasti Kak Hyora!"
Raut wajah Eunso berubah seketika, senyuman lebar milik lelaki itu memang tidak pernah berbohong. Benar-benar polos, ia akan tersenyum jika benar-benar merasa sedang bahagia, begitu pun sebaliknya. Laki-laki itu segera memberikan piring yang ada di tangannya pada Jihyuk. Berlari ke arah pintu, tapi sebelumnya memberi satu bisikan pada sang kakak yang membuatnya semakin mengerutkan dahi.
"Telinga Kak Jihyuk memerah."
Netra Jihyuk mengerling, sesudahnya mendecak kesal. Ia menaikkan bahu, berusaha menutupi telinganya meski apa yang dilakukan lelaki itu sama sekali tidak membantu. "Menyebalkan, Lee Eunso."
Tidak butuh waktu lama untuk Eunso mengajak tamu yang datang ke rumah mereka masuk. Atensi Myunghee teralih begitu mendengar derit pintu, menampakkan seorang gadis dengan sweater berwarna hijau tua melekat di tubuhnya.
"Hyora! Bagaimana kabarmu? Danㅡah, mengapa kau repot-repot seperti ini?" tanya Myunghee ketika gadis yang baru disebutkan namanya itu menyodorkan satu buket bunga.
"Kalau membawa bunga saja Ibu sebut dengan merepotkan lalu kata apa yang cocok untukku karena sudah membuat kalian mempersiapkan makan malam ini?" Senyum gadis itu mengembang, semakin lebar ketika Myunghee membawa tubuhnya ke dalam pelukan. "Aku benar-benar merindukan Ibu seperti ibuku sendiri."
Myunghee membelai pucuk kepala Hyora kemudian mendeham. "Sudah, kau pasti lelah karena seharian penuh mengurus banyak hal. Ayo, kita ke meja makan!"
Dalam hitungan detik, meja persegi panjang itu sudah penuh dikelilingi oleh keluarga Lee beserta Hyora. Gadis kuncir satu yang lahap menikmati makanannya sejak tadi juga banyak bercerita. Tentang kegiatannya selama di Jejuㅡtempat ia bekerjaㅡdan segala keluh kesah menyangkut pekerjaan.
Rasanya sudah lama Hyora tidak membagikan cerita kepada siapa pun, semenjak gadis itu memutuskan untuk menyendiri. Memilih fokus dengan karir dan impian yang sudah dirancangnya. Namun, sepertinya Hyora telah salah mengambil keputusan. Kenyataannya, sekuat apa pun ia ingin berusaha melakukan semuanya seorang diri, ia masih tetap membutuhkan orang lain untuk bersandar. Malam itu membuatnya sadar akan kebahagiaan sederhana yang selama ini ia lewati begitu saja.
"Jihyuk, kau sudah selesai makan? Cepat bereskan piringmu," suruh Myunghee sambil masih menikmati beberapa suap terakhir makanannya.
"Ibu, masih banyak yang ingin kubicarakan dengan Hyora," rengek Jihyuk kemudian memangku dagu dengan kedua tangannya.
Myunghee menggeleng. "Jangan membiasakan diri seperti itu."
"Ah, tapi, Bu ...," potong Hyora, "ada yang ingin kusampaikan pada Kak Jihyuk juga."
Sang pemilik nama seketika menoleh, pun dengan Myunghee dan Eunso. Ketiganya mengamati Hyora sedang sibuk mencari sesuatu dari dalam tas. Hingga akhirnya sebuah kertas persegi panjang diletakkan oleh gadis itu di atas meja, pandangan mereka teralih. Jihyuk mengernyitkan dahi.
"Ini fotomu lalu apa?" tanya lelaki itu usai melihat potret seseorang yang ada di hadapannya.
"Coba perhatikan baik-baik." Hyora menunjuk foto tersebut dengan jarinya, sedang Jihyuk hanya menanggapinya dengan desisan. "Foto ini baru diambil hari ini. Pakaiannya persis seperti yang kupakai saat pagi tadi ke kafemu dan namaku juga tertulis jelas di sini."
"Kalau benar-benar diperhatikan, aku baru sadar. Siapa yang memotretmu?"
"Aku menunjukkan foto ini pada Kak Jihyuk dengan harapan bisa mendapat petunjuk darimu. Mungkin kau melihat ada orang mencurigakan yang datang ke kafe?"
Jihyuk menggeleng. "Tidak terlalu banyak pengunjung hari ini, tapi aku juga tidak memperhatikan seperti apa orang yang datang. Tidak ada keterangan pengirim?"
Hyora menghela napas. "Tidak ada. Yang jelas, sepertinya dia mengenaliku bahkan sampai tahu di mana aku tinggal."
"Kak Hyora, mendengarnya saja sudah membuatku merinding," keluh Eunso sembari mengusap kedua lengannya.
"Benar, 'kan?" tanggap Hyora sembari mengamati potret wajahnya sekilas. "Mau dipikir berapa kali pun aku masih tidak mengerti apa yang kira-kira menjadi tujuannya."
🔸🔸
Adalah wajar kalau setiap orang punya hal-hal yang mengganggu pikirannya, tapi jangan lupa kalau selalu ada orang untuk berbagi. Yuk, semangat buat semua yang lagi punya masalah mengganjal! Jangan dipendam sendiri, ya.
Selamat menjalankan aktivitas, teman-teman ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro