BAB 15. Fine Dining
Bastian memarkir kendaraannya sembarangan. Senyum terkulum pada bibir lelaki maskulin itu. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumah dan mencari sang istri.
"Mara, Sayang," panggil Bastian.
Amara yang sedang sibuk di dapur terkejut karena Bastian tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Mas?" Amara salah tingkah. "Ada apa?"
"Kamu nggak usah masak. Kita makan di luar sekarang."
Mata Amara membulat. "Ta-tapi aku sudah masak ..."
"Ah, simpan saja di kulkas. Buruan sekarang siap-siap. Dandan yang cantik," titah Bastian sumringah.
Amara menatap Bastian penuh keheranan. "Ada acara apa emangnya?"
"Aku lagi seneng," ungkap Bastian. "Pak Keenan benar-benar lebih lunak padaku. Semua karena dia mulai tergantung padamu yang bisa menyenangkan hati anaknya, si Julia."
"Julie, Mas," koreksi Amara. "Syukurlah kalau aku bisa membuat pekerjaanmu jadi lebih mudah."
"Udah, ah. Buruan sana." Bastian mendorong tubuh Amara agar lekas meninggalkan dapur. Lelaki itu menampar gemas bokong sang istri sambil menyeringai. "Yang cantik, ya."
Begitulah Bastian --- jika hatinya gembira, ia mendadak berubah manis dan romantis. Namun saat keinginannya tak sesuai harapan, lelaki itu tak segan menyalurkan amarahnya dengan cara impulsif.
***
Amara tampil menggoda dengan lace dress berwarna peach. Gaun itu sempurna membentuk lekuk tubuhnya yang ramping. Riasan smokey eyes ia pilih untuk membuat penampilannya kian dramatis. Sudah lama, kan, dirinya dan Bastian tak kencan. Jadi semua harus paripurna maksimal.
"Kita berangkat sekarang?" Amara menuruni tangga pelan-pelan. Heels tinggi yang ia kenakan membuat langkahnya terbatas.
Netra Bastian sedikit terbelalak. Ia bahkan tak sadar menganga lebar melihat penampilan sang istri. Akhirnya Bastian ingat, apa alasannya mempersunting Amara. Wanita itu memang cantik luar biasa. Pantas saja dulu Bastian setengah mati mengejar Amara sampai dapat.
"Astaga, Sayang ..." Bastian menelisik Amara dari atas ke bawah. "Ternyata kamu bisa secantik ini, ya, kalau udah dandan."
Amara tersungging.
Ia membiarkan Bastian menarik pinggangnya dan mendaratkan cumbuan pada area lehernya yang jenjang.
"Mas?" Amara berusaha menghindari ciuman Bastian yang mulai liar.
"Sshhh ..." Bastian merapatkan tubuh mereka. "Aku horny lihat kamu kayak gini. Kita main bentarlah sebelum berangkat."
Amara terdiam. Ia bukan tak mau bercinta dengan sang suami. Ia bahkan rindu melakukan itu. Hanya saja, Amara sudah bersusah payah berdandan dan Bastian terkesan egoistis. Saat Bastian 'ingin', Amara harus siap. Sementara, ketika Amara membutuhkan Bastian, lelaki itu tak pernah ada.
Bastian memaksa Amara berjongkok. Lelaki itu membuka risleting celana dan meminta Amara memainkan miliknya dengan mulut. Secara kasar, Bastian memasukkan batangnya hingga membuat Amara hampir tersedak.
Tangan Bastian mengumpulkan rambut Amara dan menjambaknya. Ia mengatur kecepatan kuluman sang istri di bawah kontrolnya. Rahang lelaki itu mengeras karena nikmat. Selain itu, bibir Amara memang sangat seksi dan penuh. Visual yang kian membangkitkan libido Bastian.
Merasa tak tahan lagi, Bastian pun meminta Amara berhenti dan berdiri. Ia mengatur agar sang istri menumpu tubuh bagian atasnya pada sisi sofa ruang tengah. Saat Amara sudah membungkuk, Bastian menyingkap rok istrinya. Ia lantas menurunkan celana dalam Amara hingga menampakkan kewanitaan yang sudah memerah.
Bastian meludahi liang itu dan memasukkan kejantanannya secara kasar.
Amara terpejam menahan perih. Miliknya belum siap dan kurang rangsangan. Bastian memang hanya memikirkan kenikmatan dirinya saja. Bukankah bercinta harusnya tak sepedih ini?
"Pelan-pelan, Mas," rintih Amara.
Mendengar kesakitan Amara, Bastian justru makin ganas. Ia senang menjadi lelaki berkuasa yang memimpin permainan. Gerakan Bastian tidak melambat malah bertambah cepat.
"Oh ... ya!" Bastian meremas bokong Amara kuat-kuat.
Ia konsisten menghunjam batangnya hingga menyebabkan tubuh Amara terguncang hebat. Jika Bastian merasa sangat keenakan, berbeda dengan Amara. Wanita itu sekuat tenaga menahan rasa perih yang menusuk-nusuk liangnya. Amara sadar ia hanyalah objek seksual bagi Bastian. Apa yang mereka lakukan bukan bercinta ... melainkan seks semata.
Bastian lantas menggeram dan menyentak. Panggulnya berhenti bergerak karena telah mencapai klimaks. Lelaki itu membiarkan cairan kentalnya tumpah di dalam lorong Amara yang sempit. Dan saat ia mencabut kejantanannya, mani itu pun meleleh keluar.
Napas Bastian tersenggal. "Aku ke kamar mandi dulu. Setelah itu kita berangkat." Ia tersenyum puas dan melenggang begitu saja.
***
"Ini dekat sekali dengan rumah Pak Keenan dan Julie, Mas."
Bastian mengangguk.
"Ada restoran bagus di sini. Bentar lagi kita sampai," sahut Bastian.
Mereka akhirnya tiba di sebuah restoran fine dining yang mewah dan eksklusif. Ruang restoran terbagi dua menjadi indoor dan outdoor. Bastian memilih mengajak Amara duduk di luar ruangan agar bisa merokok. Pada meja terdapat lilin dan rangkaian bunga di dalam vas kristal yang menambah nuansa romantis.
Bastian menarik kursi dan mempersilakan Amara duduk. Perlakuan lelaki itu memang selalu manis saat di depan umum. Tak heran, banyak orang yang terkadang merasa iri pada Amara. Ia dianggap beruntung karena memiliki suami tampan serta perhatian. Bastian adalah lelaki idaman bagi wanita-wanita awam di luar sana.
Waiter pun datang seraya membawa buku menu. Dengan senyuman ramah, ia menyodorkannya pada Bastian dan Amara.
"Kamu mau pesan apa, Sayang?" tanya Bastian.
Amara menelan saliva. Main course paling murah saja dibandrol 500 ribu rupiah. Wanita itu merasa harganya terlalu mahal hingga takut memutuskan apa yang hendak ia pesan.
"Mas yang pilihkan saja," kata Amara. Ia pun menutup buku menu dan meletakkannya di meja.
Bastian tersenyum manis. "Kudengar yang terenak di sini steak salmonnya. Betul begitu?" Ia bertanya pada waiter.
"Betul, Bapak. Salmon steak adalah menu populer di sini. Tapi Kita juga ada set menu. Per orang satu koma lima juta, sudah lengkap dengan appetiser sampai dessert," jelas waiter.
Amara kembali membatin. Uang sebegitu banyak lebih baik ia tabung untuk dikirimkan pada keluarganya di Rembang. Dari pada habis dalam satu malam demi makanan semata.
"Boleh, deh. Saya ambil set menu. Yang satu main course salmon steak dan yang satu surf & turf, ya."
Waiter itu mengangguk. "Baik, Bapak. Mohon ditunggu."
Sepeninggal pelayan, Amara pun memajukan tubuh untuk lebih dekat dengan Bastian. "Mas, kamu yakin bayar segitu mahal untuk sekali makan saja?" tanyanya.
"Nggak apa-apa, Mara. Sekali-kali."
Bastian sebenarnya sering diner di luar tanpa mengajak Amara. Nominal jutaan untuk sekali makan bukan hal baru bagi lelaki itu. Ia hanya merahasiakannya dari sang istri. Semakin sedikit Amara tahu kehidupannya di luar kantor, semakin baik.
"Sayang banget, Mas, uang begitu banyak ..." gumam Amara. "Kamu cari uang, kan, susah. Kerja dari pagi sampai pagi lagi. Aku takut membebani kamu."
Bastian mendecih. "Udalah jangan cerewet. Nikmati aja apa yang aku kasih. Nanti kalau aku sudah naik jadi VP Marketing, tiap hari kamu mau makan di sini juga bisa."
Amara mengangguk. Ada sedikit rasa bersalah karena menghamburkan uang sementara keluarganya di kampung hidup berkekurangan. Namun Bastian selalu marah dan mengaku kesulitan finansial jika Amara meminta uang untuk mengirimi ibu-bapaknya.
"Kalau nanti Pak Keenan menawarkan jam les tambahan, kamu jangan nolak, ya, Mar."
"Kenapa kok Mas bilang begitu?" selidik Amara.
"Aku tadi bilang sama dia kalau aku nggak keberatan jika dia mau menambah hari pertemuan kursus," terang Bastian. "Pintu udah kebuka lebar, Amara. Kamu harus lebih agresif lagi mempromosikan aku. Kamu harus undang Pak Keenan untuk makan bersama di rumah kita. Dengan begitu, aku dan dia akan makin akrab."
Amara mengalihkan pandangan. Ia enggan bertemu Keenan lebih intens lagi. Bersama lelaki itu, ada desir aneh yang selalu menjalar pada tubuh mau pun hatinya. Amara sadar ia telah melakukan dosa besar.
Bastian berdecak. "Eh, kamu dengerin aku, nggak, sih?"
"Dengar, Mas ..." sahut Amara gusar.
Saat mereka sedang mengobrol, tiba-tiba segerombolan lelaki Chindo mendekat sambil memandangi Bastian.
"Eh, Bastian!" sapa salah satunya.
Bastian terhenyak. Ia refleks bangkit dari duduk. "Lho! Marcel, kan! Ngapain di Surabaya?" tegurnya.
Ia dan Marcel bersalaman dan saling memeluk akrab.
"Gue ada urusan bisnis di sini," aku Marcel. "Kenalin ini temen-temen gue." Ia memperkenalkan dua orang yang bersamanya pada Bastian. "Lo apa kabar, Bas?"
"Baik. Baik." Bastian mengkode Amara untuk berdiri. "Ini istriku, Amara."
"Amara," kenal Amara seraya tersenyum.
"Marcel." Marcel membalas senyuman Amara. "Oh, lagi kencan rupanya. Yaudah, Bro, lanjutin, deh. Gue duduk di sana."
Bastian mencegah Marcel dan teman-temannya pergi.
"Janganlah. Udah lama kita nggak ketemu. Duduk di sini aja bareng-bareng."
Amara sedikit terkejut dengan perkataan Bastian. Ini, kan, acara intim mereka berdua? Kenapa Bastian justru mengundang orang lain untuk bergabung?
Marcel menyiratkan segan, tetapi paksaan dari Bastian akhirnya meluluhkannya. Mereka akhirnya menarik kursi dan duduk bersama. Tak butuh waktu lama bagi Bastian mengakrabkan diri dengan teman-teman sahabatnya. Lelaki itu memang pandai bicara dan mudah membaur.
Makan malam satu per satu mulai di antar. Mulai dari caesar salad hingga cream soup sebagai appetiser, hingga salmon steak berbalut lemon butter souce.
Tidak ada yang berbeda bagi Amara --- ia lagi-lagi makan sendirian.
Amara sudah mencoba bergabung dengan pembicaraan Bastian dan teman-temannya, tetapi tetap saja wanita itu tertinggal. Mereka sibuk membicarakan kenangan masa lalu saat masih bekerja di perusahaan yang sama. Bastian juga membahas seputar bisnis yang tak dipahami oleh ibu rumah tangga seperti Amara. Pada intinya --- wanita itu tak dilibatkan.
Makanan seharga jutaan yang masuk ke dalam tenggorokan Amara terasa hambar. Mungkin karena hatinya yang menahan nelangsa berkali-kali.
Sampai akhirnya dessert chocolate cake diantarkan, Bastian masih sibuk berbincang dengan kawannya.
"Mar," bisik Bastian. "Kamu balik duluan aja, ya, naik taksi."
"Apa?" tanya Amara terkejut.
"Aku masih ingin ngobrol sama Marcel dan yang lain. Kita juga sekalian bahas bisnis. Kamu pasti bosen jadi mending pulang, deh."
Amara menahan geram. "Kenapa aku nggak bawa mobilmu saja, Mas?"
"Terus nanti aku pulang gimana? Jalan kaki?!" sungut Bastian. "Ini, kan, masih jam setengah sembilan. Masih banyak taksi atau kendaraan umum beroperasi. Sementara aku mungkin akan pulang tengah malam nanti."
"Mau mengobrol apa sampai sebegitu lamanya, Mas?" sahut Amara.
Bastian mendecih. "Lelaki kalau lagi ngomongin bisnis memang panjang. Kamu mana bisa ngerti? Udah, ah. Abisin makananmu dan buruan pulang. Nanti jangan tunggu aku. Tidur aja duluan." Ia pun kembali mengalihkan atensi pada kawanan sesama lelakinya.
Mata Amara mulai memanas dan buram.
Ia tak ingin teman-teman Bastian melihatnya menangis. Dengan cepat, Amara pun meraih tas dan berjalan keluar dari bangunan restoran. Ia melihat ada beberapa mobil taksi stand by di samping. Restoran itu memang berdekatan dengan salah satu pusat perbelanjaan besar. Tidak heran banyak kendaraan umum siap sedia menunggu penumpang.
"Pak, taksi," kata Amara.
Sopir itu pun mengangguk dan masuk ke dalam kursi kemudi. Saat Amara hendak membuka pintu, seseorang tiba-tiba menahan tangannya.
Amara menoleh akibat terkejut.
"Pak? Pak Keenan?!" Ia terbelalak. Sedang apa lelaki ini di sini? Amara tidak salah lihat, bukan?
"Kamu mau ke mana?" tanya Keenan. Rautnya datar nyaris tanpa ekspresi.
Amara terbata penuh keterkejutan. "Pu-pulang," jawabnya.
"Biar kuantar."
Tatapan Keenan yang setajam busur panah seketika membius Amara. Jiwanya yang semula bergejolak dan terombang-ambing mendadak melebur dalam kurungan sorot mata duda tampan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro