Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10. Ibu Pengganti

"Malam."

Suara Keenan sontak membuyarkan tawa yang semula menyeruak memenuhi ruang. Amara refleks menahan napas akibat teringat perselisihan mereka kemarin. Ia mengalihkan pandangan agar tak beradu dengan pemilik mata tajam itu.

"Malam, Pak." Santi menyambut kedatangan Keenan.

Keenan melirik pada jam tangan. "Jam berapa ini? Kenapa Julie sudah makan malam duluan?" selidiknya.

Febi berubah tegang. Sementara Santi sigap menghampiri sang bos.

"Boleh saya bicara dengan Bapak sebentar?" ajak Santi.

Keenan pun mengangguk. Sebelum mengikuti Santi, ia menyempatkan diri mendekati Julie. Lelaki itu mengecup puncak kepala putrinya yang sedang asyik makan.

Keenan mengernyit. "Makan apa, Julie?"

"Telur dadar gulung buatan Julie." Julie lalu mengarahkan sepotong untuk Keenan. "Daddy mau?"

Keenan membuka bibir demi menyambut suapan Julie. Namun, bocah kecil itu justru mengalihkan sendok berbalik arah. Keenan dikerjai oleh anaknya sendiri.

"Julie nggak mau kasih Daddy." Ia memasukkan sendok ke dalam mulutnya sendiri.

Amara yang berada di dekat Julie pun sekuat tenaga menahan tawa. Sementara raut Keenan terlihat salah tingkah karena malu.

Keenan berdeham dan menegakkan punggung. "Ya sudah kalau tidak mau kasih Daddy." Ia melirik Amara melalui sudut mata. Wanita ini memutuskan datang mengajar lagi rupanya ...

Keenan kemudian berjalan pergi dari ruang makan untuk mengikuti Santi. Setelah mereka berlalu, Febi bergegas menegur perbuatan usil Julie.

"Julie, lain kali jangan gitu sama Daddy. Tidak boleh pelit sama Daddy-nya sendiri."

Julie berkecimus. "Biar aja. Gara-gara Daddy, Mommy ngga tinggal bareng Julie lagi."

Amara menghela napas. Hari ini ia berhasil membujuk Julie untuk makan. Namun, bagaimana jika besok-besok gadis kecil itu kembali merindukan sang ibu? Ia khawatir Julie akan bertingkah lagi.

"Ehm, sepertinya jam belajar kita sudah selesai, Julie. Miss pamit pulang, ya." Amara buru-buru bersiap pergi agar tak harus bicara dengan Keenan.

"Yah? Miss mau pulang?" Raut Julie memelas.

"Lukisanmu bisa dilanjutkan saat pertemuan berikutnya. Dan Miss lihat, Chef Julie sudah menghabiskan makanannya. Good job!" puji Amara.

Julie tersipu. Pipi tembam bocah enam tahun itu merona. Bibir mungilnya juga sudah tampak segar tak seperti semula.

"Berapa nilai Julie, Miss?" selidik Julie.

"Seratus!" Amara mengacungkan kedua jempol.

Julie mengepalkan tangan penuh semangat. "Yes!" serunya.

"Miss akan ambil tas di kamar Julie. Julie selesaikan saja makannya." Amara bangkit dari duduk.

"See you, Miss." Julie melambaikan tangan.

"Terima kasih, Miss Amara." Febi ikut berucap seraya mengantar Amara.

***

Dengan terburu-buru, Amara memasukkan peralatan lukis miliknya ke dalam tas. Ia juga merapikan tube cat air yang berserakan pada meja belajar Julie. Sebelum pergi, tak enak rasanya jika meninggalkan ruang dalam kondisi berantakan.

Amara lantas membawa mug berisi air kotor sisa Julie membersihkan kuas. Ia melangkah menuju bathroom muridnya untuk membuang cairan tersebut.

"Aku sudah dengar dari Bi Santi."

"Astaga!" Amara terperanjat hingga menumpahkan air di mug yang ia bawa.

Keenan --- dia seperti hantu yang mendadak muncul di depan pintu kamar Julie. Lelaki itu mendekat ke arah Amara sambil menatap datar. Aroma mint seketika menguar menusuk penciuman Amara. Seharusnya parfum mahal Keenan bisa berefek menenangkan --- tetapi tidak bagi Amara.

"Ma-maaf karena menumpahkan ini di lantai. Saya akan membersihkannya ..."

Keenan membisu. Ia meraih kotak tisu yang tergeletak di atas nakas.

"Tidak perlu meminta maaf," ucap Keenan. Ia tenang meraih tangan Amara dan mengelapnya menggunakan tisu. "Aku tidak menduga akan mengagetkanmu, Miss."

Sentuhan Keenan membuat Amara mematung bak karang. Seharusnya ia menolak jamahan Keenan, tetapi wanita itu justru membiarkannya. Secara telaten dan lembut, Keenan mengusap buku-buku jari Amara yang lentik. Lelaki itu membersihkan sisa-sisa noda yang menempel di sana hingga tak bersisa.

"Terima kasih untuk semua yang kamu lakukan untuk Julie." Keenan menggumam.

"Sa-saya ..." Jantung Amara kian berdebar tak menentu.

Keenan mengunci Amara dalam pandangan mata hitamnya. "Dan maaf karena kemarin saya sedikit kasar."

"Saya hanya melakukan semampunya." Amara menarik jemarinya.

"Miss Amara berhasil mengalihkan pikiran Julie tentang Mommy-nya. Kurasa, kamu memang bisa kuandalkan."

Raut Amara mengeras. Ia meraih tas dan bersiap meninggalkan Keenan.

"Kenapa harus saya yang melakukan itu?" sahut Amara.

"Apa?"

"Kenapa tidak Pak Keenan saja? Bukankah Bapak adalah Daddy-nya Julie? Saya rasa, dia hanya sangat kesepian."

Keenan memandang Amara lekat-lekat. "Ke-kesepian?"

"Kalau memang Mommy-nya tidak ada, setidaknya Julie harus mendapatkan perhatian penuh dari Pak Keenan. Itu menurut saya."

Keenan menghela napas berat.

"Yah, mungkin Miss benar."

Amara berganti terbelalak. "Sa-saya benar? Pak Keenan tidak marah lagi karena cara bicara saya yang lancang?" tanyanya.

"Tidak." Keenan menggeleng. "Justru saya berterima kasih karena Miss telah mengingatkan saya tentang hal itu," akunya. "Saya sadari, saya memang terlalu sibuk bekerja hingga mengabaikan Julie." Ia menarik kedua sudut bibir hingga membentuk garis melengkung ke atas. "Terima kasih, Miss Amara."

Amara lagi-lagi berdegup. Senyum Keenan merupakan hal langka baginya. Semua kesan sombong dan dingin darinya seketika menguap begitu saja. Mimik wajah Keenan begitu hangat dan teduh. Apa lagi karena kemunculan dua lesung pada pipi bercambang tipis lelaki itu.

"Sama-sama." Amara membalas pelan seraya keluar dari kamar. "Saya permisi pulang."

***

Malam itu, Bastian belum pulang hingga tengah malam. Amara yang tertidur di sofa rumah pun mengambil ponsel untuk mengecek waktu. Ia menegakkan badan seraya mengumpulkan kesadaran. Wanita itu lantas menempelkan ponsel pada telinga.

"Halo, Mas?"

Dari seberang, suara Bastian terdengar menjawab, "Ya, Mar? Kenapa?" sahutnya tanpa beban.

"Mas, ini hampir jam satu, kok, kamu belum pulang juga?" tanya Amara.

"Lembur. Ada target yang belum tercapai. Kamu tidur aja, nggak usah tunggu aku."

Amara muram. "Pak Keenan saja jam tujuh sudah pulang, Mas," imbuhnya.

"Ya dia, 'kan, bos! Anak yang punya perusahaan. Mau dia pulang pagi - siang juga sah-sah, aja!" sungut Bastian gusar.

Amara tercekat. Bastian selalu ketus tiap kali bicara dengannya.

"Gimana, ada perkembangan apa sama Pak Keenan? Kamu udah ngobrol apa saja sama dia?" selidik Bastian.

"Tidak ada obrolan yang berarti. Aku cuma ketemu dia sebentar. Cuman, Julie sudah mulai akrab denganku. Dan Pak Keenan tampaknya menghargai itu," jelas Amara.

Bastian terkekeh. "Bagus. Dekati terus dia. Kalau keluarga kita akrab sama dia, jabatanku di kantor bakalan cepet naik. Nggak harus lembur kayak begini, Mar. Kamu juga yang seneng."

"Iya." Amara menggumam lesu.

"Ya udah. Aku mau lanjut kerja dulu." Bastian pun mengakhiri sambungan telepon mereka.

Amara bangkit dari duduk. Ia melirik sepintas ke arah meja makan. Tadi setelah mengajar, wanita itu memasak sup daging untuk Bastian. Tetapi sepertinya semua sia-sia.

Bastian tidak pernah ada untuknya.

***

Dalam kamar yang gelap dan hening. Amara membaringkan tubuh seraya terpejam. Ia berulang kali menarik selimut dan membalikkan badan. Padahal tadi Amara sangat mudah tertidur --- sekarang ia justru tak bisa.

Ia teringat momen kala mengajar tadi sore. Ketika Keenan menyentuh jemarinya.

"Ah!" Amara mendecih seraya mengganti posisi.

Tidak sepantasnya Amara memikirkan lelaki lain selain suaminya. Itu dosa!

Tapi ... Tidak dapat dipungkiri, gairah Amara berdesir saat kulitnya dan Keenan saling bersentuhan. Usapan lelaki itu begitu lembut dan menggoda. Tubuh Amara serasa memanas.

"Hu-uh!" Amara kembali belingsatan.

Ini pasti karena ia dan Bastian tak pernah bermesraan. Pikiran Amara jadi suntuk karena kesepian. Ia tidak punya teman mengobrol baik di dalam atau luar rumah.

Wanita itu lalu melirik pada laci nakas paling bawah di samping ranjang.

Amara ragu-ragu menuruni ranjang. Ia membuka laci dan merogoh ke dalam sana. Dengan gamang, tangannya mengeluarkan sebuah kotak persegi berwarna hitam. Amara pun menelan saliva.

Dulu, Bastian memberikan itu padanya. Mainan dewasa yang sering mereka mainkan pada awal masa pernikahan. Bastian bilang, toy bisa memanaskan suasana saat mereka bercinta. Meski pun, Amara semula menolak, Bastian terus memaksa. Suaminya ingin dia lebih agresif dan liar di ranjang. Padahal, Amara adalah wanita polos yang tak pernah memikirkan hal-hal non-konvensional semacam itu.

Malam ini Amara merasa kotor. Ia mengeluarkan mainan silikon di tangan karena berniat menggunakannya. Amara ingin menghilangkan sisa nafsu yang serasa bersarang dalam relung. Mungkin --- benda berbentuk batang lelaki itu bisa membantu.

Pelan-pelan, Amara melucuti pakaian. Ia memandangi tubuh polosnya di depan cermin kamar. Kedua buah gunung kembar miliknya cukup padat dan berisi. Pinggang Amara juga ramping. Namun, apa yang salah hingga Bastian enggan bercinta dengannya? Apa karena kulitnya yang kurang putih?

Amara memijat gundukannya sendiri. Ia pun mendesah pelan. Tetapi kenikmatan yang sebenarnya adalah ketika ia memilin pucuk dada menggunakan jemari. Bagian itu sudah menegang. Dan Amara mencoba tenang serta menyingkirkan semua masalah dalam benak. Tubuh wanita itu pun mulai rileks dan memanas. Rangsangan pada dua tonjolan merah mudanya berhasil membuat bagian bawah Amara berdenyut.

Satu tangan Amara lantas turun untuk menjamah liangnya sendiri. Sudah basah.

Jari Amara mengitari biji sensitifnya. Semakin kuat ia menekan-nekan bagian itu, lubrikan pun semakin licin keluar.

Napas Amara berat. Ia mengambil mainan silikon berbentuk kejantanan tadi dan menggesek-gesekkannya pada ambang liang. Mata Amara terpejam. Demi menambah sensasi, wanita itu berimajinasi seolah-olah Bastian sedang menyentuhnya. Suaminya adalah lelaki yang sangat gagah. Memiliki perut berotot kotak berjajaran mirip roti sobek. Kulit Bastian juga sangat eksotis --- sawo matang. Selain itu, seingat Amara, Bastian lihai di ranjang. Entahlah ... ia sudah lupa dengan rasa nikmat itu. Terakhir kali mereka bercinta, Bastian sama sekali tak memikirkannya. Suaminya begitu terburu-buru. Tanpa rayuan, buaian, atau pun cinta kasih.

"Oh, ya ..." desah Amara pecah.

Dildo seukuran batang lelaki itu berhasil memenuhi miliknya. Terasa penuh dan menuntut.

Amara memainkan toy di dalam liang yang basah dan berkedut. Pinggulnya bergerak frustrasi karena gelenyar erotis dari silikon panjang. Ia pun merebahkan tubuh ke atas ranjang dengan kaki terbuka lebar. Wanita itu konsisten menyodok kewanitaan merahnya menggunakan toy berurat.

Imajinasi Amara melanglang. Ia hampir mencapai klimaks. Dan ... sosok Keenan Alkala Ibrahim tiba-tiba muncul dalam fantasinya. Lelaki itu bertelanjang dada menampilkan kulit putihnya. Lekuk tubuh Keenan sempurna, walau tak memiliki otot sebesar Bastian. Amara pun membayangkan lelaki dingin itu menggenjot dirinya sekarang.

"Ah ... Ya ..." Tubuh Amara gemetaran seraya menggelinjang hebat. Ia telah mendapatkan klimaks.

Sambil mengatur napas tersenggal, Amara sontak mengutuk diri. Bisa-bisanya ia mengingat Keenan tepat saat mencapai klimaks. Amara sudah gila!

***

Keenan mengetuk pintu bermaterial fiberglass di hadapannya.

Ini memang masih pagi. Ada sedikit keraguan berkelindan pada benak lelaki itu. Apakah kedatangannya akan mengganggu si tuan rumah atau tidak. Namun, Keenan merasa perlu berkunjung demi mengganti hari kursus sang putri, Julie.

Hari ini Keenan ada rapat mendadak di Jakarta. Dan Julie - ditemani pengasuhnya - akan menyusul ke sana sepulang sekolah nanti. Itu sebabnya Keenan ingin menemui Amara untuk menyampaikan seputar perubahan tersebut.

Toktoktok.

"Selamat pagi," ucap Keenan. Ia berharap Bastian yang akan menyambut di depan pintu.

Setelah berdiri beberapa menit pada teras, pintu pun terbuka. Bukan Bastian yang tertangkap oleh iris pekat Keenan. Melainkan Amara.

Bibir Keenan terkatup dengan lidah yang mendadak kelu.

Dia --- Amara hanya mengenakan camisole tipis berbahan satin. Buah dada wanita itu terlihat mengintip dari balik gaun putih yang ia kenakan. Selain itu, Keenan menyadari Amara sedang tak menggunakan bra. Jakun Keenan pun bergerak naik turun karena menelan saliva.

Gila! Bastian benar-benar beruntung!

Hola, Darls!

Aku tunggu love dan komen sebanyak-banyaknya. Supaya makin semangat update. FORBIDDEN DESIRE & cerita²ku yang lain bakal UPDATE tiap hari jam 21.00. Jadi buat kalian yang kaum insom, jones, atau manusia lowo, bisa merapat di sini dan baca semua.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro