Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41. Reuni Keluarga

Amara menghapus bekas linangan air mata seraya menenteng tas pakaian. Ia berjalan pelan membuka pintu pagar kayu dan menyusuri halaman rumahnya.

Langit sudah gelap tetapi netra Amara masih jelas menatapi kondisi rumah masa kecilnya yang tetap sama. Dinding berwarna putih memudar dan terkelupas termakan usia. Pohon mangga yang umurnya lebih tua dari dirinya masih berdiri kokoh menghalau panas kala siang. Di sudut rumah tumpukan jala bekas melaut tergeletak tanpa pernah berpindah.

Amara merindukan suasana ini.

“Assalamualaikum,” salam Amara dari depan pintu.

Dari dalam, seorang wanita paruh baya membuka pintu. “Wa ’alaikumsalam," gumamnya ragu. Ia sontak terkejut bak melihat hantu. "A-Amara!”

“Bu, aku pulang," kata Amara berkaca-kaca.

Sulis segera merengkuh Amara pada pelukan erat. "Kok tidak ngabari Ibu kalau mau datang!" pekiknya.

Reuni keduanya memancing penasaran penghuni lain di dalam rumah, Salman pun menyusul sambil mengulas ekspresi kebingungan. "Siapa, Bu?" selidiknya. Netranya seketika terbelalak saat melihat siapa yang berada dalam pelukan sang istri. "Amara! Anakku!"

Mereka bertiga saling membagi asa dengan dekapan hangat yang diiringi air mata haru. Salman mengusap puncak kepala Amara lembut. Ia menelisik penampilan putri sulungnya dengan penuh kasih sayang. Tak lama — lelaki paruh baya itu pun memanjangkan leher seolah sedang mencari seseorang.

"Di mana mantuku Bastian, Mar?" tanya Salman.

Amara terhenyak. Bimbang harus menjawab apa.

"Aku datang sendirian, Pak," jawab Amara.

Salman dan Sulis saling memandang untuk beberapa detik. Sejurus kemudian nelayan itu meraih tas yang bawa oleh Amara. "Bastian pasti sibuk urusan kantor, ya, Nduk?" tebaknya. "Kasihan, dia. Pasti lelah bekerja."

Sulis menggandeng Amara.

"Masuk dulu, Mar."

*** 

Amara membasuh muka demi mengusir penat sisa perjalanan. Saat berjalan keluar dari kamar mandi, ia tak sengaja menabrak mesin cuci yang terletak di dekat pintu. Mata wanita itu pun kembali nanar.

Amara ingat kalau barang itu merupakan pemberian Keenan. Hatinya mendadak gusar bercampur aduk.

"Mara, ayo makan dulu," kata Sulis menanti di balik ruang.

Amara pun menghampiri Sulis dan Salman yang sudah duduk bersila mengelilingi makanan. Mereka tidak memiliki meja makan, kebiasaan yang tetap terpelihara sedari Amara kecil. Duduk berkumpul di atas hamparan karpet sambil menikmati masakan sederhana bikinan Sulis.

"Kita tidak tunggu Sally, Bu, Pak?" tanya Amara.

"Kamu pasti lapar, Nduk. Sudah tidak apa-apa. Duluan saja." Salman mengkode Sulis untuk menyajikan nasi dan lauk bagi Amara.

"Betul itu." Sulis menyendokkan nasi. "Sudah diberi tahu, to, kalau dia sekarang jadi asisten manajer."

Napas Amara memberat. "Sudah, Bu."

"Alhamdulilah," ucap Salman tersungging.

Amara pun menerima piring yang disodorkan oleh ibunya. "Bapak tidak miyang?" Miyang adalah melaut dalam bahasa Rembang.

Salman menjawab, “Libur dulu. Kendala ombak, Nduk.”

"Oh, begitu."

Sambil menyuap nasi ke dalam mulut, Amara mencuri pandang pada Salman. Ia menelisik figur ayahnya yang semakin menua. Kulit Salman pun tampak gelap akibat terus menerus terpapar terik matahari. Di lain sisi, gurat-gurat di wajah Salman kian tegas dan kentara. Hati Amara mendadak nelangsa — seharusnya Salman sudah pensiun di usianya yang sekarang. Ia memang anak tidak berguna karena belum mampu membantu perekonomian keluarga.

“Sedang padang bulan alias bulan purnama, Mara. Bahaya juga kalau melaut." Sulis meletakkan aneka kue basah ke sisi Amara.

"Ibu beli?" tanya Amara.

"Tidak. Ini buatan Ibu sama Sally tadi pagi. Kalau Bapak tidak sedang melaut begini, Ibu cari tambahan dengan membuat kue dan dijual ke warung-warung," terang Sulis.

Amara tersayat. Ia pun gagal membendung air mata kesedihan. "Maaf, ya, Pak, Bu," katanya.

"Maaf kenapa, to, Nduk?" selidik Sulis kebingungan.

"Maaf karena aku belum bisa memberikan apa-apa pada Ibu dan Bapak. Seharusnya Ibu dan Bapak sudah waktunya beristirahat, bukan bekerja terus menerus," ungkap Amara sembilu.

Salman mengusap punggung Amara lembut. "Uwes, Nduk. Jangan menangis. Kamu sudah sangat membantu Ibu sama Bapak. Tiap bulan kamu selalu mengirimi kami. Itu sudah lebih dari cukup."

"Betul, Mara. Ibu bikin-bikin kue seperti ini karena hobi. Kalau diam tidak ngapa-ngapain, malah badan terasa sakit semua. Ya, to, Pak?" dalih Sulis.

Salman mengiakan melalui anggukkan kepala.

Amara sadar kalau orang tuanya hanya membesarkan hatinya. Uang yang ia kirimkan mana cukup untuk kebutuhan selama satu bulan.

"Lagian," imbuh Salman. "Kami sadar kamu dan Bastian juga punya banyak kebutuhan sendiri. Hidup di kota besar semua pada mahal. Kasihan sekali Bastian karena harus bekerja keras demi mencukupi biaya hidup kalian. Jadi, jangan pikirkan Ibu sama Bapak lagi, Mara. Kami tidak mau membebanimu dan Bastian."

"Betul, Mara. Asal kamu dan Bastian baik-baik saja, kami sudah sangat bahagia, Nduk," imbuh Sulis.

Amara menelan pahit. Orang tuanya sangat memuja dan menyayangi Bastian. Entah apa jadinya jika mereka tahu kalau pernikahan yang ia jalani penuh penderitaan.

“Assalamualaikum.”

Seorang gadis muda dengan rambut terikat ke belakang masuk ke dalam rumah. Ia mengenakan kemeja maroon yang dipadukan celana kain hitam.

“Sally,” sambut Amara.

"Mbak Amara?!" Sally terbelalak tak percaya. "Aku tidak salah lihat, to, ini?!" pekiknya.

Ia pun menghambur dan memeluk Amara erat-erat. Gelenyar mengharukan kembali mewarnai perasaan mereka. Andai saja Amara bisa mengulang waktu — ia tak ingin pergi dari Rembang untuk berkuliah di Surabaya. Berada di tengah keluarganya adalah kebahagiaan hakiki yang tak terganti oleh apa pun.

*** 

"Anjing!"

Setelah membaca pesan singkat dari Amara, Bastian melempar ponsel ke atas ranjang. Berani sekali istrinya itu pulang ke Rembang tanpa persetujuannya.

Kedua tangan Bastian bertengger di pinggang. Ia belum boleh kehilangan Amara. Tidak! Wanita itu masih punya andil besar dalam memuluskan karirnya. Tanpa Amara, bisa jadi Keenan urung merekomendasikannya sebagai VP Marketing saat rapat direksi nanti. Bastian menyadari betapa dekat hubungan antara Amara dan Julie.

Pesan dari Amara tidak Bastian balas.

Lelaki itu yakin Amara akan kembali pulang. Bastian memegang semua dokumen penting milik Amara. Menyimpan segalanya di brankas kantor. Hidup sang istri masih dalam genggamannya. Lagi pula, siapa Amara tanpanya? Cuma wanita kampung yang mandul dan miskin.

Mana mungkin wanita sial itu berani membantah, apa lagi nekad mengajukan cerai.

***

Santi meletakkan nampan berisi cangkir kopi panas ke coffee table di hadapan meja kerja Keenan. Pengurus rumah itu lantas tersenyum kecut ke arah majikannya.

"Malam-malam begini Bapak malah minta dibuatkan kopi," celetuk Santi.

Keenan meringis. "Aku harus begadang. Banyak urusan pekerjaan yang terpaksa kubawa pulang."

"Yah sesibuk apa pun, sempatkanlah untuk beristirahat, Pak," ucap Santi.

Keenan tersenyum. "Terima kasih, Bi Santi." Ia lantas kembali mengalihkan atensi pada laptop. "Jam berapa Julie biasa tidur? Aku belum menghampiri untuk mengucapkan selamat malam."

"Biasanya sekitar jam delapan. Sekitar lima belas menit lagi, Pak," terang Santi.

"Hmm. Baiklah." Keenan meraih ponsel yang tiba-tiba berbunyi. Sebuah notifikasi pesan masuk. Dari Amara? Raut Keenan mendadak berubah. Ia memundurkan punggung seraya berdecih karena gusar.

Santi yang berada dekat dengan Keenan pun menangkap gesture tersirat dari sang bos. "Terjadi sesuatu, Pak?" tanyanya peduli.

"Miss Amara," sahut Keenan. Ia mengembuskan napas berat sebelum melanjutkan. "Dia bilang tidak bisa datang untuk mengajar Julie lagi."

"Ma-maksudnya resign?" ulang Santi.

Keenan mengangguk. "Ya."

"Tapi kenapa? Dia tadi terlihat baik-baik saja saat mengajar Non Julie. Non Julie pun tidak membuat masalah apa pun. Mengapa begitu mendadak?"

Keenan terdiam. Ia tahu pasti dirinyalah penyebab Amara mengundurkan diri.

Santi memegangi pelipis. "Ya Tuhan, bagaimana caranya menjelaskan pada Non Julie nanti? Dia pasti sangat sedih ..."

"Julie harus diajarkan menerima rasa kecewa. Kita tak bisa terus menerus melindungi dia dari kesedihan," kata Keenan. Di balik sikap tabahnya, ia pun cukup terpukul oleh kepergian Amara.

"Saya tahu, Pak," sahut Santi getir. "Hanya saja, banyak peristiwa berat yang menimpa Non Julie beberapa waktu ini. Dan saat Non Julie mulai kembali ceria, ia harus menerima fakta bahwa Miss Amara berhenti."

BRAK. Pintu kerja Keenan tiba-tiba terdorong lebar. Julie kecil berdiri di ambang pintu sambil menahan tangis yang hampir meledak.

"Non Julie?!" Santi terkesiap.

"Miss Amara berhenti? Miss Amara nggak akan menemui Julie lagi?!" pekik Julie menuntut penjelasan.

FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di Karyakarsa . Silakan cek di sana untuk baca lebih cepat 🖤 Ikuti juga works Ayana yang lain di Karyakarsa dan Wattpad Ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro