Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 - Menetap atau Beranjak?

vomentnya dulu dong. uhuy!

bismillahirrahmanirrahiim... 

🍁🍁🍁

Jun Ki memacu mobilnya kencang, menjauh dari Sangji Ritzville, semakin menjauh keluar dari kota Gangnam yang tetap padat meski sedang turun salju.
Para penghuni kota Gangnam terlihat gembira menyambut turunnya salju pertama, banyak dari mereka yang mengucap permohonan, mereka percaya permohonan yang diucapkan pada salju pertama akan terwujud. Tak sedikit pula yang memanfaatkan turunya salju sebagai waktu yang tepat untuk bermesraan. Mereka adalah anak-anak muda yang penuh energi cinta, beberapa dari mereka saling menyatakan cinta pada pujaan hatinya. Menyatakan cinta pada orang yang disukai saat salju pertama konon akan terbalaskan dan cintanya abadi, begitu katanya.

Salju memang selalu identik dengan sesuatu yang romantis. Setidaknya begitu yang Namira rasakan.
Ini salju pertama yang dilihatnya langsung. Hujan salju yang benar-benar turun didepan kedua matanya.
Sepanjang jalan ia menatap keluar jendela mobil, butir-butir salju masih terlihat melambai-lambai lalu mendarat lembut pada setiap benda di sekitar jalanan.

Salju pertama. Bersama orang yang kucinta.

Tak tertahan. Namira akhirnya melontarkan kalimat itu dalam hatinya.
Situasinya terlalu berat untuk mengubur segala bentuk rasa sukanya pada Jun Ki sedalam yang ia bisa. Tidak. Ia memang tidak bisa.
Meski baru saja ia melihat Jun Ki dengan buasnya menyerang keluarganya. Mengamuk sejadi-jadinya,
meski Jun Ki mengingatkannya pada Azrina.
Tetapi berada tepat disamping Jun Ki, di tengah kota Gangnam, saat salju pertama itu sudah cukup membuat alam bawah sadar Namira kembali mengimpikan hal yang sejak dulu didambakannya.

Jun Ki masih sama, ia masih menawan. Dengan lengannya yang gagah, dan sorot matanya yang tajam menyetir mobilnya terlihat penuh konsentrasi.
Namira tahu betul, Jun Ki tidak sepenuhnya fokus menyetir. Ia bisa menangkap ada sinar di mata Jun Ki yang tajam itu, seperti kobaran api yang menyala oleh dendam luka masa lalunya.
Kau tahu kan? Bagaimana rasanya melihat orang yang begitu kau cintai terluka dihadapanmu? Seberapa besar keinginanmu untuk menghapus lukanya?
Begitupun Namira.
Ia berharap bisa menjadi seseorang yang meredam api yang berkobar hebat di mata dan hati Jun Ki, kini dan selamanya.

"Hey! Namira! Sadarlah! Jun Ki kini adalah pria beristri. Bahkan istrinya adalah sahabatmu sendiri. Apa kau gila?!"

Sesuatu yang keras menghentak Namira dari dalam dadanya. Bergemuruh lalu menghantamnya.

"Ugh!" Namira tersedak.
Memecah keheningan yang sejak tadi terasa mencekam dalam mobil Jun Ki. Dan akhirnya membuka percakapan mereka.

"Kamu gapapa?" Jun Ki bersuara, tanpa memalingkan kepalanya dari jalan.

"He eh, iya gapapa kok.. oppa gimana? Sepertinya tadi..."
Oppa! Sial. Aku ga tau harus manggil dia dengan sebutan apa!
Jawab Namira, disusul umpatannya dalam hati.

"Mm. Maaf soal tadi, ya, anggap aja tadi kamu lagi nonton drama, gak usah diambil hati apalagi diingat-ingat.." Jun Ki menjelaskan. Lebih tepatnya mencoba menenangkan.

"Nonton drama?! Tontonan apa yang bisa bikin orang yang nonton terlibat ikutan main drama juga? Tiba-tiba ditarik-tarik trus diakuin jadi istri? Ternyata cuma drama? Ini gue lagi apa sih ya Allaaaahhhh"

Lagi-lagi Namira sibuk sendiri dengan hatinya. Jujur saja, jauh didalam hatinya terbersit sedikit bahagia saat Jun Ki dengan gagahnya datang bagai pangeran berkuda putih meraihnya, melindunginya lalu mengumumkan dengan lantangnya dia sebagai istri Jun Ki.
Sedikit.
Ah, sedikit banyak.
Hm, atau mungkin itu adalah saat paling bahagia bagi Namira?
Meski memang ia sangat terkejut, namun tidak butuh waktu lama ia menyadari secercah bahagianya itu. Tak selama waktu yang dibutuhkannya untuk mencerna dan mengingat lagi, bahwa Jun Ki saat ini sudah tidak berhak untuknya lagi. Ya, karena memang tidak pernah berhak untuknya.

"Jadi, gimana Korea?"
Jun Ki menyadarkan Namira dari lamunannya yang asyik berdrama.

"He eh, so far so good" Jawab Namira
"Oppa ngapain ke Korea?" Sambungnya, balik bertanya.

"Kamu mau dijawab apa? Aku mencarimu, atau aku ada urusan penting, yaitu menemukanmu?"
Jawab Jun Ki yang seketika melambungkan Namira. Terlihat Jun Ki tersenyum kecil di akhir kalimatnya, benar-benar membuat Namira melayang, menari bersama butiran salju yang tertiup angin.

Bagaimana Jun Ki bisa mengatakan itu?
Apa yang dipikirkannya?
Tidakkah ia mengingat, Azrina lah yang mati-matian mencari Namira kesana kemari?
Sesungguhnya, niat Jun Ki hanya agar Namira tenang dan melupakan kejadian di rumah ayahnya tadi. Tapi caranya salah, ia justru membuat Namira kembali menggali koin impiannya yang tercecer dalam serpihan duka dari Jun Ki sendiri.

Dia mencariku? Seberapa penting aku baginya hingga mencariku sejauh ini?

Namira kehilangan akal sehatnya. Beberapa saat ia lupa. Benar-benar lupa akan Azrina.
Ia hampir saja melonjak kegirangan, bercerita dengan ceria segala suka duka nya selama di Korea pada Jun Ki saat ponsel Jun Ki tiba-tiba berdering.

Habibaty 💗

Begitu tulisan yang bisa dilihat sekilas oleh Namira dari layar ponsel Jun Ki.
Tulisan berhuruf arab yang berarti "cintaku" itu mengembalikan kesadarannya.

Azrina. Itu Azrina!

Namun dadanya kemudian bergemuruh menjadi orang ketiga yang menyimak kemesraan Jun Ki dan Azrina lewat telepon.

"Waalaykumsalaam warahmatullah... Iya, sayang... maaf aku belum sempat memberi kabar, iya ini lagi di jalan ke rumahku"
Jun Ki yang sejak tadi terlihat menakutkan, kini berubah menjadi sumringah. Seperti balita yang diberi permen cokelat. Sama sekali ia tidak menghiraukan kehadiran Namira yang duduk di sebelahnya.

"Mmm, aku tidak yakin apa aku bisa makan kalau tidak sama kamu..."

"Hihh laki-laki tukang gombal!" Namira merutuk dalam hati. Ia bisa menebak, Azrina mengingatkan Jun Ki agar tak lupa makan. Ia benar-benar tak tahan. Andai saja ia bisa menghentikan mobil ini lalu menumpang taksi saja.

"Udah ketemu sama ayah oppa?" Tanya Azrina.

Jun Ki ingat, ia pamit ke Seoul pada Azrina dengan alasan untuk urusan penting, ia harus menemui ayahnya.

"Iya, udah ketemu. Dia sehat, alhamdulillah"

"Azrina nanyain aku? Masih ingat dia sama aku?" Namira makin membuka telinganya lebar-lebar.
Menguping memang selalu berakhir buruk, kawan.

"Dia nanyain kamu, Yang. kenapa kamu nggak diajak, haha" Kali ini Jun Ki tertawa renyah. Sesuatu yang tidak pernah dilihat Namira sebelumnya.

"Bohong. Aku sama sekali belum menyinggung soal Azrina. Bagaimana dia bisa bohong tentang aku menanyakan kabarnya? Trus mereka ngetawain aku gitu? Oh please, Jun Ki stop.. jangan tertawa sekeren itu..."

Kayanya kalo mobilnya ditabrakin seru nih. Namira kebanyakan makan mecin 👻

"Iya, bidadariku.. jangan lupa doain oppa yaa, doamu yang akan jagain oppa disini, disini sekarang jam 8 malam. Cukuplah, insyaAllah bisa sampai rumah pas kamu lagi makan malam. Nanti kita videocall-an makan bareng, oke?" Kalimat Jun Ki dibuat semanis-manisnya.

"Bleh, bleh, bleh.." kekesalan Namira memuncak.

"Baik-baik ya, anak shalihah, assalamualaikuuum"

"Waalaikumsalaam.." suara Azrina dari seberang.

"Eh tunggu dulu.." Jun Ki masih enggan menutup teleponnya.

"Apa lagi, oppa?" Tanya Azrina lagi.

"Bogosipeosseo.. neomu neomu.." kali ini suara Jun Ki terdengar sedikit berbisik halus, namun berat dan tegas Bahkan Namira bergidik mendengarnya. Namira yakin, wanita manapun yang mendengarnya pasti akan terlena.

Duh. Namira, terlena aja sendiri, gausah ngajak-ngajak.

Telepon ditutup. Jun Ki yang manis tadi berubah dingin lagi. Kembali fokus menyetir.

Yaampun. Orang ini berkepribadian ganda atau gimana ya?
Namira sampai bingung dibuatnya.

"Ekhem. Tadi itu Azrina ya, oppa?" Tanya Namira

"Eh? Oh. Iya. Itu Azrina. Dia kirim salam buat kamu." Jun Ki menjawab

"Bohong!"

"'Alaina wa 'alaihassalam" balas Namira datar.

"Jadi gimana tadi, kamu kenapa bisa ada disini?" Tanya Jun Ki. Ia benar-benar ingin tahu.

Namira menjelaskan panjang lebar.
Termasuk pertemuannya dengan Yoon Jae yang ternyata adalah saudara tiri Jun Ki. Lalu Yoon Jae mempertemukannya dengan tuan Lee, ayah kandung Jun Ki. Seorang konglomerat yang kekayaannya tak akan habis hingga kehidupan berikutnya.

"Kamu tahu mereka berbahaya kan?"
Jun Ki mulai lagi.

"Kurasa mereka baik-baik saja. Bahkan ayahmu memperlakukanku dengan sangat istimewa." Sanggah Namira

"Itu cuma kemasan... Jangan mudah percaya. Mereka sekelompok penjahat dengan keahlian masing-masing"
Jun Ki menghembuskan nafas berat.

"Tapi apa yang aku lihat..."

"Sudahlah. Yang penting sekarang aku sudah disini. Kamu aman bersamaku. Kupastikan kau takkan bertemu mereka lagi."
Jun Ki menutup pembahasan tanpa titik koma lagi.

Mereka akhirnya tiba di kediaman Jun Ki. Rumah masa kecilnya. Rumah mewah yang berdiri anggun bertema modern-klasik, membuatnya tidak terlihat seperti rumah tua yang menyimpan sejuta kenangan kebahagiaan keluarga Lee sejak Jun ki masih dalam kandungan, dan menjadi saksi terbentuknya dendam dalam diri Jun Ki.

Ada sesuatu yang menghujam dalam diri Jun Ki saat berdiri di depan rumahnya ini.

Sekertaris Kim, sekertaris presdir Lee sekaligus kepercayaan keluarga mereka yang sejak dulu menjaga dan memenuhi kebutuhannya menyambutnya penuh sukacita. Dia dan keluarganya sejak dulu tinggal bersama Jun Ki di rumah ini. Bahkan saat Jun Ki telah meninggalkan rumah setelah wafatnya Tiffany, Sekertaris Kim serta anak dan istrinya tetap dirumah ini, menjaga dan merawatnya. Jun Ki menyebutnya Kim Ahjussi. Dia juga yang selama ini membantu mengurus segala kebutuhan Jun Ki dimanapun ia berada. Bagi Jun Ki, Kim ahjussi lebih berharga dari ayahnya sendiri.

"Aigoooo... uri adeul.." Sung Ahjumma, istri sekertaris Kim, kepala pelayan rumah Jun Ki muncul dan segera memeluk Jun Ki. Airmatanya mengalir tak tertahan. Seperti seorang ibu yang menemukan anaknya yang telah lama hilang.

"Apa kau hidup dengan baik selama ini, anakku? Lihatlah betapa kurusnya dirimu.. aigoooo.."
Sung Ahjumma mengusap-usap punggung Jun Ki tiada henti, sesekali ia mengelap air matanya dengan ujung lengan bajunya.

"Aku baik-baik saja ahjumma. Gwaenchanha.. karena telah mengkhawatirkanku, gamsadeurilkkeyo.."
Jun Ki menggenggam tangan ahjumma. Baginya sepasang suami istri paruh baya ini lah malaikat kehidupannya. Yang selalu ada di hari-hari menyedihkannya dengan sang adik ketika ayahnya justru berbahagia bersama keluarganya yang baru.

"Ahjumma, tolong siapkan kamar Tiffany untuk tamuku." Pinta Jun Ki pada Sung Ahjumma

"Andwae! Siapapun tidak boleh memakai kamar Tiffany!" Seorang pemuda yang lebih muda dari Jun Ki tiba-tiba muncul dengan mengacaukan suasana. Kim Hyung Sik. Putra sekertaris Kim dan Sung Ahjumma. Wajar dia tak membolehkan siapapun memasuki kamar Tiffany yang didalamnya masih terjaga, sama persis seperti saat Tiffany masih disana. Karena Hyung Sik lah satu-satunya teman bagi Tiffany. Teman sebayanya, yang bermain bersamanya saat Jun Ki sekolah atau sedang tak di rumah. Hyung Sik orang yang paling dekat dengan Tiffany. Jika Jun Ki adalah sayap bagi Tiffany, maka Hyung Sik adalah sayap yang satu lagi. Begitu kira-kira. Dia yang bersikeras mempertahankan kamar Tiffany agar tak dibongkar ataupun diubah sedikitpun.

"Ya, Hyung Sik-ah! Begini caramu menyapa Hyeong?" Jun Ki menyela

"Ah! Molla! Hyeong, pilih kamar mana saja asal bukan kamar Tiffany, oh?"
Hyung Sik tetap fokus, tak berniat untuk mengubah topik pembicaraan. Jun Ki sedikit terkejut melihat Hyun Sik kini berubah menjadi pemuda tampan berpostur ideal, hanya saja sifatnya masih sama seperti waktu kecil dulu.

"Untuk apa kau menjaga kamar itu sepenuh hati? Bahkan Tiffany takkan mengingatmu disana lagi" Jun Ki masih membujuknya.

"Terserah, hyeong. Setidaknya aku mewujudkan satu permintaan Tiffany sebelum dia pergi. Tak ada seorangpun yang boleh kuizinkan masuk ataupun mengubah kamar Tiffany kecuali orang spesial. Itu pesannya"

Seisi rumah tertawa. Namira pun tertawa kecil. Lelaki ini meski terlihat dewasa tapi sungguh dia bersifat kekanak-kanakan sekali.

"Dia orang spesial, Sik-ah. Wanita ini istrinya hyeong, tau." Sung Ahjumma menjelaskan. Rupanya ia sudah tau kabar pernikahan Jun Ki dan Azrina. Tapi ia tak tahu yang dibawa Jun Ki saat ini adalah bukan istrinya, tapi Namira.
Hampir saja ditegur oleh Kim Ahjussi, namun Jun Ki mencegahnya, situasi ini sepertinya akan baik untuk dimanfaatkan.

"Heolll, daeebakkk! Apa hyeong putus asa mencari wanita hingga menikahi wanita sepertinya?"

Namira tidak mengerti apa yang diucapkan Hyung Sik pada Jun Ki, tapi dengan cara Hyung Sik menatapnya yang mengejek sekali, Namira yakin Hyung Sik membicarakan tentangnya bahkan merendahkannya.

Aku gak suka cowok itu!

Segera Namira menemukan kesimpulan.

"Sudahlah, siapkan kamarnya." Kim Ahjussi menengahi.

"Andwaeeeeeee!!!"
Hyung Sik bersikeras.

"Kalau dia istrimu, tidur saja dikamarmu. Kenapa dia harus tidur di kamar Tiffany?!" Lanjutnya lagi. Sangat berapi-api.

"Arasseo, ara! Namira, ayo ke kamarku." Jun Ki akhirnya mengalah.

Namira membelalak seketika, namun tetap berjalan mengikuti isyarat Jun Ki menuju kamar.

"Masuklah, disini kamu aman. Istirahatlah.. kau sudah makan, kan?"
Ujar Jun Ki.

"Terima kasih.." jawab Namira.
Ih masa dia ga ngajak makan, aku kan masih laper? Oh iya dia pasti mau makan bareng istrinya lewat video call. Eww. Melelahkan.

"Oppa..."
"Ya?"
"Aku disini? Trus oppa gimana?"
"Kamu tidak berpikir kita akan tidur satu kamar kan? Haha. Banyak kamar kosong disini. Tenang saja. Hahaha"
Ditertawai Jun Ki membuat Namira memoncongkan bibir.

Apa yang diinginkan takdir hingga membuatku berakhir disini? Lihai sekali ia mempermainkanku. Saat aku perlahan hendak beranjak, seolah takdir mengajakku untuk menetap.
Kini aku dihadapkan pada sebuah persimpangan dalam bimbang, menetap atau beranjak?

🍁

Jun Ki membuka pintu sebuah kamar. Jemarinya bergetar terdengar bunyi gagang pintu juga ikut bergetar.
Jun Ki memasukinya. Kamar itu masih hangat seperti dulu. Kamar ibunya.
Dikamar ini ia selalu lelap dalam dekapan ibunya, hanya bertiga. Disini ia bisa melihat seberapa sering ibunya berusaha menyembunyikan airmata yang mengalir sebab luka yang didapatkan dari sang ayah.
Dikamar ini ia melepas ibunya, pergi untuk selamanya.

Tak banyak yang berubah. Setiap sudut kamar, setiap benda didalamnya memunculkan satu persatu kenangan bersama ibu dalam benaknya.

Foto ibunya pun masih ada disana. Tersenyum jelita. Bersama Tiffany kecil dan dirinya yang tertawa ceria memakai jas putih dokter kebesaran bertuliskan nama ibunya.

Airmatanya tumpah.
Ia benar-benar menangis seperti bayi.

"Eomma... eommaaa, aaah.. eommaaaaaaa..."

Ia menangis sejadi-jadinya, meringkuk di lantai sambil tangannya mendekap erat bingkai foto yang memunculkan ingatan masa lalunya yang bahagia. Namun menjadi bom peledak airmata saat ini.

Suatu sore sepulangnya dokter Song bertugas di rumah sakit miliknya. Ia tetap mengurus rumah dan keluarganya dengan sempurna. Tiffany kecil ditimangnya penuh kasih sayang, ia sedang bermain bersama Tiffany ketika Jun Ki datang mengenakan jas dokter milik ibunya. Stetoskop pun menggantung di lehernya.

"Omooo, uri Jun Ki euisanim.." sambutnya. Begitu teduh. Suaranya amat lembut.

"Aku ingin jadi seperti eomma.." ucapan Jun Ki kecil mengundang senyum di wajah ibunya.

"Jun Ki-nya eomma ingin jadi dokter ya? Anak pintar. Belajar yang baik ya, suatu hari kau akan mendapatkan jas doktermu sendiri. Disini, disini akan tertulis namamu, Lee Jun Ki, uri chakhan adeul. Yang ini milik eomma, kau bisa baca, ini nama eomma kan, bagaimana kita membacanya?"

"Song Eun Hye, uri saranghaneun eomma"

"Aaa, hahaha, eomma do saranghaeee.." Sang ibu memeluk erat putra putri kecilnya,

Lalu sang ayah muncul dengan kamera,
"Ayo semuanya, kimchiiiiii..."

Kebahagiaan itu masih abadi, tergambar jelas dalam foto, wajah-wajah ceria tersenyum tanpa duka. Siapa yang tahu cerita pada episode selanjutnya, berubah menjadi kisah kelam yang mengenaskan. Yang sanggup mengubah bahagia masa lalu menjadi sesuatu yang menyesakkan dada. Sesuatu yang amat dirindukan namun semakin menambah duka.

Jun Ki semakin meraung.
Ia terus memanggil-manggil ibunya.
Seluruh wajahnya memerah. Darahnya seolah berkumpul disana. Pertanda luapan emosi yang dahsyat, namun tertahan ditengah kerongkongan.

"Eommaaaaaaa!! Eommaaaaaa.. haaa.. haaa.. eomm... maaaaa....."

"Aku pulang eommaaaa.. putra eomma mendapatkan jas dokternya sendiri, eommaaaa.. lihat eommaaaa.. putramu sudah dewasa..."

Jun Ki menangis tiada henti, hingga tertidur meringkuk bersama 'ibu dan adiknya'.

🍁

Sementara itu, di keheningan akhir malam, istri Jun Ki sedang khusyuk bersujud diatas sajadahnya.
Sesekali terdengar isak dari nafasnya.
Sujudnya lama sekali. Seperti memohon sesuatu yang sangat penting pada Allah. Sesuatu yang sangat berharga yang rela ditukarnya dengan apapun juga.

Dalam sujud itu, Azrina menceritakan kejadian siang tadi pada Rabbnya yang Maha Tahu, tapi senang jika hambaNya tetap mengadu.

Siang tadi, saat jadwal rutinnya check up, sesuatu yang sudah diterkanya benar-benar terjadi saat ia menyodorkan selembar hasil foto ultrasonografi yang memperlihatkan tumbuhnya janin dalam rahimnya.

Dokternya terperanjat.

"Azrina. Kau tahu sendiri ini bahaya."

"Tapi, dok... aku sangat menginginkannya... mungkin ada cara untuk mempertahankannya?"

"Tidak, tidak. Ini terlalu berbahaya untukmu, sayang..."

"Aku akan melakukan apapun, dok. Tolonglah.."

"Tidak bisa, bayi ini akan membahayakan dirimu. Untuk saat ini kau masih bisa bertahan di awal kehamilan. Tapi seiring tumbuh kembangnya janin, di kehamilan trimester kedua tak ada jaminan kamu akan baik-baik saja. Bahkan bisa sampai trimester ketiga pun mustahil, Azrina."

"Gapapa dok, aku akan bertahan semampunya."

"Jangan terlalu lelah. Belakangan ini kegiatan apa yang kamu lakukan sampai jadi kambuh begini?"

"Ga berat kok, dok.. cuma cari teman yang hilang..."

"Eh, penyakitmu bukan penyakit ringan Azrina. Jangan disepelekan. Suamimu sudah tau?"

"He eh, belum. Dokter jangan bilang ya?"

"Hmpff. Oke. Tapi saya akan bilang ke dokter Ali kalo kamu sama sekali tidak boleh beraktifitas, bahkan bergerak. Kita akan lihat dua bulan lagi perkembangannya, saya juga akan berkordinasi dengan dokter kandunganmu mengenai kasus ini. Well, semoga ada berita baik.."

Yaa Robb.. sesungguhnya aku ridha atas segala keputusanmu terhadapku. Aku tak pernah menginginkan sesuatu lebih besar dari ini, ya Allah. Izinkan aku menjaganya. Sesungguhnya kabar gembira ini adalah datang dariMu, maka sempurnakanlah, ya Allah..
Meski harus kutukar dengan diriku..

Amin...

Doa itu melayang menembus langit menjelang fajar.
Terus melesat hingga ke langit tertinggi, menuju arasy ilahi.
Semoga ada kabar gembira yang diturunkan Allah setibanya doa Azrina disana..

🍁🍁🍁🍁

To be continued.

Gimana kelanjutan Jun Ki & Namira di negeri Ginseng? 
Apa sebenarnya rahasia dendam Jun Ki selama ini?
Akankah Namira yang berhasil menyembuhkan luka Jun Ki?
Kejahatan apa yang dilakukan Presdir Lee pada keluarganya?
Apa sebenarnya penyakit Azrina?

Get the answer on the next episode. Stay tune!

Thanks for voting,

Lots of love, 💗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro