Bab 21. Fertility Test
"Dari mana saja, sih, Amara?"
Luciana sudah berdiri di belakang Amara. Tampak wanita paruh baya itu baru saja keluar dari rumah tetangga yang berhadapan dengan kediaman Amara dan Bastian.
"Mama?" tanya Amara terkejut.
"Mama tunggu kamu sejak sejam yang lalu. Untung Ibu Evi berbaik hati menawarkan Mama untuk menunggu di rumahnya," terang Luciana gusar. Ia menenteng tas seraya membenahi tatanan rambut blow-nya yang mengembang.
Amara membuka pintu untuk Luciana dan membiarkan ibu mertuanya berjalan duluan. "Kok Mama tidak telepon aku?"
Luciana berdeham. Ia memang keasyikan bergosip dengan Evi sampai lupa waktu.
"Alah! Mama capek nunggu kamu. Ayo kita masuk dulu," sungut Luciana.
Amara pun gesit mempersilakan mertuanya masuk ke dalam rumah. Ia sebenarnya letih sehabis bepergian. Kedatangan Luciana jelas bukan kejutan yang menyenangkan.
"Bastian mana?"
"Mas Bastian pergi dengan teman-temannya, Ma," sahut Amara.
Luciana mendecih. "Kalau suami pergi didampingi, dong. Kok malah kamu membiarkan Bastian pergi bersama teman-temannya? Kamunya di mana, Bastiannya di mana!"
"Mas Bastian yang melarangku ikut, Ma," terang Amara lesu.
"Alah!" dengkus Luciana. "Paling kamunya aja yang ngga mau ikut. Orang kamu juga keluar, kan? Kamu habis dari mana?"
"Aku ..." gumam Amara gamang. "Habis dari mal bertemu teman-teman."
Amara tidak tahu sejak kapan ia jadi pandai berbohong. Yang jelas ia sadar harus menghentikan kebiasaan buruk itu. Amara sudah mulai terbiasa bermain api.
Luciana mendudukkan bokong di sofa. Wanita itu melirik Amara dengan sinis. Baginya, sang menantu hanyalah istri yang tak becus dalam mengurus rumah tangga. Tidak tahu diuntung!
"Seorang wanita kalau sudah jadi istri, seharusnya mengutamakan suami bukan teman-teman. Mama heran, bisa-bisanya kamu pulang begini larut dan membiarkan Bastian pergi sendirian!"
Amara mengambil tempat di sisi Luciana. Matanya mulai memanas dan berkaca-kaca.
"Ma ..." ucap Amara lirih. "Mas Bastian yang menghindariku. Dia lebih suka menghabiskan hari libur di luar rumah. Jujur saja, pikiranku mulai negatif dan dipenuhi ketakutan."
"Ketakutan apa?" cecar Luciana.
"Kalau Mas Bastian main hati," jawab Amara tercekat.
Luciana kembali mendengkus. "Selingkuh?"
Amara mengangguk.
"Kalau memang benar Bastian selingkuh, kamu harus ikhlas dan menerima dia, Mara," kata Luciana santai.
Amara terperangah. Ia serasa disambar petir mendengar perkataan sang ibu mertua.
Luciana kembali melanjutkan, "Yang namanya lelaki memang wajar tidak cukup dengan satu wanita. Apa lagi untuk ukuran lelaki seperti Bastian yang gagah dan mapan. Toh, pada akhirnya dia kembali pulang ke rumah, 'kan? Itu sudah bagus."
"Mama membenarkan perselingkuhan?"
"Sebagai wanita jangan suka menuntut. Suami bakalan bosan, lho. Masih untung Bastian belum menceraikan kamu."
"Astaga, Ma?" Air mata Amara mulai menggenang. Ia tahu Luciana memang ketus. Tapi mana dia sangka kalau Luciana berhati kejam. "Mama dan aku, kan, sesama wanita. Apakah Mama tidak bisa memposisikan diri sebagai aku?"
Luciana masih santai meski melihat Amara yang mulai terisak. Ia justru tersenyum lebar. "Jangan salah. Mama dulu pernah ada di posisimu. Waktu Bastian masih kecil, almarhum Papa punya wanita lain selain Mama."
"A-apa?"
"Tapi Mama tetap sabar tuh. Mama tetap layani papa dengan sebaik-baiknya. Tidak gemar protes dan menuntut seperti kamu. Lama kelamaan, papa akhirnya lebih memilih Mama ketimbang selingkuhannya. Dia juga berat meninggalkan keluarga karena Bastian masih kecil dan butuh sosok ayah." Luciana kembali memandang Amara dengan tatapan mencemooh. "Itulah sebabnya Mama mendesakmu untuk segera hamil. Percuma punya istri kalau tak bisa kasih anak. Bener Bastian cari wanita lain demi meneruskan keturunannya."
Amara menggeleng tak percaya. Hati Luciana memang terbuat dari batu. Ia hampir saja menjawab sang ibu mertua, tetapi pintu utama mendadak terbuka.
"Bas, kamu udah pulang, Nak?"
Bastian tertegun sesaat. "Oh, ada Mama." Ia tersungging seraya menghampiri sang ibu untuk memeluknya.
Luciana membalas pelukan Bastian penuh sayang. Sorot mata wanita itu melunak lembut --- berbeda ketika ia memandang Amara.
"Gimana, sehat?" tanya Luciana. "Pasti lelah, ya, karena sering lembur."
"Ya begitu itulah, Ma. Resiko pekerjaan. Aku sehat, kok. Mama gimana?" Bastian melepaskan pelukan.
Kedua sudut bibir Luciana tertarik ke atas. "Mama sehat, Sayang."
Amara menyadari keberadaannya bak bayangan. Ia lantas menghapus sisa air mata pada pipinya yang pucat. Semua tangisannya sia-sia semata.
"Mara? Kamu nggak nyuguhin Mama makanan dan minuman? Ngapain aja dari tadi?" Bastian mendadak sewot karena melihat meja yang kosong.
"Istrimu baru pulang juga. Katanya abis jalan-jalan di mal," sela Luciana.
Bastian menggeleng seraya berkacak pinggang. "Kelakuan-kelakuan!" ledeknya.
Amara memilih bungkam. Ia membuka lemari pendingin dan menyiapkan suguhan untuk ibu mertuanya.
"Mama ngapain ke sini?" selidik Bastian.
Luciana melirik Amara yang masih sibuk di dapur. "Mama mau bicara sama kalian berdua," ungkapnya.
Selesai membuat dua cangkir teh chamomile madu, Luciana meminta Amara ikut duduk. Raut wanita paruh baya berubah tegang dan serius.
"Mama sudah booking tanggal di klinik terkenal buat kalian berdua. Mama mau kalian melakukan fertility test atau tes kesuburan," terang Luciana.
Mata Bastian membelalak. "Mama suka ambil inisiatif sendiri, deh! Lain kali tanya aku dululah," protesnya. "Terus maksudnya 'kalian berdua' itu apa?"
"Ya buat berdua, Bas. Tidak hanya Amara yang dicek. Tapi, kamu juga," jawab Luciana.
"Lho? Memangnya aku kenapa, pakai dicek segala." Bastian makin keki.
"Cuman buat formalitas saja, Nak. Mama tau kamu itu pasti sehat dan subur. Apalagi gaya hidupmu juga baik dan teratur. Tapi, dokternya ingin suami dan istri sama-sama dicek. Sudahlah, Bas. Turutin saja. Mama dapat rekomendasi dokter ini dari teman satu arisan. Dia lumayan terkenal di Surabaya sini. Kalau tidak dibantu sama teman arisannya Mama tadi, susah untuk bisa menemui dokter ini," ujar Luciana.
Bagi lelaki --- wajar merasa enggan melakukan pemeriksaan kesuburan. Padahal mungkin saja masalahnya tidak hanya pada istri.
"Ah. Ya sudahlah." Bastian menyerah.
Amara membeku pada tempatnya.
Sebersit ketakutan menjalar diam-diam mengusik kalbu. Ia takut jika nanti dokter memvonisnya mandul. Entah apa yang akan Luciana dan Bastian lakukan padanya. Penegasan dari seorang ahli atau dokter seolah menjadi putusan mati untuk Amara.
***
Beberapa hari kemudian --- Amara dan Bastian pun memenuhi janji temu mereka di klinik.
Bangunan klinik merupakan ruko tiga lantai yang cukup luas. Meski begitu, ruangan demi ruang tampak sempit karena banyak pasien yang mengantri. Luciana memang benar. Klinik itu rupanya terkenal terbaik bagi pasutri yang sedang merencanakan program hamil.
Setelah menunggu beberapa menit, tibalah giliran Amara dan Bastian. Perawat pun mengantarkan keduanya masuk menuju ruangan dokter. Di dalam sudah menunggu seorang wanita yang mengenakan jas putih. Ia menyambut Amara dan Bastian dengan penuh keramahan.
"Selamat siang, Ibu Amara dan Bapak Bastian," sapanya. "Mari, silakan duduk." Setelah melihat keduanya duduk, dokter tadi pun bertanya, "Baru pertama kali ke mari, ya?"
Amara mengangguk. "Iya, Dok. Ini kali pertama kami ke sini," jawabnya.
Sang dokter mengangguk. "Sebelumnya, pernah periksa di rumah sakit atau tempat lain?"
"Belum," sahut Amara. "Dulu, beberapa tahun yang lalu memang saya pernah cek di dokter kandungan. Tapi hanya pemeriksaan biasa saja. Dokternya bilang saya harus mengurangi stres dan tidak boleh terlalu lelah. Setelah itu, kami tidak pernah melakukan pemeriksaan lagi."
"Oh begitu." Dokter tersenyum dan memandang Amara dengan hangat. "Pernikahan sudah berapa tahun, Bapak, Ibu?"
"Lima," jawab Bastian sedikit ketus.
"Lima tahun, ya ..." Dokter mengangguk mengerti. "Perkenalkan dulu, saya dokter Dewi. Nanti Ibu dan Bapak akan cek darah, ya. Kemudian USG, gunanya untuk melihat ketebalan rahim, perkembangan folikel, juga mendeteksi apakah ada kelainan di rahimnya atau di ovariumnya. Nah, Bapak juga nanti di USG ya, Pak. Kita mau menghitung volume testis dan juga memeriksa apakah ada kelainan pada organ reproduksi," jelasnya.
Bastian sebenarnya malas. Untuk apa melakukan pemeriksaan padahal jelas-jelas dia adalah lelaki sejati. Ini benar-benar membuang waktu.
"Nanti Bapak Bastian harap menemui dokter Andrologi untuk tes sperma, ya." Dokter spesialis andrologi adalah dokter yang khusus menangani permasalahan berkaitan dengan sistem reproduksi lelaki.
Mata Bastian terbelalak. "Pakai begitu segala, Dok?" keluhnya.
Dewi terkekeh. "Iya dong, Pak. Enggak adil, 'kan, kalau istri saja yang diperiksa ini-itu. Dikasih obat dan vitamin berbagai macam. Sementara, suami tidak. Kita mau cari tahu masalahnya di mana. Dan kita semua berharap keduanya tidak bermasalah. Semisal pun ada masalah, bukankah lebih enak kalau ketahuan di mana masalahnya. Jadi, bisa kita cari solusinya."
Amara mengangguk setuju. Berbeda dengan Bastian yang makin mengulas raut masam.
"Cek sperma bisa sekalian dilakukan hari ini. Itu kalau Bapak dan Ibu berkenan. Tetapi, maaf nih, saya mau tanya, terakhir berhubungan seksual kapan, ya? Sebab, saat hendak melakukan cek sperma, Bapak diharuskan tidak melakukan aktivitas seksual - baik secara sendiri atau dengan pasangan - minimal dua hari sebelum pengecekkan," ujar Dewi.
"Sekalian cek sekarang saja, Mas. Jadi kamu tak perlu berulang kali izin kantor," bisik Amara. Ia ingat kalau dirinya dan Bastian tak pernah melakukan hubungan seksual beberapa hari ini.
Bastian berdeham getir. "Saya nanti belakangan deh, Dok."
Amara terkesiap.
Batin wanita itu berkecamuk tak karuan. Mengapa Bastian menolak melakukan tes dengan dokter andrologi?
"Baiklah kalau begitu kita USG sam tes darah saja hari ini, ya." Dewi mempersilakan Amara untuk tidur di atas bed.
Pemeriksaan itu terasa lama dan panjang bagi Amara. Terlebih setelah mendengar penolakan Bastian tadi. Hati wanita itu kacau berantakan. Seribu pertanyaan mengusik batin dan benak Amara. Namun, ia menahan semua sekuat tenaga sampai semua selesai.
Serangkaian tes akhirnya sudah dijalani, tinggal menunggu Bastian melakukan tes sperma.
Pada perjalanan kembali menuju rumah, Amara masih bungkam seraya meremas tas bawaannya. Ia harus menanyakan seputar keresahannya pada Bastian. Lebih baik bertengkar sekarang ketimbang terus memendam curiga.
"Mas," panggil Amara.
Bastian menghidupkan mesin mobil dan membesarkan volume radio. "Hmm?" tanyanya santai.
"Ada yang mau aku tanyakan sama kamu."
"Tanya aja," sahut Bastian.
Amara lantas menoleh untuk menyorot paras sang suami dengan lekat. "Kenapa kamu menolak cek sperma hari ini?" tanya Amara. "Bukankah kita sudah lama tidak bercinta? Apakah ada yang kamu sembunyikan dariku?"
Hai, Darls!
FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di KaryaKarsa dan Bestory. Kalian bisa baca jalur cepat kalau nggak sabar tunggu update-an di WP.
Follow sosmed Ayana untuk dapat info seputar karya²ku. Buat kalian yang suka menulis, mampir ke Tiktok Ayana, ya, cz aku suka bagi tips kepenulisan di sana.
Dan, jika ada dari kamu yang butuh jasa Ghost Writer, Ayana siap juga nih! DM aja. 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro