Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39 - Ikrar Cinta


Dari celah pintu yang sedikit terbuka Jung Yoon Jae berdiri mengamati sepasang suami istri yang saling menumpahkan rasa sakit dari rindu yang terikat pilu. Menyaksikan betapa mereka dipenuhi luka satu sama lain membuat hatinya merasakan debar aneh seolah merasa bertanggung jawab atas kesakitan sepasang kekasih itu.

"Kau lihat mereka, Oppa. Mereka benar-benar menyedihkan." Pemandangan yang baru saja ia lihat itu memaksanya untuk mengingat kembali suara Baek Ji Young beberapa waktu lalu saat mereka sedang sama-sama mengamati Jun Ki yang menunggui Azrina dari jendela kaca ruang ICU.

"Kukira dengan melepaskannya, dia tidak akan menderita lagi. Sekarang kita lihat, dia tidak ada bedanya. Masih saja tidak bahagia."

Yoonjae tidak merespon. Matanya fokus pada Jun Ki yang baru saja meledakkan tangisnya, lagi.

"Oppa, geumanhae, jaebal ..." pelas Jiyoung.

"Apa?" tanya Yoonjae dengan mengernyit.

"Ini Oppa, kan? Yang membuat Jun Ki seperti ini."

"Maksudmu apa?"

"Kau memang tidak akan pernah berhenti terobsesi untuk lebih unggul dari Jun Ki. Tapi kukira itu hanya masa lalu, ternyata aku salah."

"Ji Young-ah,"

"Kumohon, Oppa. Jika memang ini adalah kau atau ibumu ... katakan padaku bagaimana aku harus menghentikanmu ... kau menginginkanku? Baiklah ... kau boleh memilikiku tetapi bebaskan mereka dari permainanmu. Tolong ..." Bahkan Baek Ji Young mulai berderai airmata.

"Ji Young-ah, jangan begini,"

"Aku serahkan diriku padamu, Oppa. Aku akan mencobanya, aku akan belajar untuk mencintaimu. Tetapi berhentilah mengusik mereka, Oppa."

Yoonjae mengusak rambutnya frustasi. Isakan tangis Jiyoung masih tersisa dalam pikiran yang baru saja ia enyahkan. Seusai menyandarkan diri di sandaran kursi kerjanya, tangannya menarik laci dari meja di hadapannya. Benda itu terletak disana, benda yang selama ini nyaris disangka mitos semata.

"Oppa, aku akan ada untukmu jika kau ingin mengubah segalanya. Termasuk dirimu. Aku tahu kau sama tersiksanya. Aku berjanji, ketika kau mau memberanikan diri, aku akan selalu ada di sisimu." Suara Baek Ji Young ia dengar lagi membuat Yoonjae terhanyut dalam sebuah hal yang rumit yang akan mungkin akan mempertaruhkan hidupnya. Tidak lama sampai seorang dokter menghampiri ruangannya dan mengabarkan Azrina serangan jantung lagi, cepat-cepat ia menutup kembali laci mejanya kemudian menyusul.

Sebenarnya, Yoonjae mengundurkan diri dari tim dokter yang bertugas untuk menangani kasus Azrina, ia tidak terlibat lagi agar menghindari konflik. Namun Yoonjae diam-diam tetap memantau dari jauh. Ia tetap mengikuti rapat untuk mengetahui progressnya dan menyumbangkan ide untuk langkah yang tepat yang perlu diambil oleh para dokter, dan semenjak meninggalnya Presdir-pun lelaki itu juga mulai bersikap acuh pada ibunya. Maka ketika ibunya hendak mempromosikannya menjadi kepala rumah sakit, ia sengaja memperlambat prosesnya dengan beribu alasan.

Perasaan Yoonjae masih cukup manusiawi dengan melihat Jun Ki terpelanting kesana kemari, hatinya lagi-lagi merasakan hal aneh, seolah kembali melihat Tuan Muda Lee Jun Ki yang dulu begitu menyayangi dan menganggapnya Hyung paling keren sejagad raya. Rupanya mereka telah melalui banyak fase yang akhirnya mengubah mereka menjadi seperti sekarang. Atas dasar perasaan itulah yang mendorongnya menemui Jun Ki sesaat sebelum Azrina hendak diantarkan menuju ruang operasi persalinan. Sekalipun akhirnya ia sempat menerima dua bogem mentah dari kekesalan penuh yang dilayangkan Jun Ki padanya di tangga darurat rumah sakit, tidak menyurutkan tekadnya untuk mengakhiri semuanya dan menyerahkan kembali semua yang seharusnya ia kembalikan pada pemiliknya. Bagaimanapun, sejujurnya ia pun lelah dengan semua ini.

"Uri geuman haja. Mari kita berhenti saja." Yoonjae menawarkan perdamaian saat Jun Ki mulai tenang. "Aku bersalah, maafkan aku."

Setelah menyerahkan kamera milik Namira yang selama ini disimpannya, Yoonjae meminta Jun Ki untuk segera pergi menyelamatkan Namira dan meyakinkan untuk tidak perlu khawatir terhadap Azrina disini, jikapun Azrina membutuhkan donor jantung segera, Yoonjae katakan telah mendapatkannya.

"Aku ingin mengatakan ini karena Baek Ji Young yang meminta. Tapi biar kau tahu, aku tulus kali ini."

Oleh karena itulah, Jun Ki kemudian memacu mobilnya membelah jalanan Gangnam di pagi hari. Berharap jika ia berhasil membebaskan Namira dari segala tuntutan, mereka dapat segera kembali ke rumah sakit untuk Azrina dan juga putrinya. Semoga masih ada cukup waktu untuk mereka.

🍁🍁🍁

Persidangan hampir dimulai, hari ini sidang akan membacakan putusan berdasarkan tuduhan jaksa kepada Namira yang terdakwa melakukan pembunuhan berencana kepada Presdir Hanil Group sekaligus membunuh seorang pelayannya dengan brutal dengan segenap bukti-bukti meyakinkan yang entah dari mana datangnya. Kemungkinan besar Namira akan dijatuhi hukuman paling singkat 20 tahun penjara.

Namun pagi ini, pikiran gadis itu justru sedang disibukkan oleh sesuatu. Bahkan bayang-bayang mendekam dalam penjara seumur hidup tidak lagi membuatnya takut. Dua bulan ia telah terbiasa, dan seperti yang Presdir pernah katakan bahwa Namira memang seorang gadis tangguh yang bisa bertahan hidup di mana saja. Dua bulan ini mulai membuatnya betah, dengan teman-teman baru ataupun dengan renungan-renungan panjang yang membuatnya semakin bijak melihat hikmah dari segala sesuatu berkat dialognya dengan dirinya sendiri, hingga mengantarkannya pada kepasrahan atas apapun yang akan menjadi kelanjutan dari hidupnya setelah ini.

Satu-satunya yang membuat Namira gugup hari ini adalah, Hyungsik. Pemuda itu sejak terakhir mengunjungi Namira seminggu lalu belum pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Padahal sebelumnya, Hyungsik nyari setiap hari datang. Sebenarnya tidak akan segugup ini jika seminggu lalu Hyungsik tidak mengungkapkan hal aneh secara tiba-tiba yang membuat Namira kebingungan bagaimana meresponnya.

"johae," aku Hyungsik secepat kilat.

"Hah? Kau bilang apa?"

"Aku menyukaimu! Butuh mengumpulkan keberanian yang lama untuk mengungkapkan ini, tapi aku tidak ingin menundanya lagi."

"K—kenapa tiba-tiba ..."

"Tidak, ini bukan tiba-tiba. Aku pernah mengira akan kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan ini, tapi sepertinya semesta mendukungku. Jadi, Nona Namira, apa jawabanmu?"

Namira nyaris tersedak makanannya karena pertanyaan Hyungsik itu. Sejujurnya, Namira pun bingung hendak menjawab dengan apa. Perasaannya terhadap Hyungsik masih terlalu sulit ia raba seperti apa bentuknya, lagipula Hyungsik mengharapkan apa dari jawaban Namira? Sekalipun Namira menyatakan hal yang sama kepada Hyungsik, perbedaan antara mereka cukup untuk menjadi alasan bahwa mereka tidak akan berhasil.

"Kenapa tidak? Aku akan mencoba memahamimu. Kalau perlu aku bisa mengikuti keyakinanmu. Seperti aku akan membatalkan rencana keberangkatanku belajar ke Paris jika kau menerimaku."

"Hyungsik kenapa kau jadi begini?"

"Jawab saja, sebelum aku benar-benar pergi."

"Kau ingin aku menjawab apa? Kau sendiri tahu aku tidak mau menjalin hubungan apapun diluar pernikahan. Dan, pernikahan tentunya hal yang mustahil untuk kita. Aku minta tolong jangan membawa-bawa agama. Keyakinan bukan sesuatu yang bisa dengan mudah kau ubah hanya karena mencintai seseorang. Karena seseorang baru akan merasa yakin pada kepercayaannya ketika ia bisa merasakan besarnya cinta Tuhan untuknya selagi ia mencoba mengenali-Nya."

"Hm ... oke, kurasa aku telah mendapatkan jawabannya." Hyungsik beranjak dari duduknya.

"Sik ..."

"Kau, terima kasih, ya. Aku pergi. Kita mungkin tidak akan bisa bertemu lagi, jadi atas semua perbuatan yang membuatmu kesal, maafkan aku."

Sampai hari ini, Hyungsik benar-benar tidak pernah datang lagi. Tidak meski Namira mulai merasa bersalah. Satu hal yang gadis itu kemudian harapkan hari ini adalah Hyungsik, alih-alih berharap bebas dari segala tuntutan.

Namira menghitung waktu dari awal pagi sampai sipir penjara mengantarnya memasuki ruang sidang. Ketika ia hendak duduk di bangku terdakwa, satu persatu tamu yang menghadiri persidangan ia amati, tidak ada satupun dari wajah-wajah yang sudah dianggapnya sebagai keluarga hari ini. Kecuali wajah nyonya Choi Miran dan kaki tangannya.

"Apakah mereka semua menyerah denganku?" batinnya.

Persidangan dimulai dengan hakim yang mempersilakan jaksa membacakan tuntutan-tuntutannya, sesekali pengacara Namira diberikan kesempatan untuk menanggapi, namun jalannya sidang hingga separuh waktu masih tidak menunjukkan tanda-tanda yang menguntunkan bagi Namira. Sedang paruh waktu selanjutnya, Namira lebih banyak melamun, bosan, kesal, khawatir menjadi satu. Kemudian, saat hakim memutuskan untuk mengabulkan tuntutan jaksa dan hendak mengetok palu atas vonis hukuman penjara 15 tahun untuk Namira, sosok itu memasuki ruang sidang dan memecah keheningan. Langkahnya dengan derap sepatu pantofel terdengar menggema di ruangan besar dengan susunan bangku-bangku itu.

Seseorang yang jauh melebihi harapan Namira sebelumnya. Ia datang menunaikan janjinya. Ia kembali menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas Namira. Semakin mendekat ia ke depan meja hakim, semakin Namira merasa kesulitan bernapas. Dari sekian banyak alasan untuk tidak perlu lagi datang pada Namira, sosok itu nyata. Sedang melantangkan suara dengan barang bukti di tangannya.

Lagi, Lee Jun Ki menyelamatkan Namira dari sesuatu yang sebenarnya disebabkan oleh Lee Jun Ki sendiri.

***

Sebelum persidangan

Nyonya Choi menelepon Yoonjae menanyakan keberadaannya dan memberi perintah untuk segera ke pengadilan dan menyaksikan Namira yang masih disangkanya sebagai istri Lee Jun Ki itu diberi hukuman seberat-beratnya. Putranya justru menolak hadir dengan alasan ada operasi mendadak.

"eomoni, mianhaeyo."

Di dalam ruangannya, Yoonjae sedang mengemas barang-barangnya ke dalam box karton sembari sesekali meringis memegangi wajahnya yang lebam pada bagian sekitar mata dan bibirnya. Ia sadar, lebam sedikit saja belum cukup untuk membayar kesakitan Jun Ki selama ini, maka dari itu ia sedang menyiapkan sesuatu.

Merogoh saku bagian dalam jas nya, sebuah amplop putih bertuliskan 'pengunduran diri', sesuatu yang sudah disiapkannya sejak beberapa hari lalu. Yoonjae masih menatap amplop itu dengan berusaha mengenyahkan segala ragu sampai Baek Jiyoung yang sudah siap dengan pakaian operasi datang dan terburu-buru menghampirinya.

"Oppa, kau sudah gila?!"

"Ah kau sudah tahu rupanya. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahan ibuku."

"Tidak dengan mengorbankan dirimu, Oppa! Apa kau gila?!"

"Mungkin,"

"Surat pengunduran diri? Hah! Aku tidak percaya!" Jiyoung merebut amplop dari tangan Yoonjae. "Kau tidak harus begini, Oppa. Kalau kau tidak lagi peduli tentang karirmu, atau hidupmu sendiri, setidaknya pedulikan aku."

"Kau harus ke ruang operasi."

"Lalu membiarkanmu bunuh diri untuk mendonorkan jantungmu pada Azrina?"

"Dia membutuhkannya. Hanya ini yang bisa kulakulan."

"Masih banyak cara! Kita bisa memikirkannya bersama. Bukan dengan cara ini. Pikirkan perasaanku, Oppa!"

Baek Jiyoung menangis sedu, selain memelas pada Yoonjae untuk berhenti melukai Jun Ki sejak dulu sampai beberapa waktu lalu, ini pertama kalinya Baek Ji Young benar-benar memohon untuk Yoonjae sendiri.

Yoonjae segera membekap tubuh Jiyoung dalam lingkar lengannya. "uljima, nan an-ga"

Tangis Jiyoung mereda, namun lirihnya masih merajuk dalam pelukan Yoonjae. "Kau tidak bisa pergi begitu saja ketika aku justru baru akan mencoba berbalik arah untuk 'kita',"

Yoonjae terkekeh kecil, "apakah ini sebuah pengakuan?"

"Terserah kau saja. Asal kau memberiku kesempatan dan berjanji tidak lagi berencana untuk melakukan hal seperti ini."

"Bagaimana dengan Azrina?"

"Kita bisa menemukan solusinya."

🍁🍁🍁

Lee Jun Ki memohon izin untuk menunjukkan bukti kepada semua yang hadir. Dari rekaman kamera Namira ia benar-benar bisa melihat ayahnya mengucap dua kalimat syahadat meski terbata-bata. Segera pelupuk matanya kembali menggenang basah, lantas menyorotkan tatapan penuh kebencian terhadap Choi Miran yang masih saja melenggang ke persidangan sebagai korban tanpa tahu bahwa sebentar lagi ia yang justru akan diringkus polisi.

Nyonya Choi Miran mulai terkejut saat Lee Jun Ki mengacungkan telunjuk ke arahnya dan seisi ruangan menghening menyaksikan tayangan nyonya Choi yang mengakui semua perbuatannya di hadapan Presdir yang meregang nyawa. Semua orang terperangah melihatnya, bahkan media kembali riuh dan membuat hakim perlu menenangkan dengan ketukan palu.

"Ini semua perbuatan dia, Yang Mulia."


"Bahkan sebelum ayahku, bertahun-tahun yang lalu ibu dan adikku sudah dibunuhnya lebih dulu."

Jun Ki pun tidak lupa menyerahkan bukti fakta kematian Tiffany yang berhasil ia terima dari Sungjin. Termasuk nyawa orang-orang tak bersalah yang turut menjadi korban, Dokter Han dan Park Minjoon.

"Tidak! Itu bohong!" Nyonya Choi mencoba menyangkal saat dua petugas polisi hendak menahannya.

"Saya minta hukuman terberat atas semua kejahatan yang telah dilakukannya."

"Lee Jun Ki! Kau akan menyesalinya!!!" nyonya Choi diringkus dan diseret keluar dari ruangan, saat itu ia baru menyadari mengapa Yoonjae meminta maaf padanya pagi tadi.

Pada akhirnya, hakim memutuskan untuk membebaskan Namira tanpa syarat karena tidak terbukti bersalah.  Mendengar ketuk palu atas keputusan hakim, gadis itu menyungkur sujud dari tempatnya berdiri kemudian dihadiahi gemuruh tepuk tangan oleh siapapun yang ada di sana.

"Kau sudah siap?" tanya Jun Ki pada Namira setelah dia benar-benar dibebaskan dan keluar dari rumah tahanan. Namira mengangguk dengan seulas senyum kemudian mengikuti isyarat Jun Ki untuk segera masuk ke mobil.

"Kita harus bergegas," Jun Ki mulai menancap gas.

"Ada apa, Oppa?"

"Azrina akan melahirkan, atau mungkin sudah."

"Oh ya?! Alhamdulillah..." seru Namira gembira.

"Andai aku bisa mengucap alhamdulillah juga."

"Memangnya kenapa?"

"Kau akan tahu ketika kita tiba, mari berdoa semoga Azrina masih sanggup menunggu," pungkas Jun Ki sembari semakin menambah kecepatan laju mobilnya.

Sementara itu di rumah sakit operasi persalinan sudah dilakukan separuh jalan. Dokter ahli jantung dan ahli bedah thoraks pun diminta bersiap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi tiba-tiba. Sejauh dalam pantauan, kondisi jantung Azrina masih cukup memberi harapan meski tidak bisa dibilang stabil.

Operasi berlangsung hening, hanya terdengar bunyi alat penghisap dan alat-alat lain yang diaktifkan sesuai tugasnya. Para dokter nampak fokus dengan pekerjaan mereka dan tetap menjaga kondisi pasiennya.

Dengan sekali sayatan lagi, Dokter Baek Ji Young sudah mendapatkan si bayi mungil yang bersiap diangkat dari perut ibunya.

Suara baru terdengar memenuhi ruang operasi. Sebuah suara yang telah diperjuangkan dengan taruhan nyawa dan cinta sepenuh jiwa. Tangis itu pecah dari seorang bayi yang bersiap menjalani kehidupannya sebagai manusia.

Bertepatan dengan suara tangis bayi perempuan yang memecah keheningan itu, di persimpangan jalan yang berjarak tak jauh dari rumah sakit, lagi-lagi takdir seolah mengambil peran penting untuk mengubah segala yang telah direncanakan berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah hinggap dalam sangkaan.

Ketika mobil yang dikemudikan Jun Ki melebihi batas kecepatan, sebuah mobil dari arah yang berlawanan tidak kuasa ia hindari dan akhirnya saling bertubrukan. Sekalipun Jun Ki masih sempat mebanting stir dan berhasil membelokkan posisi mobil, karena benturan yang terlalu keras, mobil mereka justru kehilangan keseimbangan dan berguling tanpa ada satupun yang menghentikan.

Kaca-kaca pecah berhamburan, kepulan asap membumbung menggapai awan. Hanya Allah yang tahu bagaimana kondisi Lee Jun Ki dan Namira yang terhimpit dalam mobil dalam posisi terbalik itu.
Darah bercucuran, Namira telah lebih dulu kehilangan kesadaran seusai memekik kencang. Sedang Jun Ki dalam samar-samar pandangan terlalu lemah untuk berusaha mengangkat tubuhnya dari dasar.
Tubuh Lee Jun Ki rebah dengan posisi menyamping, lensanya menangkap segalanya dalam sudut miring. Lalu sekejap rungunya hanya mendengae denging dalam hening dan pandangannya perlahan buram dengan sinaran cahaya menguning. Hingga pelupuk matanya memejam bersama meluncurnya sebulir tetesan bening.

Seulas senyum ia sunggingkan, firasatnya sejak tadi mungkin memang benar. Suara Azrina itu adalah yang terakhir yang ia dengar jika saat ini dirinya lah yang harus mengucap perpisahan pada kehidupan.

"Jika mencintaiku adalah hukuman, satu satunya orang yang harus menanggungnya adalah diriku sendiri. Bukan Namira, terlebih dirimu.
Terima kasih, Sayang.
Darimu, Allah mengizinkanku merasakan sebuah cinta. Cinta yang tetap akan aku lantangkan sekalipun luka menjadi hiasannya.

Satu hal yang aku takutkan adalah ketika kau membalas cintaku namun semesta tak merestui itu.
Saat kau menyatakan cinta padaku, tetapi semesta menghukummu karena itu.

Jika mencintaiku adalah hukuman. Maka aku-lah yang paling pantas menerima hukuman itu.

Jika kau telah banyak terluka karenaku, semoga suatu hari ketika kita kembali bertemu. Cintaku padamu tak perlu mendapat balasan darimu.
Meski itu akan terasa sangat pilu.
Tidak mengapa, aku mencintaimu diantara rasa sakit itu.

Aku mencintaimu, meski harus berdarah-darah.
Aku mencintaimu, meski harus menanggung segenap derita.

Aku mencintaimu, meski takdir tak berpihak pada kita."

🍁🍁🍁

Proses persalinan berjalan lancar hingga bayi telah dibersihkan dan dibawa keluar. Seolah satu rintangan telah terlewati, dokter kini hanya harus menjahit kembali luka persalinan di bagian bawah perutnya. Seketika terdengar suara seperti alarm peringatan, kembali serangan jantung tak bisa dihentikan. Dokter mulai panik meski tetap berusaha melakukan yang terbaik.

Namun nampaknya Azrina tidak lagi sanggup untuk menyambut uluran tangan dokter untuk menyelamatkannya sekali lagi. Tubuh Azrina seolah menyerah tepat setelah ia menyelesaikan tugasnya mengantarkan putrinya terlahir dengan selamat.
Seperti yang pernah ia janjikan kepada Allah. Azrina tidak lagi mencoba berharap lebih.
Lalu detak jantungnya benar-benar tak lagi dapat terdeteksi. Garis lurus dari monitor EKG kembali berdenging yang memekakkan kuping. Azrina lenyap dengan cairan hangat yang mengalir dari ujung matanya.

Azrina dan Lee Jun Ki bertemu dalam sebuah ruang hening. Ketika semburat cahaya menguning dengan samar tangisan bayi mereka seolah mencari kedua orang tuanya.

Dalam ruang hening itu, Lee Jun Ki seakan mengalami apa yang ia lihat dari mimpinya suatu hari lalu. Ketika semua wanita yang ia cintai berdiri berseberangan tersenyum padanya di sebuah taman bunga yang sedang bermekaran. Semilir angin meniup lembut, bersama langit biru yang bersih dengan sinar terang yang meski terik namun tidak terasa panas sama sekali.

Tak berapa lama, Presdir muncul diantara mereka langkahnya hendak menghampiri sang istri yang telah begitu lama menanti, namun sebelum ia mengangkat kaki kepalanya menoleh lebih dulu pada Jun Ki. Presdir mengulurkan tangan ke arahnya, mengajaknya serta.
Lee Jun Ki tersenyum ceria, begitupun semua yang dicintainya. Ketika kakinya hendak ia ayunkan sebuah tangan mungil yang sejak tadi menggenggam jemarinya seakan menahannya agar tidak pergi.

"Appa..."

"Appa..."

Tangisan itu masih terus mengalun. Membuat siapapun yang mendengarnya turut merasakan kepedihan. Tangisan yang biasanya disambut dengan haru dan bahagia oleh sebagian besar orang itu, hari ini disambut dengan tangis pilu beribu duka. Bagaimana menjelaskan rasa menyambut sebuah kelahiran ketika harus rela berdamai dengan kehilangan?

🍁🍁🍁

GAIIIIIIISSSSS

😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

SELESAI GAIIIIISSSSS


HUAAAAAAA

AKHIRNYAAAAAAA


AKU BISA MENYELESAIKAN CERITA INI JUGA 😭😭

MAAFKAN AKU JAHAAAAT
TAPI EMANG BEGINI RENCANANYA DARI AWAL 😩😩😩😩😩

SULIT SEKALI RASANYA MERELAKAN SUATU PERPISAHAN, SEPERTI HALNYA BERPISAH DARI KALIAN.
HIKS.
GIMANA YA HUHUHU.
TOLONG JANGAN BENCI AKU DENGAN ENDING YG SANGAN MERUSAK INI.
WKWKWKKWK.

TAPI EMANG BENER INI END.
KKEUT.
FIN.
TAMAT.

JADI, YANG MAU NGAMUK, SILAHKAN DISINI 👉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro