BAB 3. PERTEMUAN
Cerita ini sudah upload sebanyak 20 bab di aplikasi BESTORY. Silakan baca gratis 🖤
Telapak Amara menggerayang --- meremas gundukan kenyalnya kuat-kuat. Sementara, tangan satunya bersarang pada pertengahan kedua paha yang sudah terbuka lebar.
Wanita itu menelan desah agar senyap dalam sunyi malam.
Ia mengusap kewanitaannya yang sudah lembab. Jari-jari Amara menjentik seraya mengitari biji kecil di bawah sana. Semakin lama, gerakan tangannya makin cepat dan tak terkendali.
Amara pun menggelinjang. Sekujur tubuhnya bergetar tak terkontrol karena klimaks. Saat ia mendapatkannya --- bukan kenikmatan yang ia rasa --- melainkan perih. Air mata Amara pun menetes membasahi pipi.
Wanita mandul. Suara Bastian menari-nari pada benak Amara.
Mastrubasi tak membuatnya melupakan semua penghinaan. Justru ia semakin merasa pahit akan realita kehidupan. Mengapa Amara terpaksa memuaskan diri sendiri padahal ia memiliki seorang suami? Kenyataan itu membuat Amara semakin merasa rendah sebagai wanita. Penolakan Bastian meruntuhkan semua kepercayaan dirinya.
Amara lantas bangun dari sofa dan berjalan menuju ruang makan. Di meja, sudah tersusun makanan yang ia masak susah payah. Bastian bahkan tak melihat, apa lagi menyentuhnya. Dengan penuh amarah, Amara pun membuang selat solo di atas piring ke dalam tempat sampah.
***
"Kamu enggak sarapan dulu, Mas?" tanya Amara.
Bastian melenggang tak acuh menuju depan rumah. "Semalam aku sudah bilang, 'kan, kalau aku harus berangkat awal hari ini."
Amara berkernyit. "Kapan kamu bilang? Semalam waktu aku naik ke kamar, kamu sudah tidur."
"Masa, sih?" Bastian membuka pintu mobil tanpa merasa bersalah.
"Mas," cegah Amara. "Tunggu sebentar, deh."
Bastian berdecak. Ia melirik jam di tangan kirinya. "Apa lagi, sih, Mar?"
Sosok Amara sudah menghilang karena buru-buru masuk ke dalam rumah. Tak lama, wanita itu kembali sembari membawa kanvas di kedua tangan.
"Semalam aku tidak bisa tidur dan menyelesaikan lukisan ini. Ulang tahunmu memang sudah lewat, tapi aku belum sempat memberikan hadiah yang spesial. Nah, lukisan ini untukmu. Kamu pajang di kantor, ya, Mas. Barangkali bisa mencerahkan suasana ruanganmu," sodor Amara.
Bastian meringis kecut. "Makasi, ya."
"Maaf, ya, Mas. Cuma itu yang bisa aku kasih untukmu."
Bastian mengangguk. Ia meletakkan lukisan Amara ke kursi belakang. "Kalau begitu aku berangkat."
"Hati-hati." Amara melambaikan tangan mengantar kepergian Bastian.
***
Setelah memarkir kendaraan di basement kantor, Bastian pun turun sambil menenteng lukisan dari Amara.
Sebenarnya Bastian sama sekali tidak tertarik dengan hadiah pemberian dari sang istri. Barang yang tak bernilai materi. Tetapi kalau tetap meletakkan di mobil, Amara pasti bakal bertanya. Dan Bastian muak mendengar rentetan cecar yang istrinya akan layangkan.
Mungkin, Bastian akan menempatkan lukisan itu di sudut ruangan. Atau meminta Cleaning Service membuangnya di tempat sampah.
Ketika pintu elevator akhirnya terbuka, Bastian pun bergegas menerobos masuk. Ia menyandarkan kanvas pada dinding lift. Baru satu tingkat naik, pintu elevator kembali terbuka. Sosok Keenan sudah berdiri di depan.
"Pak ..." sapa Bastian kikuk.
Keenan tersenyum tipis. "Pagi, Pak Bastian."
Atmosfer tegang sekaligus canggung sontak menyelimuti. Saat Bastian sedang sibuk mencari bahan obrolan, netra Keenan justru terpusat ke arah kanvas. Lukisan itu teronggok begitu saja.
"Itu punya Pak Bastian?" Keenan menunjuk dengan dagu.
"Iya, dari istri saya," jawab Bastian. "Maaf kalau lukisan ini mengganggu pemandangan mata. Rencananya memang mau saya buang atau taruh di gudang atas, kok, Pak."
Kedua alis Keenan yang tebal saling bertautan.
"Dibuang?"
Bastian mengangguk. "Saya sadar lukisan ini sangat tidak cocok dipajang di sini. Tidak sesuai dengan arsitektur kantor."
"Memang siapa yang melukis ini?" selidik Keenan.
"Istri saya, Pak."
Pandangan Keenan kembali tertaut pada kanvas. Sebuah goresan cat membentuk lukisan Ekspresionisme. Pemilihan warnanya memang sederhana. Guratan-guratan lembayung menampilkan suasana senja. Entah mengapa, kesan yang tersirat adalah kegetiran dan perasaan amarah yang tertahan. Warna jingga tercampur dengan semburat merah. Keenan menangkap ada kekalutan dalam lukisan tersebut.
"Istri Bapak berbakat," ucap Keenan.
Bastian tersentak. Tak sangka, Amara justru mendapat pujian dari sang CEO yang terkenal dingin. Lelaki itu hendak menimpali, tetapi pintu lift mendadak terbuka. Sudah waktunya Bastian turun.
"Kalau begitu saya duluan, Pak." Bastian lantas kembali menenteng kanvas pemberian Amara.
Keenan termangu sesaat. Entah mengapa, hatinya terpatri pada lukisan milik Bastian. Lelaki itu pun buru-buru menekan tombol agar pintu tak tertutup.
"Pak Bastian," panggil Keenan.
Bastian seketika menoleh. "Ya, Pak?"
"Pak Bastian, jika istri Anda tidak keberatan, maukah dia menjadi guru privat melukis untuk anak saya?" tanya Keenan.
Bastian terbelalak.
Ini adalah jalan bagi dirinya untuk mengakrabkan diri dengan si bos. Kesempatan emas!
***
Follow IG aayana_ann supaya nggak ketinggalan updatean seputar karya-karyaku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro