Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.2 We Match [Rei×Doppo]

•••

Yakuza AU!
Misaki Rei×Kannonzaka Doppo

『WARNING!』
ANGST, UNSTABLE RELATIONSHIP, ALCOHOLISM, DRUGS ADDICT, MAJOR CHARACTER DEAD(mention), SAD ENDING

Dedicated to: KarokoLinq

•••

Dengan tangan gemetar dan kepala yang berdenyut sakit tanpa henti, Doppo meraih sebuah botol kaca di dalam lemari khusus yang berada di salah satu sudut bawah dapur. Dan dengan buru-buru, ia membuka segelnya.

Tangan kirinya masuk ke saku blazer sisi dalamnya, meraih bungkusan bening kecil yang berisi serbuk putih. Ia membukanya segera--masih dengan keadaan tangan gemetaran dan sakit kepala yang semakin menjadi--lalu menuangkan serbuk putih itu ke dalam botol berisi cairan cokelat keemasan.

"Tidak apa, tidak apa," gumam Doppo ragu untuk meneguk isi dari botol tersebut. "Hanya satu atau dua tegukan."

Doppo memejamkan matanya. Sedikit mendongakkan kepalanya dan mulai mendekatkan bibir botolnya ke mulutnya. Namun, tiba-tiba, sesosok tangan muncul dari belakang punggungnya. Menutupi bagian mulut botol tersebut.

Dengan pandangan yang terasa kabur, telinga berdenging, kepala berdenyut, dan hal menyakitkan lainnya, Doppo melirik ke sisi belakang dari atas bahunya. Menatap seorang wanita berambut hitam sebahu yang menahan aksi minumnya. Iris biru pucatnya memandang Doppo dengan sedih.

"Misaki ...," sebut Doppo susah payah. Berusaha melawan sakitnya, juga menahan diri untuk tetap sadar.

"Kupikir kau sudah selesai dengan ini," komentar Rei kemudian.

"Hanya ... seteguk saja ...," balas Doppo, "onegai."

"Ie." Jawab Rei bergerak menyambar leher botol yang dipegang Doppo, dan menarik botol itu hingga terlepas dari genggaman Doppo.

"Hei, jangan!" henti Doppo panik.

Tapi Rei tak memedulikannya.

Setelah berhasil merebut botol itu dari tangan Doppo, Rei mengangkatnya tinggi. Dan melemparnya ke lantai hingga botol itu hancur berkeping-keping. Cairan cokelat keemasan di dalamnya mulai mengalir pelan dan menodai permukaan lantai dapur.

"Apa yang kau lakukan!?" jerit Doppo terengah-rengah. Sial, keadaannya mulai semakin buruk.

"Menghancurkan minuman burukmu," jawab Rei simpel. Dan kemudian, ia menyadari ada sebuah bungkusan berisi serbuk putih tergeletak di dekat Doppo.

Sadar kemana arah pandang Rei, Doppo buru-buru meraih bungkusan itu. Tapi Rei segera menahan pergelangan tangan Doppo. Memaksanya untuk menunjukkan bungkusan kecil itu ke hadapannya.

"Doppo ...," Rei mengenyitkan kening. Perasaannya sakit melihat apa yang dibawa Doppo. "Dari mana kau dapat benda terlarang ini?"

"Bukan urusanmu," jawab Doppo mencoba menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Rei. Namun diluar dugaan, genggaman wanita bertubuh agak pendek itu terlalu kuat untuknya.

Rei menghela napas. Menyambar bungkusan itu dari tangan Doppo tanpa pikir panjang.

"Tidak, jangan itu juga!" henti Doppo memohon dengan sangat.

Tapi Rei lagi-lagi tak memedulikannya. Wanita berambut hitam sebahu itu langsung melesat pergi dari dapur, berniat membuang serbuk putih itu ke closet kamar mandi. Namun, saat dirinya mendengar suara gedebuk di balik punggungnya, langkahnya pun terhenti. Dan dirinya dikejutkan dengan sosok Doppo yang tergeletak tak sadarkan diri.

...

Perlahan, Doppo membuka kedua matanya. Seperti biasa, rasanya berat. Namun kali ini terasa lebih berat dari biasanya.

Akhirnya, matanya terbuka lebar. Tapi karena pencahayaan yang terlalu menyilaukan baginya, ia buru-buru mengarahkan wajahnya ke samping dan menutupi kedua matanya dengan lengannya. Bagaimana pun menghindar dari cahaya menyilaukan itu.

"Matikan lampunya," minta Doppo dengan sangat dan entah kepada siapa. "Kumohon."

Beruntung, seseorang mau melakukan apa yang dimintanya. Entah siapa. Mungkin Hifumi.

"Sudah lebih baik?" tanya seseorang.

Doppo langsung menurunkan tangannya saat mendengar suara itu. Wanita. Nadanya agak rendah dan juga datar. Ia mengenalinya. Dan jelas ini bukan Hifumi.

"Misaki?" Doppo memanggilnya pelan seraya sedikit mengangkat kepala. Mencoba melihat ke sumber suara yang ia dengar sebelumnya.

Wanita yang sebelumnya, tak menyahut panggilan Doppo. Tapi ia melangkah mendekat ke tempat Doppo berbaring, dan duduk di ujung kasur.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Rei.

"Ugh! Kau bau alkohol," gerutu Doppo menutup hidungnya. Aroma alkohol dari Rei terasa begitu menyengat.

"Kau baru menyadarinya?" Rei mengangkat sebelah alisnya, "artinya keadaanmu tadi sungguh parah ya,"

Doppo tak menjawab sesaat. Tapi kemudian, suatu kalimat muncul di benaknya.

"Orang yang jelas habis minum-minum, tidak berhak mengganggu waktu minumku," gerutu Doppo memposisikan tubuhnya agar lebih nyaman.

"Orang yang jelas berniat meneguk whiskey yang dicampur narkoba, tidak berhak mengeluh," balas Rei tidak terima.

Yah ... dia memang tak kalah buruk, tapi masih lebih baik dari Doppo, 'kan?

Doppo berniat membalas, tapi tak tahu ingin membalas apa. Sehingga finalnya, ia mengalah saja.

Keheningan pun tercipta di antara mereka. Rei terlihat sibuk--entah sungguh sibuk atau pura-pura sibuk--dengan ponselnya, sedangkan Doppo hanya diam membaringkan dirinya. Badannya masih terasa tak enak.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," ujar Rei tiba-tiba, tanpa mengalihkan diri dengan ponselnya.

"Yang mana?" balas Doppo tak memandang Rei juga.

"Keadaanmu,"

"Buruk. Minumanku dibuang begitu saja oleh seseorang, dan aku pingsan,"

Rei mengalihkan diri dari ponselnya. Memandang Doppo dengan raut tak yakin.

"Sungguh kau protes soal itu?" keluh Rei tak percaya. Ia baru saja menyelamatkan laki-laki itu, menyelamatkan!

"Tentu saja," jawab Doppo tak ambil pusing. "Kau pikir aku membeli minumanku tanpa uang? Mencurinya begitu saja?"

Rei bungkam. Entah karena tak tahu ingin menjawab apa, atau karena sadar dirinya bersalah. Tidak, dia benar. B.E.N.A.R!

"Dari mana kau dapat barang terlarang itu?" tanya Rei mengganti topik. Kini ia memandang Doppo lurus.

Doppo diam sejenak, dan masih tak menatap Rei. Walau ia sadar, wanita itu tengah menatapnya tajam.

"Bukan urusanmu. Aku sudah bilang, 'kan?" balas Doppo akhirnya.

Genggaman tangan Rei di ponselnya, perlahan menguat. Giginya mengertak di balik bibirnya yang mengatup rapat.

"Doppo kumohon padamu," ujar Rei akhirnya, berhasil menahan dirinya untuk tidak meledak. "Hentikan ini. Aku tak bisa melihatmu terus menyiksa diri sendiri. Lihatlah dirimu, wajahmu. Kau jelas sangat buruk!"

"Dan sudah kubilang, 'kan? Ini sama sekali bukan urusanmu," jawab Doppo masih kuat dengan prinsip bodohnya itu.

"Astaga, Doppo!" Nada bicara Rei meninggi, dan ia beranjak cepat dari duduknya. "Apakah kau tidak sadar aku khawatir padamu?! Aku tidak kuat terus melihatmu merusak di—"

"Apa aku pernah memintamu melakukannya?" potong Doppo. Dan akhirnya, iris biru itu memandang lurus ke arah Rei. "Katakan padaku, Misaki. Kapan aku memintamu untuk menjagaku? Kapan aku memintamu untuk menjadi orang yang setiap saat harus menjaga kondisi tubuh maupun mentalku? Kapan aku memintamu untuk menghancurkan minumanku saat aku lepas kendali? Kapan? Kapan!?"

Rentetan pertanyaan itu sukses membuat Rei kehilangan kata-kata. Kapan? Benar, sejak kapan ia peduli?

Ia bertemu Doppo--juga sahabatnya, Hifumi--sekitar setahun yang lalu karena sebuah ketidaksengajaan. Dan tanpa mereka duga, pertemuan tidak disengaja itu terus berlanjut hingga penghujung tahun 2019 ini. Walau hubungan mereka hanyalah teman dekat yang tak jarang dihadapi lika-liku, mereka tetap saling berhubungan.

Tapi Doppo benar. Meski Doppo selalu membiarkan Rei melihat dirinya meneguk minuman--begitu pula sebaliknya--pria itu tak pernah meminta Rei untuk menjadi teman pendampingnya. Menjadi orang yang menjaga dirinya untuk menjauh dari minuman beralkohol ataupun narkoba. Tidak sekalipun.

"Kenapa diam?" ujar Doppo seolah menantang Rei. "Jawab aku. Kapan aku pernah memintamu melakukan hal semacam itu?"

Rei membuka mulutnya pelan. Tapi saat dirinya hendak mengutarakan apa yang dipikirkannya, ponselnya bergetar. Membuat dirinya mengatup mulutnya lagi.

Ia mengangkat ponselnya, melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Dan saat ia melihat nama itu, wajahnya seketika berubah serius. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan Doppo begitu saja dengan menyisakan sebuah hutang jawaban dari pertanyaan laki-laki itu.

...

"Ini targetmu," pinta seorang pria melempar map hitam ke atas meja di depannya.

Rei mendelik kala melihat map tersebut. Hitam. Artinya hanya satu.

Rei mendekati meja, meraih map tersebut dan membukanya. Mulai membaca sebuah biodata dari seorang pria. Lengkap dengan fotonya.

Namun, saat dirinya membaca biodata serta informasi yang didapat kelompoknya, hati Rei terasa jatuh ke jurang terdalam. Ditambah foto dari targetnya, itu membuat hati Rei semakin jatuh lebih jauh.

'D-Doppo?' batin Rei tak percaya. 'Doppo ... adalah salah satu petinggi kelompok yakuza Matenrou? Bohong, 'kan?'

"Matenrou ini ... mereka mulai berani melakukan tindakan lebih gila," jelas Boss Rei tiba-tiba. "Dia memang sudah berada di wilayah yang sama dengan kita sejak lama, tapi semakin lama, tindakan mereka semakin gila. Terutama, penyeledupan narkoba ke para anak muda, bahkan anggota kita yang terlalu polos,"

'Narko ... ba ...?' batin Rei lagi. Bohong. Ini bohong.

Mereka sudah saling kenal selama setahun, mustahil Doppo berhubungan dengan kelompok Matenrou. Jika pun benar, bagaimana bisa itu tidak diketahui Rei sedikit pun? Mau sehebat apapun Doppo menyembunyikannya, Rei pasti bisa menemukannya. Karena dia adalah assassin yang hebat.

Tapi, kenapa kali ini ia tidak bisa?

"Kannonzaka Doppo ini ...," ujar Rei kemudian, "aku mengenalnya,"

"Benarkah?" sang Boss tampak berbinar. "Kalau begitu ini akan lebih mempermudahmu, 'kan?"

Dalam hatinya, Rei mengutuki misinya kali ini. Dari sekian banyak target yang ada di Shinjuku maupun luar Shinjuku, kenapa harus Doppo? Kenapa harus laki-laki itu? Ia sudah mengalami banyak hal berat, sama seperti dirinya sendiri. Tapi kenapa, finalnya mereka harus berada dalam situasi seperti ini?

That's right. This world is sucks. Really, realy sucks.

"Apa jawabanmu, Misaki?" tanya sang Boss, membuyarkan pikiran Rei begitu saja.

"Bunuh dengan cepat agar ia mati dengan tenang." Jawab Rei dengan yakin.

Fuck.

...


Malam telah datang. Artinya, ini adalah waktu yang tepat untuk menjalankan misi.

Itulah yang biasanya Rei lakukan.

Tapi nyatanya, kali ini ia tidak melakukan itu. Misaki Rei justru terlihat baru saja keluar dari sebuah bar dengan keadaan mabuk berat. Jangan salahkan bar-nya, salahkan Rei karena tak bisa menahan diri untuk minum saat dirinya sedang dihadapkan masalah.

"Doppo. Misi. Doppo. Misi," Rei mulai bergumam tanpa henti. Pikirannya dilanda pilihan antara misinya atau Doppo.

Tunggu. Kenapa Doppo? Apa pedulinya soal laki-laki itu? Bukankah dia sendiri mengatakan bahwa apa yang dialaminya bukan urusan Rei? Artinya itu bukan masalah, 'kan? Itu bukan masalah jika ia membunuhnya malam ini, 'kan?

Ya, 'kan?

Tapi kenapa, air mata justru mengalir dari kedua mata Rei?

Wanita itu menggeleng. Bersandar pada dinding yang bisa digapainya karena ia tahu, dirinya sudah tak kuat untuk sadar secara penuh.

"Kannonzaka Doppo," bisik Rei dengan suara parau. "Yakuza Matenrou. Kenapa? Kenapa harus dia?"

Rei tanpa sadar jatuh berjongkok. Kepalanya tertunduk hingga keningnya bertemu dengan kedua lututnya.

"Oh kamisama ... tasuketekudasai."

...

"Doppo," panggil Rei.

Seminggu telah berlalu semenjak Rei menerima misi membunuh Doppo. Dan sudah seminggu juga, ia terus beralasan pada Bossnya agar bisa menyelamatkan Doppo dari kematiannya.

Namun, mau sebagus apapun alasannya, Rei sadar bahwa ia tak bisa selamanya berbohong. Ia tak bisa terus berdalih.

"Hm?" Doppo terlihat tengah sibuk menggarap tugas rumah pekerjaannya, sehingga laki-laki itu hanya membalas panggilan Rei dengan deheman.

"Tolong pergi dari Shinjuku," pinta Rei.

Mendengar itu, gerakan tangan Doppo terhenti. Dan ia menoleh ke arah Rei. Menatap wanita itu dengan heran.

"Kenapa?" balas Doppo bertanya balik, "selain itu, Hifumi belum tentu setuju. Apa kau sudah bertanya padanya?"

"Tidak, jangan katakan pada Izanami," balas Rei menggeleng, "hanya kau. Sendirian. Sekarang juga."

Doppo menyipitkan mata, menatap Rei curiga.

"Aku ... tidak mau," ujar Doppo menolak pelan, "aku sudah nyaman di Shinjuku,"

Pada detik itu, Rei mengumpat dalam hati.

"Doppo-san, onegai," minta Rei dengan sangat. "Kali ini saja, tolong ... tolong penuhi permintaanku."

Doppo diam. Tapi pikirannya jelas memikirkan permintaan Rei. Sebelum akhirnya ia menjawab dengan singkat.

"Tidak mau." Jawab Doppo masih bersikukuh dengan pendiriannya.

...

Rei membuka pelan kedua matanya. Tubuhnya terasa sakit, seluruhnya. Rasanya seperti tertusuk dengan ratusan jarum disetiap bagian tubuhnya.

"Kau gagal dalam misi," ucap seseorang.

Meski dalam keadaan setengah sadar, Rei sadar siapa pemilik suara itu dan apa yang tengah dibahasnya.

"Begitu? Sayang sekali," jawab Rei berpura-pura menyesal. Walau dalam hatinya, ia merasa senang.

Ia gagal membunuh Doppo. Entah bagaimana kejadiannya, ia tak ingat. Tapi tidak masalah, asalkan Doppo bertahan hidup, ia tak keberatan misinya gagal. Ia tak keberatan dirinya akan diberi hukuman setelah ini.

Selama Doppo masih hidup. Ya, itu yang ter—

"Dan seseorang sudah menggantikannya," ujar Boss Rei melanjutkan.

Mendengar itu, Rei langsung menoleh ke sisi kanannya. Dimana Bossnya tengah duduk di sebuah kursi sambil memandang ke arahnya.

"Kannonzaka Doppo, anggota terakhir sekaligus petinggi terakhir dari kelompok Matenrou, berhasil dibunuh," jelas Bossnya dengan santai.

'Apa?'

"Ah, tidak. Ketimbang dibunuh, mungkin lebih tepat dikatakan bunuh diri," koreksi laki-laki di dekat Rei.

Rei berusaha keras meneguk salivanya. Entah kenapa, itu terasa sulit sekali dilakukan.

"K-Kannonzaka Doppo ... bunuh diri?" tanya Rei memastikan. Tapi perasaannya sudah hancur tak karuan.

"Kau tak ingat? Dia jelas menembakkan kepalanya dengan pistol," sang Boss menunjuk pelipisnya dengan telunjuknya. "Tepat di sini."

Rei kemudian hanya diam membisu. Pikirannya sudah kacau. Ia sendiri bahkan tidak yakin apakah jiwanya masih berada di sana.

"Yah, entah apa maksudnya ia melakukan itu, yang penting dia sudah mati," ujar sang Boss beranjak dari duduknya. "Dengan tewasnya Kannonzaka Doppo, maka tak ada lagi yang tersisa dari kelompok yakuza Matenrou. Wilayah Shinjuku, sepenuhnya milik kita."

Wanita itu masih tak menyahut. Jangankan membalas, mendengarkan saja tidak. Jiwanya benar-benar sudah terputus dari tubuhnya.

"Lalu, soal tindakanmu yang justru menyerang kelompok sendiri, akan kuanggap sebagai tindakan labil," sambung pria tersebut bersiap pergi. "Mungkin kau diancam oleh Kannonzaka Doppo dengan sesuatu, atau entahlah. Yang pasti aku memaafkanmu kali ini. Jadi sekarang, beristirahatlah."

Dan sedetik kemudian, suara pintu yang ditutup terdengar jelas dari kamar tersebut. Tapi lagi-lagi, Rei tak mempedulikannya.

Beristirahat? Beristirahat untuk apa? Memang ia sudah berbuat apa?

Oh benar. Ia sudah melindungi seseorang. Seorang teman, namun jauh di dalam lubuk hatinya sudah ia anggap sebagai keluarga.

Kannonzaka Doppo. Laki-laki pecandu alkohol dan obat-obatan itu sama dengannya.

Mereka mirip. Mereka sama rusaknya. Dan mungkin karena alasan itu, Rei tak bisa melepas diri dari Doppo.

Tapi kali ini, ia terpaksa--sangat terpaksa--melepaskannya. Dan itu menyakitkan.

Jauh lebih menyakitkan dari luka yang diterima tubuhnya.

•••

Please don't kill me because this story.
Percayalah, ini tidak terlalu menyedihkan dengan yang sebelumnya. Mungkin :v

Maaf jika OC-mu dan Doppo jadi OOC. Dengan bahan seadanya dan ingatan dari tingkah OC-mu di cerita fanfiksi sebelumnya, semoga ini tidak terlalu OOC.

Hope you like it :)
And remember, don't kill me :v

Sincerely,
Shizu Reiku

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro