BAB 11. Debaran Terlarang
Amara keluar dari bathroom setelah mencuci mukanya yang sembab. Bastian benar-benar tidak pulang semalaman. Apakah pekerjaan suaminya tak bisa ditunda hingga ia harus tidur di kantor? Segudang keganjilan menggelitik nurani Amara. Namun, sebagai istri yang bergantung baik finansial mau pun perasaan, tak ada yang bisa ia lakukan selain bersabar.
Sayup-sayup ia pun mendengar suara ketukan pada pintu utama rumah. Apa Bastian lupa membawa kunci sampai harus mengetuk segala?
"Iya, sebentar, Mas!" seru Amara.
Ia pun berlari menuruni tangga tanpa memedulikan pakaian yang ia kenakan. Camisole tipis di atas paha yang menampakkan lekuk tubuhnya dengan jelas.
"Kamu nggak bawa kunci Ma---" Kalimat Amara terhenti. Kedua mata wanita itu terbelalak karena menemukan itu bukan Bastian. "Pak Keenan?"
"Pa-pagi, Miss Amara." Keenan pun terlihat sama terkejutnya.
Amara buru-buru menyembunyikan badan di balik daun pintu. "Ada perlu apa, ya, Pak, pagi-pagi begini?" tanyanya.
"Maaf karena saya tiba-tiba datang sepagi ini." Keenan berdeham untuk menetralisir salah tingkah. Bagaimana tidak! Amara tampil dengan gaun tipis yang berhasil membuat birahinya melesat! "Ini soal privat Julie."
"Julie?" Amara berkernyit. Ia masih mengintip dari balik pintu.
"Hari ini dia tidak bisa les karena ada kepentingan keluarga," terang Keenan.
"Oh begitu ..." gumam Amara. "Baiklah. Tidak masalah."
"Ehm, saya pikir ingin mengganti harinya jika Miss tidak keberatan ..." ujar Keenan.
Amara yang merasa tingkahnya tidak sopan, buru-buru membuka pintu untuk bos suaminya itu.
"Bapak mau masuk dulu?" tawarnya.
"Ba-baiklah." Sial! Keenan merutuki kebodohannya --- seharusnya aku menolak. Ia pun melangkah canggung melewati pintu masuk.
"Silakan duduk dulu, Pak." Amara menutup area dada menggunakan tangan. Tapi sia-sia, paha mulus wanita itu terekspos jelas.
Keenan tertunduk. Ia berusaha membuang muka dari visual seksi di dekatnya. "Okay," sahut lelaki itu.
"Saya permisi sebentar ke atas."
Amara melangkah gesit menaiki anak tangga. Ia tidak sadar bahwa ulahnya justru menyingkap bagian belakang roknya yang tipis. Wajah Keenan pun memerah --- celana dalam berwarna peach --- tertangkap oleh pandangan.
Ia memutuskan duduk pada tempat terdekat. Dan berusaha melupakan apa yang baru saja ia lihat. Meski sulit.
Tak lama, Amara turun. Ia sudah mengenakan robe untuk menutupi kemolekan.
"Bapak mau minum sesuatu? Teh? Kopi mungkin?"
Keenan menggeleng. "Tak perlu repot, Miss." Ia menelisik suasana rumah yang sepi. "Ke mana Pak Bastian? Apa sedang bersiap ke kantor?"
"Mas Bastian, 'kan, lembur, Pak." Amara mendadak berkernyit. "Bapak tidak tahu soal itu?"
"Lembur? Sampai tidak pulang?" Keenan berbalik tanya.
"Bapak tidak ... tahu?" Mimik muka Amara memucat. Ketakutan menjalar menyerang sekujur relungnya. Apakah Bastian berbohong?
"Soal itu ..." Keenan menangkap ekspresi gusar yang tersirat. "Saya belum lama pindah ke kantor cabang di sini. Jadi, belum tahu betul kebiasaan para karyawan."
"Oh begitu," gumam Amara pelan.
Keenan merasa serba salah. Akibat ketidak-tahuannya, Amara bisa saja berpikiran negatif tentang suaminya.
"Jadi, soal privat Julie, bagaimana, Pak?" lanjut Amara.
"Ehm, saya berpikir untuk mengganti harinya di Sabtu besok. Apa Miss tidak keberatan?"
"Sabtu?" Amara berpikir sejenak.
"Saya paham itu adalah hari libur. Mungkin sebaiknya Miss konsultasikan dulu dengan Pak Bastian. Saya tidak ingin mengganggu waktu keluarga kalian."
Amara mengangguk. "Baik, Pak."
"Kalau begitu saya pamit." Keenan bangkit dari sofa dan bersiap pergi. Terlalu lama berdua dengan istri orang akan membuat pikirannya makin berantakan.
Amara ikut berdiri untuk mengantar Keenan sampai ke depan pintu. Wanita itu tak banyak bicara lagi. Namun heningnya Amara, justru membuat perasaan Keenan tak karuan. Bayangan sosok molek tadi sungguh terpatri dalam memori.
"Permisi, Miss." Keenan tersenyum.
Amara membungkukkan badan demi kesopanan. "Hati-hati, Pak," sahutnya.
Sial. Sial. Sial!
Keenan mencaci dalam hati. Wanita itu lagi-lagi mempertontonkan buah dada yang mengintip dari balik lipatan robe. Dengan terburu-buru, Keenan pun menaiki Rubicon-nya dan secepat kilat tancap gas.
Bastian --- sungguh sangat-sangat mujur!
***
Amara baru saja hendak kembali naik ke lantai atas saat sosok Bastian muncul tanpa dosa memasuki rumah. Lelaki itu terlihat santai memainkan ponsel pada tangannya.
"Mas!" seru Amara. "Kamu kok tidak pulang semalaman?"
Bastian mendengkus dan melempar tas kerjanya sembarangan.
"Udah kubilang, kan, aku lembur." Ia merebahkan tubuh ke atas sofa. "Suami lagi capek baru pulang kerja, ambilin air minum kek ..."
Amara sigap ke dapur dan menuang segelas air mineral pada gelas. Ia pun memberikannya pada Bastian.
"Jadi kamu semalaman di kantor?" tanya Amara pelan.
Bastian menerima pemberian Amara dan meneguknya secara impulsif. "Ya. Di mana lagi emang? Ini aja pulang cuman buat mandi dan ganti baju. Setelah itu balik lagi ke kantor."
"Ya ampun, Mas." Amara lantas duduk di sebelah Bastian. "Kamu pasti lelah." Ia meraih lengan sang suami dan memijatnya.
"Beginilah." Bastian mengembuskan napas panjang. "Tapi gimana lagi, namanya juga kerjaan."
"Ehm, ngomong-ngomong ... Pak Keenan barusan ke sini," terang Amara.
Bastian terbelalak sambil menegakkan punggung. "Hah?" pekiknya. "Serius kamu? Mau ngapain dia ke sini?"
"Dia datang untuk me-reschedule les anaknya. Katanya dia nggak ke kantor hari ini, makanya mampir langsung. Dia juga tanya apa aku bisa ganti harinya jadi hari Sabtu."
"Terus kamu jawab apa?" cecar Bastian.
"Belum jawab, Mas. Pak Keenan suruh tanya kamu dulu. Barangkali kita ada acara keluarga," ujar Amara.
Bastian refleks mendecih. "Alah! Gimana, sih, kamu itu? Langsung iyakan aja, dong, harusnya."
"Biar bagaimana pun aku harus izin kamu dululah, Mas. Siapa tahu kita keluar liburan besok."
"Sabtu besok aku ke Malang," sergah Bastian.
"Malang? Sama siapa, Mas?" buru Amara.
"Reuni temen-temen kampus. Minggu paling udah pulang. Kamu ngajar aja di rumah Pak Keenan. Ingat, Mara, kamu punya andil besar, lho, untuk bikin aku akrab sama dia!"
Amara tertunduk gusar. Kenapa dia jadi harus ikut campur soal urusan pekerjaan Bastian? Dia cuma guru les putri bos suaminya. Tak lebih.
"Emang aku ngga kamu ajak hari Sabtu besok? Aku juga kepingin jalan-jalan ke Malang, Mas. Sudah lama nggak ke sana," kata Amara.
Bastian mengibaskan tangan. "Nggak usah ikut. Aku di sana cuman sama temen-temen deket doang. Cowok semua. Nggak ada yang bawa istri. Kalau kamu ikut, suasana malah jadi canggung."
"Tapi ..."
"Udahlah, Mar." Bastian sigap menyela. "Kamu mending turuti permintaan Pak Keenan aja. Profesional dalam pekerjaan!"
Amara mengatupkan bibir. Bastian selalu mengabaikan keinginannya.
"Terus tadi kamu nggak menyuguhkan dia sarapan atau apa gitu?" selidik Bastian lagi.
Amara menggeleng.
"Tidak, Mas. Kurasa, dia juga canggung karena tahu kalau hanya berdua saja denganku. Aku pun tak bicara banyak sebab kamu ngga ada di rumah," terang Amara.
Tawa Bastian mendadak meledak. Ia terpingkal seraya menelisik Amara dari atas ke bawah. "Maksud kamu? Pak Keenan bakal nafsu gitu sama 'ibuk-ibuk' macam kamu? Jangan bercanda, deh, Mara! Jangan kepedean."
Kedua alis Amara berkernyit. Ada saja cara Bastian untuk menyakiti hatinya lewat sikap mau pun perkataan.
"Meski Pak Keenan duda, dia juga milih-milih perempuan. Mana mungkin mau sama kamu yang berantakan begini!" Bastian berusaha menghentikan tawa. Ia lalu bangkit dari duduk dan melangkah menaiki tangga. "Udah, ah. Aku mau mandi dulu!"
Lelaki itu lantas melenggang pergi meninggalkan Amara yang terluka dan sakit hati.
***
Sedari pagi Amara sudah memasak berbagai hidangan sedap untuk dibawa ke kediaman Keenan. Amara membuat nugget ayam sehat tanpa MSG, nasi goreng, dan rolade untuk diberikan pada Julie. Sementara hidangan Lontong Tuyuhan ia siapkan khusus untuk Keenan.
Lontong Tuyuhan adalah salah satu makanan khas Rembang, bentuknya mirip opor ayam. Namun, berbeda dengan opor pada umumnya, masakan ini memiliki cita rasa pedas yang berasal dari jintan, kemiri dan bawang. Bentuk lontongnya juga unik, berupa segitiga. Kuah santan yang gurih berisi jeroan ayam, daging ayam kampung, dan tempe yang dipotong kecil-kecil. Amara berharap Keenan dan Julie menerima baik sajian yang sudah ia persiapkan.
Senggang dan bosan membuat Amara berinisiatif membawakan suami bosnya makanan. Yah ... hitung-hitung demi mengakrabkan diri --- seperti permintaan Bastian.
Ada sedikit kesedihan bersarang dalam relung wanita itu. Lagi-lagi ia harus sendiri dan kesepian di hari libur. Bastian sudah berangkat ke Malang sejak subuh. Suaminya memilih menghabiskan liburan dengan teman-temannya. Bukan Amara, istrinya sendiri.
Ia memutuskan berangkat satu jam lebih awal karena ingin Julie makan dulu sebelum kelas. Nasi goreng bukan makanan yang enak jika dingin.
***
Di depan istana Keenan --- Agya Amara berpapasan dengan Rubicon sting gray milik si bos. Kaca mobil mahal itu pun terbuka.
"Miss, kok, sudah datang?" Keenan menengokkan kepala.
Amara yang sudah memarkir kendaraan pun bergegas turun.
"Saya datang awal karena bawa makanan buat Julie. Saya harap dia cicipi dulu sebelum mulai kelas."
Dahi Keenan berkernyit. "Makanan?"
Amara mengangkat sebuah tas kain - berisi kotak-kotak makanan. "Bikinan saya sendiri." Ia meringis.
"Kok kebetulan banget?" Keenan terkekeh. "Saya baru aja mau keluar beli makan di restoran depan."
Amara tersungging karena berhasil tepat waktu. Deretan giginya yang rata terlihat akibat tersenyum lebar. Pipi wanita itu juga berubah merona merah muda. "Saya juga bawa buat Pak Keenan."
Cantik. Ini kali pertama Keenan menangkap senyum dari wajah Amara. Biasanya wajah guru les anaknya itu selalu muram nyaris tanpa tawa. Sinar matahari yang menerpa rambut legam dan kulit sawo matang Amara --- seolah mempertegas paras ayunya.
"Kalau gitu, Miss silakan duluan, deh. Saya masukkin mobil dulu." Keenan mengerjapkan mata demi menghalau pikiran terlarang. Itu istri orang!
***
Ternyata --- Amara setia menanti Keenan di depan teras. Keberadaan wanita itu semakin hari semakin mengusik detak jantung si duda.
"Lho, kok, nggak masuk?" tegur Keenan.
"Bareng saja sama Bapak," sahut Amara.
Keenan pun berjalan masuk menyusuri foyer kediamannya yang mirip lobi hotel. Tampilan lelaki itu cukup santai --- polo shirt yang dipadankan celana khaki.
"Setiap hari Sabtu dan Minggu, tukang masak memang libur. Cuma ada Bi Santi dan Febi. Tapi mereka berdua tidak bisa masak," kata Keenan memecah hening. Bakal janggut pada wajahnya terlihat lebih lebat dari biasa. Penampilan sedikit berantakan malah membuat Keenan semakin macho dan maskulin.
Amara mengangguk. "Oh gitu. Semula saya ragu membawakan masakan buatan sendiri. Takut tidak sesuai selera Bapak dan Julie."
"Kenapa Miss repot-repot segala?"
"Kebetulan ada waktu luang dan hobi saya memang masak," sahut Amara.
"Terima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk memasak dan datang mengajar. Saya jadi merasa tidak enak karena mengganggu waktu libur Miss dan keluarga."
Amara mengulas senyum getir. "Nggak apa-apa, Pak. Saya yang harusnya berterima kasih karena Bapak mempercayakan saya sebagai guru Julie."
Keenan lagi-lagi menangkap ekspresi gundah yang Amara selalu torehkan. Ada kesedihan terpendam yang bersarang pada wanita di sampingnya ini. Namun, Keenan terlalu takut untuk mengusik lebih jauh.
***
"Miss Amara!" Julie berlari ceria menghambur ke arah Amara. Di belakangnya, terlihat Febi mengikuti. "Kata Bi Santi, Miss bawakan Julie makanan, ya?"
Amara menyambut Julie dengan sumringah.
"Semoga Julie suka sama masakan Miss."
"Memangnya Miss masakin Julie apa?" Julia santai menggandeng tangan Amara dan berjalan menuju meja makan. "Kalau tidak enak, Julie nggak mau."
"Julie." Keenan yang sudah duduk di meja makan sontak menegur sang putri. "Kamu seharusnya berterima kasih karena Miss Amara sudah susah payah membuatkanmu makanan."
Julie mengerucurkan bibir mungilnya. "Sorry, Daddy." Ia lalu beralih memandang Amara. "Terima kasih, Miss, udah susa paya ..."
"Iya, sama-sama, Julie," timpal Amara terkikik geli.
Santi dan Febi pun muncul dari balik selasar seraya membawa troli makanan. Masakan yang tadi Amara bawa, sudah mereka pindahkan ke atas piring-piring dan mangkok. Melihat dua orang pengurus rumahnya muncul, kepala Julie menengadah untuk mengintip makanan dari Amara. Mata bocah kecil itu pun seketika membulat.
"Wih, nugget, Daddy!" seru Julie.
Keenan mengangguk seraya tersenyum tipis.
"Emang Julie boleh makan nugget? Kata Daddy nggak boleh!" celetuk Julie.
Keenan berdeham karena tingkah laku putrinya yang kelewat jujur. Sementara, Amara buru-buru menimpali pertanyaan Julie.
"Saya buat sendiri, jadi tanpa bahan pengawet ..." jelas Amara.
Santi mengulum senyum seraya meletakkan piring satu per satu. Ia senang melihat antusiasme Julie kecil yang akhir-akhir ini sulit makan.
"Silakan," ucap Santi. Setelah menyelesaikan tugas, ia bergegas mengajak Febi untuk meninggalkan ruang makan.
"Yuk, Daddy, dimakan!" Julie sigap mengambil beberapa potong nugget dan rolade ke atas piring.
Amara senang Julie menikmati masakannya. Di lain sisi, mata Keenan tertuju tajam pada Lontong Tuyuhan yang ada di dalam mangkok.
"Miss Amara yang masak ini semua?"
"Iya, Pak. Cuma masakan rumahan sederhana. Mungkin tidak sebanding sama rasa dari restoran langganan Bapak," sahut Amara. Ia lantas menyadari ke mana pandangan Keenan. "Itu namanya Lontong Tuyuhan. Makanan khas Rembang - kampung halaman saya. Cita rasa makanan ini agak pedas. Saya ingat kalau Bapak Keenan kuat dengan rasa pedas."
Keenan segera menyendokkan kuah beserta isi dari buatan Amara. Ia sangat penasaran ingin segera mencicipi.
"Gimana, Dad? Enak?" Julie sibuk mengunyah. "Kalau punya Julie, sih, enak. Miss Amara pintar masak!"
Amara tersipu. Sementara Keenan batal menyuap masuk lontong ke dalam mulut. Ia sadar Amara tidak ikut makan bersama mereka.
"Miss kenapa tidak makan?" selidik Keenan.
Amara menggeleng. "Oh tidak usah, Pak. Biar saya ke dapur saja menyusul Bu Santi." Wanita itu bangun dari kursi makan dan bersiap pergi.
"Kalau begitu, saya juga tidak akan makan lontong tutuhan ini kalau Miss Amara tidak ikut makan bersama kami," ujar Keenan.
Amara sekuat tenaga menelan tawa. Tapi usahanya gagal. Ia seketika tergelak geli. "Maaf, tapi Pak Keenan, namanya lontong tuyuhan, bukan Tutuhan."
Keenan memerah karena malu. Namun semua segannya berganti debar dari detak jantung yang bertabuh. Lelaki itu terpegun oleh paras Amara yang berkali lipat lebih cantik saat tertawa. Seutas rasa yang ia anggap sudah mati, mendadak menunjukkan binar kehidupan.
Ia pun sulit memalingkan mata dari Amara. Sungguh perasaan yang sulit ia jabarkan baik dengan hati mau pun logika.
Baca Forbidden Desire sampai tamat di BESTORY | KARYAKARSA
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro