Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 9. Ajang Memasak

Amara sibuk memandangi layar ponsel. Ia penasaran dengan Nadira Kemala, mantan istri Keenan. Pada aplikasi berbagi foto dan video online, Amara pun mencari Nadira. Dan ia menemukan akun bercentang biru tersebut.

Amara serius men-stalking feed Nadira yang estetik. Pantas saja Julie sangat cantik, baik Nadira mau pun Keenan sama-sama bibit unggul.

Pakaian yang dikenakan Nadira kebanyakan terbuka dan seksi. Begitu pula dengan posenya. Wanita itu punya wajah sensual dan tubuh aduhai. Seakan sadar dengan pesona diri --- Nadira selalu menonjolkan buah dada yang terbuka melalui pakaian ketatnya. Hidup artis itu juga hedonisme. Terlihat bahagia dan berkilau.

Namun, dari ratusan potret yang Nadira pajang, tak ada satu pun foto Julie. Hal tersebut lantas menimbulkan kesan ganjil bagi Amara.

Ah. Kenapa dia harus pusing?

Dirinya sendiri memiliki masalah cukup pelik. Semua tentang Keenan. Entah apa yang bakal Amara lakukan ketika nanti menjumpai lelaki itu lagi.

Amara mana mungkin berhenti begitu saja dari pekerjaan sebagai guru privat Julie. Bastian bisa marah besar. Dan parahnya --- pernikahan mereka jadi taruhan.

***

Hari yang Amara takutkan pun datang.

Ia terpaksa kembali ke istana Keenan Alkala Ibrahim untuk memberikan kelas seni pada Julie. Sepanjang jalan, Amara merapalkan doa-doa --- semoga Keenan lembur dan pulang setelah pelajaran selesai.

Bertemu dengan lelaki itu pasti hanya akan memberikan suasana canggung.

"Non Julie sudah menunggu, Miss. Kelas hari ini dia minta di kamarnya saja." Santi menyambut Amara dengan ramah.

"Iya, Bu. Tidak masalah. Asal Julienya nyaman." Amara mengikuti langkah Santi. Ia melewati sisi lain dari rumah Keenan yang luas.

Santi mempertahankan senyum. Tetapi sorot pengurus rumah itu seolah menyiratkan getir. "Mohon kesabaran Miss Amara dalam menghadapi Non Julie. Saya sudah bersama dia semenjak usianya dua tahun," terangnya. "Masalah keluarga dan kepindahan yang mendadak ke Surabaya memang membuat Julie merajuk, Miss."

Amara mengangguk. "Baik, Bu Santi."

"Tapi saya melihat Non Julie cukup tenang hari ini. Semoga saja dia tak akan berulah."

Amara tersungging. "Saya sudah mempersiapkan diri, kok, Bu Santi. Tenang saja." Ia tak gentar menemui Julie, justru ayah dari anak itulah yang Amara hindari.

Santi menghentikan langkah. Ia membuka pintu dan mempersilakan Amara masuk.

"Silakan, Miss. Ini kamar Non Julie."

Mata Amara membulat ketika memasuki kamar Julie. Ruangan serba pink itu mirip istana boneka Barbie. Di dalam, Julie kecil sudah duduk manis menghadap kanvas yang terletak pada easel.

"Halo, Miss. Silakan masuk." Julie menengadahkan kepala.

Amara mengambil tempat tepat di sisi Julie. Ia menelisik paras bocah kecil itu dengan cermat. Ada yang berbeda dari Julie. Ia kuyu dan pucat. Rona bibir Julie putih leci serta kering pecah-pecah --- layaknya orang dehidrasi.

Namun Amara belum terlalu peka mengenai itu.

"Hari ini kita belajar tentang warna langit, ya. Julie tahu, 'kan, kalau warna langit kerap kali berubah-ubah?" kata Amara.

Julie mengangguk. "Kalau pagi langitnya warna biru tua. Siang langitnya biru muda. Terus sore oranye dan malam hitam. Gitu, ya, Miss?"

"Betul sekali." Amara tersenyum puas. "Nah, diantara warna-warna langit yang Julie sebutkan tadi, kira-kira mana yang paling Julie suka?"

"Julie tidak suka bangun pagi. Kalau siang terlalu panas dan terik. Sementara malam ... mengerikan karena gelap." Julie mengernyit berpikir. "Julie lebih suka saat sore atau senja."

"Wah, sama, dong. Miss juga suka warna langit di sore hari," timpal Amara.

"Oh ya? Kenapa?" selidik Julie.

"Mungkin ..." Amara tersungging. "Karena nama Miss Amara adalah Amara Senja. Jadi, Miss suka sama senja alias sore."

Julie melongo. "Oh, nama lengkap Miss, Amara Senja?" gumamnya. "Kenapa namanya gitu?"

Amara mengendikkan bahu seraya meringis. "Kata orang tua Miss, itu karena Miss lahir tepat saat matahari bersiap terbenam. Yaitu senja hari," terangnya. "Tempat kelahiran Miss dekat dengan laut. Pemandangan sunset-nya sangat indah dan cantik. Oleh sebab itu orang tua Miss Amara menamai Miss 'Amara Senja', berharap agar Miss bisa punya kehidupan seindah senja."

"Wah ..." Julie memandang Amara dengan mata membola.

"Julie, pernah lihat sunset di pantai?" tanya Amara.

Julie pun menggeleng. "Dulu Daddy dan Mommy janji ajak ke Anyer atau Bali. Tapi sampai sekarang belum ditepati. Kalau di Surabaya kata Bi Santi enggak ada pantai. Emang bener, Miss?"

"Ada, sih. Namanya Pantai Kenjeran."

"Kenjeran?" ulang Julie. "Kalau begitu nanti pas libur, Julie bakal ajak Daddy ke sana, ah!" Ia mendadak antusias.

Amara tersenyum kecut. Kenjeran mungkin tidak termasuk selera seorang Keenan.

"Wah pasti menyenangkan, ya," sahut Amara.

Mereka lalu memulai sesi kelas. Amara menerangkan hasil percampuran warna-warna primer. Warna merah dan kuning akan menghasilkan oranye atau jingga. Merah dan hitam menjadi merah tua. Merah campur biru berubah ungu --- dan lainnya.

"Langit sore adalah oranye. Warna tersebut percampuran dari warna apa saja?" tanya Amara.

Julie terdiam sebentar. "Merah dan kuning?" jawabnya.

"Tepat sekali!" Amara mengangguk. Julie benar-benar memperhatikan penjelasan yang ia tuturkan.

Amara lantas meminta Julie agar mencampurkan warna-warna primer agar menghasilkan warna baru. Ketika sedang serius melakukan tugas dari gurunya, perut Julie tiba-tib berbunyi. Gadis kecil itu berulang kali memegangi perut.

"Julie," panggil Amara. "Julie lapar? Tadi sebelum Miss datang belum makan, ya? Sekarang mau makan dulu?"

"Ngga. Julie ngga mau."

"Kok ngga mau? Perut Julie keroncongan, tuh. Kasian banget minta diisi." Amara menggoda Julie dengan menusuk perut Julie menggunakan telunjuknya.

Julie terkikik geli.

"Enggak, Miss. Julie nggak mau makan."

"Kenapa?" pancing Amara.

"Julie sedang mogok makan. Julie hanya mau makan kalau Mommy yang masakkin."

Amara terpenjat. "Astaga. Kamu meniru dari mana, mogok makan segala?"

"Teman di kelas Julie begitu. Dia nggak mau makan siang dan merengek minta dijemput mamanya. Terus, mamanya dateng. Julie juga mau begitu," terang Julie polos.

Amara menghela napas berat.

"Jadi, kamu sudah nahan lapar dari jam berapa?"

"Dari pagi."

Amara kembali terperanjat.

"Julie, kalau Julie tidak makan, nanti Julie bisa sakit ..." kata Amara.

"Biarin aja, Miss. Kalau Julie sakit, nanti Mommy, 'kan, pulang," balas Julie.

Hati Amara bak teriris. Keenan egois sekali! Gara-gara egonya yang tinggi, Julie harus jadi korban. Kenapa dia melarang Nadira menemui putrinya sendiri? Sekarang --- anak kecil itu harus menderita sendirian.

"Julie lanjutkan sendiri dulu, ya." Amara bangkit dari duduk. "Miss keluar sebentar."

Julie mengangguk. "Baik, Miss."

Amara pergi dari kamar Julie dan mencari Santi. Beruntung kali ini ia tak tersesat dan berpapasan dengan pengurus rumah itu di area foyer.

"Oh, Miss Amara?" Santi memandang Amara penuh tanya. "Ada apa?"

"Bu Santi ..." Raut Amara gamang. "Ehm, begini, sepertinya Julie belum makan dari pagi, ya? Maaf kalau saya terpaksa bilang begitu ... tapi ... tadi dia mengaku pada saya kalau sengaja tidak mau makan."

Mata Santi membelalak. "Astaga! Non Julie bilang begitu, Miss?" selidiknya. "Febi tidak bilang apa-apa sama saya."

"Febi?" Amara mengernyit.

"Febi itu governess¹ Non Julie," terang Santi. "Saya akan panggil Febi dan bicara padanya, Miss."

***

Sambil tertunduk takut, seorang wanita muda terdiam - mendengarkan omelan dari Santi. Dia adalah Febi. Menurut pengakuannya, ia tak berani berkata jujur karena takut dengan Santi dan Keenan.

"Non Julie bisa sakit, Feb!"

"Ya, Maaf, Bu Santi." Febi menghindari kontak mata.

Amara yang berada di tengah suasana tidak nyaman --- mencoba mendinginkan suasana.

"Sudahlah, Bu Santi. Lebih baik kita cari cara supaya Julie mau makan."

Santi mengarahkan telunjuk pada Febi. "Ini pertama dan terakhir saya memperingatkanmu, ya, Feb. Lain kali kamu begini, saya akan langsung berhentikan kamu."

"I-iya, Bu Santi. Saya janji tidak akan ulang lagi."

"Mbak Febi," panggil Amara lembut. "Biasanya Julie sukanya makan apa?"

"Dia suka ayam krispi, Miss. Hari ini saya sudah menyuguhkan Julie semua makanan kesukaannya. Tapi dia bersikukuh menolak. Sampai saya tawari kue juga tidak mau."

Santi kembali melotot. "Kamu kasih Non Julie kue? Pak Keenan ketat soal aturan makan Julie, lho, Feb!"

"Ma-maaf." Febi kembali terpojok. "Saya juga ikut kepikiran. Makanya kasih apa pun yang sekiranya Julie mau. Tapi ternyata dia tetap menolak. Dia bilang mau makan masakan buatan Mommy-nya."

"Dulu ... Mommy-nya Julie suka masak masakan apa, Bu Santi?" tanya Amara.

"Seingat saya, Ibu Nadira tidak pernah masak, Miss. Terjun ke dapur saja tidak."

Amara menangkap raut kesal yang tersirat pada Santi. Jelas bahwa kepala pengurus rumah itu tahu sesuatu yang ia tak tahu.

"Begitu, ya." Amara mendesah berat.

***

"Wah, cantik sekali lukisan yang kamu buat, Julie? Baru saja Miss tinggal sebentar, tugasmu sudah hampir selesai."

Amara duduk di samping Julie.

"Ini gambar pantai." Julie mengulum senyum malu-malu.

"Miss Amara juga mau ikut menggambar bersama Julie, ya. Boleh?" Amara melirik Julie. Ia merencanakan sesuatu.

"Boleh."

Amara lantas mengambil buku sketsa dan pensil warna. Ia mulai menggoreskan alat gambar ke atas kertas putih. Apa yang wanita itu pun lakukan memancing atensi Julie.

"Miss bikin apa?" Julie mengintip.

Amara mengulum senyum. "Miss sedang menggambar makanan-makanan yang Miss suka. Julie lihat, deh." Ia lihai menggores garis demi garis hingga menyerupai bentuk burger, pizza, dan ice cream.

"Itu kesukaan Miss semua?"

Amara mengangguk. "Kalau Julie sukanya apa?"

Julie meletakkan palet dan alat lukis di tangan. Ia serta merta menempel pada Amara. Bocah itu menelan saliva.

"Telur ceplok," jawab Julie.

"Telur ceplok?" Amara mengernyih.

"Dulu Mommy suka buatin Julie telur ceplok campur nasi kecap," terang Julie. Ia kembali meneguk ludah.

"Enak juga, ya, Julie. Telur ceplok dengan nasi yang masih hangat. Apa lagi kalau ditambah rumput laut kering."

Mata Julie berkilat. "Julie belum pernah coba begitu ..."

"Kalau telur dadar yang banyak isiannya pernah coba? Ada irisan wortel, bayam, sosis, dan daun bawang." Amara mengimbuhkan.

Julie menggelengkan kepala. "Mommy belum pernah buat, tuh. Mommy selalu sibuk syuting. Jadi Mommy cuma sempat buat telur ceplok. Sisanya koki yang masak."

"Wah sayang sekali. Padahal telur dadar gulung seperti itu enaaak sekali, lho."

Perut Julie kembali keroncongan. Ia buru-buru memegangi perut --- berharap bunyinya akan lenyap jika tersentuh tangan. Julie lantas meraih palet dan kuas untuk melanjutkan lukisannya. Ia berusaha menahan lapar sekuat tenaga.

Amara kembali melanjutkan, "Julie bisa minta tolong koki di dapur untuk membuatkan telur dadar gulung, 'kan?"

"Ngga." Julie bersikukuh. "Julie sudah bosan sama masakan koki. Sudah tahu rasanya."

Amara mengembuskan napas panjang. Julie memang cerdas dan cerdik hingga susah untuk dibujuk.

"Tapi kalau rasa masakan Julie, Julie belum tahu, kan?" pancing Amara.

Julie pun menoleh pelan. "Masakan Julie? Julie ngga bisa masak, Miss ..."

"Kata siapa?" Amara tersungging. "Belum dicoba, kan ...?"

Julie refleks membuang muka. "Kata Daddy ngga boleh main di dapur nanti kena api."

"Tapi Daddy-mu, belum pulang, lho ..." Amara membisik.

Julie terpegun. Bocah itu kini merasa sangat terpancing dan penasaran.

"Tapi kata Daddy, Julie harus kursus. Ngga bole main-main."

"Bikin telur dadar gulung juga termasuk seni," sergah Amara sekenanya. "Kita harus pintar atur komposisi bumbu dan bahan-bahannya. Membaliknya juga harus tepat waktu agar tidak gosong. Sama seperti pencampuran warna ketika melukis."

"Gi-gitu, ta, Miss?" Julie berbinar-binar.

Amara mengangguk semangat. "Jadi, gimana? Mau nggak memasak bersama Miss di dapur? Nanti kita cicipi bersama, kalau enak, berarti nilai seni Julie 100. Tapi, kalau kurang enak, terpaksa Miss kasih nilai 50." Bibirnya melengkung ke bawah seolah bersedih.

Julie bangkit dari kursi penuh semangat. "Julie bakal bikin yang enak!" serunya berapi.

***

Santi dan Febi berdiri agak jauh dari dapur. Mereka memandangi Amara dan Julie dengan saksama dan harap-harap cemas. Berdoa supaya rencana Amara memanipulasi Julie agar mau makan berhasil. Sementara para tukang masak, sudah menyiapkan semua bahan yang Amara minta. Mereka menjeda segala kegiatan demi memberikan keleluasaan untuk Julie.

"Aku boleh pegang pisau? Boleh potong sendiri?" tanya Julie.

"Boleh. Selama ada orang dewasa yang mengawasi, Julie boleh belajar menggunakan pisau. Julie mengerti?"

Julie mengangguk.

Bibir bocah itu terkatup ketika mencoba mengiris tipis daun bayam di atas talenan. Ia sangat fokus dan penuh kehati-hatian.

Sesekali Amara membimbing tangan Julie. Secara telaten wanita itu juga menjelaskan apa saja kandungan vitamin pada sayur mayur yang Julie potong.

"Kalau sosis, vitamin apa, Miss?"

Amara terkekeh. "Sosis ... tidak punya banyak vitamin, sih. Tapi karena rasanya enak, kadang-kadang makan ini juga nggak apa-apa. Pokoknya jangan sering-sering, ya?"

"Iya!" Julie tertawa lebar.

Jantung Amara berdetak kencang saat menangkap bungah Julie. Hati wanita itu bak tergelitik. Seutas rasa sayang yang tidak mampu Amara jabarkan mendadak menyergap.

"Miss, udah, nih. Terus gimana?"

Amara terkesiap. "Oh, ki-kita campur ke dalam mangkok, yuk."

Mereka berdua pun mengocok telur dan bahan-bahan yang sudah diiris kecil. Amara memberikan Julie kebebasan untuk menaburkan bumbu perasa ke dalam adonan telur. Semakin sedikit ia campur tangan --- maka kepercayaan diri Julie akan makin besar. Ia yakin, Julie akan menghabiskan masakan buatannya sendiri dan melupakan soal rencana mogok makan.

Setelah menggoreng telur pada wajan, Amara pun membantu Julie memindahkan masakannya ke atas piring. Meski bentuk telur dadar itu berantakan dan sedikit gosong pada setiap sisinya, Julie terlihat puas. Bocah itu tidak berhenti memandangi 'hasil karyanya' dengan mata berbinar-binar. Julie juga menambahkan tumpukan daun parsley sebagai hiasan.

"Cantik, nggak, Miss, buatanku?" pamer Julie bangga.

Amara tertawa gemas. "Cantikk sekali! Hmm, tapi bagaimana dengan rasanya, ya, Chef Julie?"

"Cepat kita makan kalau begitu! Miss Amara ambil nasinya. Dikasih kecap dikit, Miss!" titah Julie bossy.

"Siap, Chef!" Amara sigap menuruti perintah murid kecilnya. Ia sengaja mengambil nasi dalam porsi menggunung agar perut Julie kenyang.

Santi dan Febi ikut bernapas lega. Mereka senang bukan main karena Amara berhasil mempengaruhi ratu kecil Julie untuk makan.

"Sini, biar Mbak Febi yang bawakan piringmu ke meja makan." Febi menghampiri Julie.

Julie menyodorkan piring kepada Febi. "Hati-hati bawanya, Mbak Febi." Ia berlagak bak koki terkenal setingkat Gordon Ramsey atau Juna Rorimpandey.

"Nanti Bi Santi foto dulu sebelum dimakan, ya, Non." Santi senyum-senyum mengikuti.

Julie mengangguk pongah. "Boleh. Asal yang bagus fotonya, ya, Bi."

Amara menahan geli sambil mengekori. Mereka berempat menyusuri koridor menuju ruang makan. Tarikan bibir Amara seketika pudar saat tiba di sana. Ia terperangah dengan arsitektur tempatnya berada.

Kombinasi batu alam menempel pada setiap sisi dinding dan menciptakan suasana hangat. Lalu, penerangannya sendiri berasal dari lampu gantung kristal yang menjulur ke bawah. Di lain sisi, tampak rangkaian bunga mawar terpajang estetik pada setiap sudut meja. Yang terakhir, meja kayu jati tergeletak memanjang dilengkapi deretan kursi saling berjajar. Ruang yang mereka sebut ruang makan itu sungguh luar biasa mewah layaknya restoran bintang lima.

"Kalau dari tampilannya, sih, kelihatannya enak, ya, Miss?" Julie sudah duduk manis sambil bersiap melahap makanan. Cara bicara bocah itu mirip juri acara memasak.

Kedua alis Amara bertautan --- ikut menimpali gesture Julie.

"Kalau dari tampilannya memang menggiurkan, Chef. Tapi saya tidak yakin sampai kita mencicipinya."

Santi dan Febi yang berdiri di sisi meja kompak menahan tawa.

"Kita cobain sekarang ajalah, Miss. Ngga perlu bebasi-basi lagi," ucap Julie.

"Berbasa-basi, Julie," koreksi Amara.

"Iya. Berbasi-basa." Julie berusaha memperbaiki pengucapan tapi tetap gagal. Ia tidak peduli dan beralih memotong telur dadar untuk diletakkan ke atas piring nasinya.

"Silakan, Chef Julie makan duluan."

Secara impulsif, Julie memasukkan potongan besar ke dalam mulut. Ia tampak kesulitan bicara karena sibuk mengunyah.

"Yum ... my ..." gumam Julie sambil mengacungkan jempol.

Amara, Santi, dan Febi kompak bertepuk tangan.

"Ih, Non Julie hebat."

"Besok Mbak Febi juga mau makan masakan Julie," ucap Febi.

Hati Amara penuh haru bercampur bahagia. Baru kali ini ia merasa demikian setelah sekian lama. Ada kepuasan dan kelegaan ketika melihat Julie makan lahap di hadapannya. Perasaan yang mirip saat ia berhasil memenangkan hati klien-kliennya dulu.

"Miss, juga cobain dong!" Julie mengarahkan sendok menuju mulut Amara.

"M-Miss bisa suap sendiri, Julie." Amara sontak menolak.

Julie bersikukuh. "Aaaa ..." paksanya.

Tidak ada pilihan lain bagi Amara selain membuka mulut. Ia lantas menerima suapan Julie dan mengunyahnya pelan. Ekspresi Amara dibuat-buat layaknya seseorang yang hendak menangis.

"Luaaaarrr biasa, enak sekali, Cheeef!"

Julie berseru penuh keriangan. Amara ikut tertawa bahagia sambil menemani Julie melanjutkan makan. Mereka semua tidak menyadari Keenan berjalan mendekat. Lelaki itu rupanya baru pulang dari kantor.

"Malam," sapa Keenan.

Amara tersentak. Padahal ... ia berharap tak bertemu dengan Keenan hari itu. Sial! Lelaki egois itu sudah datang!

***

¹ Governess : pengasuh/penjaga anak usia 5-14 tahun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro