Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38 - Permohonan Terakhir

Assalamu'alaikuuum!

Annyeonghaseyoooooo yorobunnn! kangen gak sama author note? wkwk

gimana, gimana? gimana part kemaren? abis tisu berapa? awas aja kalo nggak nangis, kubikin cerita ini sad ending!

Btw, sebenarnya ini adalah part terakhir.

Iya. Mata kalian nggak lagi siwer sampe salah baca. PART TERAKHIR.

Tapi karena satu dan lain hal, salah satunya karena akan panjang banget jadi ku akan membaginya jadi dua. Huehehe.

So, selamat menikmati, ya! Selamat berbahagia karena penantian kalian akan berakhir sebentar lagi. insyaaAllah.

***

Panggilan telepon dari Baek Ji Young membawa Jun Ki kembali ke rumah sakit setelah acara pelantikan selesai. Begitu tiba di sana Jun Ki disambut mimik wajah berbalut duka kedua orang tua Azrina, juga Baek Ji Young yang segera mengajaknya menemui tim dokter. Menurut dokter, kondisi jantung Azrina yang sering mengalami serangan berdampak pada pecahnya beberapa pembuluh darah itu nyaris tidak lagi dapat berfungsi dan mulai mempengaruhi organ lainnya, termasuk kesadarannya yang terus menurun hingga dokter memastikan Azrina mengalami koma. Baek Ji Young dan segenap tim dokter mengundang Lee Jun Ki untuk meminta persetujuan atas tindakan yang akan diambil oleh dokter terhadap janin dalam kandungan Azrina yang masih sangat sehat meski ibunya sedang terbaring koma. Dokter ahli jantung mungkin akan menyarankan terminasi yaitu mengakhiri masa kehamilan sebelum waktunya sebab kemungkinan besarnya adalah semua sistem organ dalam tubuh Azrina yang lemah itu teralihkan kepada janinnya. Jika demikian, maka untuk membuat Azrina terbangun dari koma caranya dengan menjalani persalinan sesegera mungkin. Akan tetapi, Baek Jiyoung selaku spesialis kandungan dan dokter spesialis anak merasa keberatan mengingat kondisi janin yang sama sekali tidak terpengaruh dengan kondisi sang ibu yang seolah di ujung nyawa. Hingga muncullah pertimbangan baru untuk mengambil langkah pematangan paru-paru janin agar dapat dilahirkan lebih cepat namun tetap dengan kondisi siap untuk lahir atau viable kemudian dokter bisa berfokus menjalankan terapi jantung untuk memulihkan Azrina.

Pertemuan mereka berlangsung alot, sekalipun mereka sama-sama pahami setiap kesulitan dan resiko yang akan mereka hadapi di setiap jalan yang hendak ditempuh. Nyatanya sekalipun bayi akan bisa bertahan hidup di luar kandungan ibunya, terlahir prematur mungkin akan mempengaruhi kondisi fisik yang belum sempurna atau justru bayi pun akhirnya harus dikorbankan.
Lee Jun Ki akhirnya menyerahkan semuanya pada dokter, begitupun orang tua Azrina. Meski tetap berharap jika memang harus ada yang terkorban, jangan jadikan itu adalah Azrina. Namun mereka akan sangat dihantui rasa bersalah jika menyerah pada sang janin, terlebih karena Baek Jiyoung berkeras untuk mencari cara menyelamatkan keduanya atas permintaan Azrina yang memohon untuk menjaga bayinya. Maka dokter memutuskan untuk tetap mempertahankan kehamilan Azrina sampai sekitar dua bulan dan benar-benar dapat lahir secara alami meski tetap belum cukup waktu. Sekalipun dokter harus bekerja keras dan tetap siaga memantau kondisi keduanya sebab Azrina mungkin tidak akan pernah terbangun dari koma, bahkan lebih parah jika serangan jantung kembali terjadi dan jantungnya benar-benar berhenti bekerja. Demi mengantisipasi hal itu, dokter pun mendaftarkan Azrina dalam antrian calon penerima donor. Agar jika keadaan mengharuskan transplantasi mereka telah bersiap untuk itu.

Lee Jun Ki melangkah gontai bersama segenap beban berat yang dipikulnya menuju ruang ICU tempat Azrina dirawat,

"Assalamu'alaikum, Haura (bidadari)-ku."

Menangkup wajah Azrina dan mendaratkan kecup di keningnya, Jun Ki kemudian duduk di sisi ranjang, menatap nanar pada bagian perut Azrina sebelum telapak tangannya yang ragu-ragu berhasil ia usap-usapkan ke sana. Ada banyak sekali yang ingin Jun Ki sampaikan pada makhluk suci tanpa dosa itu. Namun keadaan yang seolah mengkambing-hitamkan kehadiran dirinya sebagai sesuatu yang membahayakan keselamatan Azrina memaksa Lee Jun Ki untuk merasa berat mengucap kata bahkan hanya sekedar memanggilnya dengan sapaan 'gongju-nim' seperti biasa. Meneguk salivanya yang terasa getir, Lee Jun Ki lantas mengulum senyum kemudian mulai menceritakan apa yang baru saja ia lewati hari ini seolah Azrina benar-benar mendengarnya. Bagaimanapun ia baru saja berjanji bahwa ia akan berusaha menjaga emosi di sekitar Azrina, sebab sekalipun ia tak sadarkan diri ia tetap bisa merasakan. Maka memberi semangat jauh lebih baik untuk menstimulasi kesadaran Azrina ketimbang harus meratapi keadaannya.

"Kamu tidak mau buka mata dan menatap seorang hoejang-nim baru ini sebentar?"

"Tadi aku keren sekali! Kamu pasti tidak percaya karena tidak melihatnya sendiri. Apa itu? Yang biasa kamu bilang? Narsis? Kau pasti akan bilang begitu kan? padahal sebenarnya kau yang paling tergila-gila padaku," monolog Jun Ki. Gelaknya menggaung menyamarkan bunyi elektrokardiograf yang terpasang untuk mendeteksi aktifitas jantung Azrina.

"Tanganmu hangat sekali." Jun Ki menggenggam tangan Azrina seraya menempelkannya ke satu sisi pipinya. "Pinjam sebentar, ya. Aku membutuhkan energimu."

Dengan telapak tangan Azrina yang masih menempel di pipinya, Lee Jun Ki memejamkan mata. Sejenak kemudian Lee Jun Ki kembali tertawa dengan tawa yang terdengar pedih. "Rasanya benar-benar tidak tahu diri, ya. Bahkan dengan kondisimu yang seperti ini, aku tetap menjadi seseorang yang membutuhkan kau sebagai penyemangat."

Jun Ki melipat bibirnya ke dalam, berusaha menghalau sebuah desakan yang menggetarkan organ verbanya itu. "Aku tidak tahu harus mengucapkan apa, Az. Ketika keputusan untuk tidak membagi duka kepadamu kurasa sebuah keputusan yang benar, kau dan semua yang menimpa kita sekarang seolah menegaskan bahwa tidak ada yang benar dari menyembunyikan rahasia dalam sebuah pernikahan. Seharusnya kau bisa menceritakan semuanya padaku. Seharusnya ... kita. Kita bisa saling berbagi duka untuk saling menyembuhkan. Karena saling merahasiakan tidak mendatangkan bahagia kecuali bersama petaka setelahnya."

"Seharusnya aku tahu lebih awal ... "

"Aku hanya terlalu takut ... kau juga pergi seperti perginya semua orang yang aku sayangi meninggalkanku. Az ... katakan padaku kau tidak akan begitu ... Aku membutuhkanmu, Az. Saat semua yang terjadi menyudutkanku sebagai seseorang yang harus bertanggung jawab, aku butuh kamu untuk meyakinkan bahwa ini bukan kesalahanku ..."

Lee Jun Ki melanggar janjinya untuk tidak menangis di depan Azrina lagi. "Saat segalanya terasa menderu-deru menghempas, aku butuh kau untuk meneguhkan pegangan. Bahwa inilah sesuatu yang bernama ujian itu. Ujian yang harus dihadapi seseorang setelah mengikrarkan keimanan, meyakini kebenaran dan berproses menjadi lebih baik dari sebelumnya. Apakah seperti ini, Az? Aku ingin mendengar suaramu mengatakannya. Beginikah para sahabat Nabi merasakan perih yang menghimpit demi membeli surga? Az ... jika ini adalah perjuangan, bisakah kau ... sekali lagi, menemaniku berjuang?"

Napasnya terceguk, isaknya mendesak. Lee Jun Ki lagi-lagi berusaha membangunkan Azrina. "Rasanya berat sekali, Az. Diluar sana, orang-orang menuduhku berkonspirasi untuk merebut seluruh harta Presdir. Sesuatu yang tidak pernah kuharapkan, bahkan tidak pernah aku nikmati meski itu memang seharusnya menjadi milikku. Mereka menuduhku membunuh ayahku sendiri, dan bersengketa warisan dengan ibu dan saudaraku. Lalu Namira ... lagi-lagi gadis itu yang harus menanggung tuduhan sebagai tersangka atas sesuatu yang membayangkannya pun dia tak pernah. Kesalahannya hanya jatuh cinta. Kesalahan terbesarnya hanyalah karena dia mencintaiku ... Sayang, apakah mencintaiku adalah kesalahan? Benarkah sebab mencintaiku kau pun akhirnya harus menerima hukuman?"

Ia menumpahkan segala. Seolah membayar lunas semua yang tak pernah ia bagi pada Azrina demi menjaga pernikahannya tetap bahagia.

"Jika mencintaiku adalah hukuman, bisakah kau tetap menanggungnya? Jangan takut, kau tidak sendirian. Kita akan menghadapinya bersama. Jika perlu, aku saja yang menebusnya, kau cukup berdiri di sisiku dan tanganmu menggenggam tanganku, memberi kekuatan."

Lirih permohonan Jun Ki terhenti oleh langkah seseorang yang mendekat.

"Apapun yang terjadi, tetaplah berbaik sangka bahwa itu yang terbaik menurut Allah."
Tangan prof. Ali menepuk bahu Jun Ki yang masih berguncang.

Ingin sekali Lee Jun Ki menanyakan bagaimana mertuanya itu membesarkan hati dengan segenap kerelaan.

"Jika kita sudah semaksimal usaha, sudah optimal dalam doa, tetapi yang terjadi justru berbeda dari harapan kita, yakinilah bahwa Allah selalu punya cara untuk mencurahkan cinta dan membahagiakan setiap hati yang ridha terhadap keputusan-Nya."

"Kuatkan hatimu, Nak. Pikirkan apa yang akan dikatakan Azrina jika melihatmu seperti ini."

Lee Jun Ki tahu, Azrina sama seperti orang tuanya. Seringkali perihal mengikhlaskan sesuatu Lee Jun Ki masih kesulitan memahami mereka yang seolah mudah sekali merelakan apa yang mereka punya dan tetap berbahagia. Lee Jun Ki tahu sebabnya mengapa Azrina memilih mengorbankan diri alih-alih mengikhlaskan sang buah hati.

Seraya memohon doa agar dikuatkan, Jun Ki berulang kali mengucap terima kasih. Setidaknya dengan kehadiran ayah dan ibu Azrina disini, dia tidak merasa sendiri.

Lee Jun Ki keluar ruangan untuk membasuh wajahnya yang sembab. Kemudian mengobrol sebentar dengan ummi yang memberi semangat, sama seperti Abi tadi.
Lee Jun Ki merasa lucu, saat seperti ini seharusnya ia yang menguatkan orang tua Azrina. Bukan justru mereka yang menyemangatinya. Tetapi tidak bisa, Lee Jun Ki terlalu lelah untuk dapat melihat hal positif dari kejadian yang menimpanya beberapa hari ini. Bersyukur orangtua mereka ada dan menjaga Jun Ki agar tidak lepas kendali.

"Jun Ki sudah bertemu Namira? Bagaimana keadaannya?"

Bahkan di saat seperti ini mereka pun masih menanyakan Namira.

Jun Ki menggeleng lemah. Memang dia justru tidak berusaha mencari ataupun menemui Namira di saat seperti ini.
Dia punya prioritas sekarang. Istrinya sedang berjuang untuk hidup, begitupun dengan calon anaknya. Bagaimana ia harus memikirkan Namira?

"Kalau memungkinkan, cobalah untuk menemuinya. Kawal kasusnya dan bebaskan dia, Nak. Azrina pasti meminta hal yang sama."

Itu benar.

"Azrina itu, sangat menyayangi Namira. Bahkan ummi yang dulu setengah hati menerima Namira perlahan jadi membuka hati karena Azrina yang benar-benar terlihat bahagia karena memiliki Namira."

Ini yang Jun Ki baru dengar. Ia mulai tertarik menyimak ucapan ummi.

"Sejak kedatangan Namira, berangsur-angsur kondisi Azrina pulih seperti normal. Saat itu Ummi merasa perlu berterima kasih, seakan Namira memang dikirim Allah untuk menyelamatkan anak kami. Kami bisa melihat Azrina tumbuh mendewasa dengan bahagia, itu terasa seperti mimpi yang menjadi nyata."

"Sebesar itu rasa cinta Azrina terhadap Namira sampai semua yang Azrina punya akan diberikan pada Namira. Dari situ Ummi lagi-lagi belajar untuk tidak membedakan mereka sekalipun Namira bukan anak kandung Ummi sendiri, karena Azrina mencintai Namira seperti kakak kandungnya sendiri."

"Mudah bagi Azrina merelakan sesuatu yang ia miliki untuk diberikan pada Namira."

Kalimat itu menyentak Lee Jun Ki. Itu benar. Bahkan belum lama, Azrina juga hendak merelakan dirinya untuk Namira.
Lee Jun Ki menyeringai. Semua yang tidak ia pahami dari jalan pikiran istrinya itu perlahan terurai dengan jelas.
Bahkan sampai seperti itu Azrina mempersiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi dengan memaksa Jun Ki menyetujui permintaan anehnya, karena memang sebesar itu ia mencintai Namira. Dan kehadiran Jun Ki lah yang membuat hubungan mereka menjadi rumit seperti sekarang.

"Pergilah, Nak. Usahakan Namira bebas. Mungkin itu bisa membuat Azrina lebih baik."

"Azrina butuh saya disini, Ummi."

"Ummi sama Abi yang jaga. Jun Ki lanjutkan saja apa yang harus dikerjakan. Semoga Allah melindungi kita semua."

Benar juga. Ada banyak hal yang menunggu terselesaikan. Bahkan sebelum kasus Tiffany terungkap, kini berderetan kasus serupa dan tugas Jun Ki sebagai Presdir baru tentu membutuhkan dia untuk menjaga fokus. Ia kemudian segera menelepon paman Kim dan mulai kembali melanjutkan misi dengan semangat yang penuh terisi.

***

"Makanlah perlahan." Bibi Sung selesai menata kotak makanan bersusun yang dibungkus dengan ikatan kain di atas meja persegi dalam ruangan yang menjadi tempat bertemunya tahanan dengan penjenguknya.

"Terima kasih atas makanannya, Bibi. Seharusnya Bibi tidak perlu repot-repot."

"Ani, Bibi sama sekali tidak repot. Itu Hyungsik, dia yang membuat semuanya. Sejak pagi dia tidak tenang memikirkan bagaimana kau akan makan jika bukan dia yang memasak makanannya."

"Anigodeun!" Hyungsik menyangkal dengan jual mahal.

"Untuk apa berpura-pura? Kau bahkan mendesak ibu untuk segera kesini dan membawa semua makanan termasuk donat ini! Untuk siapa jika bukan untuk Namira?"

"NAEGA ONJE?!!" masih saja tidak mengaku dan memasang ekspresi acuh tak acuh melayangkan pertanyaan pada Namira. "Apa tidurmu nyenyak semalam? Bagaimana rasanya tidur sebagai narapidana?"

"YA! aku bukan narapidana! Aku belum terbukti bersalah, lagi pula kasusnya belum masuk ke pengadilan." Baru saja Namira hampir tersipu, Hyungsik lagi-lagi mengacaukannya.

"Lalu aku boleh mengatakan kau sebagai tersangka kasus pembunuhan, begitu?"

"Aigooo anak bodoh ini!" Bibi Sung memukul kepala Hyungsik segera setelah mendengar ucapannya yang membuat wajah Namira merengut. "Sudah, habiskan makananmu saja, Nona. Jangan pedulikan dia.

"EO! Manhi meogo! kau perlu banyak makan agar kuat menghadapi kenyataan," kelakar Hyungsik dengan kekehan.

Begitu seterusnya sampai Namira selesai dengan makanannya, Hyungsik terus saja mengusik, membuat gadis itu nyaris mengusirnya.

"Kami pulang dulu, Nona. Secepatnya kami akan kesini lagi, ya!"

"Iya, Bibi, terima kasih banyak. Hyungsik juga, terima kasih, ya."

"Apa ada lagi yang kau butuhkan? Biar besok Bibi suruh Hyungsik membawakannya untukmu."

"naega? shirheo!" Hyungsik berlagak keberatan. Kembali bibi Sung mengomelinya dan mengancam tidak akan menemani jika Hyungsik memintanya ikut menjenguk Namira lagi.

Namira terseyum saja, "Sudah, Bibi. Semua yang aku butuhkan sudah ada di koper ini. Terima kasih, Bi."

"Bibi," ujar Namira cepat ketika bibi Sung hendak membalikkan badan, "bisakah aku tahu bagaimana keadaan Azrina?"

Lalu kalimat bibi Sung yang menceritakan tentang Azrina yang sehabis operasi kemarin belum juga sadar seolah menjadi awan hitam yang menghinggapi wajah Namira.

"Ya Allah, Az. Maafkan aku..."

***

Dua bulan berlalu, Lee Jun Ki mulai terbiasa dengan rutinitasnya yang baru. Bekerja di kantor dari pagi hingga petang, mencari bukti untuk memenangkan peperangan dengan nyonya Choi, kemudian kembali ke rumah sakit sebagai suami yang akan melepas penat kepada sang istri.

Dua bulan Azrina dirawat tanpa perkembangan yang signifikan, ia dipindah dari ruang ICU ke kamar perawatan presiden suite yang diubah menjadi ruang ICU pribadi agar lebih nyaman bagi keluarga untuk bergantian menjaga.

Seperti biasa, Jun Ki datang pada Azrina, seusai mengelap tubuh Azrina dengan kain basah dan membubuhkan pelembab di kulitnya kemudian menghirup aroma khas milik istrinya itu Jun Ki mulai bercerita, apapun yang hari ini dialaminya. Jun Ki mulai belajar untuk mengungkapkan semuanya tanpa menyimpan rahasia. Dan rasanya benar-benar menenangkan meski Azrina tidak meresponnya bahkan belum tentu mendengarnya.

Semuanya mulai terasa normal dalam hari-hari yang tak biasa. Lee Jun Ki mulai mampu menghidupkan kamar ini selayaknya kamar mereka dahulu meski ia tak tahu harus sampai kapan menunggu hingga Azrina kembali membuka mata, namun gongju-nim yang setiap hari bertumbuh sesuai harapan menjadi setitik kebahagiaan baginya. Jika berjalan sesuai rencana, minggu depan bayi itu telah siap untuk dilahirkan melalui operasi caesar dan Azrina bisa mulai menjalani pengobatan jantung yang lebih intensif. Jika segalanya berjalan sesuai rencana. Jika tidak terjadi kendala.

"Haura-ku, apa kau mendengarku?"

"Besok sidang putusan Namira. Setelah melewati banyak sidang dan terus tertunda, sepertinya semua orang sudah lelah. Media pun tidak lagi tertarik memberitakan. Ada untungnya juga, tapi besok akan menjadi penentuan Namira akan dijatuhi hukuman berapa lama."

"Semua sudah dilakukan untuk mendapatkan bukti yang meringankan Namira, tapi seolah semua jalan yang ditempuh berakhir dengan jalan buntu. Aku kasihan dengan paman Kim, beliau terlihat sangat kelelahan."

"20 tahun, Sayang. Bisa saja Namira divonis 20 tahun, atau bahkan seumur hidup. Kita tentu tidak akan membiarkan itu ... Tapi kita bisa apa? Bahkan kamera yang disebutkan Namira itu, mulai terasa seperti mitos saja karena tidak terdeteksi jejaknya."
"Azrina-ku ... Dimana keberadaanmu sekarang? Mengapa saat aku dan kau berada bersisian tanpa jarak rasanya justru seperti kau semakin jauh. Tolong kembalilah, Sayang. Kembalilah untukku. Berikan harapan padaku ketika segalanya mulai menjadi mustahil."

Sebelum Jun Ki benar-benar kembali larut dalam duka hati, secepatnya ia menetralisir perasaannya dengan segera memberi senyuman lagi. "Tidak mengapa, aku bisa menunggu satu pekan lagi. Kau juga siap, kan?"

"Ah, tunggu sebentar. Aku belum solat ternyata."

"Iya. Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya. Itu karena hari ini lelah sekali karena terlalu padat." Seperti biasa, seakan Azrina mengomelinya karena telat salat.

Usai salat, Jun Ki menyetorkan hafalan sebentar. Kemudian melanjutkan membaca buku yang sengaja ia agendakan untuk Azrina.

"Sampai dimana kita kemarin? Ah, ini ... Tidaklah aku ditimpa keburukan melainkan aku mengatakan kebaikan. Dan tidaklah aku melalui satu hari yang suram melainkan aku mengatakan besok pasti akan lebih indah. Dan tidaklah aku kehilangan sesuatu melainkan aku mengatakan Allah akan menggantinya. Maka pujilah Allah selalu. Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-sya'rawi," Jun Ki menutup sejenak halaman buku yang dibacanya.

"Jinjja? Hah, bagaimana bisa setiap membaca sesuatu seperti kau memberi jawaban atas keluh kesahku sebelumnya? Kau, pura-pura tidur ya? Haha." Jun Ki tergelak kemudian menghela napas panjang.

"Oh, Sayang ... Aku merasa beruntung dapat merasa syukur diantara kesulitan yang aku hadapi. Especially, aku merasa beruntung karena memilikimu sebagai alasan kesyukuran itu. Terima kasih, Haura-ku."

Seusai mengucap kalimat tulus itu, bersama satu kecupan di tangan lemas Azrina yang ia genggam, ada yang berubah bunyi dari rekaman aktifitas jantung Azrina. Iramanya berbeda dari semenjak Jun Ki datang dan berceloteh panjang. Sontak Jun Ki terkejut saat menyadarinya dan segera menoleh ke arah monitor EKG, saat itu sesuatu yang lebih mengejutkannya ia rasakan tepat di tangannya yang masih menggenggam tangan Azrina. Untuk pertama kalinya setelah dua purnama, genggaman tangan Jun Ki di setiap malam itu kembali berbalas. Perlahan, gerakannya pelan, sampai Jun Ki yakin Azrina benar-benar membalas genggaman tangannya.

"Sayang?"

Tak kuasa menghalau bahagia, terlebih ketika pergerakan Azrina juga terlihat nyata pada kelopak matanya yang mengerjap dan segera menangkap presensi Jun Ki diantara silau cahaya langit-langit kamar ketika sempurna terbuka.

"Sayang!" sahut Jun Ki lebih riang meski masih setengah percaya.

Sementara Azrina dengan selang ventilator yang menyangga mulutnya, serta selang NGT yang selama ini menjadi jalan masuknya makanan dalam bentuk cairan melalui hidungnya itu nampak sudah hendak berbicara.

"Oooh, sayang! Sayang! Ah! Alhamdulillah. Gumawo. Gumawo. Kamsahamnida, ya Allah." Jun Ki beringsut menciumi wajah istrinya dengan uraian airmata haru. Meski kesadaran Azrina adalah hal yang paling ia tunggu, tetapi ia tidak menyangka hal itu akan ia dapatkan saat ini juga. Rasanya seperti dia pun nyaris terkena serangan jantung karena terkejut.

Azrina pun menitikkan air mata. Dari kalimat yang berusaha ia ucapkan, Jun Ki memahami Azrina mengucap kata maaf dengan air muka yang penuh penyesalan dan kesedihan.

Jun Ki menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak, Sayang. Tidak apa-apa. Terima kasih karena telah kembali. Terima kasih..."

Mereka berdua hanyut dalam derai airmata sekaligus bahagia. Saling memaafkan tanpa terlafazkan, saling mengucap maaf dari setiap tarikan napas. Kedua orangtua Azrina sedang beristirahat di rumah hari ini, sedang Furqon beberapa hari terakhir lebih jarang terlihat, mungkin sedang menjelajahi negeri ini.

Namun setelahnya, seperti hal yang tidak dapat diprediksi Jun Ki sebelumnya, Azrina mulai menyebutkan Namira. Sedang Jun Ki tak bisa mengucapkan apa-apa selain menggeleng lemas. Terdengar ceguk dari Azrina yang mulai mengisak lebih keras,

"Oppa ... Namira, Oppaa." lirihnya berulang-ulang. Sampai detak jantungnya kembali mengalami takikardia. Tepat saat dokter menghampiri setelah Jun Ki mengabarkan kesadaran Azrina, jantungnya justru bereaksi tidak diharapkan. Serangan kembali terjadi kali ini lebih parah hingga monitor alat rekam jantung Azrina hanya menampilkan garis lurus bersama denging yang panjang.

"Andwae! Gajima!" jerit Jun Ki serak.

Dokter mulai bekerja dengan segenap tenaga seusai mengeluarkan Jun Ki dari ruangan dengan sedikit paksaan. Laki-laki yang sedang terguncang itu masih berusaha memberontak masuk. Di titik ini sebuah firasat membuatnya cukup yakin bahwa kesadaran Azrina secara tiba-tiba tadi adalah kali terakhir perempuan itu mampu membuka mata sampai Jun Ki benar-benar kehilangannya.

Keadaan berubah genting, butuh waktu yang cukup lama hingga dokter bisa mengatasi serangan kali ini bahkan sampai menggunakan alat kejut jantung untuk mengembalikan Azrina. Setelah memastikan kondisi Azrina telah berhasil diselamatkan, dokter segera menemui Jun Ki dan memintanya mengurus keperluan persalinan. Bayi Azrina harus dilahirkan saat ini juga.

Tanpa berpikir panjang, Jun Ki mengikuti instruksi. Lelaki itu menjadi sibuk kesana-kemari. Terlebih prediksi dokter bahwa setelah tindakan sectio caesaria berlangsung ada kemungkinan jika jantung Azrina tidak lagi dapat difungsikan, itu artinya mereka pun harus melakukan operasi transplantasi. Dan Jun Ki perlu mencari donor jantung sesegera mungkin agar disiapkan jika memang kemungkinan itu terjadi.

Dua bulan mengantri donor jantung nyatanya hingga kini Azrina harus menunggu, lalu bagaimana Jun Ki akan mendapatkannya dalam waktu singkat?

Begitu pergolakan batin dalam ringkuknya seusai memberi kabar kepada orang tua Azrina dan mengambil sedikit jeda untuk sekedar mengatur napas.
Kembali memorinya memutar kejadian beberapa waktu lalu. Mengurai setiap detiknya untuk dapat ia cerna, bagaimana bisa keadaan dapat menjadi terbolak-balik dalam sekejap. Manusia memang benar-benar tidak diperkenankan untuk berlebihan dalam mengekspresikan rasa. Sebab bahagia akan sirna, dan duka bisa menyapa kapan saja. Begitupun sebaliknya.

Lirih suara Azrina menggema dalam benaknya, "na-i-ra ..." menjadi sesuatu yang turut mengusiknya. Bagaimana jika itu adalah kalimat terakhir yang bisa ia dengar dari istrinya? Jun Ki takut, itu menjadi sebuah permohonan terakhir dari Azrina kepadanya.

Haruskah Jun Ki menyanggupinya?

***

Fajar menyingsing, Baek Jiyoung dan tim dokter bersiap melakukan operasi persalinan darurat sekaligus berjaga-jaga jika jantung Azrina kembali bereaksi diluar rencana.
Ummi dan abinya Azrina bersama paman Kim juga bibi Sung juga datang memberi dukungan kepada Jun Ki karena mereka akan segera menyambut kelahiran bayi yang telah dinantikan.
Dengan senyum terkembang, mereka mengesampingkan kekhawatiran akan sebuah kehilangan. Setidaknya mereka perlu bersuka cita atas sebuah kelahiran sekalipun setelahnya mereka harus merelakan.

Paman Kim mengingatkan sidang putusan Namira yang juga akan dilangsungkan pagi ini. Tetapi Jun Ki serta merta menyerahkan semuanya kepada paman Kim. Ia tidak berminat untuk memikirkan apa-apa selain Azrina hari ini.

Sekalipun orangtua Azrina yang meminta, Jun Ki tetap berkeras ingin mendampingi istrinya seolah firasat yang ia rasakan menjadi semakin kuat. Jika memang mereka harus berpisah, Jun Ki ingin tetap berada di sisi Azrina sampai itu terjadi.

Akan tetapi berselang beberapa menit sebelum Azrina dimasukkan ke ruang operasi, ketika matanya menatap tubuh istrinya yang terbaring diatas brankar. Suaranya kembali terngiang. Suara yang memanggil nama Namira menjadi alasan Jun Ki untuk segera melesat ke tempat persidangan.

Namira, akan selalu menjadi sesuatu yang mengisi sekeping hati Azrina.

Namira, jikapun Azrina pergi, gadis itu ia titipkan pada Lee Jun Ki sejak jauh-jauh hari.

Sekalipun Jun Ki tahu cinta Azrina untuknya mengisi kepingan hati yang lebih besar, tetapi permohonan Azrina membuat Jun Ki tersadar bahwa hati Azrina memang tidak akan menjadi utuh jika salah satu dari mereka hilang darinya.

Lee Jun Ki harus menjemput Namira.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro