BAB 13. Lembayung Senja
Amara menelisik rambut-rambut halus pada lengan Keenan yang liat. Selain itu pada kulit putihnya, tampak urat menonjol yang semakin menguatkan maskulinitas lelaki itu. Amara sadar kalau ia sebenarnya haram berdekatan dengan lelaki lain. Namun, ia tak sanggup menolak sensasi memabukkan dari pertemuan tubuh mereka.
"Lihat, Daddy. Miss Amara seperti kucing." Julie bangun dari pangkuan Amara. "Meong! Meong! Meong!" godanya.
Keenan akhirnya melepas rengkuhan. Sekarang yang tertinggal hanyalah sisa-sisa dari rasa salah tingkah.
"Julie." Amara berseru. "Miss balas kamu, ya!" Ia pun menyusul Julie demi mengalihkan salah tingkah.
Dengan mudah Amara menahan serta menggelitiki gadis kecil itu. Ulah Amara membuat Julie semakin cekikikan tak karuan.
"Kok cuman Julie aja yang dibalas?" protes Julie. "Daddy juga, dong! Daddy kaki tangan!"
Keenan terbelalak. "Julie? Dari mana kamu tahu kata 'kaki tangan'?" tanyanya.
"Mommy!" jawab Julie.
Raut Keenan berubah tegang. Amara pun menyadari hal tersebut. Suasana yang semula penuh tawa, berubah suram dan dingin.
"Sepertinya finger painting punya Julie sudah selesai. Sekarang kanvas ini menjadi milik Julie. Julie bebas menyimpannya di mana saja," ujar Amara.
"Asyik!" Julie memekik gembira. "Daddy, boleh nggak kalau kupajang di kamar?"
Keenan mengangguk. "Nanti kita minta tolong Pak Hanung untuk memasangnya, ya." Hanung adalah security yang berjaga di depan rumah Keenan.
"Thank you, Dad!" Julie sumringah.
Dari kejauhan, Febi berjalan menghampiri. Ia sadar kalau waktu sudah menunjukkan berakhirnya jam les Julie. Melihat kemunculan si pengasuh --- Julie sontak memamerkan hasil karyanya.
"Bagus, kan, Mbak?"
"Bagus puol!" Febi mengacungkan jempol. "Mau digantung di mana iki?" tanya Febi.
"Kamar." Julie berbinar.
Febi lantas mengambil kanvas besar itu. "Yawes, Mbak Febi bantu bawa ke kamar, ya. Yuk sekalian kita bersihkan badanmu dulu."
Julie mengangguk setuju.
"Julie ucap makasi dulu sama Miss-nya," ucap Febi dengan bahasa Jawa medhok.
"Miss," panggil Julie mendayu. "Makasi untuk hari ini. Julie happy."
Amara berjongkok untuk mensejajarkan tubuh dengan Julie. "Sama-sama, Julie. Miss juga senang hari ini."
Julie pun melambaikan tangan seraya melenggang masuk ke dalam rumah. Sepeninggal sang murid, Amara pun membereskan sisa cat dan trash bag yang berantakan. Ulahnya buru-buru ditahan oleh Keenan.
"Biar nanti Bi Santi dan Pak Hanung yang merapikan."
"Tidak apa-apa, Pak. Cuman begini saja, kok. Bapak silakan masuk saja bersama Julie. Saya sekalian pamit pulang," ujar Amara.
Keenan menggeleng. "Kalau begitu saya akan bantu kalau Miss bersikukuh."
Amara tertunduk malu.
Di lain sisi, Keenan menyimpan tawa. Wajah Amara cemong karena ulah jahil Julie.
"Sebelum pulang sebaiknya Miss bersihkan wajah dulu di kamar mandi," gumam Keenan.
Amara terkesiap. "Eh? Memangnya muka saya berantakan banget, ya?"
"Nggak juga. Masih cantik," sahut Keenan.
Jantung Amara berdegup secepat kereta. Masih cantik. Sudah lama ia tak mendengar pujian macam itu dari lelaki mana pun, termasuk Bastian. Sekuat tenaga Amara menetralisir perasaan. Apa yang Keenan katakan merupakan 'pujian biasa' demi kesopanan semata. Ia tak sepantasnya besar kepala.
***
"Pak Keenan, saya membasuh muka di sini saja." Amara berhenti di depan bilik pancuran area swimming pool.
"Tidak ada kaca di situ," tukas Keenan.
Amara tersenyum. "Nggak apa-apa. Toh saya juga mau langsung pulang."
"Baiklah." Keenan refleks membuka pintu bilik. Ia lalu menyalakan kran pancuran. Lelaki itu pun mencuci kedua telapak tangan. "Kemarilah, Miss. Saya bantu bersihkan."
Amara melotot. "Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya.
Wanita itu lantas sedikit membungkuk dan menampung kucuran air pada tangkupan tangan. Amara membasuh wajah dan menggosoknya bersih.
Ia tak sadar, tingkah lakunya menjadi sorotan bagi Keenan. Baru kali ini ia bertemu dengan wanita yang berani tampil natural tanpa riasan di depannya. Amara memang apa adanya. Dan itu yang membuatnya menarik. Bibir Keenan tanpa sadar tersungging.
"Baik, Pak, saya pamit." Amara merasa wajahnya sudah bersih.
"Masih ada sedikit noda cat di ..." Keenan menunjuk dengan dagunya.
"Hah? Mana, ya? Ini?" Amara mengusap-usap lekukan vertikal di bagian tengah bibir atasnya.
"Bukan." Keenan memandang Amara dengan tatapan teduh. Ia santai menyeka bibir Amara dengan telunjuknya. "Biar kubantu."
Darah Amara dan Keenan berdesir.
Bibir Amara terasa kenyal mirip marsmallow. Selain itu, kulit merah itu lembut sekaligus lembab. Keenan mulai berimajinasi liar. Mengulum bibir Amara dalam pagutan dalam. Sadar sudah keterlaluan, Keenan pun menyudahi sentuhannya.
"Sudah hilang," ucap Keenan memalingkan muka.
"Terima kasih." Amara tertunduk dan bersiap pergi. "Saya permisi."
Keenan berbalik mengejar. "Miss Amara!" panggilnya.
"Ya?" Amara menoleh.
"Saya akan hitung hari ini sebagai lembur," kata Keenan.
"Oh ..." gumam Amara sedikit kecewa. Ia pikir Keenan hendak membahas soal lain. "Baiklah, terserah Bapak."
"Lalu, berapa saya harus bayar untuk makanan yang Miss bawa tadi?"
Amara mengernyit. "Bayar?"
"Sekalian untuk kanvas yang tadi Miss beri kepada Julie," imbuh Keenan.
Amara mendengkus. "Bapak tidak perlu membayar makanan yang saya bawa. Itu semua inisiatif saya sendiri pribadi. Sama halnya dengan kanvas yang tadi Julie gunakan sebagai media finger painting."
"Tapi, Miss ...?" sanggah Keenan.
Amara segera menyela, "Pak Keenan," tukasnya. "Tidak semua harus diukur dengan uang." Ia lantas tersenyum tipis. "Permisi."
Keenan bergeming. Netranya menatap sosok Amara yang perlahan menjauh. Ia kemudian mengejar Amara dengan impulsif.
"Semua kebaikan Miss membuat saya tidak enak. Katakan sesuatu yang bisa saya lakukan demi membalasnya," buru Keenan.
Amara sedikit terkejut karena Keenan menyusulnya. Ia terdiam sesaat untuk berpikir. Tak butuh waktu lama, bibir wanita itu pun tersungging.
"Jangan terlalu keras pada Mas Bastian di kantor. Suami saya merupakan seorang pekerja keras," ucap Amara.
"Ehm, begitu ..." Keenan mengulas senyul palsu.
Jawaban dari Amara adalah hantaman telak bagi Keenan akan realita sebenarnya.
Amara sudah menjadi dari istri Bastian.
***
Langit sore semburat lembayung membingkai cakrawala. Dalam perjalanan kembali pulang, Amara sempat mengagumi guratan awan yang tampak di hadapan. Berarak bak kumpulan kapas ternoda cat oranye bercampur kemerah-merahan. Ia mengendarai kendaraannya pelan-pelan seolah tanpa semangat.
Rumah seharusnya merupakan tempat terhangat, tapi tidak bagi Amara. Tidak semua rumah punya kehangatan. Pulang berarti kembali menyesap kesepian. Tanpa suara sebagai teman bicara. Pulang adalah kembali pada kehampaan ruang dan waktu. Semua rutinitas berulang yang tanpa penghargaan.
Namun ia menyalahkan diri sendiri atas semua hal yang menimpa. Bastian memang sepatutnya kecewa karena Amara tidak mampu memberikan seorang anak.
Pertemuan dengan Julie menyadarkan Amara bahwa kehadiran buah hati cukup berpengaruh pada kehangatan keluarga. Tawa Julie berhasil menghilangkan semua penat dan beban yang semula Amara pikul. Dan mungkin, andaikata ia dan Bastian memiliki anak --- rasa itu juga akan dirasakan oleh suaminya.
Wajar Bastian enggan bercinta dengannya. Mana ada lelaki yang bernafsu menggauli wanita tandus bagai lahan kering, seperti dirinya? Amara pun meremas perutnya kuat-kuat. Ia benci dirinya sendiri.
***
Keenan memandang cap tangan yang barusan ia buat. Hati lelaki itu galau bukan main. Kehadiran Amara memberi suasana hangat bagi Julie, putrinya. Namun, keberadaan wanita itu juga membuat Keenan hampir lupa logika.
Sekuat tenaga Keenan melenyapkan nafsu terlarang yang ia rasakan. Tapi jangankan hasratnya --- aroma vanilla dari rambut Amara pun masih membekas pada penciuman lelaki itu. Ia juga masih ingat betul rasa lembut dari kulit bibir yang tadi sempat disentuhnya.
Keenan tidak pernah jatuh cinta seumur hidupnya. Dengan Nadira sekali pun. Semenjak kecil, lelaki itu disibukkan oleh sekolah dan semua pelatihan bisnis dari sang ayah.
Asmara bukan menjadi bagian dari diri Keenan. Tetapi tidak kali ini.
Sialnya --- ia justru menaruh hati pada wanita yang sudah bersuami. Apa Keenan sudah kehilangan moral?
"Daddy, bagus, ya?" tanya Julie membuyarkan lamunan Keenan.
"Iya, bagus sekali," sahut Keenan.
Julie kemudian naik ke atas pangkuan Keenan yang duduk di atas ranjang. "Julie suka kelas seni sama Miss Amara. Rasanya nggak sabar pengen ketemy lagi."
"Iya, Darling," gumam Keenan berat.
Amara memang spesial. Sayangnya ... mereka bertemu di waktu yang salah.
***
"Langitnya cantik banget, deh, Mas."
Seorang wanita nyaris tanpa busana, mengintip ke arah luar jendela. Ia lantas menghampiri Bastian yang berbaring santai di atas ranjang. Mereka berdua berada dalam cottage mewah yang didominasi oleh material berbahan kayu.
"Aku suka kalau kamu ajak aku jalan-jalan kayak gini," kata wanita itu.
"Sesekali emang butuh suasana baru," sahut Bastian. "Apa lagi di sini udaranya sejuk. Nggak kayak di Surabaya, panas!"
Wanita itu mengangguk setuju. Ia menyingkap selimut yang membalut tubuh atletis Bastian. Saat menangkap kejantanan sang kekasih sudah berdiri tegak, si wanita lantas menyeringai.
"Ohh ... ya ..." Bastian terpejam ketika wanita itu mengulum batangnya. "Ini yang aku suka dari kamu."
"Emangnya apa yang kamu suka?" Lidah si wanita menari-nari pada puncak batang kelelakian Bastian.
Bastian mengeraskan rahang karena menahan nikmat. "Kamu agresif, Sayang."
"Nggak kayak istrimu?"
"Ssshhh ..." Bastian mendesis. "Jangan sebut dia."
"Oke," sahut wanita itu. Ia semakin liar mengulum milik Bastian di dalam mulut.
Bastian yang tidak tahan, segera menarik tangan kekasih gelapnya.
"Masukin, deh. Kamu di atas."
Si wanita mengangguk sembari melempar senyum ke arah Bastian yang sudah terangsang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro