31. Pahlawan Rahasia
Di balik laptop, Keenan berulang kali membaca data pribadi Sally. Adik kandung Amara itu pernah melamar di pabrik milik PT Kertas Kimia Jaya - perusahaan penghasil produksi kertas dan turunannya. Perusahaan tersebut sempat mengajukan kerja sama dengan Ibrahim Group, namun ditolak.
Sebersit ide terus berkelindan mengganggu benak Keenan. Ia ingin melakukan sesuatu demi wanita pujaan hatinya. Atau lagi-lagi bisa disebut sebagai pahlawan rahasia.
Keenan lantas meraih ponsel dan menghubungi Gunawan - COO (Chief Operating Officer) pada perusahaan pusatnya yang berletak di Jakarta.
"Halo, Gun."
Seseorang yang bernama Gunawan tadi refleks terkekeh dari balik speaker. "Tidak menyangka mendapatkan telepon darimu. Kutebak kamu sangat betah di Surabaya."
"Betah karena aku yakin perusahaan akan baik-baik karena ada kamu." Keenan meringis. "Tidak dengan di sini. Masih banyak hal yang perlu kuperbaiki."
"Ya, lakukanlah apa yang menurutmu perlu, Keenan. Aku tahu kamu tak seperti Pak Adiharjo. Ia pasti sudah memecat seluruh karyawan atau menutup perusahaan jika mengetahui dirinya mengalami kerugian di atas 10 persen."
Dahi Keenan berkerut. "Masih ada potensi di sini. Aku tak mungkin semudah itu melakukan likuidasi."
"Baiklah. Ada apa menghubungiku? Kutebak - ada sesuatu yang kamu butuhkan." Gunawan berkelakar.
Keenan menyeringai. "Kamu benar, memang ada hal yang membutuhkan bantuanmu."
"Apa itu?"
"Aku ingin mempertimbangkan kembali soal investasi kita pada PT Kertas Jaya. Aku juga ingin bertemu dengan direkturnya langsung untuk bicara," jelas Keenan. "Mereka punya pabrik di Rembang, bukan?"
Gunawan terdengar menggumam. "PT Kertas Jaya?" tanyanya. "Penawaran itu sudah sangat lama, Keenan. Dan kamu memutuskan menolaknya."
"Aku berubah pikiran, Gun. Aku berpikir untuk menjadikan mereka sebagai rekanan. Itu pun jika laporan keuangan mereka bagus," terang Keenan.
Gunawan sangsi. "Apakah ada kepentingan pribadi?"
Keenan berdeham. "Tidak ada. Pabrik mereka dekat dari sini. Aku bisa dengan mudah mengawasinya secara langsung. Mereka juga perusahaan yang berdiri lama. Jadi aku tidak akan khawatir soal kualitas," sanggahnya. "Gimana, Gun? Kamu bisa membantuku?"
"Mana bisa menolak perintah Bos," goda Gunawan. "Baiklah. Aku akan atur pertemuan dengan direkturnya."
Keenan tersenyum. "Thanks, Gun."
Setelah mematikan ponsel, Keenan pun mendengkus. Ia tak yakin Amara akan kembali datang untuk mengajar kursus. Ciuman mereka kemarin cukup mengejutkan dan jelas tak pantas. Wanita sebaik Amara mungkin tidak akan menerimanya begitu saja.
Meski - wanita itu membalas pagutannya. Amara menyambut tautan bibir mereka.
***
Bastian meletakkan pakaian kotornya sembarangan. Ia lalu berganti baju dan merebahkan badan di ranjang. Maklum saja dia lelah, pergumulan dengan Firda dan Sesil sangat menguras tenaga.
Amara mengintip dari ambang pintu. Ia menghela napas berat. Entah ke mana suaminya seharian. Ia tak tahu dan tak berhak tahu.
Wanita itu masuk dan memungut baju Bastian yang berserakan di lantai. Amara berniat untuk mencucinya besok. Namun, jemari wanita itu merasakan ada sebuah plastik di dalam saku Bastian. Ia pun merogohnya.
Betapa terkejutnya Amara ketika melihat plastik apa itu. Bekas bungkus kondom berwarna merah.
"Mas!" cecar Amara.
Ia tak lagi mampu menahan semua sabar. Dengan panik dan kalut, Amara pun menggoyangkan badan Bastian untuk membangunkannya.
"Mas!"
Mata Bastian menyala seperti setan. "Apa, sih?! Orang lagi tidur! Gila kamu, ya!" sentaknya.
"Kamu yang gila!" Amara melempar plastik itu pada Bastian. "Apa ini?!"
Bastian terdiam sesaat. Sial. Itu adalah bungkus karet yang ia buru-buru masukkan saat bercinta dengan Sesil. Ketika Firda membersihkan diri di kamar mandi, Bastian kembali melakukan hubungan intim dengan si pelacur di garasi mobil. Pergumulan yang panas - dan sekarang berakhir petaka.
"Mana kutahu? Apa ini?" kelit Bastian.
Amara menatap Bastian tajam dengan mata menggenang. "Apa ini katamu? Jangan pura-pura nggak tahu! Sekarang bilang sama aku, kamu tadi seharian dari mana?! Kamu bertemu siapa, Mas?"
"Bukan urusanmu!"
Amara menarik lengan Bastian. "Jadi urusanku kalau kamu ternyata berselingkuh! Kamu tidur dengan wanita lain, huh?!"
"Wanita lain siapa, sih?!" Bastian tak kalah galak. Ia menepis tangan Amara dan menuruni ranjang. Lelaki itu hendak pergi meninggalkan rentetan pertanyaan. "Aku sendiri nggak tahu kenapa ada bungkus kondom di celanaku."
"Kamu secara nggak langsung mengakuinya, Mas!" bentak Amara. "Aku nggak bilang itu ada di celanamu tapi kamu mengaku sendiri!"
Amara kembali menarik Bastian. Ia tersedu seraya menuntut penjelasan.
"Lepas, ah!" Bastian menghindar.
"Semuanya kulakukan untukmu, Mas! Apa maumu kuturuti! Tapi ini balasanmu padaku? Aku ini istrimu bukan kelinci percobaan yang bisa kamu perlakukan semena-mena."
"Diam kamu!" Bastian berang dan mendorong Amara kuat-kuat. "Aku, kan, sudah bilang, kamu nggak berhak mengatur-aturku! Kamu itu istri gagal! Istri mandul yang beruntung karena belum kuceraikan!"
Tangis Amara makin pecah.
"Kenapa aku yang kamu persalahkan atas segala kelakuan bejatmu?! Apa kamu tidak berpikir sedikit pun kalau mungkin kamulah pembawa sialnya! Kamu yang mandul!" teriak Amara.
Rahang Bastian mengeras. Ia mengepalkan tangan seraya memandang Amara bengis. "Dasar wanita bangsat!"
Bastian menghambur ke arah Amara dan mencekik leher istrinya.
"Mm-Ma ...as!" Amara memukul lengan Bastian yang kokoh. Tentu saja kekuatannya tak sebanding.
"Suaramu bikin telingaku sakit, tahu!"
"Mas! Lepas!" Amara merasakan kesakitan luar biasa pada batang lehernya. Ia juga mulai kehabisan napas.
Wanita itu lantas mengumpulkan kekuatan dan menendang area selangkangan Bastian. Akibat ulahnya, Bastian pun mengerang kesakitan seraya memegangi kelelakiannya.
Amara tersungkur dan batuk. Ia bernapas berat seolah kehabisan oksigen.
"Kamu gila, Mas! Kamu gila ..." cecar Amara. "Aku tidak akan lagi menuruti semua maumu termasuk mengajar les Julie!"
Bastian melotot. Perkataan Amara berhasil menyulutkan kembali amarahnya. Ia menarik kerah baju Amara dan melayangkan pukulan pada wajah istrinya. Bertubi-tubi.
"Diam kamu, wanita sialan!"
Bastian merasa puas karena mampu menyalurkan kekesalannya. Ia mulai gelap mata dan lupa diri. Lelaki itu tersadar sudah keterlaluan ketika melihat Amara tak lagi melawan. Muka sang istri dipenuhi darah. Ia juga terdiam tanpa kata.
"Amara!" panggil Bastian. Ia membangunkan tubuh mungil itu seraya menggoyangkannya. "Amara! Bangun!"
Bastian seketika gemetaran dan ketakutan. Ekspresi beringasnya berubah menjadi kekalutan mendalam. Cairan bening mulai menetes dari pelupuk mata Bastian.
"Amara?? Sayang? Sayang, bangun!"
NPD seperti Bastian itu memang sangat meresahkan, ya, Darls.
Kalian punya kenalan NPD? Atau mungkin mantan? Apa pacar NPD? WAH KUDU HATI-HATI, LO. Sebaiknya segera menjauh dan lari sejauh-jauhnya dari hubungan toksik yang menyiksa.
Forbidden Desire sudah tamat di KaryaKarsa. Silakan melipir ke sana kalau tidak sabar baca jalur ekspres. Itung-itung traktir Ayana beli jajan juga, Darls. Hehe.
Salam sayang 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro