Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48. LUNCH

Mereka akhirnya tiba pada salah satu restoran besar yang berada di tengah kota Rembang. Rumah makan keluarga dengan gaya tradisional rumah Jawa. Ukir-ukiran kayu memahat dinding-dinding, sementara musik gamelan mengalun merdu dan lembut saat rombongan Keenan masuk. Sejauh mata memandang, tak ada pengunjung lain selain mereka berenam.

"Sepi, ya?" bisik Salman.

"Mungkin hargane mahal, jadi orang takut mampir," sahut Sulis juga membisik.

Keenan mengulum senyum; sebenarnya, ia sengaja memesan seluruh area restoran demi privasi. Bisa bahaya jika ada orang dikenal melihat dia keluar bersama Amara, seorang wanita bersuami.

Dua orang pelayan - ramah mengantar mereka menuju meja. Panorama kebun hijau tampak sejauh mata memandang. Suara air dari kolam ikan koi pun menambah suasana asri dan nyaman.

"Bapak sudah lama tinggal di Rembang, baru kali ini datang ke sini." Salman menatap Keenan yang duduk di sebelahnya.

Julie bergegas menyela, "Kalau begitu Mbah Kakung ke Surabaya, dong. Biar nanti Julie ajak main ke Mal punya Daddy."

"Mal?"

Sally dan Sulis saling berpandangan. Sementara Salman membelalak tak percaya. Di kampung, punya kios saja sudah mewah; Keenan justru memiliki mal, alias pusat perbelanjaan.

Sesaat Amara kadang lupa betapa kayanya Keenan Alkala Ibrahim. Fakta yang semakin membuat wanita itu yakin kalau Keenan hanya bermain-main dengannya. Lelaki konglomerat yang butuh hobi menantang, yaitu mendapatkan istri orang demi sebuah prestise.

Mereka belum memesan makanan; namun tak lama setelah duduk para pelayan datang membawakan camilan berisi aneka gorengan. Mereka meletakkan piring-piring berisi tahu isi sayur, ketela goreng, dan pisang goreng ke atas meja.

"Silakan, dimakan dulu, Pak, Bu," kata Keenan. "Ini makanan ringan sembari menunggu menu utama."

Keenan sengaja memesan semua makanan yang tersedia di buku menu. Ia menduga keluarga Amara akan memilih hidangan sederhana jika dibiarkan memilih sendiri.

"Pak Keenan, ini terlalu banyak," kata Amara.

"Kurasa ini compliment dari restoran, saya tidak memesannya," dalih Keenan.

Amara memicingkan mata. Ia tahu Keenan berbohong.

"Julie, kita lihat ikan, yuk," ajak Sally.

Julie mengangguk. "Yuk, Tante."

Dengan santai, Salman menikmati makanan dan kopi hitam yang disuguhkan. Di lain sisi, netra Keenan tak mampu berpaling dari Amara. Banyak hal yang ingin ia bicarakan, tetapi keberadaan Salman dan Sulis mencegahnya.

"Mara, coba telepon Nak Bastian. Bapak ingin sekali bicara dengannya. Bukankah ini hari libur?" ujar Salman. "Sekalian ingin menyampaikan kemurahan hati Pak Keenan pada kita."

Baik Sulis mau pun Amara sama-sama gelagapan. Sulis sadar rumah tangga anaknya bermasalah - mungkin Bastian sangat marah pada Amara yang pergi tanpa izin.

"Ayolah, Mar," buru Salman. "Ngomong sebentar saja."

"Ehmm ..." Amara tergagu. "Mas Bastian ... dia ..."

Keenan berdeham. "Pak Bastian sedang mengisi seminar perusahaan, Pak Salman," selanya.

"Mengisi seminar?" tanya Salman.

"Ya, setahu saya ada seminar seputar edukasi strategi pemasaran produk hari Sabtu ini. Dan Pak Bastianlah pembicaranya," terang Keenan.

Salman mengangguk. "Oh, begitu. Padat sekali kegiatannya Bastian ..." Ia menggumam.

"Pak Bastian memang salah satu orang yang saya bisa andalkan di kantor." Keenan menyunggingkan bibir. Suatu bentuk dari senyum penuh kepalsuan.

Amara menyembunyikan napas lega. Ia tahu Keenan membantunya. Untuk kali ini, ia sangat berterima kasih pada lelaki itu.

***

Amara berbelok ke arah toilet; ia lalu menutup pintu untuk membasuh muka.

Adik dan orang tuanya tampak senang dengan jamuan Keenan. Seluruh hidangan bahkan masih tersisa banyak dan tidak mampu mereka habiskan. Kebaikan lelaki itu makin membuat Amara jengah. Ia sebenarnya enggan berutang budi pada orang lain.

Setelah memeriksa penampilan di kaca, Amara pun membuka pintu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Keenan sudah menunggunya di depan.

"Bapak mau ke toilet? Ini khusus wanita," sergah Amara.

"Tidak. Aku mau bicara denganmu," kata Keenan.

Amara memanjangkan leher panik. "Nanti ada yang lihat."

"Kenapa memang? Kita cuma bicara, kan, tidak melakukan hal aneh."

Amara pun mendengkus.

"Bapak mau bicara apa?"

Keenan menyorot Amara melalui kedua iris pekatnya. "Pulanglah ke Surabaya bersamaku dan Julie."

"Tidak, masih banyak hal yang mau saya lakukan di sini. Terima kasih penawarannya," tolak Amara.

"Aku tahu Bastian menyita KTP dan dokumen pentingmu. Akan sangat sulit mendapatkan transportasi bagus tanpa identitas diri."

"Bapak tahu dari mana?" Amara melotot.

"Suamimu sendiri yang bilang," tukas Keenan. "Sudah kubilang dia bukan lelaki yang baik."

Tenggorokan Amara seketika tercekat. Entah apa saja yang Bastian sudah sesumbarkan tentang dirinya atau rumah tangga mereka.

"Sekali lagi aku tegaskan bahwa aku tidak berharap memilikimu, Amara. Tetapi aku berharap kamu terlepas dari lelaki macam Bastian. Aku bisa membantumu mengurus semua."

"Mengurus semua apa?" sentak Amara. "Perceraian?"

"Iya."

"Karena Bapak merasa punya uang banyak, jadi semudah itu bagi Bapak meminta orang lain untuk bercerai? Huh?" sungut Amara. "Bagi keluarga saya, tidak ada yang namanya perceraian. Cuma maut yang mampu memisahkan ikatan perkawinan. Semua bukan hal gampang dan butuh banyak pertimbangan, Pak. Jangan samakan dengan Bapak yang semudah itu mengakhiri ikatan pernikahan dengan ibunya Julie!"

Napas Keenan seolah terhenti sesaat. Raut lelaki itu berubah nanar.

"Kita tidak sama, Pak!" tegas Amara lagi.

"Kamu memandangku seperti itu, Amara? Seseorang yang sangat mudah memutuskan untuk bercerai?"

Amara mengangguk.

"Punya uang, kekuasaan, fisik yang rupawan; pasti membuat Bapak gampang mendapatkan semua yang Bapak mau. Merasa sedikit tidak cocok dengan pasangan, Bapak bisa dengan mudah mengakhiri semua. Tapi apa Bapak tidak pernah berpikir kalau Julie adalah satu-satunya pihak yang terluka? Selain itu, Bapak tega memisahkan dia dari ibunya. Lalu Bapak meminta saya untuk menggantikan sosok ibu yang telah Bapak renggut dari Julie," beber Amara. "Semudah itu. Bapak melakukannya semudah itu! Karena Bapak punya uang dan kekuasaan. Tidak ada yang berani membantah. Bahkan Mas Bastian memaksa saya menerima penawaran Bapak karena dia takut pada Pak Keenan. Karena Bapak berkuasa!"

Keenan tersenyum kecut.

"Wah ..." decih Keenan. "Jadi itu pemikiranmu tentangku, Amara?"

"Bahkan sekarang, Bapak sedang mengontrol keluarga saya dengan materi yang Bapak punya. Katakan kalau saya salah - saya tebak Bapak sengaja mem-booking seluruh restoran demi kami, bukan? Ini sangat aneh karena sejak tadi tidak ada satu pun orang lain di sini selain kami."

Keenan memundurkan langkah untuk menciptakan jarak. Selama ini ia tak peduli dengan penilaian orang, tetapi apa yang Amara beberkan membuat perasaan Keenan hancur.

"Ya, aku memang egois," kata Keenan. "Aku semudah itu bercerai dan tak mempertimbangkan perasaan Julie."

Amara mendadak hening. Entah kenapa ia merasakan ekspresi pedih dari lelaki yang sekarang berdiri di hadapannya. Pengakuan dari mulut Keenan terasa seperti kalimat sarkasme.

"Kamu harus tahu satu hal, Amara," lanjut Keenan. "Aku memutuskan bercerai tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku menerima semua pengkhianatan berkali-kali demi mempertahankan hubungan rumah tangga kami. Ribuan pertanyaan tentang kekurangan diri yang seolah tak ada habisnya - apa kurangku sebagai suami? Sehingga pasanganku harus mencari kesenangan lain di luar sana. Tapi semua sabar ada batasnya. Semua pemakluman itu sirna ketika Nadira - ibu kandung Julie - membawa anaknya sendiri ke kamar hotel yang sama, di mana dia dan kekasihnya sedang bercinta."

"A-apa ...?" Bibir Amara gemetaran.

"Kamu silakan bayangkan, bagaimana bisa seorang anak berusia enam tahun mencerna kelakuan tidak senonoh ibunya sendiri? Puluhan sesi terapi di psikiater bahkan belum bisa menghilangkan ingatan sial itu dari memori Julie!"

Mata Amara memanas. Ia tak lagi bisa melontarkan hinaan atau bahkan sebuah kata singkat untuk Keenan.

"Dan dia sedikit membaik ketika mengenalmu," kata Keenan. "Kalau kamu pikir semua bisa kudapatkan dengan uang dan kekuasaan, kamu salah, Amara. Dan kalau kamu berpikir aku adalah lelaki yang mengandalkan uang atau kekuasaan untuk mengatur perasaan orang, kamu juga salah."

Keenan lantas melengos pergi dan meninggalkan Amara sendirian. Ia membiarkan wanita itu terbenam dalam pikirannya sendiri.

Darls, thank you so much atas segala bentuk dukungan kalian untukku.

Baik berupa komentar (yang mana selalu mood banget), vote/love, mau pun dukungan koin di karyakarsa; sangat berarti bagiku. Mungkin, aku akhir-akhir ini jarang membalas komentar, tapi bukan berarti aku mengabaikannya. Aku selalu baca kok ☺️✨

Semoga karya-karyaku bisa menghibur kalian semua di mana pun berada.

Salam sayang 🖤🖤🖤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro