1.3 It Was For You [Siren×Stephen]
•••
Villain AU!
Siren Eddison×Stephen Strange
『WARNING!』
ANGST, SACRIFICE, MAJOR CHARACTER DEAD, HURT, MENTAL INSTABILITY(mention), SELF-HARM AND SUICIDAL(mention) SAD ENDING
Dedicated to: My self--ShizuReiku
•••
"Lady,"
Suara Lecia jelas menggema di kamar Siren. Mendengar suara tersebut, Siren menggerang, membenamkan wajahnya lebih dalam ke bantal putihnya. Berharap agar dirinya tak mendengar itu.
"Lady,"
Lagi, suara AI-nya kembali terdengar. Terus tanpa henti. Yang tentunya, itu membuat Siren naik pintam.
"Berisik!" protes wanita itu bangkit dari posisi tidur tengkurapnya. "Aku lelah, Lecia! Jangan ganggu!"
"Um ...," Lecia terdengar ragu. Apakah perlu ia mengatakan ini? Siren jelas kesal karena tidurnya terganggu. Namun ini pasti berita yang sangat membahagiakan untuknya."Maaf Lady, tapi doctor Strange tengah menunggu Anda di depan." Jelas Lecia akhirnya.
"What?"
...
Stephen terlihat berdiri dengan gelisah di luar apartemen milik Siren. Sang sorcerer terus berjalan kesana-kemari dengan pikiran panik.
Tapi tiba-tiba, suara pintu yang dibuka--dengan penuh tenaga--membuat langkah Stephen terhenti. Pria tinggi itu terhenti seketika di jalurnya. Menoleh, dan terkejut saat seseorang menerjangnya untuk memberikan pelukan erat.
"Strange, Strange, Strange!"
Stephen jelas begitu terpaku ketika orang yang memeluknya--yang tak lain adalah Siren--menyebut namanya berkali-kali. Seolah-olah wanita itu sedang berdoa.
"I ... I miss you, Stephen ...," ucap Siren lagi. Pelukannya terasa semakin erat, dan Stephen bisa merasakan sesuatu membasahi pakaiannya.
She is crying.
"Stephen, Stephen ...," Siren tak tahu harus berkata apa lagi. Hanya ada nama Stephen Strange yang terbayang di benaknya. Hanya itu.
Perpisahan mereka yang tanpa kabar telah berlangsung selama--kurang lebih--tiga bulan. Bahkan Siren sempat berpikir bahwa Stephen telah tiada. Ia sudah tewas. Namun Wong selalu mengatakan bahwa Stephen masih hidup. Ia masih bisa merasakan energi pria itu di suatu tempat. But where?
Dan karena ketidakjelasan itu, Siren tak pernah bisa menemukan titik terang terkait lokasi Stephen. Ia sudah putus asa dengan hal itu.
Namun tiba-tiba, Lecia mengatakan Stephen tengah menunggunya di balik pintu apartemennya. Tentunya ia tak memercayai itu pada awalnya. Tapi Siren percaya bahwa AI-nya tak mungkin berbohong. Lecia tak mungkin bermain-main soal itu.
"Siren," Suara lembut dan dalam Stephen berhasil membuyarkan pikiran Siren. "Tidak apa. Semua akan baik-baik saja kedepannya. Percayalah padaku,"
Ah ... suara itu benar-benar nyata. Lembut, dewasa dan menenangkan. Siren benar-benar merindukan suara ini. Ia benar-benar merindukan Stephen.
"Kemana saja kau selama ini, Strange?" tanya Siren sesenggukan. "Tidakkah kau sadar aku mengkhawatirkanmu? Wong juga, semuanya,"
Stephen tak menjawab segera. Pria itu bungkam sambil menenangkan Siren dengan mengusap-usap punggungnya. Ia menggigit bagian dalam bibirnya, merasa sangat berat mengatakan apa yang ada di pikirannya.
"Hei sweetheart," panggil Stephen melepas pelukan Siren perlahan. Kedua tangan gemetar dan dihiasi oleh bekas luka itu bergerak menangkup wajah Siren. Iris biru kehijauan kelabu bertemu dengan iris biru gelap. "Tolong dengarkan aku,"
Siren mengernyitkan kening.
Stephen siap untuk mengatakan sesuatu. Tapi sedetik kemudian, ia menutup mulutnya. Sungguh tak mampu mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya.
"Oh Siren, aku ... aku sungguh minta maaf," ujar Stephen akhirnya. Nada bicaranya jelas sangat putus asa. "Tapi tidak ada cara lain. Dan ini ... juga demi dirimu,"
"Strange ada apa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Siren meraih kedua tangan Stephen, mengusap masing-masing punggung tangannya dengan ibu jarinya. "Katakan padaku Strange, kumohon. Jangan ... jangan menyembunyikannya sendiri,"
Stephen kembali diam. Merasakan usapan tangan Siren di atas tangannya yang rusak.
"Menjauhlah dariku," ujar Stephen kemudian. Ucapannya begitu jernih.
Siren mengerjap beberapa kali. "A-apa?" Hanya itu ucapan yang bisa diutarakannya.
"Mulai detik ini menjauhlah dariku," ulang Stephen lebih lengkap. "Jangan pernah mengunjungiku lagi, jangan pernah datang ke Sanctum. Berhentilah berhubungan dengan kami."
Kening Siren semakin mengernyit dalam. Apa ini? Apa maksudnya ini?
Apa-apaan dia ini!?
"T-tapi ... kenapa ...?" tanya Siren. Ini tak masuk akal. Ini aneh, sangat aneh. "Apakah ... kini kau membenciku?"
Siren bisa merasakan tangan Stephen berkedut sesaat. Tapi setelahnya, sang sorcerer tampak melepaskan tangannya dari Siren. Menjauh dari wanita itu perlahan.
"Ya," jawab Stephen berusaha tegar, "aku membencimu sekarang."
...
Siren menggenggam erat sebuah gelas kaca berisi air. Bahkan terlalu erat hingga ia sendiri tak mengira bisa memecahkannya.
Cairan yang semula ditampung di gelas itu, mulai mengalir keluar melewati celah pecahan kaca maupun celah jarinya. Bercampur dengan darah merah dari luka yang disebabkan oleh pecahan gelas tersebut.
It's hurt. But she don't care.
Luka yang ia dapat, tidak lebih menyakitkan dari luka di hatinya, di perasaannya.
Itu tidak berdarah, sedikitpun tidak. Tapi itu jauh lebih menyakitkan. Dan ini sungguh membuatnya sesak.
"Strange ...," Siren berbisik lirih. Gigi atasnya menggigit kuat bibir bawahnya. Tak peduli jika itu akan melukainya. "Kenapa ...?"
...
Stephen terduduk lemas di sofa merah favoritnya di Sanctum. Hawa New York saat akhir tahun mulai terasa dingin, sehingga ia harus menyalakan perapian yang ada di hadapannya. Dan secara teknis, ia tidak sendirian. Sang sorcerer tentunya ditemani oleh relik sekaligus sahabatnya, Cloak of Levitation. Yang saat ini tengah melayang rendah di samping kursinya. Itu terlihat sedang menatap Stephen.
"Ya, aku tahu itu, buddy," ujar Stephen seolah Cloak berbicara kepadanya. "Aku yakin Siren pasti benar-benar membenciku kali ini. Tapi ... aku tak punya cara lain ... ini adalah yang terbaik dari yang lain ...,"
Stephen mengangkat tangannya. Sedikit membungkuk dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangannya itu. Cloak yang sadar akan perasaan tuannya, langsung bergerak mendekatinya. Mendarat di bahunya, dan memberikannya genggaman erat.
"Ya, ini ... adalah yang terbaik," bisik Stephen parau. "Dan ini semua demi Siren."
"Kau tampak sangat kewalahan, Strange," komentar seseorang.
Stephen membelalak mendengar suara itu. Bukan Wong, karena suara ini milik wanita. Dan ini bukan Siren juga.
Pria itu beranjak cepat dari duduknya, Cloak pun juga terlihat sigap. Keduanya berada dalam mode bertarung.
"Umar," sebut Stephen menatap sinis seorang wanita berambut panjang ikal hitam kebiruan.
"Hello, Strange," sapa Umar dengan senyum puas. "Sudah waktunya kau memberikan jawaban atas penawaranku,"
Di balik bibirnya yang mengatup rapat, Stephen menggeratkan giginya kuat. Kedua tangannya mengepal dalam keadaan gemetar.
Tidak apa. Semua ini demi Siren.
"Umar, promise me," ujar Stephen yakin. Matanya memancarkan tekad besar. "Aku akan ikut denganmu. Sebagai gantinya, kau takkan pernah mendekati Siren lagi. Bahkan seujung jari pun,"
"I promise, Strange," jawab Umar dengan senyum. "Then, shall we go now?"
"Cloak, stay here," pinta Stephen kepada jubah merahnya. Tapi itu menggelengkan kerahnya. Menolak perintah tersebut. "Kau ingin ikut bersamaku?"
Itu menganggukkan kerahnya beberapa kali.
"Kalau begitu, jangan menyesalinya nanti." Jawab Stephen tersenyum hangat. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa senang sahabatnya ingin ikut dengannya.
Dan sekali lagi ...
Semua ini demi Siren.
...
Hari demi hari telah berlalu, dan Siren pun melakukan apa yang diminta Stephen. Yaitu melepas ikatan dari seorang Stephen Strange.
Tapi sepertinya, itu tidak semulus kelihatannya. Tampak dari sosoknya yang setiap hari nyaris dihiasi dengan perban atau plester luka. Bahkan hingga Lecia meminta bantuan Tony ataupun Peter untuk membantu wanita itu.
Awalnya, tentu itu tidak berjalan mulus. Berkali-kali Tony maupun Peter harus bergulat dengannya karena Siren berusaha melukai dirinya sendiri. Bahkan ia sempat melakukan percobaan bunuh diri. Walau itu berhasil digagalkan Peter karena pemuda itu punya perasaan tak enak hari itu.
Dengan sedikit pengobatan berupa meditasi ataupun sharing satu sama lain, keadaan mental Siren pun membaik. Kehadiran orang-orang yang selalu berada disisinya, mendengarkan keluh-kesahnya, perlahan membawa kembali keadaan mental Siren.
Dan Siren merasa beryukur dengan itu.
Hari ini adalah akhir pekan, dan beruntung Siren mendapat jatah libur. Jadi, ketimbang hanya mengurung diri di kediamannya, Siren memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar Manhattan. Sekedar mencari udara segar.
Semuanya berjalan normal. Tak ada sesuatu yang aneh atau sejenisnya. Hingga tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah breaking news berupa penyerangan yang terjadi di wilayah Greenwich Village.
Wilayah itu.
"Eddison!"
Suara robot sukses mengejutkan Siren seketika. Tapi, yang lebih membuatnya terkejut adalah sosok Iron Man yang mendarat di depannya. Menghalangi akses jalannya.
"M-mister Stark?" Siren mundur perlahan. Ia punya perasaan tak enak soal ini.
"Strongarm, come with me now," pinta Tony masih dengan wujud lengkap Iron Man.
Siren mengernyit. "W-where?" tanyanya. Ia semakin merasa tak enak.
"Just come with me." Ulang Tony mendekati Siren, dan mengalungkan pinggang wanita itu dengan salah satu lengannya.
"T ... tunggu dulu, mister Stark!" jerit Siren tak siap kala Tony lepas landas dengan kecepatan tinggi.
...
Rasanya ini sungguh ironi.
Dahulu, ia, Wong, Mordo bahkan The Ancient One, berjuang keras untuk menjaga Sanctum agar tidak hancur karena ulah Kaecilius demi memanggil sosok Dormammu. Namun sekarang, ia justru melakukan itu. Dengan tangannya sendiri. Bahkan ia telah melukai Wong demi kelancaran misinya.
Ia yang terburuk.
Ia tak kuasa berhadapan dengan The Ancient One di akhirat nanti.
"Doctor Strange!"
Stephen menoleh ke suara itu berasal. Sebuah suara yang begitu energik dan hangat.
Peter.
"Tolong hentikan ini, Doctor Strange," minta Peter mendarat di depan Stephen. "Kau melukai orang-orang, Doc. Ada apa denganmu?"
"Tidak ada yang salah denganku, Spider-Man," balas Stephen mulai membuat mantra lain. "Inilah ... diriku."
Saat Stephen hendak membuat The Crimson Bands of Cyttorak, sosok Iron Man terlihat mendarat di belakang Spider-Man. Dan langsung menembakkan repulsornya ke arah Stephen.
Melihat tembakan itu, Cloak bergerak mengangkat tubuh Stephen ke udara. Dan ketika sang sorcerer berhasil menciptakan mantranya, ia terhenti pada sosok yang bersama Iron Man.
'S-Siren? Apa yang kau lakukan?' batin Stephen jelas tak mengira kehadiran Siren ditengah kekacauan ini.
"Strange, hentikan kegilaanmu sekarang," pinta Tony di balik helm suit Iron Man-nya. "Sebelum kau akan menyesalinya,"
"Stark," sebut Stephen menatap Iron Man tajam. Jelas tak suka akan tindakan sang billioner yang seenaknya membawa Siren kemari. "Kenapa kau membawa Eddison? Dia bukanlah anggota Avengers,"
"Ya dia memang bukan Avengers lagi," jawab Tony dengan simpel, "tapi dia jelas menjadi kelemahan terbesarmu."
Stephen menggeratkan giginya. Tak terima dengan balasan Iron Man soal Siren.
"Strange,"
Akhirnya, semenjak ia tiba bersama Iron Man, Siren akhirnya berucap. Wanita itu menjauh selangkah dari tempat Iron Man.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Siren jernih. Dan manik birunya itu terlihat lebih gelap.
Stephen tak menjawab. Justru, ia tiba-tiba membuat sebuah portal di bawah kaki Iron Man. Baik Iron Man maupun Siren--juga Peter, tak menyadari kemunculan portal itu. Yang jelas dadakan. Hal itu tentunya membuat Iron Man gagal untuk pergi dari tempatnya. Karena portal itu telah lebih dulu melahapnya dan membawa sang pahlawan ke suatu tempat.
"Mister Stark!" teriak Siren dan Peter beberangan. Berusaha meraih Tony, walau hasilnya gagal.
Dan meski Spider-Man memiliki intuisi yang tajam, ia terlambat satu detik untuk menyadari bahwa The Crimson Bands of Cyttorak telah melilit lengan kanannya. Yang pada detik berikutnya, Stephen langsung menarik dan melempar pemuda itu dari tempatnya.
"Woah!!!"
"Pete—!?" Perhatian Siren yang tertuju pada Peter, seketika pecah saat Stephen menerjang ke arahnya. Dan pria itu serius!
Siren mundur secara naluriah, tangan buatannya mulai diaktifkan untuk membuat perisai dari gabungan aliran listrik. Namun tiba-tiba, sebuah kain merah datang dan membungkus seluruh lengan buatan Siren.
"What?!" Siren menjerit kaget ketika Cloak menyerangnya. "Levi apa yang—Ukh!"
Bahu kanan Siren mendapat beban berat secara tiba-tiba, dan hal itu sukses membuatnya terkilir. Tak hanya itu, karena datangnya beban berat itu, Siren tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Sehingga ia akhirnya berakhir jatuh terjungkal dengan Stephen yang berada di atasnya. Dialah yang memberikan beban tiba-tiba.
"S-Strange ...,"
"Kenapa kau kemari?" tanya Stephen begitu dalam. Terasa berbeda dari biasanya. "Sudah kubilang untuk menjauh dariku, 'kan? Tapi kenapa kau tidak mendengarkanku? Padahal semua sudah berjalan dengan baik. Umar tak lagi mengincarmu. Semua sudah baik-baik saja.
Tapi ... kenapa Siren? by Vishanti, kenapa pada akhirnya kau tetap datang kepadaku!?"
"Karena aku tidak bisa melakukannya," jawab Siren dengan datar.
Stephen terpaku. Iris mata yang kali ini terlihat berwarna biru kelabu itu, menatap Siren tak percaya.
"Mau berapa kali pun aku mencoba, aku tak bisa melupakanmu sepenuhnya," lanjut Siren lagi, "berkali-kali, dengan berbagai cara, aku sudah mencobanya. Tapi aku tetap tidak bisa melakukannya! Because I love you, Stephen!"
Kalimat terakhir itu sukses membuat pikiran Stephen kosong. Hanya dalam hitungan detik.
Pria itu kemudian tertunduk. Menghindari tatapan Siren yang berada sangat dekat darinya.
"Umar mengetahui soal kemampuanmu," ujar Stephen tiba-tiba bercerita. Tapi ia masih tak bisa mengatakannya dengan menatap Siren langsung.
Selama Stephen bercerita, Siren tak membalas ataupun menyela. Pria itu menceritakan semua kebenarannya. Soal tawaran Umar untuk menyerahkan dirinya sebagai ganti nyawa Siren. Soal apa yang ia lakukan selama menghilang tanpa kabar. Penyerangannya ini, dan kebenaran lainnya.
Semua itu terungkap dengan cepat.
"Oh Strange, maafkan aku," ujar Siren usai mendengar semua itu. Rasa bersalah yang besar mulai lahir di benaknya. "Seharusnya aku bisa mengerti keadaanmu dan membantumu menghadapi itu semua. Kau tidak harus membawa beban itu sendirian. Maaf aku telah mengecewakanmu,"
"Siren," panggil Stephen tenang. Nada bicara itu telah kembali. "Kau tidak pernah mengecewakanku. Karena itu selalu untukmu."
Siren tak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ini terlalu berat untuknya. Ia tak kuasa menerima kenyataan ini. Tidak bisa.
"Sshh," Stephen mengangkat salah satu tangannya. Menyeka perlahan air mata di pipi Siren dengan tangan gemetarnya. "Jangan menangis. Kau tidak salah apa-apa Siren. Karena menyelamatkanmu adalah yang terpenting dari segalanya."
Dengan keadaan sesenggukan, Siren mendapati sosok merah keemasan mengarah cepat ke tempatnya. Semua ia tak tahu apa itu, tapi saat itu semakin mendekat, ia akhirnya tahu.
'M ... mister Stark." Batin Siren menatap ngeri.
"No," sebut Siren lirih. Tangannya yang tak dibungkus oleh Cloak, bergerak menyentuh salah satu bahu Stephen berniat mendorong laki-laki itu dari hadapannya. "Please don't kill him, Iron Man!"
Dan pertumpahan darah pun tak terelakkan.
Siren memejamkan matanya dengan erat. Tak mampu melihat dan merasakan sakit akan tusukan dari pedang sang Iron Man. Tapi ia tak merasakan itu. Sedikitpun.
Yang ada, ia merasa tangan kirinya basah oleh sesuatu yang hangat. Serta suara Stephen yang menahan sakit.
"Strange!" Siren bangkit segera dari posisinya. Meraih Stephen dan menidurkannya sambil mencoba memberikan pertolongan pertama.
Ternyata, tak hanya Siren yang mengetahui kedatangan Tony. Stephen pun juga menyadarinya. Karena itu, saat Siren berniat menjadikan tubuhnya sendiri sebagai target, Stephen langsung membuat portal di depan Siren. Portal itu mengarah ke dirinya, yang artinya, tusukan pedang Iron Man takkan mengenai Siren. Tapi dirinya.
"Kenapa kau melakukan ini!?" seru Siren kepada Tony.
"Karena dia adalah musuh kita, Eddison," jawab Tony tegas.
"Tapi bukan berarti kau bisa membunuhnya!" jerit Siren sambil menangis.
Tiba-tiba Siren mematung. Tepatnya ketika tangan Stephen menahan dirinya untuk berhenti mengobatinya.
"Jangan ... lakukan ...," pinta Stephen.
"Tidak! Kau harus selamat! Harus!" tolak Siren menggeleng.
"Siren," Stephen mencoba tersenyum, "kau sungguh keras kepala. Tidak ... bisakah kau ... mendengarkanku sekali saja ...,"
"Tapi ... tapi aku tak mau kehilanganmu lagi. Aku tak mau, Stephen."
Stephen tersenyum samar. Dan perlahan, ia mengangkat tangannya yang ternoda oleh darahnya sendiri. Mengusap pipi Siren untuk terakhir kalinya.
"Siren, dengarkan aku," ujar Stephen. Napas pria itu mulai terdengar berat. "Kau tidak bisa ... mengubah apapun yang sudah ... terjadi padaku. Ini bukan salahmu, dan ini ... bukan karenamu. Tapi ini untukmu. Aku ... sama sekali tak menyesalinya,"
Stephen mencoba tersenyum lebar. Tapi, rasa sakit yang ia rasakan di tubuhnya sungguh tak bisa dilawan.
"Siren ... I love you. Really love you." Ucap Stephen lirih. Sebelum akhirnya, tangannya jatuh begitu saja dari pipi Siren.
Melihat itu, Siren mencoba memanggil Stephen. Menepuk pipinya berapa kali. Bahkan meminta Cloak melakukan sesuatu. Tapi tak ada yang bisa dilakukan.
Akhirnya, kekacauan di Greenwich Village pun berakhir bersama suara tangisan dari seorang wanita yang ditinggalkan. Dan kali ini, hingga waktu ia hidup di dunia.
It was always for you.
•••
Finally, all sad ending is over!!!
Setelah ini, ane akan membuat cerita lain dengan happy ending. Tentunya pair yang diceritakan tetap sama.
To you who want read something fluff, please waiting me to write it :)
Oke, untuk cerita ini, ada beberapa kalimat yang ane kutib dari suatu fanfiksi. Dan dari itu jugalah tercetus ide ini.
Semua cerita selalu tertulis 'major character dead' entah itu OC maupun Chara. Tapi asik aja pakai tag itu. Walau finalnya ane didemo. Wkwkwkwk.
Okay, mohon tunggu cerita lainnya yang berakhir happy ending. Sedang dalam masa pematangan ide ;)
Sincerely,
Shizu Reiku
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro