47. Pria Lain
"Apa jangan-jangan ada hubungan spesial antara Mbak dan Pak Keenan?"
Amara bergegas mengelak, "Jangan salah paham, Sall. Aku dan Pak Keenan tidak ada hubungan apa-apa. Aku menghormati dia sebagai atasan suamiku."
"Bagaimana kalau yang naksir duluan ternyata Pak Keenan?" selidik Sally.
"Jangan ngaco," elak Amara.
Sally mengulum senyum penuh makna. "Aku tidak akan salah paham, Mbak. Bahkan, aku tidak peduli kalau memang benar Mbak dan Pak Keenan ada hubungan. Setelah dimaki oleh Mas Bastian tempo lalu; kemudian mendengarkan ceritamu tentangnya, aku jadi sadar kalau Mas Bastian itu tempramental. Aku tidak bisa bayangkan jadi Mbak yang harus menghadapi dia tiap hari.”
“Sall, jaga bicaramu. Kalau Bapak dan Ibu dengar bagaimana? Apalagi Ibu.” Amara melotot seraya menempelkan jari telunjuk pada bibir.
Sally mengangguk lesu. “Iya sih, Mbak. Bapak dan Ibu memang sulit mengubah pandangan tentang perceraian. Sudah begitu bapak ada darah tinggi yang suka kumat-kumatan." Ia lantas mengusap lengan Amara lembut. "Mbak, semoga Mbak menemukan titik terang atas segala permasalahan, ya.”
"Terima kasih, Sall."
Sally lalu mengambil teko yang semula dipegang oleh Amara. "Biar aku yang bawa, Mbak. Tidak sabar mau tebar pesona di depan duda keren," kikiknya.
"Dasar." Amara menggumam seraya menahan geli.
***
Setelah menyantap makan siang yang mengenyangkan, Keenan pun pamit menuju hotel. Ia menyorot Julie yang tertidur pulas dalam pangkuan Sulis. Bocah itu nyenyak karena Sulis telaten mengipasi badan Julie dengan kipas kertas. Pemandangan yang lagi-lagi membuat hati Keenan terenyuh. Wanita itu mewarisinya dari keluarganya.
Ia akhirnya paham dari mana sikap tulus yang selalu Amara berikan pada Julie.
"Besok siang kalau tidak keberatan — saya ingin ajak Ibu, Bapak, Mbak Sally, dan Miss Amara makan siang bersama," kata Keenan.
"Apa tidak merepotkan, Nak?" tanya Salman sungkan.
"Sama sekali tidak." Keenan tersenyum ramah.
"Aku, sih, mau saja, Mas Keenan," celetuk Sally. Sulis sontak melotot tajam ke arahnya. Hal tersebut membuat Sally segera mengkoreksi panggilannya. "Eh, Pak Keenan."
"Kalau begitu jam 11 siang, saya jemput di sini, ya," ujar Keenan sumringah.
Amara merengut. Keenan selalu punya 1001 usaha demi menarik hatinya. Padahal tak semua bisa diukur dengan uang dan materi yang ia punya. Namun mana mungkin wanita itu menolak apa lagi marah-marah di depan seluruh keluarga.
Secara hati-hati, Keenan menggendong Julie dan menidurkannya di kursi mobil. Lelaki tinggi itu lantas berpamitan; mencium punggung tangan Salman dan Sulis penuh kesopanan. Hal yang membuat Sally terpesona, sementara Amara semakin canggung tak karuan.
Melalui sorot teduh dan senyum menawannya, Keenan pun menatap Amara. "Saya pamit, Miss."
"Hati-hati," ucap Amara tertunduk.
"Sampai ketemu besok," ujar Keenan.
Ia lantas masuk ke dalam Jeep Wrangler-nya dan menyalakan mesin. Lelaki itu masih sempat membuka kaca jendela untuk kembali berpamitan pada Amara dan keluarganya.
"Aduh! Mimpi apa semalam? Besok dijemput makan siang pakai mobil mewah!" pekik Sally.
"Iya, mobilnya bagus sekali, ya. Besar dan tinggi seperti di tivi-tivi," celetuk Salman.
Sally menggandeng lengan ayahnya. "Bapak tahu berapa harganya?"
"Ndak. Memang berapa, to, Nduk? Seratus juta?" sahut Salman lugu.
"Seratus juta tidak ada apa-apanya, Pak. Mobil yang dinaiki Pak Keenan sekitar dua Em," terang Sally.
Salman dan Sulis sama-sama melotot. "Dua milyar?"
"Iya," tegas Sally seraya menganggukkan kepala.
Salman mendadak pucat. "Aku kok takut, ya, Nduk. Takut besok muntah karena tidak kuat kena AC-nya."
Sulis mendengkus. "Ditahan, Pak. Besok pakai baju yang tebal; terus perutnya dibalur minyak kayu putih supaya tidak masuk angin, jangan sampai muntah, ngisin-ngisini*."
(*Malu-maluin)
Salman mengangguk.
Amara mengulum senyum sembari mendengarkan percakapan antara Sally dan ibu-bapaknya. Ia memang kesal pada Keenan, tetapi lelaki itu mampu memberikan banyak bahagia pada keluarganya. Sesuatu yang tak dapat diberikan oleh Bastian — mau pun Amara sendiri.
Wanita itu akhirnya paham; uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang.
Namun senyum Amara memudar ketika kembali teringat bahwa Bastian sama sekali belum menghubunginya. Ia lelah menjadi pihak submisif yang selalu mengalah. Amara tidak punya pilihan.
Mungkin sudah kodrat jika wanita selalu ditempatkan pada posisi sulit. Wanita harus punya satu pilihan, tidak lebih. Pernikahan seolah menjadi belenggu bagi seorang wanita; wanita harus memilih antara karir atau keluarga. Wanita dipaksa mengutamakan kebutuhan pasangan sebelum dirinya. Dan saat punya anak; prioritas wanita kembali bertambah.
Di lain sisi, wanita yang memilih kebahagiaan diri sendiri dicap egois.
Ketika sang istri bersalah — lelaki mendapatkan dukungan untuk bercerai. Mana boleh harga diri diinjak-injak wanita, begitu katanya. Tetapi jika posisinya dibalik; sang suami yang punya cela — istri dituntut untuk sabar.
Dunia kadang tak adil bagi wanita, bagi Amara. Ia ingin menjadi miliknya sendiri. Bukan milik Bastian, Keenan, mau pun keluarganya sekali pun.
***
Bastian membelai lembut pemilik rambut kecokelatan yang tertidur pada dadanya. Akibat sentuhan lelaki itu, Firda pun menengadah seraya tersenyum.
"Istrimu gimana?"
"Sudah kubilang dia minggat. Aku kesepian di rumah, nggak ada yang urus dan buatin makanan. Dia memang istri nggak bertanggung jawab," dengkus Bastian.
Firda terkikik. "Yang seperti itu Mas pelihara," sahutnya.
"Ya gimana, kamu tahu alasanku, kan, Sayang. Demi kerjaan dan memikirkan perasaan mama."
"Mama?" Firda berkernyit. "Mas bilang kalau mama Luciana juga nggak suka sama Amara, kenapa sekarang bilang mikirin perasaan mama?" protesnya.
"Nggak tahu. Aku juga bingung," balas Bastian. "Sekarang mama belain dia melulu. Pas aku cerita dia minggat aja, mama suruh nyusul. Dih amit-amit. Males banget aku harus ketemu keluarganya yang norak itu."
"Kok aneh, sih, Mas?" pancing Firda. "Jangan-jangan mama Mas didukunin lagi sama Amara."
Bastian terkekeh. "Ya, jangan-jangan," jawabnya. "Ah, biar saja. Keputusan mau menikah atau cerai, kan, ada di tanganku. Nanti kalau sudah waktunya, aku pasti akan melepaskan si Amara. Dan menjadikanmu istri sahku, Fir."
"Sungguh?"
Bastian mengecup bibir kekasihnya mesra. Melahap bagian kenyal itu rakus dan impulsif.
"Sungguh. Aku janji. Aku ingin menghabiskan sisa umur sama kamu. Punya anak yang banyak sama kamu," janji Bastian.
FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di KARYAKARSA. Silakan mampir ke sana biar bisa traktir Ayana beli jajan.
Thank you 🖤
Anyway, udah ketahuan kan siapa selingkuhan Bastian selama ini? Yup, Firda, si asistennya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro