Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 - Till We Meet Again

🍁🍁

Cuaca di kota Seoul dan sekitarnya sedang memasuki puncak dinginnya. Pada waktu seperti ini biasanya Korea menjadi salah satu destinasi wisata bagi para penduduk iklim tropis yang di negaranya hanya ada dua musim, seperti Indonesia. Banyak turis yang datang untuk berlibur dan melihat salju dari dekat.

Berbanding terbalik dengan Namira yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia, secepat yang ia bisa.

Gadis itu mengeratkan coat coklat susu yang melapisi pakaiannya, sesekali pula ia meniup kedua telapak tangan, cuaca yang dingin tetap menyergapnya meski dirinya sedang di dalam mobil yang telah diaktifkan penghangat udara.

Gadis itu mengulum senyum saat pandangannya mengedar mengikuti pergerakan mundur benda-benda yang terlihat dari jendela ketika mobil yang ditumpanginya melaju. Hari ini—jika Allah mengizinkan, ia benar-benar akan mengucap salam perpisahan kepada negeri impiannya dahulu dan entah kapan ia akan menginjakkan kaki ke kota ini lagi.
Kota yang telah mengukirkan banyak kenangan, meski keberadaannya disini baru hitungan bulan.

Banyak hal yang telah Namira lewati hingga mencapai titik dimana dia memutuskan untuk kembali dan tidak mengimpikan Korea lagi. Bahkan saat pertama kali kakinya menapak di negeri asing ini, sebenarnya ia pun setengah hati. Bayang-bayang Lee jun ki yang menghadiahinya luka hati telah merusak obsesinya untuk berwisata menikmati keindahan kota ini seperti yang sering ia lihat dalam layar televisi.

Namira tersenyum lagi. kali ini lebih lebar dari yang tadi. Mengingat bagaimana takdir membuat hidupnya terombang-ambing hingga berakhir di sini sekarang sudah mampu ia tertawakan. Memang urusan takdir adalah hal yang jauh dari nalar, hanya bisa ditertawakan ketika mengingat di masa lalu kita terlalu keras melawan. Kali ini, semoga takdir setuju dengan keputusannya untuk benar-benar pergi. Tak seperti terakhir kali saat skenario begitu apik membuatnya tetap berada disini meski tiket pesawat sudah ia kantongi. Tetapi bertemu Azrina disini dengan fakta-fakta yang muncul setelahnya, memaksa Namira untuk tidak menunda lagi. Ia harus melarikan diri dari kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.

Masih terdengar jelas permintaan Azrina kemarin yang lagi-lagi membuat sekujur tubuhnya merinding. Namira menggeleng keras, jika memang harus ada yang berkorban disini, sudah pasti itu adalah dirinya sendiri.

Jadwal penerbangan Namira masih sekitar 12 jam lagi. Tetapi ia telah lebih dulu memohon diri beranjak lebih cepat dari kediaman Lee Jun Ki dan semua penghuninya. Bibi Sung menangis tersedu dan berat melepaskan pelukannya pada Namira saat berpamitan tadi. Begitupun para pelayan yang sudah menjadi sahabat-sahabatnya. Jangan ditanya Azrina sebagai sahabat asli sedihnya seperti apa. Namun bagaimanapun wanita itu tetap berusaha mengerti dan memaklumi keputusan Namira untuk hidupnya.

Rencananya, sebelum menuju bandara, Namira akan mengunjungi Seoul Central Mosque yang tak jauh dari sekitar kompleks permukiman Lee Jun Ki, ia juga ingin berpamitan dengan teman-temannya yang berada disana, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kediaman Presdir yang sejak mendengar kabar kepulangan Namira segera menelepon gadis itu dan memaksanya untuk bertemu. Namira pikir, bagaimana pun Presdir telah banyak berjasa padanya selama tinggal disini, bahkan berterima kasih saja tidak cukup untuk membalasnya. Akan sangat tidak sopan jika ia menolak permintaan sang Presdir yang telah menganggapnya seperti anak sendiri itu. Apalagi Presdir mengiming-imingi kabar bagus yang akan disampaikan khusus untuknya jika ia bersedia datang. Meskipun hal ini sempat memicu ketegangan antara dirinya dengan Lee Jun Ki yang masih saja terlalu takut jika Namira atau orang-orang yang ia sayangi berurusan dengan sosok mafia di matanya itu. Namun, Namira tetap menyanggupi, sebagai acara perpisahan sekaligus permintaan maaf karena menolak ikut serta dalam rencana Presdir sebelumnya.
Urusan Lee Jun Ki, kini lelaki itu memiliki Azrina yang akan menenangkan hatinya. Dan mungkin melunakkannya untuk memangkas jarak yang selama ini terbentang antara dia dan ayah kandungnya. Bagaimanapun caranya, itu bukan lagi urusan Namira.
Walau akhirnya, Azrina dan Jun Ki batal mengantarnya ke Bandara, karena Namira memutuskan untuk mampir menemui Presdir dulu dan Jun Ki tidak menginginkan itu. Ia hanya akan mengantar jika tujuannya tidak ke rumah yang menyimpan kenangan buruk baginya itu. Beruntung, Hyungsik mau-mau saja mengantar Namira kali ini, tanpa banyak protes, ia bahkan menawarkan diri lebih dulu.

🍁

Mobil mereka telah terparkir rapi di kawasan masjid. Bukan kali pertama Hyungsik mengantar Namira kemari. Beberapa kali ia pernah ikut sekedar untuk menjawab penasarannya tentang bagaimana umat Islam menjalankan ibadah. Karena Namira kesulitan menjelaskan, ia ajak saja melihatnya sendiri secara langsung.

Dan, meski tidak secara terang-terangan mengakui, Hyungsik tidak bohong jika ada rasa damai yang menyusupi rongga dadanya setiap kali berada di lingkungan ini. Lingkungan orang-orang yang menyambutnya dengan senyuman dan pelukan hangat, sekalipun mereka tahu bahwa Hyungsik berbeda.

Ia mulai akrab dengan ahjussi pemilik toko buku yang menyediakan buku gratis bagi siapapun yang ingin tahu lebih banyak tentang islam. Juga pemuda-pemuda dengan senyum ceria membagikan minuman hangat bagi siapapun yang lewat, lagi-lagi tanpa dipungut biaya. Hyungsik merasa takjub melihat betapa semangatnya orang-orang ini menebar kebaikan dan saling berbagi cinta meski tak ada hubungan diantara mereka kecuali hubungan persaudaraan dalam Islam. Apalagi saat mendengar cerita tentang Ramadhan di tempat ini, bahkan makanan pun dibagikan secara gratis.

Perlahan, Hyungsik memahami hal-hal yang Namira tidak sempat jelaskan. Termasuk konsep menutup aurat dengan hijab yang awalnya membuat Hyungsik risih setiap kali melihat Namira harus repot-repot menutupi kepalanya kapanpun ia melihat gadis itu.

Bukan hanya Hyungsik saja, Namira pun sejak rutin menyambangi tempat ini, banyak hal baru yang ia pelajari kemudian menjadi salah satu pemicu bagaimana rasa cintanya terhadap Korea berubah, dari hal-hal duniawi seperti serial-serial drama yang tak pernah absen ia ikuti, juga ketampanan dan kepiawaian para oppa-eonni yang menghiasi kancah hiburan di seluruh pelosok negeri - bahkan mancanegara termasuk Indonesia sendiri - kini menjadi rasa bangga secara ukhrawi, setelah ia mengetahui bahwa ternyata Islam pun pernah bernafas segar di tanah ini.

Jauh sebelum Namira terjangkit virus hallyu wave yang masih menjamur di berbagai negara hingga saat ini, Islam ternyata telah lebih dulu menjangkau tanah Korea. Ibnu Khurdadbih, seorang penjelajah dan ahli geografi muslim asal Persia pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dalam karyanya Kitabul Masalik wal Mamalik - General Survey of Roads and Kingdoms menyebutkan awal mula hadirnya Islam di Korea pada periode Shilla Bersatu melalui para pedagang Arab dan Persia di awal abad ke-9. Kemudian berlanjut sampai abad ke-15 pada masa kerajaan Goryeo beberapa pedagang muslim mulai menetap di Korea hingga mendirikan keluarga di sana kemudian dikenal sebagai komunitas Huihui, bahkan terdapat masjid di ibukota Gaesong selama akhir periode ini.

Annals of The Chosun Dinasty atau Joseon Wangjo Sillok, sebuah catatan sejarah pemerintahan 25 Raja Dinasti Joseon yang memerintah Korea sejak tahun 1397 - 1910 mencatat bahwa pada masa itu Joseon (sebelum masa pemerintahan Raja Sejong) adalah Monggyeo yang berarti Islam. Orang-orang Monggyeo ini disebutkan tidak mengkonsumsi daging babi dan berpakaian menutup aurat sebab mereka adalah muslim. Baru kemudian setelah itu pada abad ke-15 masa pemerintahan Raja Sejong, Islam di Korea akhirnya lenyap karena isolasi politik sampai diperkenalkan kembali menjelang abad ke-20 dan semakin berkembang hingga sekarang.**


(**source: IG @mhmd.son)

Ada kebahagiaan yang menggetarkan hati jika mendengar sejarah-sejarah jejak pejuang Islam yang ternyata menyebar sampai seluas ini tanpa pernah Namira telisik sebelumnya.

Belakangan ia menyadari, rasa cintanya pada negeri ginseng berubah menjadi suci, bukan lagi sebagai kiblat hiburan dan kesenangan batinnya, tapi sebagai negeri milik Allah yang didalamnya ada kewajiban untuk melanjutkan misi menjadikan Islam kembali lestari.

Lalu perlahan rasa malu mulai menyentil rohaninya.

Ia mulai merasa tidak wajar jika di negara mayoritas muslim, anak-anak muda sepertinya sedang asyik-asyiknya menikmati kesenangan dunia dari hiburan-hiburan semu yang disajikan negara ini. Sementara orang-orang di Korea sendiri justru berbondong-bondong menjemput cahaya Ilahi setelah menemukan ketenangan hati dari Islam yang sanggup menjawab semua keraguan-keraguan mereka tentang konsep ketuhanan yang selama ini diabaikan oleh kebanyakan penduduk negara maju ini.

🍁

"Kau dengar itu, Yoon jae-ah? Presdir mengundang Namira kemari. Ini saat yang tepat untuk kita menjalankan rencana," ucap Nyonya Choi Miran berbisik pada putranya yang hanya merespon dengan ekspresi dingin seusai mereka menyimak pembicaraan Presdir di telepon dengan Namira.

"Eomoni, tak bisakah kita berhenti?" lirih Yoon jae yang segera ditanggapi sinis oleh ibunya.

"Apa maksudmu berhenti? Kita baru akan memulai peperangan yang sesungguhnya!"

"Maksudku, berhenti ... Menyerah. Melepaskan apa yang memang bukan milik kita."

"Yoon jae-ah! Jangan bicara lagi. Justru kita akan kehilangan semuanya jika kita berhenti disini," sergah sang Ibu. "... Ini semua gara-gara tua bangka itu. Kalau saja dia tidak tiba-tiba berulah dengan keputusan wasiatnya! Kita tidak perlu repot-repot begini," tukas wanita itu dengan napas memburu.

"Tapi, eomoni. Namira itu ..."

"Sudahlah! Cepat persiapkan semuanya. Kali ini kita harus berhasil!"

Seperti biasa, Jung Yoonjae tidak akan pernah bisa membantah kehendak ibunya.

🍁

"ja! Ini." Hyungsik mengulurkan selembar kertas karton warna biru langit dengan coretan warna-warni kepada Namira. Seusai Namira berpamitan dengan teman-temannya dan mereka singgah sejenak duduk pada sebuah bangku di sekitaran lingkungan masjid.

-Yang akan aku lakukan jika sembuh-

Sebuah list harapan yang ditulis oleh Tiffany.

"Aku berjanji akan menemaninya mendatangi tempat-tempat itu, dulu ..." ucapan Hyungsik menguap bersama udara yang berhembus dari mulutnya. "... tapi itu tidak pernah terjadi," pungkasnya.

"Dia satu-satunya temanku. Meskipun jika bersamanya, aku hanya akan membuatnya kesal. Tapi sejak dia pergi, kurasa aku selalu merindukannya." Hyungsik tersenyum, terdengar seringai kecil menyusulnya. Namira tahu, sebesar itu arti Tiffany bagi Hyungsik.

"Kau yakin kau benar-benar tidak ingin pergi ke tempat-tempat itu? Itu sama, kan?"
Mata Namira menatap kertas yang ia goyang-goyangkan dengan tangannya. Memang benar, daftar keinginan dan tempat-tempat impian Tiffany nyaris sama dengan apa yang kemarin ia katakan pada Hyungsik.

Tapi Namira masih tidak mengerti mengapa Hyungsik tiba-tiba harus mengangkat topik ini sekarang.

"Jika aku tidak berhasil mengajak Tiffany, mungkin mengajakmu akan berhasil andai kita punya cukup waktu," sahut Hyungsik kini semakin serius.

"Apa ... Maksudmu?"

"Kau ... Apa kau benar-benar akan pergi seperti ini?"

"Hah! Bukankah kau yang akan paling bersorak gembira jika aku pergi?"

Hyungsik tersenyum kecil, "geureottji? Seharusnya aku begitu, kan?"

Hening sesaat, hanya uap dari masing-masing napas berat mereka yang terdengar. Hidung Hyungsik mulai memerah sekalipun mantel hangat dan syal terlilit menutupi lehernya. Berbeda dengan Namira yang secara tiba-tiba merasakan hawa panas di sekujur tubuhnya, khususnya pada bagian wajah. Sangat tidak nyaman ketika wajahnya terpapar hawa dingin yang menampar tetapi suhu tubuhnya justru memanas.

Namira tersenyum ketika ia mulai mampu menetralkan dirinya. Setelah menganggukkan kepala mantap, ia berdeham kemudian berujar, "terima kasih atas segalanya, ya, Sik! Maaf juga. Aku tidak akan melupakanmu."

Hyungsik hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kau tidak akan kembali kesini lagi?" tanya Hyungsik sekali lagi.

"Entahlah. Mungkin aku akan kembali jika Korea tidak lagi menyeramkan seperti sekarang."

"..."

"Hei! Ayolah! Bukannya kamu akan senang kalau aku sudah pergi? Itu kan yang selalu kau inginkan?"

"Ya sudah! Pergi sana! Jangan pernah kembali!"

Keduanya tersenyum lantas kembali menghening.

"Sampai bertemu lagi, ya, Sik! Saat Korea kembali menyenangkan seperti sebelumnya."

"Seharusnya Korea sebelum ada dirimu cukup menyenangkan. Tapi setelah kau pergi, mungkin tidak lagi ... " ujarnya dalam hati.

"Kau belum pergi, tapi aku sudah merindukanmu," bisiknya halus seiring hembus angin yang meniup.

"Kau mengatakan sesuatu?" Namira menoleh pada Hyungsik. Lelaki itu menggeleng dengan senyum sembari mengacungkan gelas kertas di tangan kanannya, "kopinya habis,"

"Kurasa sudah waktunya kita pergi," seru Namira sambil berdiri dari duduknya dan merapikan tas selempang bersama kamera yang menggantung di lehernya. Hyungsik menyusulnya.
Sekalipun berusaha tampak ceria, Namira sebenarnya kesulitan menata detak jantungnya sebab Hyungsik yang mendadak berubah tidak kasar seperti biasa.

Ada apa dengannya?

🍁

Tiba di kediaman Presdir, Hyungsik mempersilakan Namira masuk sendiri, dia punya kenangan buruk dengan nyonya Choi Miran yang tak bisa ia lupakan. Lagi pula, untuk bertemu dengan Presdir, Hyungsik tak pernah berani jadi dia menunggu Namira di basecamp para pegawai rumah ini saja.

Seperti saat terakhir kali berada di sini, rumah megah ini terasa begitu lengang. Biasanya, akan ada banyak pelayan yang sibuk melakukan tugas masing-masing, tapi sekarang ini tidak ada siapa-siapa. Mungkin karena Namira datang bertepatan dengan jam istirahat.

Namira melangkah ragu-ragu sampai melewati ruang tamu. Rasanya seperti penyusup memasuki rumah besar ini tanpa disambut siapa-siapa. Orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke rumah ini mungkin akan tersesat sebab terlampau luas. Tapi sebagai yang pernah menetap selama satu bulan di rumah ini, tidak sulit bagi Namira untuk mengingat kemana dia harus pergi.

Ia memilih untuk langsung ke belakang, berharap di sana ia akan temukan para ahjumma pelayan. Menyapa mereka sebentar, sekaligus mohon diri. Namira memuji dirinya sendiri karena menjadi lebih sopan dari biasanya.

"Oh, Nona Namira? Presdir sudah menunggu Anda, silahkan lewat sini."

Dari kejauhan dalam sebuah ruangan, sepasang mata mengintip. Pemilik mata itu telah menyadari kedatangan Namira lebih dulu dan memberi perintah pelayan untuk menyambutnya.

"Dia memakan umpannya!" seru Nyonya Choi Miran girang kepada Yoonjae yang duduk terkulai seolah tak berselera.

Langkah Namira terhenti ketika berpapasan dengan pelayan suruhan nyonya Choi itu kemudian segera mengikutinya menuju ruangan yang di dalamnya ia temukan sosok Presdir tengah serius membaca sesuatu.

"Wah, memang benar. Membaca membuat orang terlihat beberapa kali lebih tampan dari aslinya," kelakar Namira tanpa aba-aba. Tentu hanya Namira yang berani melakukan hal semacam itu terhadap pemimpin tertinggi sebuah perusahaan besar ini.

Presdir terkekeh menyadari kedatangan Namira yang langsung mencandainya, "dasar anak tengil," sebutnya masih diselingi kekehan. Presdir tak akan marah atas sikap Namira, beliau justru gembira, sudah terlalu lama Presdir merindukan hal semacam ini, ketika seseorang dapat membuatnya tertawa dengan gurauan sederhana tanpa merasa segan dengannya.

Berbeda dengan Namira yang sedang bercanda bersama Presdir, Azrina justru masih larut dalam kesedihan seusai mengantar kepergian Namira. Terlebih setelah ia membaca pesan yang dikirim Namira tepat setelah gadis itu benar-benar pergi. Azrina tahu, Namira memang cukup kesulitan mengungkapkan perasaan dengan ucapan, tetapi sangat piawai bermain kata lewat tulisan.

"Kamu sahabatku, dan akan selalu begitu.

Meski kita telah melewati hal-hal yang menyakitkan, semoga kita tetap di gerbang ini. Saling menyayangi dengan wajar dan menyenangkan.

Jangan bersedih, aku menyayangimu.

Menjagamu, menggambar senyum di bibirmu, memberimu perhatian adalah bagian dari hidupku.

Selamanya aku akan begini, meski kau temukan orang lain untuk hidupmu yang lebih berarti.

Adakah perasaan lain selain cinta?

Sedang cinta begitu dekat dengan keegoisan, keinginan untuk memiliki. Tetapi yang kurasakan terhadapmu tidak seperti itu. Ini tulus, rasa sayang tanpa mengharap apapun.

Aku pergi.

Bukan melarikan diri, tetapi untuk menjaga hati agar tak ada lagi yang tersakiti.

Dan kutegaskan sekali lagi,

Kau tetap sahabat sejati."

Begitu surat Namira dalam satu kolom chat di layar ponsel Azrina, selanjutnya Namira mengirimkan sebuah rekaman suara.

"Seharusnya aku memberimu ini lebih awal, tapi semua yang terjadi bikin aku lupa. Itu suara Bibi Sung, coba dengarkanlah, atau tanya langsung padanya agar lebih jelas. Aku kurang mengerti isinya apa, tapi kurasa ini bisa membantumu memperbaiki hubungan Oppa dan ayahnya."

Mengusap airmatanya yang masih menjejak, cepat-cepat Azrina menyetel rekaman itu. 

🍁

"Aku sangat bersyukur telah mengenal anda, Presdir. Terima kasih atas segalanya. Aku pamit, ya? Jangan lupa mengabariku jika suatu hari Presdir mengunjungi Indonesia."

Namira membungkukkan badannya berulang kali.

"Sudahlah. Tidak perlu begitu," cegah Presdir. "Apa kau benar-benar tidak ingin tetap tinggal? Kau bisa bersamaku disini."

"Ya Tuhan. Itu bunuh diri. Aku tidak mau wajahku nanti muncul di semua media sebagai wanita simpanan Presdir."

Presdir seketika berderai tawa. "Dasar kau, ya!"

"Katanya Presdir ingin mengabarkan sesuatu?" Namira mengingatkan.

"Ah, benar! Karena kau tidak ingin tinggal lebih lama, aku memberi tahu kau lebih dulu."

"Memangnya apa? Heyyy Presdir seperti anak muda saja."

"Kau tahu bagaimana cara mengucapkan syahadat dengan benar, kan?"

"Tentu saja tahu! Kami membacanya setiap ... Wait, what? Jinjjayo?!"

Presdir terkekeh oleh tingkah Namira dan keterkejutannya.

"Alhamdulillah, ya Allaaah! Presdir! Oh ya Allah. Panjang umur Presdir Lee!!!"  Namira membungkukkan dirinya dalam-dalam. Bahkan menyungkur sujud di atas karpet lembut ruangan Presdir.

"Kau menangis?" tanya Presdir saat melihat mata Namira basah dan gadis itu sedang mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan.

"Maafkan aku, Presdir. Aku hanya sangat terharu. Ya Allah, Oppa pasti sangat gembira mendengar ini. Selamat, Presdir. Selamat. Semoga Allah memberkahi Presdir."

"Sudah. Sudah. Sekarang ajari aku melafalkan syahadat dengan benar. Latihan sebelum besok, aku sudah membuat janji dengan Imam masjid pusat seoul besok pagi."

"Ah Presdir! Kenapa Presdir tidak mengatakannya lebih dulu. Kalau tahu, aku tidak memesan tiket untuk malam ini." Namira memasang wajah cemberut.

"Kau yang ingin pulang terburu-buru."

"Benar juga, hehe. Ya sudahlah, ayo mulai latihannya. Aaah! Aku bersemangat sekali," seru Namira riang.

Setelah itu Presdir serius mengikuti kata demi kata yang dilafalkan Namira. Meski terbata, meski berulang kali mencoba. Namira dengan sabar mengiringinya, Presdir pun dengan semangat pantang menyerah agar persaksiannya menjadi muslim secara resmi besok pagi menjadi tidak begitu sulit.

"Selamat, Presdir! Aku turut bahagia. Berarti sekarang Anda sudah menjadi seorang muslim! Walau peresmiannya masih besok, tapi hati anda telah meyakininya."

"dahaengida..." balas Presdir masih dengan kekehan. "Doakan aku, ya, anakku."

Namira mengangguk penuh semangat. "Pastinya! Ah, pasti Oppa yang paling gembira jika mendengar kabar ini."

Presdir masih tertawa kecil. "Semoga," balasnya penuh harap.

"Aku lupa kalau membawa kamera. Kita harus mengabadikan momen ini, Presdir. Aku rekam, ya, untuk kenang-kenangan," Namira menyengir.

"Tentu saja, cepat nyalakan kameramu."

"Yesss! Dimana sebaiknya aku meletakkan kameranya, ya..." Namira mulai mengatur kameranya setelah ia letakkan di atas meja tamu yang berhadapan dengan Presdir meski jaraknya sekitar 4 meter. Namira merasa itu tempat yang paling strategis untuk menyorot tepat ke arah Presdir yang duduk pada kursi lebar dengan sandaran empuk berbalut bahan kulit di balik meja kerja dan lemari yang menempel di dinding berisi susunan buku-buku sebagai latarnya.

"Presdir sudah siap?" Namira memastikan.

Presdir berdeham sebentar. "wah, rasanya berdebar sekali. Apa aku harus menyisir rambut dulu?"

"Hahaha. Presdir sudah sangat keren! Rileks saja, Presdir. Seperti tadi. Besok akan lebih mendebarkan dari ini."

"Baiklah, ayo mulai."

"Kita mulai, ya! Hana, dul, set! Camera rolling, action!"

Aksi Namira itu ternyata berhasil membuat ketegangan Presdir sedikit berkurang. Kembali beliau mengulangi Namira yang melafalkan syahadat kata per kata, namun sebelum selesai dengan kalimat syahadatnya, seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk dengan membawa nampan berisi kudapan beserta teh hangat dalam teko kristal dan dua buah cangkirnya.

"Permisi, minuman untuk Nona."

"Ah, iya. Biar aku yang membawanya. Terima kasih, Bibi." Segera Namira meraih nampannya, terbiasa membantu meringankan pekerjaan orang lain membuat Namira sering bergerak cepat menawarkan bantuan.

"Baiklah, Presdir. Agar tidak tegang, Anda bisa minum dulu." Namira memberi saran sambil meletakkan nampan di atas meja Presdir. Kemudian menuangkan tehnya ke masing-masing cangkir.

"Silahkan, Presdir."

Presdir meraih cangkir yang disodorkan Namira dengan senyum teduhnya. Meneguknya sekali, kemudian kembali berdeham.

"ja... Ayo mulai lagi."

Seusai mengangguk, Namira memutar badan berjalan menuju ke tempat ia meletakkan kamera, memastikan kameranya merekam dengan benar.

Tanpa menyadari di belakangnya Presdir tiba-tiba menggeliat karena sesuatu yang tidak nyaman ia rasakan di tubuhnya sampai terhuyung jatuh dengan bertumpu pada kedua lututnya ketika rasa tidak nyaman itu berubah menjadi rasa sakit yang dahsyat pada bagian dadanya, barulah Namira menengok ke belakang dan sontak menjerit mendapati Presdir yang sudah tersungkur dengan erangan aneh seolah beliau kesulitan bernapas.

"Presdir! Presdir! Apa yang terjadi? Ya Allah, apa yang harus kulakukan?" Namira mulai panik.

"Ada r-r-rac-un ... Cari ... per ... to ... longan—" ucap Presdir diantara lenguh dan sengal bernapas.

"Astagfirullahalazhim!" Namira segera berlari keluar, memekik sekerasnya dengan suara yang mulai serak karena menangis.

"Tolong! Tolong! Presdir! Toloooong!"

"Seseorang! Siapapun! Tolong!!!"

Wajahnya mulai basah oleh airmata yang berserak, kepanikannya semakin besar ketika kembali ke tempat Presdir dan pria baya itu nampak benar-benar meregang nyawa.

"Presdir! Bertahanlah! Ya Allah, bagaimana ini..."

Mencari tasnya dan mengambil ponsel dari sana, Hyungsik menjadi yang pertama ia hubungi agar cepat datang meski ia kesulitan menyusun kata karena lebih banyak menjeritkan dan nama presdir.

"Sampaikan pada Lee Jun Ki, Ayah ...  minta maaf atas segalanya ... Ayah mencintainya," saat hendak keluar mencari bantuan kembali, langkah Namira tercegat oleh tangan Presdir yang semakin melemah.

"Presdir! Bertahanlah! YaAllah apa yang harus kulakukan? Presdir!!!"‹

Suara Namira mengejutkan tiga orang yang sebenarnya berjaga dalam kamar yang tidak jauh dari ruangan Presdir.

"Kau yakin memberikan minuman kepadanya?" tanya nyonya Choi kepada pelayannya.

"Iya, Nyonya. Dia yang menerimanya."

"Tapi dia tidak meminumnya! Bodoh! Buktinya dia yang sekarang keluar mencari pertolongan."

"Itu artinya, Presdir yang meminumnya, Bu!" terka Yoon Jae p
Anik. 

"omo ... Bagaimana bisa kau begitu ceroboh? lihat saja, jika sesuatu terjadi pada Presdir, kau yang harus menanggungnya," hardik nyonya Choi pada pelayan yang ia perintahkan mengantar minuman ke ruangan presdir seusai membubuhkan racun tadi. 

"Tapi Nyonya, anda sudah berjanji akan menjamin hidup keluarga saya jika saya melakukan ini." 

"Itu kalau kau berhasil. Kalau tidak, kau juga harus menanggung akibatnya. Sekarang apa? Kau meracuni pemimpin tertinggi Hanil Grup. Bisa kau bayangkan hukumanmu akan seberat apa?

Pelayan itu menjerit dengan tubuh bergetar ketakutan menyadari dirinya baru saja melakukan kesalahan yang akan mengantarkannya pada gerbang kematian.  "Ah! molla! Namira atau Presdir yang menelan racunnya, sama saja. Kita hanya perlu mendapatkan apa yang menjadi tujuan kita. Ayo, cepat, Yoon Jae-ah! sebelum racunnya menyebar dan kita kehilangan segalanya." 

Ketika keluar lagi, Namira mencari siapapun yang bisa ia temui. Berlari ke ruang lapang di tengah rumah, tidak ada siapa-siapa. Ia berlari ke lantai atas, tak satupun orang menjawab teriakannya.

Ketika Namira menyusuri tangga ke lantai atas dan memeriksa setiap bagian di sana, diam-diam nyonya Choi Miran bersama Yoonjae mengendap-endap memasuki ruangan Presdir.

Namira kembali ke lantai bawah dan berlari ke dapur, di sana ia temukan satu orang pelayan yang ternyata orang yang mengantar minuman kepadanya tadi.

"Ahjumma! Tolong! Tolong Presdir!

"JANGAN MENDEKAT!!!" pekik pelayan itu saat menyadari keberadaan Namira. Namira justru menjerit semakin keras ketika melihat tangan pelayan itu menggenggam pisau dapur berukuran besar yang ia arahkan ke perutnya sendiri.

"Ahjumma! Apa yang kau lakukan?"

Bibi pelayan itu meraung hebat dan mengacungkan pisau di tangannya ke atas kemudian ia ayunkan ke perutnya.

"Jangaaaan!!!" Namira dengan cepat mencoba mencegah aksi nekat pelayan itu, sayangnya ia gagal. Tangan pelayan itu terlalu cepat hingga Namira tak mampu menahannya bahkan tangan Namira justru ikut terayun bersama pisau hingga pisau itu menembus tubuh si pelayan dan darah segar segera mengubah warna seragam putihnya.

Kejadiannya begitu cepat, Namira begitu ketakutan seusai mencabut kembali pisau yang menancap bagian perut si pelayan yang kini terbujur dengan darah yang mulai menggenang di sekitar tubuhnya.
Melemparkan pisau dapur ke lantai marmer dapur, sekujur tubuh Namira bergetar hebat melihat tangannya pun bersimbah darah.
Seketika bayangan masa lalu yang menyisakan trauma hebat dalam dirinya kembali membanjiri benaknya. Darah adik-adik dan ibunya yang pada saat itu juga memerah di tangannya, persis seperti sekarang.

Ia semakin menjerit ketakutan. Mempertanyakan apa yang telah ia lakukan pada Presdir dan pelayan ini, Namira mendudukkan diri, menjerit dalam tangis sampai Hyungsik datang dengan keterkejutan yang sama.

"Namira! Apa yang terjadi?!" Demi apapun, atas apa yang dilihat Hyungsik saat ini, lelaki itu mungkin akan percaya jika Namira baru saja melakukan pembunuhan, tetapi Hyungsik lebih percaya jika ini adalah kecelakaan yang tidak disengaja. Dengan sigap, lelaki itu mengambil kain dan membersihkan tangan Namira dari darah hingga Namira teringat akan Presdir.

"Ayahku segera datang saat aku meneleponnya. Dia sedang mengecek keadaan presdir. Kau tenang dulu, lalu ceritakan padaku apa yang terjadi.

"Aku, aku, juga tidak tahu. Presdir... Tiba-tiba..." Gadis itu kembali berlari menuju ruang kerja Presdir. "Presdir, Presdir membutuhkan pertolongan. Ayo cepat!" sambungnya kemudian Hyungsik mengikuti langkahnya.

🍁

Azrina baru selesai mendengarkan rekaman suara bibi Sung yang menjawab semua tanda tanya dalam benaknya. Segera setelah itu, ia mencari-cari Lee Jun Ki yang rupanya sedang mengobrol dengan Paman Kim yang sudah berada di kantor. Mereka sedang mengatur pertemuan rahasia dengan Lee Sungjin, orang yang dititipi SD card milik Dokter Han.

"Aku harus pergi, Sayang. Kamu jangan lupa makan, ya," ujar Jun Ki sembari bersiap untuk pergi menemui Lee Sungjin.

"Oppa, kita harus ke rumah presdir." Ucapan Azrina membuat Lee Jun Ki menghela napas berat. "Lagi? Ayolah... aku lelah mendengar perkara presdir, presdir dan presdir!" 

"Oppa harus dengar ini." paksa Azrina.
Awalnya, Lee Jun Ki menurut dengan malas. Namun sampai rekaman itu berakhir, ia mendengarkan dengan seksama tanpa berkutik. 

Lee Jun Ki bergeming cukup lama seusai mengetahui fakta sebenarnya tentang sang ayah. Bahwa semua rasa sakit yang membelenggunya selama ini adalah karena kekeliruannya sendiri saja. Dalam diam, Lee Jun Ki mencoba mencerna kembali kalimat demi kalimat yang dilontarkan bibi Nam dalam rekaman itu kemudian menyesuaikannya dengan ingatan-ingatan masa lalunya. Entah bagaimana Lee Jun Ki hendak mengekspresikan perasaannya saat ini, ia merasa aneh sekaligus lega. Seolah sebuah batu besar yang menghimpit dadanya baru saja terangkat, namun dengan segera serentetan perasaan bersalah kemudian menghujamnya bagai anak panah. 

Masih tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, Lee Jun Ki berdiri dari duduknya. "Ayo, bersiap. Kita temui Presdir," ajaknya. 

Di ruangan Presdir, saat nyonya Choi Miran dan Yoonjae baru masuk. Mereka mendapati Presdir yang masih berjuang mengais sisa-sisa napasnya terbaring diatas lantai yang dingin. Saat netranya menangkap sosok wanita itu, Presdir mencoba bersuara. "K-k-kau! apa yang sudah kau lakukan?!" 

"Ssst ... jangan menguras energimu, suamiku. Ini salahmu karena kau meminum minuman beracun itu. Minuman yang seharusnya diminum Namira agar aku bisa mengancammu. Ternyata langit menginginkan hal yang lebih baik, memang akan lebih bagus jika kau yang mati, kan?" Nyonya Choi Miran tertawa angkuh. Sedang Yoonjae hanya menatap Presdir dengan nanar meski Presdir memanggil-manggilnya memohon pertolongan. "Yoonjae-ah. Tolong Ayah ..." 

"Kau ingin aku menolongmu, yeobo? Bisa saja. Tapi setelah kau menandatangani surat wasiat ini. Mencabut keputusanmu untuk menjadikan Jun Ki sebagai pewaris tunggalmu." Nyonya Choi Miran berjongkok menghampiri tubuh lemah Presdir dengan kertas di tangannya.

"an--dwae!"  

"Ch! betapa angkuhnya dirimu! Ayolah, siapa yang selama ini mendampingimu? Bukan Jun Ki! bukankah tidak adil jika kau justru memberikan semua kepadanya?" 

Hanya terdengar lenguh kasar dari jalur pernapasan Presdir. Seolah nyawa pria itu benar-benar tiba di penghujungnya. 

"Ayo cepat! Katakan, dimana cap-mu, Suamiku!" Presdir masih enggan menjawab, Nyonya Choi memerintahkan Yoonjae mencari cap stempel—yang berfungsi sebagai tanda tangan bagi masyarakat Korea—milik Presdir. "Di laci! atau disitu. Dimana saja kau bisa menemukannya!" titahnya mulai frustasi berkejaran dengan waktu. Bisa saja rencananya gagal jika racun yang tertelan oleh Presdir lebih dulu merenggut nyawanya. "Yeobo! katakan! dimana kau menyimpannya!"

Semakin Nyonya Choi mendesak, semakin Presdir bergeming. Tak ada jawaban ataupun pergerakan dari tubuhnya. Bahkan napasnya pun terdengar lebih tenang dari sebelumnya. Yoon Jae yang menyadari ada yang aneh dari tubuh Presdir dalam kondisi tengkurap yang digoyang-goyangkan tanpa perlawanan oleh ibunya, langsung memeriksa tubuh Presdir, meraba denyut nadinya. Juga mencari-cari hembus napas dari lubang hidungnya. Nihil. Presdir menghilang.

"Yeobo!" Sekali lagi Nyonya Choi mengguncang tubuh Presdir dan semakin panik karena tidak menerima respon darinya. 

"eomoni, Presdir jugeosseo. Presdir sudah meninggal." 

Menolak untuk percaya padahal racun yang merenggut nyawa Presdir adalah darinya, Nyonya Choi Miran menjerit sekerasnya seolah ia benar-benar berduka atas wafatnya suami tercinta. 

Yoonjae cepat-cepat membereskan kertas wasiat palsu yang mereka gunakan untuk mengancam Presdir, juga laci-laci dan lemari yang ia bongkar saat mencari cap stempel milik Presdir. Sedang ibunya masih mencoba membangunkan Presdir dengan meneriakkan nama pria itu dengan tangis yang semakin pecah. Padahal Yoonjae tahu, tangis ibunya itu adalah tangis putus asa sebab ia sama sekali belum mendapatkan apa yang telah diincarnya sejak lama. Wanita itu meraung hebat dengan segenap emosi, padahal pikirnya hanya tinggal sedikit lagi maka seluruh kekayaan Presdir akan berpindah ke tangannya. 

Saat itu pula paman Kim datang seusai dihubungi Hyungsik. Paman Kim yang memang sudah berada di kantor tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di rumah Presdir. Dengan kesedihan mendalam, paman Kim pun terlihat sulit mempercayai apa yang dilihatnya. Tubuh Presdir yang terbujur ia periksa sekali lagi, berharap masih menemukan tanda-tanda kehidupan seusai memanggil ambulance untuk menjemput Presdir agar segera mendapatkan pertolongan.

Nyonya Choi Miran menangis semakin kencang. Wanita itu jelas merasa kehilangan. Bukan kehilangan Presdir, tetapi kehilangan apa yang selama ini ia dambakan. Segalanya lenyap, bersamaan dengan kepergian Presdir dibawa oleh ambulance yang melesat dengan bunyi sirine nyaring. Satu-satunya harapan Nyonya Choi saat ini adalah berpura-pura menjadi orang yang paling berduka. Orang yang paling terkejut dan tidak menerima kenyataan bahwa Presdir mungkin telah tiada. 

Namira terkulai kehilangan daya, ia pun menangis banyak sekali sejak kembali ke ruangan Presdir dan suasana menjadi tegang dalam hening berselimut duka. 

"Paman ... Presdir, meminum racun." Hanya itu yang bisa Namira ungkapkan sambil tangannya menunjuk ke arah teko berisi teh yang dihidangkan untuknya tadi. Ahjumma yang bunuh diri di dapur pun sudah dibawa pergi. Namun gemetar di sekujur tubuh Namira belum sepenuhnya berhenti. 

Sedan berwarna merah metalik yang dikemudikan Jun Ki melesat cepat menuju Gangnam. Azrina yang duduk di sebelahnya hanya menatap sang suami tanpa suara. Sama seperti Jun Ki yang tangannya sibuk memegang kemudi dan matanya fokus ke jalanan namun Azrina dapat jelas menangkap keresahan dari sorot mata suaminya itu. 

Dalam benak lelaki itu sedang tertayang potongan demi potongan kenangan masa lalunya bersama sang ayah. Dari segala kebahagiaan yang telah mereka lewati bersama dengan begitu akrabnya, hingga duka mendalam yang menjadi dendam dan merenggangkan mereka. Sekarang, setelah mengetahui kebenarannya, Jun Ki hanya ingin menemui ayahnya sesegera mungkin. Selagi masih ada waktu untuknya memohon maaf dari sang ayah. Memperbaiki hubungan mereka, mencurahkan bakti dan cinta. Mungkin akan sangat aneh dan canggung nantinya, tetapi Jun Ki bertekad untuk mencoba.

"Iya, Paman?" Itu suara pertama yang keluar dari mulut Jun Ki sepanjang perjalanan, menjawab panggilan telepon paman Kim.

"Kau dimana?"  suara paman Kim dari speaker mobil yang sengaja disambungkan dengan ponsel pintar Jun Ki.

"Maaf, Paman. Pertemuan dengan Lee Sungjin kita tunda dulu, ya? Aku sedang dalam perjalanan untuk menemui Presdir. Paman benar. Aku yang bersalah ... Maafkan aku, Paman."

"Jun Ki-ya ... andai saja kau sedikit lebih cepat menyadarinya ..." 

"wae-yo, Paman? apa ada masalah?" 

"Ani. Jangan ke rumah. Segeralah ke rumah sakit. Paman di sini bersama ayahmu."

"Ada apa dengan Presdir?"

"Presdir ... Ayahmu, telah tiada. Beliau meninggalkan kita."

Berkat berita yang disampaikan paman Kim itu, sontak Lee Jun Ki mengerem mobilnya mendadak. Juga Azrina yang mulai mengisak seusai menjeritkan kalimat istirja' dengan segenap keterkejutan.

"Oppa. Oppa tidak apa-apa?" tanya Azrina ragu. Hendak memastikan Jun Ki cukup kuat untuk berkendara seusai mendapat kabar duka dan mendengar detail kejadiannya.

Jun Ki mengangguk pelan bersama hela napas panjang. "Aku tidak apa-apa," jawabnya singkat seraya kembali memacu mobilnya kencang.

Raut wajah dan ucapannya mungkin bisa mengatakan tidak apa-apa. Tetapi batinnya justru porak-poranda. Mengapa ketika kebenaran akhirnya terungkap, saat kobaran api dendam dengan sukarela ia padamkan justru terganti dengan berita kehilangan. Seharusnya, setelah ini hidupnya akan diliputi kebahagiaan 
Seharusnya ... Ayahnya tak perlu terlalu besar berkorban.
Seharusnya ... Dia bisa lebih cepat berdamai dengan perasaan dan mencoba mengurai segala kekeliruan.
Seharusnya tidak begini.

Andai ia tidak memiliki iman, mungkin sekali lagi ia akan kehilangan kendali.

Yang lebih menyesakkan hati adalah ketika ia mengingat serentetan hujatan, umpatan dan sumpah serapah yang pernah ia lontarkan untuk sang ayah. Meski saat melontarkannya hanya karena sedang marah, dan segera melupakan saat marahnya reda. Namun mengingat itu sekarang justru terasa seperti tersayat sebilah belati berkali-kali.

🍁

Lee Jun Ki tiba di rumah sakit Haesung ketika jenazah presdir baru saja selesai dipersiapkan untuk persemayaman di Jangraeshikjang atau rumah duka kemudian bergabung bersama paman Kim, Hyungsik dan Namira disana. Juga Nyonya Choi dan Yoonjae. Terlihat pula seorang pengacara keluarga dan petugas polisi yang turut dihubungi mengingat kematian Presdir adalah karena racun yang dimasukkan ke dalam teh dan tewasnya pelayan di dapur itu. Semua orang terlihat mengekspresikan duka di wajahnya.

Azrina segera berangkulan dengan Namira, saling menguatkan dalam derai airmata. Gadis itu, lagi-lagi melewatkan jadwal penerbangan karena sebuah musibah yang datang tiba-tiba. Kemudian Azrina menyusul Lee Jun Ki masuk ke dalam ruangan tempat jasad Presdir dibaringkan dengan sehelai kain yang menutupi seluruh bagian tubuhnya.

Lee Jun Ki berdiri mematung disisi jasad ayahnya. Terpekur lama. Sesekali kepalanya mendongak keatas berusaha membendung sesuatu yang hendak meluap.

Baru setelah beberapa sekon, jemarinya ia beranikan untuk menyingkap kain yang menutupi  Presdir lalu nampaklah wajah beliau yang begitu tenang seperti hanya tertidur saja.

"Abeoji ..." lirihnya.

Untuk pertama kali sejak entah berapa lama, Lee Jun Ki memanggil ayahnya dengan sebutan yang benar. Hanya dengan menyadari itu saja rasa sesak semakin menghimpit rongga dadanya hingga luapan yang sejak tadi berusaha dibendungnya akhirnya ia loloskan saja.

"Abeoji! Je Isseo-yo!" ujarnya dengan bibir bergetar dan pandangan yang menatap wajah Presdir.

"Aku sudah datang, Ayah! Aku disini! Jega ittjana-yo! Ireona-bwa-yo. Bangun dan lihatlah aku."

Azrina turut mengisak di belakangnya. Berusaha menenangkan diri meski tak bisa. Menyaksikan suaminya kini tengah berlutut disisi jenazah sang ayah, memohon-mohon agar sang ayah bisa kembali membuka mata, membuat Azrina harus membayangkan bagaimana jika yang berbaring di ranjang itu adalah jasadnya yang tak lagi bernyawa?
Melihat betapa besar duka yang Lee Jun Ki keluarkan bersama tangisnya. Itu tangisan paling perih yang pernah ia dengar dari suaminya. Selain yang ia lihat di mimpinya waktu itu.

"Ayah, maafkan aku. Aku bersalah. Ayah ... Kumohon, bangunlah. Lihat aku. Aku sudah ada disini. Disisimu ..."

Mengambil langkah dua kali ke depan, Azrina berdiri tepat di belakang Lee Jun Ki. Ia meletakkan telapak tangan pada bahu Lee Jun Ki, mengusap-usapnya pelan. Mencoba menenangkan lelakinya, "Ikhlaskan, Oppa ..." meski sebenarnya ia pun sama terlukanya.
Cukup lama ia membiarkan Jun Ki menumpahkan airmata dan segala yang telah ia tahan sejak sekian lama untuk sang ayah. Hanya tangannya yang masih terus mengusap punggung Jun Ki sampai lelaki itu berdiri ketika tangisnya mereda,menghapus jejak airmata yang tersisa di wajahnya. Mengecup wajah sang ayah sekali lalu menutupnya dengan kain kembali.
Tangannya menggenggam erat tangan Azrina sembari melangkah keluar ruangan.

Baek Ji Young juga bergabung bersama mereka segera setelah mendengar kabar wafatnya Presdir yang mulai tersiar di layar kaca dan media daring.

Dokter cantik itu menyodorkan minuman kepada Jun Ki dan Azrina sesaat setelah pasangan itu terduduk lemas pada bangku panjang.

Lee Jun Ki menolak. Azrina menerima. "Oppa, minum dulu..." Azrina tahu betapa terkejutnya Jun Ki saat ini, bahkan kesedihannya pun menjadi kesedihan paling dalam diantara yang lainnya.

"Sebaiknya kau juga ikut bersiap untuk upacara pemakaman." Paman Kim menyarankan Jun Ki menyusul nyonya Choi dan Yoonjae yang sudah pergi mempersiapkan diri untuk menyambut tamu yang akan memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah mendiang Presdir yang sudah dibawa ke funeral hall, rumah duka Rumah Sakit Haesung.

Kesedihan Lee Jun Ki adalah bukan hanya karena ia harus kehilangan sang ayah sebelum ia berdamai dengannya, tetapi juga karena membayangkan dirinya harus mengantar kepergian sang ayah tanpa sedikitpun mencicipi hidayah sepertinya. Kembali ia mengingat ucapannya tadi pagi. Seolah apa yang terjadi sekarang adalah perwujudan dari sumpahnya pagi tadi. Beberapa kali ia mengulang dalam hati permohonan ampun pada Ilahi. "Ya Allah, ampunilah ayahku. Aku tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku."
Sekalipun ia telah paham, bahkan ayah Nabi Ibrahim dan Paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun, harus direlakan oleh mereka karena enggan menyambut hidayah Allah. Lee Jun Ki tahu rasanya, sekarang. Sangat amat memilukan. Terlebih ketika ia mulai mengimpikan hidup bahagia hingga ke surga bersama sang ayah sebagai ganti dari hari-hari mereka yang disusupi kebencian dan dendam selama ini.

Azrina berbeda lagi. Melihat suaminya kehilangan semangat hidupnya, membuat tekadnya semakin besar untuk bertahan hidup dengan bagaimanapun caranya. Cukup baginya melihat Jun Ki terluka sedalam ini karena kehilangan sesuatu yang ia cintai. Meski berusaha menabahkan diri sendiri, kesedihan memang tak bisa di sembunyikan sang suami. Selanjutnya, selepas kepergian Presdir, Lee Jun Ki mungkin akan sangat membutuhkan Azrina untuk menghidupkan semangat Jun Ki kembali, saling menguatkan dan saling membahagiakan.

"Yang paling menyakitkan adalah dia pergi sebelum aku memperkenalkan Islam padanya," lirih Jun Ki ketika Azrina kembali menggenggam tangannya kemudian kepalanya ia sandarkan ke bahu Azrina.

"Ikhlaskan beliau, Oppa. Itu diluar kekuasaan kita."
Dalam bersandar pada dekapan sang istri, tubuh Jun Ki kembali bergetar bersama tangis yang pecah sekali lagi.
"Ini berat sekali ..."

"Aku tahu, sayang. Aku disini, membantu Oppa kuat."

"Kuharap bisa bertemu lagi dengannya dan bersujud di kakinya. Tapi itu tidak mungkin, kan?"

Azrina kehilangan kata-kata. Yang mereka tahu, mereka memang berbeda jalan dengan sang ayahanda jika memang beliau pergi dengan keyakinannya yang dulu.

Lalu seolah Tuhan mendengar keresahan Lee Jun Ki, Dia mengirim jawaban seketika melalui datangnya Imam Central Mosque menemui Jun Ki.

Mereka memang sudah saling mengenal sejak Jun Ki memperkenalkan diri saat ia baru berada di Korea tempo hari.
Beliau juga datang terburu-buru ketika mendengar kabar tentang Presdir, bermaksud menyampaikan berita sebelum upacara pemakaman jenazah Presdir diselenggarakan. Beruntung beliau tepat waktu memberitahu tentang janji Presdir yang akan masuk islam pagi ini.

"Apakah bisa seperti itu?" Jun Ki mempertanyakan pada imam Lee akan status ayahnya. "beliau belum mengucap syahadat," sambungnya.

"Dengan membuat janji, kurasa hatinya telah meyakini. Beliau adalah seorang muslim. In Syaa Allah."

Namira yang sejak tadi berdiam diri akhirnya mengungkap kejadian sebelum Presdir tumbang. Beliau beberapa kali belajar syahadat. Itu tentu berita gembira bagi Lee Jun Ki. Apalagi saat Namira menyatakan ia merekam semuanya dengan kamera yang mungkin masih ada di tempat kejadian perkara. Namira dan Hyungsik segera kembali ke rumah Presdir untuk mengambilnya.

Sementara Lee Jun Ki kini dapat berdiri tegak. Dengan bangga menerima fakta bahwa ayahnya wafat dalam keimanan, itu artinya peluang untuk kembali bertemu dengan beliau masih bisa ia harapkan.

"Ayo, Paman. Kita ke pemakaman. Kita lawan mereka yang berniat jahat. Karena ayah telah pergi seperti ini, aku yang akan melanjutkan perjuangan beliau mulai saat ini," tekadnya mantap.

"Agar aku bisa membuatnya bangga, saat kami bertemu lagi nanti."

🍁🍁🍁

To be continued

Ea ea eaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro