BAB 12. Finger Painting
Ini adalah kali kedua bagi Keenan mencicipi olahan Amara. Masakan rumahan sederhana yang terasa enak di lidah.
Sebenarnya menu hidangan buatan tukang masak yang Keenan pekerjaan dua kali lebih rumit. Tapi, entah mengapa Keenan lebih suka masakan rumahan bikinan Amara.
"Daddy makan melulu. Suka, ya?" tanya Julie jahil.
Keenan mengangguk. "Masakan Miss Amara enak." Ia pun melirik Amara yang tersipu-sipu.
"Punya Julie juga enak." Julie mengacungkan jempok ke arah Amara. "Miss Amara kerja di sini saja gantikan tukang masaknya Daddy," selorohnya.
Keenan mendadak tersedak. "Julie!" tegurnya.
Amara hanya tersenyum simpul. Mana mungkin bisa marah atau tersinggung oleh perkataan polos anak seusia Julie.
"Maafkan Julie, Miss Amara," ucap Keenan canggung.
"Tidak masalah," sanggah Amara. "Justru saya tersanjung karena Julie suka sama masakan sederhana saya."
"Tidak hanya dia, saya pun sangat menyukai ini." Keenan beralih memuji Amara. "Pak Bastian begitu beruntung."
Tarikan melengkung pada bibir Amara memudar. Ekspresinya tertangkap jelas oleh sorot Keenan. Sebersit keganjilan kembali mengusik benak Keenan. Tiap kali ia menyinggung soal Bastian --- Amara selalu tampak sendu.
***
Selepas makan siang, Amara dan Julie pun memulai kelas seni mereka. Ia meminta izin mengadakan pelajaran di halaman rumah. Prakarya yang akan diajarkan oleh Amara berpotensi mengotori lantai.
Amara membawakan Julie sebuah kanvas dengan ukuran besar - sekitar 2 x 1 meter. Kanvas itu akan dipenuhi oleh cap telapak tangan Julie dengan warna yang berbeda-beda.
Wanita itu membeberkan trash bag di atas rerumputan. Meskipun cuaca di luar sedang terik, tetapi suasana taman begitu teduh dan nikmat oleh semilir angin. Bangunan rumah yang tinggi menjadi pelindung area hijau tempat Amara dan Julie duduk. Mereka mengambil tempat tepat pada sisi bayangan yang rindang.
Pada lain sisi lain, pohon bougenville berbunga merah muda merambat sepanjang teras gazebo. Di situlah Keenan duduk seraya memainkan tablet. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Julie --- atau lebih tepatnya, Amara. Wanita itu memakaikan ponco tipis untuk muridnya. Semua agar pakaian Julie tidak terkena cat.
"Sudah belum, Miss?" Julie melonjak-lonjak tidak sabar.
"Bantu Miss tuang edible paint yang Miss bawa, ya." Amara menunjuk beberapa botol air mineral ukuran 1,5 Liter yang ia bawa dari rumah.
Amara sudah mempersiapkan macam-macam warna yang ia buat sendiri dari pewarna makanan. Semua bahan-bahan Amara lihat melalui tayangan pada situs online. Mula-mula Amara mencampurkan air biasa di dalam baskom dengan bubuk tepung maizena. Kemudian wanita itu menuangkan secangkir air panas untuk mengentalkan adonan. Setelah tercampur rata dan tanpa gumpalan, barulah cairan pewarna makanan diteteskan. Masing-masing botol memiliki warna yang berbeda-beda. Mulai dari biru tua, merah, kuning, dan putih.
Julie gesit menuruti titah sang guru. Ia membawa botol-botol berisi cat menggunakan kedua tangan yang mungil. Tingkah lucu sang putri membuat Keenan tersenyum sendiri. Semenjak perceraian, ini pertama kalinya Julie terlihat bersemangat.
Dan, bukan kebetulan, Keenan lagi-lagi memergoki raut Amara yang sedang tertawa lepas. Sesekali wanita itu menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga. Tetapi, angin lagi-lagi meniupnya berantakan. Keenan mulai berandai-andai kalau saja ia bisa menjadi angin yang menerpa pipi bersemu milik Amara.
Ah, ia pasti sudah kehilangan akal sehat!
"Boleh aku kerjakan sekarang?" tanya Julie.
Amara duduk berjongkok menyejajarkan tubuh dengan Julie. "Sebelumnya, apa Julie tau nama dari kegiatan kita sekarang?"
Julie menjawab dengan gelengan kepala.
"Ini namanya Finger Painting. Sebenarnya kegiatan ini bagus untuk balita, tapi semua usia bisa melakukannya. Kelak ketika Julie dewasa, Julie masih bisa memandangi telapak tangan mungil milik Julie. Julie juga bisa mengenang masa-masa menyenangkan ini," terang Amara. "Karena Julie sudah enam tahun, kita buat campuran warna yang beragam dari satu telapak tangan, ya. Supaya tingkat kesulitannya lebih tinggi."
"Yaaa! Okaaay!" Julie berseru kegirangan.
Dengan kuas berukuran sedang, Amara menyapukan telapak tangan Julie dengan warna kuning dan biru. Kemudian, Amara membimbing Julie untuk menempelkan telapak ke atas kanvas putih. Saat mengangkat tangan, mata Julie bersinar karena melihat hasil cap tangannya sendiri.
"Cantik sekali, Miss." Julie antusias.
"Nah, sekarang coba Julie lakukan sendiri."
Amara membiarkan Julie mengeksplorasi warna-warna sesuai keinginan. Ia hanya membantu Julie sesekali, tatkala muridnya tampak bingung dalam pemilihan warna.
Gelak tawa sang putri membuat Keenan mengabaikan tabletnya. Ia begitu bersyukur karena Amara mampu mengembalikan keceriaan Julie. Maklum saja --- semenjak pindah ke Surabaya, Julie belum memiliki satu orang teman pun di sekolah barunya. Guru di kelas pun mengatakan bahwa Julie tergolong pasif dan pemurung. Tapi kini, rona bahagia menyelimuti sang putri kecil.
Keenan tidak tahu saja.
Amara dan Julie sama. Mereka saling menyembuhkan sebab memiliki luka beserta kepedihan yang tersimpan. Keduanya sama-sama ditinggalkan dan diacuhkan oleh orang yang teramat mereka sayang.
"Daddy!" teriak Julie. "Lihat sini! Hasil karyaku bagus banget!"
Keenan lantas bangkit dari duduk. Lelaki karismatik itu melangkah mendekat demi menghampiri putri si mata wayangnya.
"Mana? Coba Daddy lihat?" telisik Keenan.
"Ini Daddy," tunjuk Julie. Wajahnya dipenuhi noda cat warna-warni.
"Ini bagus sekali, Darling. Penuh warna dan ceria. Good job!" puji Keenan. Ia mengelus puncak kepala Julie dengan penuh kelembutan.
Amara menimpali, "Beberapa tahun lagi karya ini akan bernilai sentimentil untuk Bapak dan Julie."
Keenan tertegun. Benar juga, Julie tidak akan selamanya kecil. Ia akan tumbuh menjadi gadis remaja yang sibuk dengan dunianya sendiri. Julie tak akan lagi bergelayut manja pada pelukan atau pangkuan Keenan.
"Kamu benar," gumam Keenan sendu.
Amara memandang Keenan lekat. Ia menyadari Keenan teramat sayang dengan Julie. Meski, keegoisannya tetap tak bisa dibenarkan. Julie membutuhkan sosok Nadira, ibunya. Dan Keenan merenggut itu.
"Oh ya, ngomong-ngomong Miss Amara tampaknya suka dengan aliran Ekpresionisme." Keenan kembali melanjutkan, "Koreksi jika saya salah."
"Anda tidak salah," sahut Amara. "Saya memang terinspirasi dari Van Gough, Zaini, dan Popo Iskandar."
"Setahu saya, aliran Ekspresionisme adalah aliran yang mengungkapkan jenis emosi sang pelukis. Kebanyakan rasa amarah dan kesedihan. Dapat dilihat dari goresan-goresan warna yang Anda torehkan. Kesannya bagai amarah yang terpendam. Mengapa anda tertarik dengan aliran itu?"
Amara membisu. Mana mungkin ia akan mengungkap tentang kehidupan rumah tangganya yang penuh kenelangsaan.
"Karena suka saja. Tidak ada alasan lain," kelit Amara.
Keenan mengangguk.
Mereka berdua kembali memusatkan perhatian ke arah Julie yang sibuk finger painting.
"Ngomong-ngomong, saya masih merasa tidak enak karena mengganggu waktu libur Anda dan Pak Bastian," pancing Keenan.
"Ti-tidak apa-apa, Pak."
Itu dia! Raut Amara kembali gusar. Keenan jelas yakin, ada sesuatu dalam rumah tangga wanita itu. Namun, ia mengutuk diri sendiri karena berubah menjadi lelaki gemar ikut campur.
"Kalau boleh tahu, biasanya Miss Amara dan Pak Bastian ke mana kalau liburan begini?" tanya Keenan. "Saya ingin membawa Julie jalan-jalan. Tapi ke tempat selain mall."
Amara menoleh penuh tanya. "Selain mall? Kenapa begitu? Setahu saya, keluarga Bapak punya mall yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Surabaya. Dan lagi, kota ini memang terkenal dengan mallnya."
"Justru karena itu saya jadi malas ajak Julie ke Mall." Keenan terkekeh. Lesung pada pipi lelaki itu kembali menghiasi wajah tampannya. "Tiap ke mall, ia selalu diperlakukan istimewa. Saya ingin Julie tumbuh menjadi gadis bersahaja."
Amara terperangah. Ternyata, Keenan bukan lelaki arogan seperti dugaannya.
"Kalau pengen selain mall, saya rasa Batu atau Malang adalah destinasi yang tepat."
Keenan mengangguk. "Kami punya wahana keluarga milik Ibrahim Group di Batu. Saya memang belum sempat ajak Julie main ke sana."
"Oh ya?" Amara membelalak.
"Godzilla's Park," ujar Keenan.
Amara menelan saliva. Godzilla's Park adalah salah satu wahana populer yang ada di Batu. Destinasi wisata itu sejajar dengan JatimPark dan Batu Night Spectakuler. Rupanya, kekayaan Ibrahim Group tersebar merata dan tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan.
"Julie pasti senang kalau Bapak ajak ke sana."
Keenan mengembuskan napas panjang. "Saya terlalu sibuk bekerja hingga terkadang lupa kalau Julie juga butuh refreshing."
Keenan Alkala Ibrahim mungkin memiliki segalanya, Mall, real estat, dan wahana hiburan. Namun ia tetap tak mampu membeli waktu.
"Daddy," panggil Julie membuyarkan obrolan antara Amara dan Keenan.
"Ya?" sahut Keenan lembut.
Julie menarik tangan Keenan dengan telapaknya yang kotor. "Daddy ikutan finger painting sama Julie, yuk."
"Julie saja, ya," tolak Keenan.
Julie pun merengek. "Ayolah, Daddy," bujuknya. "Please. Pleaseee ...!"
Amara meringis. "Ngga ada salahnya, kan, Pak Keenan ..."
"Tuh, denger kata Miss!" paksa Julie.
Keenan terpaksa mengiakan. "Okay. Tapi, satu kali saja, ya."
Ketika Keenan hendak membungkuk mengambil cat, Amara buru-buru mencegah.
"Pak, pakai ini supaya bajunya tidak kotor," tawar Amara. Ia menyodorkan ponco berwarna merah jambu.
Keenan mengernyih. Mana bisa pakai warna pink neon begitu di depan Amara. Wibawanya bisa turun. "Tidak usah, Miss Amara," tolaknya halus.
"Nanti bajunya kena noda cat, Pak. Saya khawatir susah dibersihkan."
"Tidak masalah. Berarti sudah waktunya pakaian ini pensiun," ujar Keenan santai.
"Hmm, begitu ..." gumam Amara.
Kehidupan old money¹ memang berbeda. Amara perhatikan, pakaian yang dikenakan Keenan sekarang adalah brand mahal. Lelaki itu santai membuang baju yang masih bagus. Beda sekali dengan Amara. Tidak ada kata 'pensiun' untuk pakaiannya. Kalau sudah robek dan tak layak pakai, ya, akan beralih jadi lap atau keset kaki.
Saat sedang serius membuat finger painting, Julie menggores pewarna pada pipi Keenan. Semakin ayahnya melotot, tawa bocah enam tahun itu semakin kencang.
"Julie, nakal, ya!"
Julie menjulurkan lidah. "Daddy nggak boleh marah, dong!" godanya.
Keenan hanya bisa menggelengkan kepala. Pasrah mukanya dialih fungsikan sebagai kanvas oleh sang anak.
"Daddy, kumisnya Julie kasih warna putih, ya. Supaya kayak Santaklaus!" kikik Julie.
"Jangan, dong!" tolak Keenan kelabakan.
Amara sumringah menyaksikan keakraban antara Julie dan Keenan. Ia menemukan sisi lembut yang tersembunyi di balik ketegasan bos suaminya.
Puas mengerjai Keenan, Julie beralih menghampiri Amara. Bocah kecil itu menggandeng tangannya dengan erat.
"Miss juga ikutan, yuk!" ajak Julie.
Amara menggeleng segan. "Ti-tidak perlu, Julie. Biarkan itu menjadi lukisan kamu dan Daddy-mu. Miss lihat dari sini saja, ya."
Julie cemberut. "Ah. Ayolah, Miss!"
"Jangan, Julie. Lukisan itu, kan, berisi kenanganmu dan Pak Keenan. Miss bukan siapa-siapa ..." ujar Amara.
Julie bersikukuh. "Ayolah, Miss!" rengeknya. Ia lalu mencari dukungan dari sang ayah. "Daddy, Miss Amara, lho ... nggak mau!" adunya.
Keenan terkekeh renyah. Ia memandang Amara dengan mata elangnya yang tajam. "Ayolah, Miss. Tidak ada salahnya, kan?" Ia meniru cara bicara Amara tadi kepadanya.
"Ta-tapi, Pak ...?" Amara masih ragu.
"Ayolah." Keenan meraih jemari Amara. Ia mengunci wanita itu dalam pandangan. Paras rupawan Keenan semakin manis dengan lesung pada kedua pipinya.
Amara terpaksa menurut. Ia lalu duduk di antara Keenan dan Julie. Dengan sigap, Julie mengoles telapak gurunya dengan cat warna merah kuning.
"Tempel sini, Miss," bimbing Julie.
Kecanggungan yang semual dirasakan, perlahan meleleh tak bersisa. Mereka bertiga pun larut dalam suasana menyenangkan bercampur debar. Tak hanya Julie, senyum pun tak pernah pudar dari bibir Keenan. Lelaki itu tak pernah tergelak seceria hari itu. Bahkan dengan Nadira sekali pun.
Tingkah laku usil Julie kembali timbul. Ia tak lagi menarget sang ayah, tetapi Amara. Julie mengarahkan cat airnya ke arah sang guru. Ia ingin memulas wajah Amara.
"Eh, Julie, no!"
Amara segera beringsut. Gerakannya kalah cepat dengan lompatan yang dilakukan Julie. Gadis cilik itu sudah melonjak di atas pangkuan Amara.
"Kena!" seru Julie.
Tak sempat menduga ulah Julie, Amara pun hampir terjatuh ke belakang. Namun, Keenan sontak menahan tubuh wanita itu. Punggung Amara pun bersandar pada dada Keenan yang bidang.
"Daddy, bantu Julie, ya! Julie mau gambar kumis kucing di muka Miss!" titah Julie.
"Juliieee ...?" Amara memundurkan badan. Ia malah semakin rapat menempel di badan Keenan.
"Siap, Bos!" Keenan menyeringai jahil. Ia melupakan semua batasan yang semula ia bangun. Lelaki itu lantas mendekap tubuh Amara yang mungil dari belakang. Keenan memenjarakannya dalam pelukan.
Aroma mint menggoda penciuman Amara yang terkurung oleh kokohnya lengan Keenan. Ia terpejam pasrah ketika Julie menggoreskan kuas ke atas wajahnya. Bukan amarah yang Amara rasakan, melainkan desir. Kulit Keenan menempel rapat pada kulitnya. Wanita itu bersyukur karena ia menyempatkan keramas sebelum berangkat mengajar. Sudah jelas Keenan mampu mengendus aroma rambutnya dari belakang sana.
Amara memang benar.
Jarak antara Keenan dan guru anaknya terlampau dekat. Ia menikmati wangi vanila yang menguar dari rambut Amara. Darah Keenan memanas. Wanita itu laksana kue yang menggoda untuk dimakan. Tubuh Amara juga mungil dalam dekapannya.
Jauh dalam hati --- Keenan berharap semoga Julie lebih lama mengerjai gurunya. Semua agar ia bisa menikmati detik demi detik merengkuh Amara.
***
¹ old money : kekayaan warisan yang sudah turun temurun, beberapa generasi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro