2.3 Embraced [Siren×Stephen]
•••
[Siren Eddison × Stephen Strange]
『TAGS』
HURT AND COMFORT, LIGHT ANGST, HURT STEPHEN STRANGE, NIGHTMARE(mention), FLUFF, HUG, HAPPY ENDING
Dedicated to: My self--ShizuReiku
•••
Siren menguap lebar seketika di kursinya. Tangan aslinya bergerak mengusap salah satu matanya yang gatal, lalu ganti meraih mug berisi kopi dan menyesapnya sekali.
"Oh, shit. Sudah habis lagi." Gerutunya tak mengira ia hanya akan menyesap angin beraroma kopi.
Wanita itu kemudian beranjak dari kursinya. Berjalan menuju dapur untuk membuat kopi panas yang ke-7 kalinya.
Ini sudah hampir dua hari penuh, seorang Siren Eddison bekerja tanpa henti. Ada malfungsi pada tangan bioniknya, yang mana itu membuat energi listrik pada tangan tersebut aktif dengan sendirinya. Membuat apapun yang tanpa sengaja--maupun sengaja--tersentuh tangan kanannya--tangan bioniknya--akan mengalami kebakaran karena aliran listrik. Bahkan, ia tak sengaja membakar seekor kupu-kupu yang hinggap di salah satu jarinya.
Ia jelas merasa bersalah akan hal itu.
Dan sesungguhnya, ia bisa meminta bantuan Tony untuk hal semacam ini. Selain itu, pria itulah yang terakhir kali memerbarui tangan bionik Siren. Jadi, Tony pasti tahu apa yang salah dan bagaimana menyelesaikannya.
Tapi Siren menolak akan hal tersebut.
Ia tak ingin merepotkan orang lain. Ini adalah masalahnya, jadi ia harus menyelesaikannya sendiri. Titik!
Kala Siren tengah sibuk memikirkan rancangan sistem dasar untuk tangan bioniknya, suara mesin kopinya membuyarkan pikirannya. Ia pun segera mematikan coffee maker-nya tersebut. Meraih mug yang telah terisi penuh dengan kopi, dan menghirup aroma kuat yang khas dari kopi blend.
"Lady,"
Ketika ia tengah meneguk sekali kopinya, suara Lecia terdengar tiba-tiba dari langit-langit dapur.
"Ada apa, Lecia?" tanya Siren sembari berjalan pergi dari dapur, dan kembali ke ruang kerjanya sambil terus menikmati kopinya.
"Doctor Strange menanti Anda di pintu depan," jawab Lecia langsung.
Mendengar berita tak terduga itu, Siren spontan menyemburkan kembali kopi di mulutnya ke gelasnya.
Uh ... That's nasty.
"Apa? Strange?" tanya Siren tak percaya.
...
Stephen Strange jelas merasa gelisah.
Kedua tangannya gemetar lebih buruk dari biasanya, dan itu juga terasa lebih menyakitkan. Keringat dingin terlihat membasahi wajahnya, hembusan napasnya juga terdengar kacau. Bahkan usaha Cloak untuk menenangkan masternya, tidak membuahkan hasil yang bagus.
Kala dirinya tengah dilanda rasa panik, suara pintu yang dibuka menarik perhatiannya.
Sang sorcerer mendongakkan kepalanya, menatap lurus ke arah wanita berambut hitam sebahu. Manik birunya menatap Stephen dengan terkejut. Jelas sangat terkejut.
"Strange? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Siren heran.
Stephen tak menjawab, tapi pria itu terlihat memerhatikan Siren dengan lekat. Dari atas hingga bawah.
"Strange?" panggil Siren karena tak kunjung mendapat balasan.
"Lenganmu ... mana lenganmu?" tanya Stephen lirih.
"Ada kerusakan," jelas Siren, "jadi itu sedang diperbaiki. Maaf jika ini membuatmu tidak nyaman,"
Tangan kiri Siren langsung bergerak menutupi sisi kanannya yang tak berlengan.
"T-tidak, aku hanya ingin memastikan itu baik-baik saja," jawab Stephen kemudian. "Juga ... kau sendiri ...,"
Siren mengerutkan kening. "Strange?" panggilnya lagi, dan berjalan lebih dekat ke sorcerer itu. "Are you okay?"
"Yes!" Stephen menjawab dengan cepat juga panik. Bahkan tanpa sadar menghindari tatapan Siren. "Semua ... baik-baik saja. Aku ... aku hanya berkunjung untuk memastikan keadaanmu,"
"Benarkah?"
Stephen mengangguk.
Melihat jawaban itu, perasaan Siren seketika berubah kesal.
"Verbal," pinta Siren, "dan tatap aku, Strange,"
Stephen melakukan pintaan tersebut. Kembali menatap manik biru itu dengan iris biru-kehijauan miliknya.
"Ya, aku baik-baik saja, Siren," jawab Stephen mengulangi. "Tapi ...,"
Mendengar kalimat terakhirnya, salah satu alis Siren terangkat seketika.
"But, what?" tanya Siren.
"But ... may I touch you?" jawab Stephen dengan sebuah izin.
'Ha?' Siren seketika menganga akan permintaan izin itu. Ia menatap Stephen curiga, memastikan apakah pria itu sedang menahan luka mematikan atau sejenisnya.
"Levi?" panggil Siren kepada Cloak.
Itu mendengar panggilan Siren, dan menanggapinya dengan lambaian dari ujung jubahnya.
"Benarkah Strange baik-baik saja?" tanya Siren kemudian.
Tapi Cloak tak merespon. Dan hal tersebut justru melahirkan tanda tanya di dalam benak Siren.
Ia kemudian fokus kembali kepada Stephen. Yang saat ini tengah menatapnya dengan lekat.
"Well ... okay, tidak masalah," jawab Siren akhirnya mengonfirmasi izin Stephen sebelumnya.
Stephen langsung mengangguk. Lalu perlahan, ia mengangkat kedua tangannya yang selalu gemetaran itu. Tapi kali ini, keduanya terlihat lebih buruk dari biasanya. Dan Siren menyadari hal itu.
Dengan perasaan takut yang masih menyelimutinya, Stephen mempertemukan kedua telapak tangannya pada masing-masing pipi Siren.
Oh. That's so warm. And real.
Siren mengerjap beberapa kali. Memandang wajah Stephen yang cukup dekat dengan wajahnya.
"Strange?" panggil Siren kemudian. Tangan satu-satunya meraih salah satu tangan Stephen. "Kau sungguh baik?"
"Ya," Stephen mengangguk, "aku baik,"
"Tapi—?!"
Belum sempat Siren menyelesaikan kalimatnya, Stephen tiba-tiba menerjang tubuhnya. Memberikan pelukan kejutan yang membuat Siren kehilangan keseimbangan. Siap untuk terjungkal ke belakang bersama Stephen di atasnya.
'Oh ...! Shit!!!'
Dengan segala upaya yang bisa ia lakukan, wanita bertangan satu itu mencoba menahan jatuhnya. Tapi apa yang bisa ia lakukan hanya dengan satu tangan? Jika ia mencoba menahan beban tubuhnya dan Stephen, alhasil ia hanya akan melukai tangannya sendiri. Sehingga finalnya, ia membiarkan dirinya jatuh begitu saja.
Tapi Siren tak merasakan permukaan lantai yang keras. Justru ia merasakan sesuatu yang empuk menahan jatuhnya.
"Eh?" Siren melirik ke belakang dari atas bahunya, dan mendapati dirinya jatuh ke sofa panjangnya yang ada di ruang tengah.
'Portal ... kan?' Terka Siren dalam hati. Dan tentunya terkaan itu benar adanya.
"Maaf seenaknya membuka portal di tempatmu," ujar Stephen yang masih setia memeluk Siren. Namun kini, pria itu terlihat duduk di atas pangkuan Siren.
Siren menatap belakang kepala Stephen--karena memang hanya itu yang bisa dilihatnya. Membuka mulutnya perlahan, sebelum dipotong lebih dulu oleh sang sorcerer.
"Maaf," sela Stephen, "tapi, bisakah kau membiarkanku seperti ini? Aku ... aku ingin memelukmu, aku ingin berada di dekatmu."
Siren tak berkata apa-apa. Tapi ia bisa menyadari ada ketakutan di balik ucapan Stephen barusan. Dan ia tak tahu kenapa. Namun Siren sadar, jika orang seangkuh doctor Stephen Vincent Strange berucap dengan nada takut seperti itu, pasti apa yang tengah dialami pria tersebut sangatlah buruk. Lebih buruk dari yang pernah ia alami sebelumnya.
Siren kemudian menghela napas. Tangan kirinya bergerak mengusap punggung Stephen dengan lembut.
"Baiklah, kau boleh mengambil waktuku," ujar Siren dengan lembut. Lalu mencium singkat salah satu pelipis Stephen. "Enjoy your time, Doctor."
"Thank you," balas Stephen mempererat pelukannya. "And sorry."
...
"Lady, apakah Anda ingin memperbarui warna dari lengan bionik-nya?" tanya Lecia menawarkan.
"Ha? Untuk apa?" balas Siren heran, "tidak perlu. Biarkan saja hitam seperti itu,"
"Well ... mungkin saja Anda ingin mencoba suasana baru,"
"Tidak terima kasih. Aku ingat, ketika mister Stark memperbaruinya, ia seenaknya mengubah warna skinnya mirip seperti Iron Suit miliknya,"
Lecia tak bisa menahan tawa akan tanggapan itu. Karena yah ... itu memang benar adanya.
"Jangan ketawa," protes Siren cemberut, "cepat selesaikan bagian akhirnya."
"Baik, Lady." Jawab Lecia langsung.
Siren menghela napas panjang. Memangku dagunya di atas tangan kirinya, dan matanya menatap kosong layar hologram biru di depannya.
Stephen telah kembali ke Sanctum sekitar dua jam yang lalu. Dengan meninggalkan rasa penasaran di benak Siren. Itu menyebalkan, dan membuat Siren frustasi sendiri jadinya.
Ini memang bukan hal baru untuknya. Stephen memang sering bertingkah demikian, menutupi masalahnya karena pria itu sadar Siren takkan menyukainya. Kenapa? Karena selalu saja, masalah yang menimpa seorang Stephen Strange, selalu berhubungan dengan sihir. Dan Siren membenci sihir.
Well ... their relationship is really complicated.
Tapi, tidak selamanya Siren akan menutup mata akan hal tersebut. Ia sadar rasa bencinya akan sihir tak pernah terhapuskan, tapi jika itu berhubungan dengan Stephen, ia tak bisa berpaling begitu saja. Ia ingin membantu pria itu, sangat ingin!
'Hah ... andai aku tidak membenci sihir, hal seperti ini takkan serumit ini,' batin Siren menghela napas panjang lagi. 'Aku lelah dengan ini. Sungguh lelah.'
...
"Oh finally!" Siren berseru senang ketika hasil percobaannya berakhir baik. Tangan bionik-nya sudah bekerja sebagaimana mestinya. Dan ternyata, ia memerlukan waktu tiga setengah hari untuk memperbaikinya.
"Sepertinya memang lebih baik meminta bantuan mister Stark saja," celetuknya sesaat, "mungkin jika dia yang mengurusnya, ini takkan memakan waktu selama ini."
Ia meregangkan ototnya. Mengangkat tinggi tangan kirinya, dan beranjak dari duduknya.
"Jadi, apa jadwal Anda setelah ini?" tanya Lecia usai menonaktifkan semua alat milik Siren.
Siren berdehem panjang. Tapi tak lama, wanita itu menguap lebar.
"Uh ... sepertinya aku akan pergi tidur," tuturnya kemudian mengendus tubuhnya sendiri. "Urgh! Stink!"
"Kalau begitu, aku menyarankan Anda untuk membersihkan diri terlebih dulu," saran Lecia dengan lembut.
"Ya, kau benar. Bath, then bed. Good,"
"Aku akan menyiapkan airnya," ujar Lecia langsung.
"Terima kasih, dear." Jawab Siren lalu segera melesat menuju kamarnya untuk mengambil handuk serta pakaian ganti.
Tak sampai setengah jam, Siren telah selesai membersihkan diri. Dan sudah berada dalam pakaian piyamanya yang berupa celana olahraga hitam polos, serta kaos merah lengan pendek.
"Huft! Mandi memang sangat menyegarkan!" seru Siren seraya keluar dari kamar mandinya. "Sekarang waktunya—Eh?"
Belum sempat wanita itu menyelesaikan ucapannya, ia merasa kakinya tidak memijak apapun. Dan detik berikutnya, Siren merasakan tubuhnya yang jatuh begitu saja ke sebuah lubang--yang entah lubang apa.
"Fuck!" Siren berseru spontan ketika tubuhnya jatuh.
Yang kemudian, ia mendarat begitu saja di atas sesuatu. Itu tidak keras, itu cukup empuk di bawah pantatnya.
Segera, Siren membuka matanya yang semula terpejam secara spontan. Dan tanpa butuh waktu lama, wanita tersebut sadar apa yang membuatnya jatuh.
"Fucking hell, Strange!" protesnya, "itu bukan cara yang baik untuk—"
Lagi-lagi kalimatnya terhenti.
Namun kini, ia terhenti saat pelaku yang menjatuhnya--Stephen--memeluk dirinya begitu saja. Dan hal tersebut spontan membuat Siren terpaku.
"Maaf," ujar Stephen di dekat salah satu telinga Siren. "Aku tak bermaksud mengejutkanmu. Aku ... aku hanya khawatir denganmu,"
Siren terdiam. Mencerna kalimat Stephen dengan saksama.
"Strange," panggil Siren melepas diri dari pelukan Stephen. Namun pria itu terlihat menolak melepaskannya. "Hei Strange, tolong lepaskan aku,"
Dan Stephen akhirnya melakukannya.
Kini, Siren bisa bertatap langsung dengan Stephen--akhirnya. Iris birunya menatap lekat manik--yang kali ini--berwarna biru kelabu itu.
"Strange, ada apa?" tanya Siren tenang, "kau ... kau bertingkah aneh sejak datang ke tempatku kemarin,"
Stephen menggeleng. "Hanya perasaanmu saja," jawabnya, tapi ia menghindar kontak mata dari Siren.
"Tidak, aku sangat yakin akan hal itu," jawab Siren tegas. "I know you, Stephen."
Stephen sedikit membelalak akan kalimat terakhir Siren. Dan ia spontan kembali menatap wanita yang duduk di atas pangkuannya.
"Stephen," panggil Siren mengusap pipi Stephen dengan tangan kiri satu-satunya. "Please tell me."
Stephen menggigit pipi bagian dalamnya. Merasakan kegelisahan mulai menyelimuti dirinya.
"I ...," Dan akhirnya, ia memulai. "I lost you,"
Siren mengerjap. "Ha?"
"Aku bermimpi kehilanganmu, Siren. Untuk selamanya," jelas Stephen lebih jelas. Manik biru kelabu itu terlihat sedih juga takut. "Dan itu tidak hanya sekali.
That's always happen. No matter what way I choose for save you, I always lose you. Again, again, and again, forever. That's ... that's really make me crazy!"
"Hei tenanglah. Atur napasmu, bernapas bersamaku, oke?" pinta Siren segera menenangkan Stephen. "Satu tarik, dua lepaskan perlahan. Satu, dua. Lagi, satu, dua."
Melihat Stephen yang mulai tenang, Siren tak bisa menutupi senyum leganya.
"Stephen, dengar dan jawab pertanyaanku," ujar Siren kemudian mendekatkan keningnya dengan milik Stephen.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Siren kemudian.
Stephen terdiam sejenak. Merasakan sentuhan hangat yang ia terima selama beberapa detik sebelum menjawab.
"Hembusan napasmu dan ...," Stephen sejenak menjeda, "kehangatanmu,"
"Tepat," balas Siren tersenyum. Lalu meraih salah satu tangan Stephen, dan membawanya ke salah satu sisi lehernya. "Apa yang kau rasakan?"
Stephen refleks mengusap leher Siren dengan ibu jarinya. Merasakan adanya denyutan di bawahnya.
"Denyut nadimu," jawab sang sorcerer akhirnya.
"Tepat lagi," balas Siren masih tak melunturkan senyumnya. "Kau tahu apa artinya?"
"You're alive,"
"Right. So, just forget that fucking nightmare, okay? Because now, I'm here with you. Alive,"
Stephen menatap senyum tenang Siren dengan lekat. Benar, ia benar. Siren hidup, dan saat ini tengah bersamanya. Mimpi tetaplah mimpi, dan ia takkan mengakui itu. Tidak selama ia memiliki Siren disisinya.
Stephen kemudian kembali memeluknya erat. Merasakan kehangatan serta aroma tubuh Siren dengan sangat dekat.
Melihat hal tersebut, Siren langsung mengusap punggung Stephen dengan lembut.
"There, there, my big baby wizard," ucap Siren menenangkan. Ganti mengusap belakang kepala Stephen.
"Sorcerer," ralat Stephen dengan spontan. Yang hal tersebut berhasil mengundang tawa Siren.
"Baumu terasa manis dan harum," komentar Stephen kemudian.
"Yah ... aku baru saja selesai membersihkan diri," jawab Siren agak malu. "Beruntung kau membawaku pergi ketika aku sudah berpakaian,"
Mendengar itu, Stephen langsung menjauh dari Siren. Wajahnya tampak memerah malu.
"M-maafkan aku," ujar pria itu tertunduk.
Siren kembali tersenyum, mengusap gemas puncak kepala Stephen. "Aku memaafkanmu," jawabnya, "tapi tolong jangan lakukan itu lagi."
Stephen mengangguk patuh. Lalu perlahan, ia mengangkat kepalanya. Menatap lengan kanan Siren yang tak disambung dengan lengan bionik-nya.
"Kau belum selesai dengan pekerjaanmu?" tanya Stephen kemudian.
Sadar apa yang tengah dibicarakan, Siren menggeleng. "Aku baru saja menyelesaikannya," jawabnya, "tapi aku belum sempat mengenakannya kembali karena aku berniat pergi tidur. Tapi finalnya, aku jus—"
"Tidurlah bersamaku," potong Stephen langsung.
"Pardon?" tanya Siren meminta pengulangan.
"Please stay here, and sleep with me," jawab Stephen tanpa ragu. "Mungkin ... jika aku tidur bersamamu, aku takkan bermimpi buruk."
Well ... That's make a sense. Probably.
Siren mengerutkan kening. Ragu untuk menerima tawaran itu. Tapi, ketika Stephen menyinggung soal mimpi buruknya, pikiran Siren spontan kembali ke masa lalu. Saat dimana Stephen menceritakan apa yang ia mimpikan. Lagi, lagi dan lagi. Seperti lingkaran waktu yang tak tahu kapan akan berhenti.
Akhirnya, dengan sebuah senyum tipis dan kecupan cepat di sudut bibir Stephen, Siren menjawab. "Baiklah, aku akan tidur bersamamu, stupid wizard."
•••
Finally, it's over!!!
Dan ini sungguh jauh dari rencana awal ane :v
Btw, untuk kalian yang mendapatkan hadiah dari ane, terima kasih sudah membaca keduanya. Dan ane senang kalian bisa menikmatinya. Rasanya, peluh ane terbayarkan seluruhnya.
Mungkin, lain waktu akan ada hadiah lain. But, who knows?
Akhir kata, terima kasih
Dan sampai jumpa lagi!
Sincerely,
Shizu Reiku
*here virtual hug for you
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro