6 - Aku hanya ingin mencintai...
Oyuhuuuu... semangat kamis maniiis, Assalamu alaikum, everyone! wish u all stay safe and healthy..
oke update sekarang, karena mau ada pemadaman listrik dari jam 9 sampai gatau kapan haha
langsung aja ya, dont forget bismillah.. dan voment nya manaaa?
ohyes, mulmednya play ya, (Kasih-kekasih _ Inteam)
***
Namira masih meringkuk diatas tempat tidurnya.
Tak bersemangat untuk melakukan apa-apa.
Rasanya separuh jiwanya telah hilang bersama berlabuhnya bahtera Jun Ki dan Azrina.
Tidak.
Bukan separuh, tapi seluruh.
Namira selalu begitu. Dia memang ceria, namun saat terluka ia akan sangat terpuruk. Entahlah, trauma masa lalu membuatnya selalu diliputi ketakutan ketika harus berhadapan dengan kesedihan, lagi.
Hatinya sesungguhnya rapuh meski ia terlihat tangguh.
Ia belum mampu berprasangka baik pada setiap ketetapan Allah pada dirinya, sekalipun ia telah memahami dan mencoba, jiwanya masih belum seluas samudera untuk menghadapi dengan senyuman keikhlasan.
Terlebih saat ini.
Tak ada yang lebih sakit dari hal ini.
Bahkan disiksa oleh ayah tirinya, menyaksikan adik-adiknya tewas didepan matanya dan hampir saja nyawanya pun ikut melayang ditangan ibunya sendiri, tak sebanding dengan rasa sakit karena pernikahan Jun Ki dan Azrina.
Semuanya terjadi begitu tiba-tiba hingga ia tak mampu menemukan sisi baiknya.
Yang ia pastikan hanyalah, Azrina mengkhianatinya.
Dua tahun lalu.
Saat pertama kali berkenalan dengan Jun Ki, hari-harinya terasa seperti dihujani es krim vanila. Sejuk dan manis.
Ia sadar, ada jarak antara dirinya dan Azrina sejak itu. Tapi itu bukan kesalahannya. Jika saja Azrina bisa sedikit melembut dan memahami seseorang yang sedang jatuh cinta sebaiknya jangan dikekang. Setidaknya itu menurut Namira.
Padahal Azrina tidak tahu apa-apa. Namira lebih dulu diliputi rasa takut untuk menceritakan hubungannya dengan Jun Ki pada Azrina. Awalnya memang ada sedikit perdebatan dalam dirinya, namun semakin mengenal Jun Ki, semakin ia merasa Jun Ki lah alasan ia bertahan hidup. Dan ia tak lagi merasa bersalah atas apa yang dilakukannya, bahkan menikmatinya.
"Namira, mandi yuk!" Sahut Azrina dari pintu laboratorium komputer tempat nongkrong favorit Namira belakangan ini.
"Ntar.. Nanggung.." Namira terkejut dan cepat-cepat mengganti tab di layar komputernya dari Mail menjadi Blog. Huft. Dimana-mana orang yang berbuat salah pasti dihantui ketakutan, tentu saja..
"Yaudah aku tunggu ya. Cepetan." Azrina masih berdiri di pintu. Sejak dulu sudah kebiasaan mereka selalu bersama, bahkan mandi pun mereka pergi bersama. Tapi pastinya tidak mandi berdua dalam satu bilik, dong.
"Duluan ajaaaaa, bawel ah."
"Ih, sepi.. anak-anak udah pada masuk kelas. Ga ada siapa-siapa di hammam."
"Palingan tante-tante yang sering nangis di hammam paling pojok ada kok disanaa.. hiii hiii hiii.."
"Aaah Namiraaaa.. ayoooo cepetaaan, kebelet niiih.."
"Yaelah. Masih ya takut wc, katanya hafizaaaah"
"Kalo takut mah takut aja.." Azrina merungut kesal.
"Yaudah iya iyaaa.." Namira mematikan komputer setelah memastikan ia telah logout dari messenger dan blognya. Kalau tertangkap basah bisa tamat riwayatnya.
Pastinya sebelum itu ia pamit dulu pada Jun Ki.
"Aku mandi dulu ya, oppa"<send>
"Jam segini baru mandi. Pemalas."
"Biarin :P belom nikah ini. Malas-malasan adalah nikmat tuhan." <Send>
"Nanti udah nikah diajak mandi terus sama suaminya ya? ;) "
"Idih. Ngaco! Pengen banget ada yang nemenin mandi? Hahaha. Udah ah. Annyeong oppa!" <Send>
Mereka benar-benar sudah terlalu jauh. Jun Ki berpikir tak ada salahnya bermain-main sedikit dengan seseorang yang juga akan jadi istrinya nanti. Namun ternyata, ia justru memberi harapan pada seorang gadis polos yang akhirnya terhanyut dalam imajinasi liarnya sendiri. Rusak. Hati Namira telah rusak. Tetapi siapa yang harus disalahkan? Tak satupun yang bisa menjawabnya.
Di lain hari, saat Azrina mengajaknya makan seperti biasa.
"Udah. Aku udah makan." Pekiknya tanpa menoleh pada Azrina. Matanya tetap fokus pada layar komputer dihadapannya.
Azrina manyun dan berlalu disusul senyum licik Namira yang menggenggam mie instan cup ditangannya. Berhasil mengelabui sahabatnya demi janji sarapan 'bersama' pujaan hati. Kemarin ia mengajak Jun Ki makan bersama. Karena tidak mungkin bertatapan meski lewat video call, apalagi bertemu di dunia nyata, ia berinisiatif untuk 'makan bersama' seperti ini. Didepan komputer,
"Aku seduh mie nya yaa.. oppa makan apa?" Ia mengetik huruf demi huruf dari keyboardnya. <Send>
"Sandwich. Kamu seharusnya nggak makan mie pagi-pagi. Anak dokter kok gitu sih.." <from JunKiLee>
"Idih. Sekarang kita mau makan ya, bukan kuliah kesehatan. Sendirinya makan sandwich, emang kenyang?!" Namira menekan kotak send lalu mengaduk-aduk mie instannya.
"Hmm.. ya mau gimana, gak ada yang buatin makan sih.."
"Udah harus cari tuh tandanyaaa.." <send>
"Ada kok, tapi dia makannya mie instan melulu. Nanti aku juga dimasakin mie instan terus tiap hari. Andwaeee.."
Namira tersipu diberi kode oleh Jun Ki. Lalu segera mengetik lagi.
"Setidaknya makan mie instan kan bisa menghemat uang suami.. kau takkan bangkrut, tuan :P"
Lee Jun Ki tertawa keras membaca email terakhir Namira. Anak itu lucu sekali. Sifatnya tidak tertebak dari tampilannya yang anggun dan terkesan dingin.
Apa memang dia seasyik ini dengan orang dekat ya?
Jun Ki semakin terpacu untuk segera lebih dekat dengannya.
***
Entah sudah berapa lama Namira menghabiskan waktu hanya dengan membaca kembali percakapan-percakapannya sejak dua tahun lalu dengan Jun Ki. Setiap hari. Berulang-ulang.
Ada potongan kenangan yang muncul di setiap email yang dibacanya. Yang terjadi saat ia mengirim email tersebut.
Email-email yang manis dan menggelitik, saat pertama kali ia mengenal Jun Ki, saat Jun Ki memberi ucapan selamat ulang tahun, dan saat ia mengucapkan selamat ulang tahun pada Tiffany yang ternyata saat itu pun Azrina sedang berulang tahun.
Email-email itu semakin dibaca akan semakin mengundang tawa. Atau sekedar mengulum senyum malu oleh kalimat yang terlalu romantis. Terlebih jika ditemani dendang nasyid yang belakangan menjadi nasyid favorit karena membuat harinya penuh bunga-bunga. Seharusnya.
Tapi tidak bagi Namira saat ini. Semakin membacanya, airmatanya semakin mengalir. Tapi ia tetap masih saja membaca hingga email terakhir.
"Bersiaplah. Pangeran berkudamu akan segera datang."
Begitu Jun Ki menuliskan emailnya. Kepada Namira yang sama sekali tidak menyangka Jun Ki akan menyatakan itu secara tiba-tiba. Namun email itu cukup untuk membuatnya melambung jauh menembus batas normalnya.
Beberapa hari Namira menunggu. Pangeran berkuda yang diisyaratkan Jun Ki tak juga datang. Hanya email yang akhirnya Jun Ki kirim.
"Namira, kau dimana? Bisakah kita bertemu? Ada hal yang harus kubicarakan. Penting."
Email itu rupanya dikirim Jun Ki sekembalinya ia dari rumah dokter Ali. Tepatnya setelah menyadari kesalahpahamannya selama ini. Ia dirundung rasa bersalah pada Namira dan bimbang diwaktu bersamaan.
Tetapi Namira terlalu takut untuk bertemu. Meski telah melakukan banyak hal melalui chatting, ia tetap tidak memiliki keberanian untuk bertemu dengan sengaja. Padahal sama saja, terkadang tanpa sengaja ia juga bertemu Jun Ki dan saling bertegur sapa.
Tepatnya, Jun Ki menyapa Azrina, tetapi Namira yang meresponnya dengan penuh semangat.
Dan. Penolakan Namira atas ajakan Jun Ki itulah yang ternyata justru akan memberi luka yang menganga lebar dihatinya kini.
Ketika ia menerima kabar gembira bahwa Azrina akan dilamar seseorang. Tak ada yang lebih berbahagia dari dirinya. Ia bahkan mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara lamaran Azrina. Sembari terus berkhayal, sebentar lagi, seseorang pun akan datang untuknya. Ia hanya tak menyadari, seseorang yang dinantinya itu dalam beberapa jam akan tiba untuk sahabatnya. Saat itulah, air wajah riang gembira Namira berganti riak kesedihan. Ketika sahut para kerabat berbisik,
"Sudah datang. Sudah datang. Ih penasaran, katanya orang Korea ya. Bisa bahasa Indonesia gak?"
Lalu sosok Jun Ki muncul dengan salam dari pintu masuk, begitu menawan dengan setelan kemeja koko berwarna hitam mengkilap dengan sedikit sentuhan berwarna putih dibagian kerah dan lengannya. Namun Namira justru melihat Jun Ki seperti malaikat maut yang akan memutuskan urat nadinya sebentar lagi.
Namira bahkan tak menunggu hingga acara selesai, ia hanya menitip pesan pada Bi Nah untuk dipamitkan pada Azrina dan ummi lalu segera memacu motornya, berkejaran dengan senja yang hampir hilang.
Sepanjang perjalanan menuju kost-an ia mengingat kenangan manisnya bersama Azrina.
Sahabatnya yang lembut lemah gemulai, baik hati dan tanpa cela itu, ternyata lebih licik dari yang bisa ia bayangkan.
Apa kata yang lebih dari licik untuk seseorang yang akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri?
Masih teringat jelas. Azrina sama sekali tidak menyukai hal-hal berbau Korea. Bahkan ia dengan lantang berjanji takkan mau menikah dengan orang Korea. Tapi ini apa? Senyumannya saat acara tadi bahkan membuat Namira mual.
Air matanya beterbangan diterpa angin dari laju motornya yang kencang. Emosi.
***
Kau tahu ku merinduimuuu..
Ku tahu kau mencintaiku. Oooh kasih.. Bersabarlah, Sayaang... Saat indah kan menjelma juaaa..."
Namira asyik bersenandung dengan riang ketika dikagetkan Azrina dan teman-temannya.
"Hey! Kayanya seneng banget. Lagi jatuh cinta nih yeee.. hati-hati loh, Ra. Jangan sampe hanyut."
"Tuhkan! Belum apa-apa udah disuruh hati-hati.." Batin Namira
"Apaan sih. Norak deh. Orang cuma nyanyi. Lagian kalo jatuh cinta kenapa? Kita kan udah dewasa, udah cukup umur.." Ujar Namira sewot.
"Palingan juga Namira jatuh cinta lagi sama aktor Korea yang di sinetron baru itu tuh, biasa dia mah.. Jatuh cintanya tiap ada sinetron baru, pemain baru. Hahaha" Goda Azrina. Namira tidak menghiraukan. Dalam hatinya bayangan seseorang muncul semakin jelas.
"Bukan artis sinetron tau! Ini nyata. Orang Korea Asliiii!" pekiknya lagi-lagi hanya dalam hati.
"Tau nih Namira, jatuh cintanya sering amat.." Celetuk yang lain.
"Tapi aku mah percaya sama Namira. Gitu-gitu dia cuma cinta-cintaan doang, bukan beneran. Kan orangnya juga fiktif.. potensi dosanya lebih dikit, Iya kan, Mir? Hihi" Azrina lagi-lagi menggoda. Kali ini Namira sedikit tersedak mengingat chatting berbau maksiatnya belakangan ini.
"Gue doain deh, semoga jodoh lo orang Korea beneran."
"Alah paling-paling juga Keroya. Hahaha"
"Diem aja deh semuanya. Kalo gue nikah sama orang Korea beneran awas loh yaa, gak ada yang bakal aku ajak ke Korea, kecuali Azrina.." Pekiknya sambil merangkul Azrina erat.
"Bebebku tersayaang, kamu mau ikut kan ke Korea? Nanti aku cariin oppa-oppa Korea yang soleh dan hafizh juga. Hahaha" Guraunya.
"Ih. Ogah! Nanti dikasih makan kimchi doang tiap hari."
"Eh, jangan underestimate sama orang Korea dong. Nanti kualat loh. Apa yang salah sama kimchi? Enak tau."
"Emang kamu udah coba?"
"Ya ngga sih, tapi keliatannya enak."
"Jangan ketipu sama yang keliatan, bisa jadi yang keliatan enak gataunya enek"
"Lah, itu tau. Yang keliatan enek juga bisa jadi ternyata eh waw. Jangan benci-benci banget sama Korea. Nanti Allah ubah takdirnya ternyata harus nikah-tua-dan mati di Korea baru tahu rasa.."
***
Sepertinya, sumpah yang dilontarkan Namira saat itu benar-benar terjadi, tapi bukan untuknya melainkan untuk Azrina. Kekesalannya memuncak.
Tapi, yang jelas-jelas melamar Azrina adalah Jun Ki mengapa Azrina yang dianggapnya berkhianat? Adilkah hal ini untuk Azrina?
Sungguh cinta memang membutakan segalanya. Cintanya pada Jun Ki terlalu besar untuk memberi cela pada sosok sempurna itu.
Bisa saja, Azrina memohon pada Ayahnya untuk dinikahkan dengan Jun Ki. Dan dengan kekuasaan yang dimiliki dokter Ali, semua bisa terjadi. Bahkan Jun Ki pun pasti tak bisa menolak lagi.
Heeeey. Setan benar-benar melonjak girang atas amarah hebat Namira saat ini. Bahkan ia tak lagi berpikir jernih. Sama sekali tak meraba hati kecilnya bahwa mungkin saja ini adalah memang kesalahannya yang memulai sesuatu dengan cara yang tidak diridhoi-Nya. Padahal seharusnya jika Namira melapangkan jiwa, ia yang paling tahu bahwa Azrina bukan tipikal orang yang sanggup membuat orang lain terluka karenanya. Dan sahabatnya itu pasti selalu mementingkan Namira ketimbang dirinya sendiri. Untuk Namira, Azrina takkan berpikir panjang memberikan segalanya, sekalipun harus merelakan cinta. Begitulah seorang Azrina di mata Namira, sebelum hari ini. Ketika kepercayaannya musnah seketika.
***
Adzan maghrib berkumandang setibanya Namira di kost-an. Ia segera mengambil wudhu dan bersimpuh penuh airmata diatas sajadahnya.
Usai shalat, ia sedikit lebih tenang. Lalu mengambil laptop hendak melakukan sesuatu.
To: JunKiLee
Subject: email terakhir untuk Lee Jun Ki-ssi
Aku hanya ingin mencintai setulus yang kubisa.
Andai tulus dibalas kecewa
Mungkin ada yang salah dengan caraku mencinta.
Aku hanya ingin mencintai setulus yang kubisa.
Sebab tak ada balasan ketulusan selain ketulusan pula.
Aku hanya ingin mencintai setulus yang kubisa.
Sebab cinta memang bukan untuk dituliskan, tapi dituluskan.
Selamat berbahagia, Lee Jun Ki-ssi. Kuharap kau takkan pernah mengecewakan sahabat terbaikku. Tuluslah padanya. Jangan pernah melukainya.
Dari gadis lemah yang hanya memiliki cinta yang tulus.
<Send>
Email dari Namira ini bukan hal yang bisa diabaikan Jun Ki begitu saja. Dari kalimatnya, Jun Ki bisa menangkap kekecewaan besar yang tersirat disana. Seolah Namira berusaha menyampaikan agar Jun Ki tidak sekalipun berani berniat untuk melukai Azrina seperti ia melukai Namira.
Tapi Jun Ki harus apa?
Dia memang mencintai Azrina dari awal. Dan bisa ia pastikan takkan membuat Azrina kecewa karena memang hanya dia satu-satunya. Namira saja yang terlalu terobsesi.
Ah tidak. Terlalu kejam jika mengatakan itu tentang Namira. Bagaimanapun dia juga korban yang termakan rayuan salah alamat seorang pemuda yang menggila karena cinta.
Namun sesaat kemudian Jun Ki pun dilanda keraguan.
Jika selama ini yang mencintainya adalah Namira? Bagaimana ia akan menikah dengan Azrina yang ternyata tidak mencintainya? Apa dia mundur saja? Tapi sudah sejauh ini..
Ah. Dia bisa belajar mencintaiku. Aku mudah membuat seseorang jatuh cinta.
Jun Ki memang terlalu percaya diri.
Tapi sebelum memulai merangkai impian masa depannya nanti, ia harus melakukan sesuatu lebih dulu. . .
Meminta maaf pada Namira. Menjelaskan kesalahpahamannya selama ini dan membuat Namira mengerti posisinya sekarang ini. Dan selesai.
Jun Ki merasa permohonan maaf sudah cukup menyelesaikan masalahnya dengan Namira lalu melangkah santai memasuki gerbang pernikahan bersama Azrina. Namun ternyata tidak.
Puluhan permohonan maaf yang dikirimnya ternyata tak mendapart respon apapun dari Namira. Bahkan Namira tak pernah terdengar lagi kabarnya sejak ia menghilang dari acara lamaran, tak muncul dalam acara pernikahan hingga saat ini, setelah tiga bulan Jun Ki dan Azrina menikah. Namira lenyap seakan tertimbun puing reruntuhan harapan dan impiannya yang hancur porak-poranda. Kemana dia?
***
Tiga bulan sudah Azrina menjadi pendamping bagi Jun Ki. Tiga bulan yang manis dan romantis. Tiga bulan pernikahan yang hanya dipenuhi rasa syukur sebab menemukan jodoh yang tepat, yang setiap pagi, siang dan malamnya dihiasi bunga-bunga cinta yang masih bermekaran dengan wangi semerbak. Indah. Nikmat. Merekah. Syahdu. Bahagia. Hanya itu..
Namun tak ada lautan yang tidak bergelombang. Bahkan setiap pelaut yang handal harus menerjang hantaman badai di lautan, berjuang untuk selamat. Berkali-kali. Tiada henti sampai kapal-kapal mereka bersandar di dermaga tujuan.
Begitupun pernikahan. Setiap orang bisa saja menargetkan pernikahan impian dengan persiapan-persiapan yang matang agar rumah tangga mereka tetap bahagia, tentram, damai dan sejahtera. Tetapi sejatinya, pernikahan impian bukan tanpa ujian. Tidak melulu tentang cinta-cintaan, bersenang-senang, kejutan, hadiah, kecupan, pelukan dan jalan-jalan. Namun lebih dari itu, pernikahan impian adalah seberapa tangguhnya dua jiwa yang berbeda watak dan kepribadian bertahan, berjuang, saling membantu dan melengkapi, mengarungi samudera luas yang tak ujungnya bahkan tak terlihat, mengatasi badai dengan saling menghargai, mendengar dan mentaati. Saling menyemangati, menuntun dan mengingatkan.
Menghibur dan menegarkan ketika terhempas, dan tak lupa bersyukur ketika badai mereda.
Saling menggenggam, mendekap dalam rengkuhanNya. Terisak bersama dalam sujud mengharap ridho dan rahmatNya di setiap malam yang gulita berhujan ataupun benderang oleh sinar bulan dan gemerlapnya bintang.
Dan yang terpenting adalah selalu menyertai Allah disetiap gerakan.
Maka, memasuki bulan ke empat pernikahan Jun Ki dan Azrina, badai itu datang... Badai yang benar-benar menghempas sebab keduanya tak sempat bersiap. Tak sadar badai akan datang sesegera ini.
Segalanya berawal karena ketidak jujuran Jun Ki pada Azrina. Tentang segalanya. Tentang dirinya, tentang masa lalunya, dan tentang Namira.
Padahal yang paling utama dalam pernikahan adalah kejujuran bukan?
Jun Ki hanya yakin pada cintanya. Bahwa segenap cinta yang membuncah dihatinya untuk Azrina adalah cukup untuk membahagiakannya. Maka sejak tiga bulan ini ia hanya menunjukkan yang indah-indah saja pada istrinya, tidak dengan kegundahan, kegusaran, ketakutan dan rasa sakit yang dipendamnya.
Sejak menikah, Azrina pindah ke apartemen Jun Ki. Tidak ada masalah. Azrina sudah terbiasa berpisah dari orangtuanya. Meski tetap sesekali dikunjungi dan umminya berusaha membujuknya untuk kembali ke rumah mereka saja. Azrina tetap ingin di apartemen Jun Ki. Ia hanya mencoba hidup normal seperti rumah tangga pengantin baru kebanyakan. Dan benar. Indah sekali rasanya.
Mendapat kecupan di kening setiap hari sebelum tidur dan setelah bangun. Menyiapkan sarapan dan kebutuhan suaminya sebelum berangkat kerja. Mengantarnya dengan senyuman dan doa di depan pintu setelah mencium tangannya dan ciuman lagi di seluruh wajahnya.
Ia mulai bisa beradaptasi dengan gaya hidup suaminya yang sama seperti orang Korea kebanyakan. Bahkan ia sudah bisa memasak menu makanan Korea kesukaan Jun Ki yang ternyata juga cocok di lidahnya.
Jun Ki pun sama, ia mendapat banyak hal baru dari Azrina, khususnya tentang agama. Ia sering ikut belajar dengan tugas kuliah Azrina. Dan tentunya ia juga fokus menambah hafalan quran yang rutin disetorkan pada istrinya.
Menakjubkan bukan?
Tapi akan menjadi membosankan jika terus begitu-begitu saja. Cinta mereka perlahan akan melemah dan akhirnya pudar. Sementara Allah tak ingin demikian, itulah pentingnya ujian pernikahan. Untuk memupuk cinta agar tak pernah layu.
Ujian pertama dalam pernikahan Jun Ki dan Azrina adalah..
Suatu pagi ketika satu kegembiraan lagi datang menyempurnakan kebahagiaan mereka, yang seharusnya akan bisa menjadi sepotong episode terindah dalam sejarah pernikahan Azrina, justru datang bersama badai pertama pada lautan yang masih dangkal.
Azrina bahagia sekali pagi itu, wajahnya terus berhias senyum yang lebih ceria dari biasanya. Bahkan Jun Ki tak henti memujinya.
Bidadari surgaku yang jelita..
Sungguh setiap hari, setiap ia membuka mata dan menatap wajah istrinya, bertambah kesyukuran di hatinya. Jelita parasnya, teduh wajahnya, sempurna akhlaknya, teguh imannya. Betapa ia beruntung dipertemukan dengan seorang wanita jelmaan bidadari. Cintanya terus tumbuh, terlebih saat Azrina pun membalas cintanya dengan mulia..
Duhai Ilahi.. benarkah dia untuk diriku?
Wanita suci yang hatinya tak pernah tersentuh zina hati.
Yang pandangannya selalu menunduk dihadapan lelaki.
Yang cintanya dipersembahkan hanya pada ilahi.
Pantaskah aku mencintainya?
Seorang lelaki yang tertawan dalam kubangan dosa
Seseorang dengan catatan kelam masa lalu yang hina
Yang iman di hatinya bahkan belum rapi tertata..
Izinkan aku mencintainya, Rabb..
Seumur hidupku.. sepanjang usia.. hingga bahtera kami merapat anggun di bibir dermaga taman surga.
Aku hanya ingin mencintainya, Rabb..
Hingga bahagia di istana kami di sisi-Mu.
Dua strip yang muncul samar dalam sebuah benda pipih yang digenggam Azrina seharusnya pasti menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi Jun Ki jika saja Azrina langsung menunjukkannya saat itu juga. Setelah ia keluar dari kamar mandi sebelum subuh tadi.
Tapi Azrina memilih untuk menyimpannya dan memberi Jun Ki kejutan sepulang kerja nanti. Sayangnya, Azrina lebih dulu dikejutkan oleh Jun Ki dan membuatnya lupa tentang keajaiban baru yang kini mengisi hidupnya.
Kejutan Jun Ki lebih dahsyat efeknya.
Mampu melenyapkan bahagia yang menyelimutinya sejak pagi, mengguncangnya keras hingga nyaris terhempas.
Pagi itu, sehabis shalat dhuha. Ia berniat menelepon Jun Ki, mengingatkan dhuha. Ia menemukan laptop Jun Ki yang masih terbuka menyala di sebelah ponselnya. Sepertinya tertinggal.
Dan, disanalah. Ia tanpa sengaja mendapati kejutan yang tak pernah diduganya.
Kejutan yang benar-benar menyentak batinnya. Dan seketika memecahkan tangisnya.
Email-email Jun Ki dan Namira..
.
.
.
To be continued..
Gimana kelanjutannya? Penasaran?
Apa Jun Ki menyerah pada Azrina?
Atau mungkin Azrina minta pulang?
Atau jangan-jangan Azrina terlalu baik sampe rela-rela aja berbagi cinta sama Namira?
.
.
Vote komen, ya. Kalo ga ada yang voment Jun Ki dan Azrina berakhir disini. #ngancem hahahaha
see ya, next sunday!
kamsahamnida, luv
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro