33 - Neo Hanaman Saranghanikka
Yuhuuuuu!
Sebelum baca, bismillah dulu trus play mulmed nya yaps!
Soundtrack sudah dipilih!
Sebenarnya, dari baru mulai menulis cerita ini, aku udah niat banget mau pake soundtrack ini, di chapter ini.
Tapi gara-gara adegan di part kemarin trus tiba-tiba lagunya tante oca terngiang-ngiang. Eh cucok meyong ugha.
Lalu entah apa yang merasukiku sampe ku jadi bikin video sinopsis novel ini.
#terharubanget! Bisa bikin video ala ala trailer untuk story ini.
Kalo diceritain disini jadi kepanjangan deh.
Buat kalian yg mau videonya, coba dong ambil hatiku biar ku mau kasih *ohoq*
Ya pokoknya, utk part ini disarankan sambil denger mulmed karena sedikit banyak ada kaitan sama part nya. Walau gak sama persis, tapi udah lumayan ngena lah wkwk.
Kedepannya sampai ending, soundtrack ini akan muncul beberapa kali dengan soundtrack2 lain sesuai kebutuhan dalam adegan. Oyey.
Selamat menikmati.
******
"Namira, kalau seandainya kamu tau kapan ajalmu akan tiba, apa yang akan kamu lakukan?"
Namira tertegun bingung, mengapa tiba-tiba Azrina menanyakan hal itu.
"Aku ... Pasti akan rajin ibadah biar nanti meninggal dengan husnul khatimah," jawab Namira sekedarnya dan memang sesuai dengan harapannya.
"Maksudku, selain itu. Persiapan untuk berpisah dengan orang-orang yang kamu sayang, misalnya."
"Entahlah," jawab Namira mengendikkan bahu. "Kupikir, mungkin itu alasan mengapa maut, rezeki dan jodoh dirahasiakan dari manusia. Agar manusia tidak manja, melakukan apapun sesukanya, lalu baru bertaubat saat hampir mendekati ajalnya."
Namira nampak memikirkan jawaban lain, "mungkin juga, agar manusia tidak merasa aman. Sebab sejatinya, dunia memang bukan tempat yang aman. Tetapi tempat kita diuji, siapa dari kita yang paling bagus dalam amalan."
Azrina mengangguk. Namira kemudian melanjutkan, "jodoh, rezeki, tentu memang akan tetap diusahakan sebagai jalan untuk memperbagus amalan. Sembari tetap bersiaga, sebab segala sesuatunya bisa menghilang dari kita dalam sekejap mata."
"Atau mungkin juga, maut itu rahasia agar manusia tidak terlena. Karena setiap orang akan diwafatkan sesuai dengan kebiasaan hidupnya. Dan akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan wafatnya. Maka beruntunglah mereka yang hidupnya diliputi keimanan. Yang dengannya ia dapat menyempurnakan amalan. Yang di hari kematiannya seolah ruhnya disambut sejuta kerinduan. Kehidupannya akan abadi sebagai kenangan indah bagi yang ditinggalkan. Lalu dibangkitkan dengan meraih sebaik-baik penghargaan." pungkas Namira.
"Lagian, kamu kenapa sih mikirnya aneh begitu? Daripada mikirin pisah-pisah, mendingan habisin waktu lebih banyak sama-sama. Bikin hal-hal bahagia yang nanti bisa jadi kenangan indah!"
Azrina hanya tersenyum tipis sebelum tiba-tiba ia mengucapkan sebuah kalimat.
"Mir... Boleh aku minta sesuatu?"
"Boleh dong, mau minta apa? apapun, kalau kamu yang minta, aku pasti kasih!"
"Apapun itu?"
Namira mengangguk ceria. "Apapun itu. Bahkan dunia dan isinya kalau kukasih ke kamu, belum sebanding sama semua kebaikan yang pernah kamu dan keluargamu kasih ke aku."
"Aku cuma minta satu, kok. Nggak banyak."
"Ya udah, minta apa?"
"Nggak sekarang. Nanti. Kamu beneran harus menyanggupi permintaanku. Oke?"
"Arasseo! Yaksok! Oke! Aku janji"
Namira duduk tercenung, di pipinya masih terjejak sisa-sisa airmata yang tidak lama sehabis dihapusnya, alirannya akan muncul kembali.
Menatap Azrina yang berbaring di tempat tidurnya, dirinya yang tengah duduk di sisi ranjang masih enggan melepaskan genggaman dari tangan sahabatnya itu. Seolah mulai detik ini ia takkan mau melepaskannya lagi.
Semakin ia merasakan hangat dari tangan Azrina, lalu mengarahkan bola matanya ke arah teduh wajah mungil yang terlelap itu, perasaan bersalah semakin meluap dalam dadanya.
Rasa bersalah sebab terlalu abai untuk bisa menyadari betapa sedang sekaratnya sahabat terbaiknya itu, saat ini.
Bulir air mata ia loloskan lagi. Suara-suara percakapannya dengan Azrina tadi pagi masih terlalu jelas menggaung di pendengarannya.
Belum terlalu lama Namira kebingungan lantaran Azrina yang tiba-tiba menanyakan hal aneh yang tak bisa dimengertinya. Bahkan jawaban Namira tadi pagi pun, rasanya ingin ditariknya kembali.
Jika benar, hal yang Azrina tanyakan padanya tadi disebabkan karena kenyataannya Azrina-lah yang akan pergi. Namira tentu takkan merelakan itu terjadi.
Belum terlalu lama, perasaannya tersayat, batinnya terkoyak sebab langkah yang membawa dirinya berdiri tepat di depan pintu kamar Lee Jun Ki dan Azrina yang sedikit terbuka membuat ia harus mendengar sesuatu yang tidak pernah ingin ia dengar meski memang sering ia perkirakan.
Ia belum lupa, bagaimana tatapan penuh emosi yang Lee Jun Ki sorotkan padanya. Pun saat lelaki itu melontarkan kalimat penuh penekanan, seolah dalam kasus ini memang Namira lah yang harus dijatuhi hukuman.
Ketika kedua sendi yang menopang tubuhnya melemah dan nyaris tumbang, tepat setelah berlalunya Lee Jun Ki entah kemana, saat itu pula ia mendengar suara benda yang terjatuh membentur lantai marmer lalu pecah, disertai gerung tangis dengan napas tersengal dari dalam kamar.
Azrina ia dapati disana, tubuhnya gemetar hebat, keringatnya bercucuran meski di luar salju sedang lebat-lebatnya menghujan. Wanita itu sedang berusaha menelan pil dari kotak obat-obatannya, namun tremor di tangannya membuatnya tidak mampu menggenggam gelas air minum dengan baik, maka suara pecahan gelas kaca itulah yang mendatangkan Namira kepadanya. Dengan panik tentu saja.
Meski mereka sama rapuhnya berkat apa yang terjadi barusan. Meski keduanya sama paniknya—Azrina panik, bukan hanya karena jantungnya sedang berpacu diatas normal dan nyaris membahayakan nyawanya, tapi juga karena hari ini baru saja dia ketahuan atas apa yang selama ini dia sembunyikan.
Namira pun panik menyaksikan Azrina yang nampak amat kesakitan namun ia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sekali lagi Namira yang harus menguatkan diri agar lebih tegar, memastikan dirinya cukup kuat untuk lagi-lagi menjadi penopang bagi Azrina.
Saat itu Namira menyadarinya. Kesalahannya terhadap Azrina memang tidak akan pernah termaafkan. Tak terhitung jumlahnya, dan tidak pula ia sanggup menebusnya. Dadanya bergemuruh hebat tiap kali memikirkan bagaimana Azrina menyembunyikan semua ini darinya, namun ia justru sibuk dengan perasaannya yang merasa terkhianati.
Namira menghela napas dalam. Tangisnya semakin deras meski tanpa suara.
Entah menangisi Azrina yang berjuang sendirian dengan pesakitannya. Atau dirinya yang lagi-lagi harus menuruti, ketika pada detik-detik kepanikan tadi mulutnya yang hendak melantangkan suara mencari pertolongan seketika terkunci oleh tangan lemah Azrina yang menepis lengannya dengan sisa-sisa daya.
Tatapan memohon dari matanya, Namira tahu tanpa harus Azrina suarakan. Belum waktunya untuk semua orang tahu.
Seusai menyodorkan gelas baru dengan air untuk diminum Azrina. Hanya hening diantara mereka selama beberapa jenak sembari Azrina mengatur napas, Namira segera menuntut penjelasan dari sahabatnya itu.
Kenapa di saat seperti ini, Azrina justru menolak dibawa ke rumah sakit. Kenapa, dia mencegah Namira untuk memanggil bantuan. Tidak. Bukan hanya itu. Tapi, yang paling penting adalah, kenapa Namira tidak tahu, bahwa penyakit Azrina kambuh lagi?
"Biarkan aku istirahat sebentar. Aku akan menjelaskannya nanti. Setelah aku bangun. Aku janji," lirih Azrina berujar.
Begitulah, hingga jarum panjang pada jam dinding telah berotasi dua putaran yang membuat jarum pendeknya bergeser dua angka dari sebelumnya. Namira masih duduk di sisi Azrina yang terlelap.
Sungguh Namira ingin berontak. Menunggu-nunggu kapan Azrina akan terbangun dari tidurnya. Berharap ini belum saatnya, perempuan yang telah sangat berjasa atas hidupnya itu tidur selamanya.
Setidaknya, jika ia tak sempat membalas budi atau menebus kesalahan, ia merasa harus meledakkan amarahnya. Bahwa mungkin jika bukan dia sendiri yang mendapati Azrina nyaris kolaps tadi, ia pun masih sama tidak tahunya dengan Lee Jun Ki tentang penyakit Azrina ini.
"Bisa-bisanya kamu begini sama aku, Az..." lirih Namira yang kemudian hampir melonjak mendapati Azrina yang mulai menggerakkan lengannya.
Azrina tersadar dengan mengerjapkan mata. Lalu mengembuskan napas panjang saat pandangannya menemukan sosok Namira yang duduk di samping ranjangnya.
Melihat Namira yang menatapnya penuh kekhawatiran, pikirannya kembali pada detik-detik kepanikan tadi. Dan sekarang, Azrina berhutang cerita pada Namira.
Namira masih tetap diam. Ia terlalu tergugu untuk sekedar menanyakan apa yang dirasakan Azrina sekarang. Sudah baikan-kah, atau semacamnya. Banyak sekali yang ingin Namira luapkan, tapi lagi-lagi luapan itu hanya berhasil lolos dari matanya, bukan dari mulutnya.
Menghela napas sekali lagi, Azrina kemudian bergerak untuk mendudukkan diri.
Bersiap untuk menceritakan semua yang ingin Namira ketahui.
"Terima kasih, Namira."
Senyumnya terkulum, tenang. Sangat tenang. Seolah ia hanya baru terbangun dari tidur setelah kelelahan saja.
"Kalau tadi kamu nggak ada ... " kalimatnya tergantung, ragu-ragu untuk ia ucapkan ketika melihat wajah Namira yang mengguratkan kekecewaan sekaligus kesedihan yang tergambar jelas dari matanya yang bengkak sehabis menangis banyak.
"Az. Aku tahu, kamu kecewa sama aku lebih dari apa yang bisa aku bayangkan ... "
Hanya mengucapkan itu saja, Namira tidak bisa menahan air matanya yang masih ingin mengalir.
"Mungkin ... " satu tarikan napas yang terdengar basah dihelanya. Bibirnya bergemetar, entah karena kalimat yang akan diucapkannya sedemikian beratnya, atau karena memang sebesar itu ia merasa kecewa karena Azrina tak menceritakan apa-apa, padahal seharusnya, dahulu Namira lah yang tahu segala tentangnya.
"Aku memang tidak akan pernah termaafkan. Aku pun mungkin bukan lagi siapa-siapa bagimu. Tapi ... Tidak bisakah kamu tetap membiarkan aku tahu tentang ini?" sambungnya memelas.
Seperti gelas kaca yang pecah berhamburan tadi. Begitu tangis keduanya memecah keheningan sejak sebelumnya. Azrina menggamit tangan Namira lalu menariknya untuk saling berdekap erat.
"Maaf ... Maafin aku, Mir..."
Entah sejak kapan kenyataan mulai tertarik untuk mempermainkan perasaan dua sahabat ini. Seolah mereka sedang diuji, sekuat apa ikatan yang terjalin dalam ukhuwah mereka itu bertahan tanpa terlepas ataupun putus.
Namira pernah gagal, Azrina pun pernah begitu kecewa. Bahkan ketika mereka kembali saling memaafkan, kenyataan lagi-lagi memainkan peran.
"Kenapa kamu tega bikin aku nggak tahu apa-apa? Kamu tahu, Az? Aku merasa seperti penjahat. Atau mungkin benar. Kenyataannya, aku memang pembawa sial."
Pembawa Sial.
Kata itu. Yang pernah menjatuhkan Namira sejatuh-jatuhnya ke dalam titik terendah hidupnya. Kata itu yang membuatnya divonis mengidap anxiety disorder. Kata yang telah lama hilang dari kosa kata nya semenjak keluarga Azrina mengadopsinya dan menyempurnakan hidupnya dengan cinta. Mereka menyembuhkan luka masa lalunya.
Hari ini, kata itu kembali. Sebesar itu ketakutan Namira. Bayangan kelam masa lalu saat dirinya masih terlalu muda untuk dititipi sebuah trauma. Semakin lekat, bayangan jasad ibu dan adik-adiknya yang kehilangan nyawa kembali membanjiri pandangannya, serta suara-suara dari mulut-mulut yang menghardiknya dengan sebutan yang hanya dengan mendengarnya Namira akan dirundung kecemasan yang dahsyat.
Seluruh tubuhnya menolak, tapi kenyataan seolah memaksanya mengakui, bahwa memang benar. Dia terlahir sebagai kesalahan. Dan keberadaannya adalah kesialan bagi sekitarnya.
"Ssst. Kamu adalah keberuntungan bagiku, Mir. Kamu sosok paling berharga yang pernah aku temukan," Azrina menyeka airmata di wajah Namira. Bisa ia rasakan kecemasan mulai melanda Namira dari getaran di tubuhnya. "Aku takut kehilangan kamu, Mir," pungkas Azrina meyakinkan.
"Maafin aku, Az ... Ini semua karena aku ... Andai aku nggak egois ... Andai aku nggak serakah, ingin lebih dari banyak yang telah Allah beri. Kamu— Kamu pasti nggak akan begini ... " bulir kristal lagi-lagi tercelus dari kelopak matanya yang memejam. Kedua tangannya ia tangkupkan di depan dan menggesek-gesekkan keduanya layaknya seorang yang memohon ampunan.
Azrina memeluknya lagi. "Tidak ada satupun makhluk yang Allah ciptakan di bumi ini dengan sia-sia. Bahkan binatang melata ataupun serangga yang menjijikkan pun diciptakan dengan alasan kebermanfaatan. Apalagi kamu, Mir. Manusia, makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Tentu, takdirnya pun telah ditulis Allah dengan sempurna, baik buruknya mengandung alasan. Alasannya apa? Itu yang harus kita cari jawabannya."
Azrina membiarkan Namira mengisak hingga beberapa waktu selagi gadis itu mencoba mencerna ucapannya. Meski tidak instan, setidaknya ucapan positif itu didengar Namira dan akan dipertimbangkannya sendiri untuk memperbaiki kondisi hatinya.
"Udah hampir maghrib. Oppa kok belum pulang, ya?"
Maksud Azrina mengalihkan pembicaraan. Sayangnya, mendengar sebutan Oppa, Namira seperti tersengat aliran listrik secara tiba-tiba. Satu hal yang memicu ketakutannya adalah tatapan Lee Jun Ji tadi. Itu benar-benar menakutkan.
"Kamu tahu nggak kira-kira dia kemana? Ponselnya nggak aktif," keluh Azrina lemas setelah mencoba menghubungi sang suami.
"Dia pergi saat sedang kacau. Aku khawatir dia kenapa-kenapa ... "
"Nggak, insya Allah. Aku kenal Oppa orang yang bisa mengatur emosi dengan baik," tukas Namira. Tentu itu hanya kalimat penghibur. Sebab mereka sama-sama tahu, masalah terbesar Lee Jun Ki adalah sulitnya mengatur emosi.
🍁
Suara Adzan berkumandang dari ponsel pintar Azrina. Menandakan masuknya waktu maghrib wilayah Hannam-dong, Itaewon, Seoul.
Azrina sudah cukup membaik untuk berjalan sendiri menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu.
Sebelumnya, ia mengajak Namira shalat bersama.
Setelah shalat berjamaah, Azrina meraih tangan Namira dengan kedua tangannya, bermaksud mengutarakan sesuatu,
"Mir, soal permintaanku tadi ... Kamu masih ingat?"
"Iya. Ingat dong, kan baru tadi pagi. Aku belum setua itu untuk menjadi pikun."
Azrina terkekeh pelan, "mmm... Kalau aku minta itu sekarang, bisa?" lanjut Azrina ragu-ragu.
"Apa sih? emangnya kamu mau apa, Az? udah cukup kamu bikin aku hampir jantungan, ya! Nggak usah bikin penasaran juga," omel Namira dengan gurau.
"Tapi kamu harus mau, ya?"
"Apa dulu, Az... YA ALLAAAAH"
"Mir, kamu sekarang tahu, kan. Kondisiku gimana? Kemungkinan besar waktuku nggak lama lagi..."
"Nggak. aku gak mau dengar itu." Namira yang masih mengenakan pakaian shalat segera menutup kedua telinganya dengan kedua tangan. Kemudian menggelengkan kepala berulang kali. Dihadapannya, Azrina menahan getar di bibir dengan menggigitnya. Ia sangat memaklumi bagaimana Namira bereaksi kali ini.
"Mir ... dengerin dulu ..." ujar Azrina lembut, mencoba meraih tangan Namira kembali.
"Apapun, Az. Apapun akan aku sanggupi demi kesembuhanmu."
Azrina menggeleng pelan. Kali ini raut wajahnya lebih serius. "Aku mungkin nggak akan bisa disembuhkan, Mir. Nggak ada yang tahu kapan aku bisa tumbang dan nggak pernah membuka mata lagi. Makanya, selagi masih diberi kesempatan ... Aku mau kamu menjanjikan sesuatu ... Kamu mau kan mengabulkan permintaanku?"
Namira kembali berderai airmata. Kepalanya masih menggeleng seolah menentang keras apa yang barusan Azrina ucapkan. Sedang Azrina tetap berusaha kuat untuk menahan tangisnya.
"Mir ... kalau kemungkinan terburuknya terjadi, aku tadi juga sudah bilang pada dokter Jiyoung, bagaimanapun caranya, aku ingin anakku yang diselamatkan."
"Jadi, tadi kamu bertemu dokter Jiyoung untuk membicarakan itu? Di belakangku?" Namira mendesah keras, tidak percaya dirinya melewatkan sesuatu yang besar.
"Itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah, setelah anak ini lahir dan aku tidak disini lagi, satu-satunya orang yang bisa kupercaya untuk berada di sisinya adalah kamu, Mir. Aku mau kamu yang mengasuhnya. Kamu bisa, kan?"
Di titik ini, Azrina melepaskan pertahanannya. Suaranya bergetar dan airmatanya pun tumpah. Sulit sekali berusaha tegar pada sesuatu yang teramat perih bahkan jika hanya dibayangkan.
Namira menangis semakin larut, rahangnya keras mengerat, seperti menahan amukan besar yang hendak keluar dari dirinya. Wajahnya memerah dan begitu basah. Bagaimana bisa Azrina setegar itu mengatakan hal yang hanya didengarkan saja terasa begitu menyesakkan?
"Jawab, Mir," desak Azrina ketika setelah beberapa jeda, Namira tak kunjung bersuara selain isak dan hembus napas berat.
"Tanpa kamu minta pun, tentu aku akan selalu di sisinya. Menjaganya, meyakinkan padanya bahwa ia harus bangga karena terlahir dari ibu yang luar biasa, bidadari yang turun ke surga."
Azrina menarik senyuman di kedua sisi bibirnya sekilas. Namira belum mengerti poin utama yang hendak disampaikan Azrina. "Kamu mau, kan? Menjaga anakku — dan Oppa ..." menarik napas berat setelah diam sesaat, "menggantikan aku?"
"Apa? Maksudmu?" sontak Namira kembali menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak akan. Kamu jangan mengada-ada," tukasnya.
"Mir, tolonglah. Seperti anakku yang hanya bisa kupercayakan padamu, Oppa juga begitu. Aku takut dia akan sangat terluka nantinya. Dan mungkin, hanya kamu yang bisa mengobati lukanya."
"Azrina ... Maafkan aku ... minta apapun dariku, aku akan menyanggupinya. Selain itu ..."
"Namira ... Aku mohon... Setidaknya untuk membuatku sedikit lebih lega. Mir ... aku—aku—aku sangat putus asa, Mir." Pecah sudah. Meledaklah semua yang sejak tadi Azrina pendam.
Namira langsung membekap tubuh Azrina yang rintihnya semakin kentara. Cairan hangat dari mata mereka berdua, seolah terus meleleh sebab sesuatu yang panas membakar dari dalam.
Perlahan ia mulai mengungkapkan apa yang ia benar-benar rasakan.
"Aku takut, Mir. Jujur, aku sangat takut. Aku takut kehilangan. Aku takut meninggalkan. Tapi, yang paling aku takutkan adalah, ketika aku pergi dan perlahan aku terlupakan. Aku ... sssshhhhh ..." Sesak, napasnya sengal disertai ceguk disetiap helaan.
Kedua sahabat itu terlihat sangat menyedihkan meski berusaha saling menguatkan.
"Akan lebih mudah menjanjikan kamu takkan terlupakan, ketimbang harus berjanji akan memenuhi permintaanmu. Aku tidak akan bisa, Az."
Namira memohon Azrina mengerti. Namun Azrina pun sepertinya punya pemikiran sendiri, layaknya seorang yang sedang mempersiapkan diri.
Namira tidak berdusta, mengakui bahwa antara dirinya dan Lee Jun Ki memang ada percikan cinta, tapi bukan seperti ini yang ia harapkan. Terlebih jika percikan itu hanya menyala di dirinya. Bukankah akan buruk kesannya jika dia serta merta menerima?
"Mir ... Kalau yang kamu khawatirkan adalah Oppa, aku akan meyakinkan dia. Aku akan membuatnya mengerti." Menyeka wajahnya yang basah, Azrina tak ingin menangis lagi. Kepada Namira, ia menawarkan solusi. "Kalau kendalanya cuma di Oppa, kurasa itu bisa diusahakan. Asal kamu bersedia, Mir. Kamu nggak keberatan, kan?"
Sekarang giliran Namira yang uring-uringan. Terlalu takut jika satu kata pun yang keluar dari mulutnya akan menjadi kesalahan.
Teringat pesan Jun Ki tadi siang yang seakan sudah memprediksikan Azrina akan meminta hal demikian.
"Maafkan aku, Az. Aku tidak bisa ..."
"Pikirkan dulu, jangan terburu-buru."
Namira menggeleng kuat sekali lagi. Namira tahu, apa yang Azrina ucapkan berbanding terbalik dengan yang hati perempuan itu inginkan. Mereka sama-sama wanita, masalah sensitif sejenis ini, tidak pernah mudah untuk dilontarkan, apalagi jika harus diamalkan.
Keduanya belum menemukan jalan keluar dari keresahan karena Namira yang memilih bungkam setelah sekali lagi Azrina mencoba membujuknya. Ia lalu mohon diri untuk kembali ke kamarnya dan berdalih ingin istirahat.
Malam semakin pekat. Kecuali Azrina yang dipaksa makan setelah shalat tadi, tidak ada lagi yang menyentuh makanan di meja. Jun Ki belum pulang, bibi Nam tentu saja makan di dapur. Dan Namira, tidak berselera sama sekali meski Hyungsik sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar mengajaknya makan.
"Kau ini kenapa? Mengganggu saja!" tanya Namira kesal saat Hyungsik datang lagi.
"Kau belum makan, kan? Ayo makan! Aku lapar."
"Memangnya kalau aku makan, kau akan menjadi kenyang? Makan saja sendiri sana!"
"Hih. Kau galak sekali! Untuk menjadi galak kau butuh tenaga. Ayo, makan dulu baru marah-marah."
"Mr. Hyungsik, bisakah. Sekali ini jangan mengusikku dulu. Aku lelah. Benar-benar lelah. Please?"
"Ada apa denganmu? Ada masalah?"
"Ya begitulah."
"Mau cerita?"
"Malas."
"Ya sudah. Siapa juga yang mau dengar."
"Micin!"
"Sesama orang gila dilarang saling menghujat."
"Pergi dari sini sebelum aku menjadi semakin gila!"
Hyungsik berlalu dengan kekehan renyahnya. Namira pun tersenyum tanpa menyadarinya.
Meski Hyungsik sering mengganggunya, tapi jika Hyungsik tidak ada mungkin hidup pun terlalu menyeramkan baginya. Lelaki itu, meski menyebalkan tapi terkadang mampu membuat Namira melupakan rasa sakit yang dipendamnya.
Hampir dini hari, Namira hanya berguling-guling diatas kasurnya. Memejamkan mata tak pernah menjadi semenakutkan ini. Setiap kali ia menutup mata, suara Azrina datang lagi dan membuatnya merinding seketika.
Dia harus berpikir keras untuk melepaskan diri dari permintaan Azrina itu.
Lucu memang. Seharusnya, menikah dengan Jun Ki adalah impiannya sejak lama. Tapi kini, saat kesempatan itu ada di depan matanya, ia justru harus menghadapi dilema yang rumitnya luar biasa.
Harusnya, tidak begini caranya.
Apakah Azrina sadar bahwa hal ini tidak wajar?
Atau memang sudah seharusnya ia menerima?
Lagi-lagi, Namira menggeleng sekeras-kerasnya. Mengusak wajahnya kasar. "Gila. Gila. Gilaaaaa! Aku akan gilaaaa!"
"Aku harus pulang. Tapi bagaimana dengan Azrina kalau aku pulang? Ya Allah berikan aku solusi..." pertanyaan dan permohonannya menguap ke udara, namun sepertinya Namira tidak sadar bahwa alih-alih terbang ke langit, doanya hanya berhenti menggantung di langit-langit kamarnya.
🍁
oke. silahkan play video yang diatas, ya!
Lee Jun Ki pulang saat Namira masih berkelahi dengan dirinya sendiri di tempat tidurnya.
Keadaannya sama kacau dengan Namira dan istrinya tadi. Tak ada yang tahu kemana Jun Ki melepaskan emosinya tadi. Rambut dan mantelnya basah. Sekujur tubuh dan hatinya sedang mendingin sedingin cuaca yang belum stabil seusai hujan salju.
Memasuki kamar, menoleh sebentar ke arah ranjang king size dengan kayu ukir yang klasik tetapi tidak meninggalkan kesan mewah dimana ia temukan wujud istrinya tertidur, ia melangkah kesana hendak menghampirinya. Namun langkahnya terhenti saat ia merasa sebagian dari dirinya masih kesal dengan kejadian siang tadi.
Lee Jun Ki memutar langkah, menghempaskan diri ke sofa bed yang melintang dengan jarak satu meter dari ujung ranjang. Seluruh tubuhnya sejak tadi meronta-ronta menuntut haknya.
Menjelang pukul 3 pagi, suara seseorang terdengar merintih begitu sedih. Tidak terlalu jelas, namun cukup untuk membangunkan Azrina dari tidurnya.
Dari apa yang tertangkap matanya, Azrina mendapati suaminya tidur di sofa dengan tubuh bergetar dan ceracau yang panjang.
Sejenak Azrina lega, Lee Jun Ki sudah di rumah. Namun suara suaminya yang seperti sedang menangis dalam tidurnya membuat Azrina merasa harus mengecek kondisinya. Tertidur di sofa panjang masih dengan mantel hangat yang basah, bahkan sepatunyapun tidak dilepas, Azrina sangat terkejut saat meletakkan telapak tangannya ke dahi Lee Jun Ki yang menggigil dan masih terus berceracau memanggil-manggil nama istrinya.
"Astaghfirullah, panas sekali..."
Azrina berdiri, hendak mempersiapkan sesuatu untuk mengompres suaminya yang demam tinggi, tetapi suara Lee Jun Ki membuatnya tak berkutik
"Azrina, apa kau menyesal menikah denganku?" Azrina menoleh, menyangka Lee Jun Ki benar-benar mengajaknya bicara. Kemudian mengerutkan keningnya karena suaminya itu ternyata berbicara masih dalam tidurnya.
"Sebesar itukah kau kecewa padaku?" Jun Ki kemudian mengisak."Maafkan aku, Sayang ... Maafkan aku ... Jangan hukum aku ... "
Bulir kristal hangat benar-benar meluncur dari mata Lee Jun Ki yang terpejam. Dan sebelum bulir hangat juga kembali berjatuhan dari mata Azrina, ia bergegas mengambil handuk kecil dan air hangat untuk segera meredakan demam sang suami.
"Jangan begini padaku, tolong ... Jangan menghukumku seperti ini ... "Entah sudah ke berapa kalinya Lee Jun Ki mengulangi kalimatnya itu. Bahkan sampai Azrina selesai membuka sepatu, melepas mantelnya dan mengganti kompresannya yang ketiga, Jun Ki sama sekali tidak terbangun dan masih mengucapkan hal yang sama.
"Berhenti memintaku menjalankan ide gilamu ... Itu terdengar seperti pengkhianatan bagiku. Aku tidak bisa, Azrina. Aku takkan bisa."
Dengan segala upaya yang telah ia kerahkan agar tidak menangis lagi, kalimat Lee Jun Ki justru membuatnya tak kuasa menahan diri, serta merta ia memeluk erat suaminya, dan kembali mengisak tanpa suara disana.
"Maafkan aku, Oppa ... " Bibirnya ia kulum kedalam, ada tekanan besar yang berusaha ia tahan sehingga membuat rahangnya bergetaran.
"Setelah semua yang terjadi, maafkan aku karena hanya membuat lukamu semakin menganga ... "
"Maafkan aku, Sayang ... Maafkan aku karena kau harus menikah dengan orang sepertiku ... "
Entah hingga berapa lama Azrina menyahuti ucapan Jun Ki yang mengigau, dan Jun Ki membalasnya. Sampai ketika tangis Azrina mereda dan waktu subuh hampir menghampiri mereka, Lee Jun Ki terbangun dengan tangannya yang melingkari tubuh Azrina yang juga memeluknya.
Gerakannya pelan untuk mencoba bangkit tanpa membangunkan Azrina ternyata langsung membuat istrinya yang memang tidak tidur itupun mengangkat badannya.
"Oppa sudah mendingan?"
Jun Ki mengangguk, "terima kasih" ucapnya sambil mendaratkan kecupan di puncak kepala Azrina, menyadari dirinya baru saja dirawat karena kain kompresan yang terjatuh dari kepalanya.
"Solat yuk, sudah hampir subuh," ajaknya lagi dengan senyum tipis yang hampir-hampir membuat Azrina menangis kembali karena merasa sudah sangat lama ia tidak melihat senyum suaminya. Padahal hanya baru tadi siang senyum itu hilang.
Seusai berwudhu, Azrina hendak keluar dari kamar. "Mau kemana?" tanya Lee Jun Ki saat tangan Azrina sudah menyentuh gagang pintu.
"Ajak Namira."
Jun Ki menatapnya tanpa ekspresi, "kita solat disini."
Seolah diluar dari kebiasaan mereka sejak berada di rumah ini yang menjadikan ruang tengah menjadi tempat mereka shalat berjamaah saat Lee Jun Ki tidak ke masjid. Kali ini Lee Jun Ki hanya ingin shalat di kamar.
"Oppa, please. terakhir." Azrina sangat tahu, keinginan Jun Ki untuk solat di kamar bukan hanya karena dia sedang demam, tapi karena tidak lagi ingin bertemu Namira dan Azrina semakin memantapkan niatnya.
"Oke, terakhir."
Tegas, Jun Ki memberi persetujuan. Bagaimanapun, ia harus mulai menjaga diri dari hal-hal yang dapat memicu Azrina berpikiran aneh-aneh lagi.
"Namira tidak menjawab, Oppa." Azrina datang dari arah kamar tempat Namira tinggal saat Jun Ki mulai menggelar sajadah di ruang tempat mereka akan mendirikan shalat.
"Ya sudah. Mungkin tidurnya sedang nyenyak. Biarkan saja."
"Aku coba lagi, ya?"
Menghembuskan napas, Lee Jun Ki hanya menatap Azrina yang kembali menuju kamar Namira tanpa menunggu jawabannya.
Azrina mengetuk berulang kali. Masih juga tidak ada jawaban. Lee Jun Ki pun menyusul, "Ayo, Sayang. Kita akan kehabisan waktu. Sebentar lagi masuk waktu subuh."
"Sekali lagi, ya, Oppa."
Cepat-cepat Namira membuka pintu yang sejak tadi memang sengaja hanya bersandar dibalik pintu tanpa membukanya meski mendengar Azrina berkali-kali memanggil namanya. "Azrina?"
"Kamu baik-baik aja?" tanya Azrina khawatir.
"Baik kok, kenapa?" jawabnya, tentu saja pura-pura bertanya lagi.
"Aku panggil kamu dari tadi, nggak ada suara."
"Ya ampun, tidur aku nyenyak sekali. Hehe, maaf ya!"
"Sayang ... Kalau nggak bangun, biar saja. Jangan diganggu," suara Jun Ki dari ruang tengah. "ck! Kebiasaaan! Yaudah, yuk. Solat dulu, Oppa udah menunggu tuh dari tadi."
"Ah. Azrina, aku halangan. Kalian aja ya!" Dengan memasang muka sedih, Namira berbohong demi menghindari ajakan Azrina. Entah mengapa, jika dikait-kaitkan lagi, Namira merasa Azrina memang sengaja mengatur rencana untuk mempersatukannya dengan Jun Ki, termasuk dengan mengajaknya ikut solat bersama.
Begitu pikirnya. Tanpa tahu, Azrina pun sebelumnya tidak berencana sesempurna itu.
"Aneh. Tadi masih solat maghrib isya sama aku, kok sekarang jadi halangan," gumam Azrina saat ia menghampiri Jun Ki yang sudah bersiap diatas sajadahnya.
"Sudah, jangan dipikirkan. Mungkin memang sedang berhalangan karena sesuatu." Lee Jun Ki yang mendengarnya segera menjawab lalu meminta Azrina membetulkan posisinya sebelum ia memulai shalatnya dengan kumandang takbir yang menggema di sekeliling ruangan.
Waktu yang sempit menjelang subuh hanya cukup untuk menunaikan shalat sunnah witir tiga rakaat. Sesuai komitmen pernikahan mereka yang berupaya untuk menghidupkan malam-malam dengan qiyam. Minimal shalat witir yang merupakan sunnah muakkad, sunnah yang sangat dianjurkan.
Seusai salam, pasutri itu hanya saling terdiam. Terlarut dalam dzikir dan doa mereka masing-masing. Sebelum kemudian Azrina kembali bangkit, mengangkat tangannya, bertakbir untuk shalat sunnah sebelum subuh. Lee Jun Ki pun melakukan hal yang sama. Masing-masing mereka sedang berusaha meraup kemuliaan yang telah Allah tawarkan dalam dua rakaat sebelum subuh. Kemuliaan yang nilainya lebih dari dunia dan segala kekayaan di dalamnya. Kesempatan emas yang sering ditukar oleh banyak orang hanya dengan harga kasur dan bantalnya yang nyaman.
Setelah itu, barulah Lee Jun Ki mengumandangkan azan yang disusul dengan iqamah dan memulai shalat subuhnya hanya berdua bersama Azrina.
Surah Al Fatihah selesai dibacanya dengan lancar dan tenang, tapi cukup mampu menggetarkan hati yang mendengarnya.
Diam-diam, Namira pun ikut shalat dari dalam kamar. Dia sudah banjir airmata sejak Lee Jun Ki memulai bacaan surah Al Fatihah. Apalagi ketika Lee Jun Ki memilih surah Al Ahzab untuk dibaca setelahnya.
Tak hanya Namira, Azrina pun seolah terhunus benda tajam tepat di dadanya. Terasa begitu perih begitu bacaan Jun Ki tiba di ayat ke empat.
"Allah tidak menciptakan bagi seseorang dua hati dalam satu rongganya."
Airmata nya kembali terpompa, seakan luka dari hunusan benda tajam di dadanya itu mengeluarkan darah dari matanya. Meski Azrina memahami konteks ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan cinta dua hati, atau yang berkaitan dengannya. Azrina tahu, Lee Jun Ki sengaja memberi isyarat melalui apa yang dibacanya, sebuah penegasan bahwa hatinya tak pernah sekalipun mendua. Azrina menangkap sinyal itu, dan serta merta membuat pertahanannya semakin runtuh.
"Azrina, apa maksud dari ayat ke empat surah Al Ahzab ini?" begitu suatu hari Jun Ki bertanya pada Azrina saat ia baru mulai menghafalkan surah Al Ahzab.
"Ada beberapa tafsiran tentang ayat itu, Oppa. Beberapa diantaranya; Ayat itu turun ketika ada orang yang disebut-sebut memiliki dua 'Qalb' dalam tubuhnya karena kemampuan dia menghafal dan sebagainya. Ayat ini turun menegaskan bahwa, tidak akan mungkin ada orang yang hidup dengan dua hati dalam rongganya. Kedua, ayat itu menjadi dasar tidak bolehnya seorang wanita dihukumi sebagai istri sekaligus ibu karena pernyataan zhihar suaminya. Istri tidak akan bisa menjadi ibu. Di ayat lain, disebutkan "istri-istri mereka bukanlah ibu mereka. Ibu mereka tidak lain adalah yang melahirkan mereka."
Ketiga, ayat itu juga menjadi penjelasan tentang sifat manusia antara Islam dan Kafir. Antara Iman dan Munafiq. Keduanya tidak mungkin tergabung dalam satu 'qalb' seseorang. Wallahu a'lam ..."
"Sudah? Begitu saja?"
Azrina mengangguk, "setahuku itu saja."
"Bagaimana dengan cinta dua hati?"
Pertanyaan Jun Ki langsung membuat Azrina tergelak. "Ayat ini tidak difungsikan untuk itu, Oppa. Memang ayat ini sering dijadikan senjata perempuan untuk mencegah suaminya menikah lagi. Tapi konteksnya tidak begitu, Oppa."
"Aaah, begitu ... Aku mengerti. Kalau begitu, nanti jangan menggugatku dengan ayat ini kalau aku ingin menikah lagi, ya?!" goda Jun Ki.
"Awas aja kalau berani! Aku akan gugat Oppa dunia akhirat!"
Azrina terceguk-ceguk menahan agar tangisnya tak mengeluarkan suara dalam shalatnya. Namun ingatan di awal-awal pernikahan mereka yang indah itu, tak pernah disangkanya akan menjadi begitu perih saat dikenangnya kembali saat ini.
Hari itu, mereka berdua tertawa, bergurau bahagia, tanpa takut pada apapun juga. Seolah candaan mereka takkan pernah akan menjadi nyata. Hari ini, siapa yang tahu akhirnya, bahwa mereka benar-benar nyaris menghadapinya. Dan yang berniat menggugat, dia pula lah yang lebih dahulu melayangkan permohonan.
Takdir, memang selucu itu.
Derai airmata tak terhitung jumlahnya, hari ini mungkin akan tercatat sebagai hari terberat dalam pernikahan Azrina dan Lee Jun Ki.
Dalam shalat mereka memohon mohon belas kasih ilahi, berharap jika hari ini mereka harus menghadapi banyak hal yang menguras hati. Semoga setelah ini, hanya bahagia dan keberkahan yang menyelimuti.
Meski pada akhirnya, takdir tetap memegang kendali.
Entah esok bahagia yang menghampiri, atau duka semakin keras mengoyak keyakinan hati.
Azrina belum tahu apa yang akan terjadi dengannya besok hari, begitupun dengan Lee Jun Ki.
Yang pasti untuk mengetahui jawabannya, mereka terlebih dulu harus berhasil melewati hari ini.
Allah tidak menciptakan bagi seseorang dua hati dalam rongganya.
Seumpama anak panah yang melesat menuju ke arahnya. Hendak membuka matanya, memaksanya tersadar bahwa dirinya memang telah kalah sejak lama.
Dan sudah waktunya Namira untuk tahu diri, bahwa memang disini bukanlah tempatnya.
"Aku harus pulang. Azrina. Maafkan aku. Aku harus pulang ... " batinnya.
Seusai shalat, tanpa menunggu beberapa jeda, Azrina segera menghamburkan diri menuju suaminya. Disana ia tumpahkan sesaknya sekali lagi. "Maafkan aku, Oppa." mengulangi permohonan maafnya yang mungkin tak didengar Jun Ki saat tidur mengigaunya tadi.
"Maafkan aku yang meragukanmu ... "
Jemari Jun Ki mengangkat dagu Azrina agar wajahnya mendongak, tepat berhadapan dengan Lee Jun Ki yang menunduk. Jarinya berpindah untuk menyeka ujung mata istrinya yang basah. Dari jarak sedekat ini, Jun Ki bisa jelas melihat wajah istrinya yang dipenuhi duka, dengan hidungnya yang memerah.
"Neo. Neo-ya neo. Yeongwonhi. Neo hanaman saranghanikka." Jun Ki menurunkan wajahnya hingga bibirnya saling berpagut dengan bibir istrinya. Pelan dan cukup lama, mereka hening dalam pejaman mata.
Kemudian setelah itu, ia kembali meyakinkan istrinya dengan setengah berbisik ucapannya, "kamulah satu-satunya. Aku tak perlu dua atau tiga, atau berapapun yang datang padaku. Jika bukan kamu. Aku tidak akan bisa."
Kembali mereka saling berpelukan. Azrina yang menghimpit tubuh suaminya lebih erat. Sesak di dadanya nyatanya tak berhasil ia tumpahkan seluruhnya.
Ia memang tersanjung dengan apa yang berusaha Jun Ki nyatakan. Namun jika kembali teringat bahwa mungkin sebentar lagi ia takkan bisa menemani Jun Ki lagi, bagaimana lelaki itu bisa menjalani kehidupan ini?
Ah ... Rasanya seperti meragukan Allah yang mengatur segala sesuatu sesuai porsi.
Untuk kali ini, seusai menarik napas panjang, Azrina melangitkan doa sekali lagi. Memohon izin kepada Sang Ilahi.
Bolehkah, kali ini dirinya berjuang untuk bangkit dan sembuh kembali?
🍁🍁🍁
Tbc.
Mohon maaf kalau feel nya kurang dapet. Wkwkwk.
Mohon maaf juga kalau beberapa part ini bakal nangis nangis aja terus... Semoga beneran feel nya nyampe ya, aku nulis ini beneran senyesek itu gaes... Nangis bombay 😭😭😭
Pokoknya enjoy ya!
Mohon untuk dibaca sambil degerin lagunya. Hayati. Resapi. Biar feel nya dapet aja sih.
Kalo nggak juga gapapa. Hehe.
Siapaaaaa yang masih setia sampai 2020?
Semoga penantian kalian berakhir di tahun ini yaaaa. Amin.
Lovyu guys! Trilyunan 💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro