Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32 - Jujur pada hati

Yeay! Update lebih cepat karena aku mungkin akan gak aktif sampai 5 hari ke depan. Enjoy 8k words.

Bismillah jangan lupaaaa.
Vote komennya juga tentu sajaaaa.

🍁🍁🍁

Seperginya Jun Ki menuju tempat persemayaman jenazah Park Minjoon, Azrina pun bergegas menuju rumah sakit tempat praktik Baek Ji Young.
Sama dengan Azrina, Namira juga bersiap-siap setelah mendapatkan amanah dari Lee Jun Ki agar menemani Azrina menemui dokternya.

Sebenarnya, ada sedikit kekhawatiran Azrina jika pergi bersama Namira. Itu artinya, Namira akan dan harus tahu kondisi kesehatannya yang sebenarnya. Tapi jika tidak dengan Namira, lalu pergi dengan siapa? Sendiri sudah pasti tidak mungkin.

Azrina mempertimbangkan antara jujur saja pada Namira atau tetap merahasiakannya karena tahu Namira akan bereaksi berlebihan terhadap segala sesuatu yang dianggapnya tidak wajar.

Dengan mengucap basmalah, tak lupa memohon petunjuk dari Allah. Bersama Namira, Azrina memenuhi janji temu dengan Baek Ji Young di rumah sakit milik keluarga Lee Jun Ki.

Sepanjang jalan, Namira heboh tidak sabar ingin melihat calon kemenakannya. Suasana hatinya yang sedang bagus membuatnya berceloteh banyak hal pada Azrina, termasuk tentang perkembangan islam di Korea dan perkenalannya dengan pemuda-pemudi muslim yang menjadi pegiat dakwah di beberapa masjid atau mushola yang tersebar di wilayah ibukota Seoul. Sebagian besar dari mereka adalah warga negara Indonesia, selebihnya penduduk dari negara timur tengah serta penduduk Korea yang telah memeluk agama islam. Namira bercerita betapa ramahnya mereka, seolah menunjukkan identitas muslim sejati yang saling peduli dan saling mencintai layaknya agama yang mereka yakini, agama rahmatan lil alamin. Setiap tahun populasi muslim di Korea semakin meningkat, hal ini tak lepas dari kegigihan para pegiat dakwah ini dalam menebar kebaikan. Tak perlu dengan perkataan, terlebih paksaan, tetapi dengan perbuatan, akhlak yang terjaga dan prilaku yang menentramkan. Membuat penduduk sekitar yang awalnya merasa asing, bahkan terancam, pada akhirnya menjemput hidayah dengan segenap keyakinan.

Azrina bahagia mendengar cerita Namira yang meledak-ledak antusias. Mendengar bagaimana Namira bisa cepat beradaptasi di tempat asing ini, Namira yang bisa bertahan di mana saja takdir membawa dirinya.

Tanpa terasa, mobil yang mereka tumpangi telah memasuki area parkir rumah sakit. Mereka mengganti topik bahasan setelah Namira menjanjikan untuk mengajak Azrina menemui teman-temannya sepulang dari sini nanti.

🍁

Kematian Park Minjoon membuat amarah Lee Jun Ki semakin bergemuruh. Apalagi tadi, saat menyaksikan keluarga Park Minjoon sangat terpukul atas kepergian putra mereka yang menjadi tulang punggung keluarga itu.
Melibatkan Park Minjoon dalam masalah pribadinya hingga membuat nyawa pria itu melayang, membekaskan rasa bersalah yang besar di hati Lee Jun Ki. Sebesar dendam yang ia sasarkan kepada entah siapa yang telah melakukan kekejaman ini. Menjatuhkan banyak korban jiwa demi kepentingannya sendiri.
Gigi Lee Jun Ki bergemeretak menahan emosi, kedua tangannya ia kepalkan erat-erat.
Jika ia tidak ingat pesan Rasulullah untuk senantiasa menahan amarah, mungkin saat ini kaca jendela mobil yang ditumpangi Jun Ki sudah pecah karena hantaman tinjunya.

"Astaghfirullahal'adzim..." ucapnya samar sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

Paman Kim yang mengerti perasaan Jun Ki mencoba menghibur. Setidaknya, cukup beruntung Lee Jun Ki masih memiliki Paman Kim di sisinya. Lelaki paruh baya yang sangat dipercayainya dan memang sudah seperti ayah baginya.

"Paman. Paman juga harus berhati-hati. Sebaiknya kita hentikan saja penyelidikan ini."

"Ada apa, Jun Ki?"

"ani, geunyang, setelah semua ini. Kupikir akan lebih banyak korban berjatuhan jika kita tetap melanjutkan. Bisa jadi selanjutnya aku, atau paman yang menjadi sasaran..." Jun Ki diam sejenak lalu menyambung ucapannya, "aku tidak ingin paman dalam bahaya..."
Paman Kim tertawa kecil mendengar ketakutan Lee Jun Ki.

"Jangan khawatir, Jun Ki-ya." Paman Kim kembali melanjutkan tawanya sebentar. "Apa kau lupa kalau Paman ini seorang manusia super yang bisa menghalau semua bahaya?"
Jun Ki berdeceh disertai senyuman. Paman Kim masih tetap sama, seperti saat masa kecilnya. Menyayanginya dengan sepenuh hati, siap menjadi teman dan memainkan apa saja bersama, hingga pada suatu hari ketika ia kehilangan ibu sekaligus ayahnya juga, paman Kim pun bisa menggantikan sosok ayah di hatinya, yang selalu dapat ia andalkan dalam suka maupun duka.

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika kehilanganmu, Paman. Kita berhenti saja, ya?" bujuk Jun Ki meski wajah Tiffany menjelang wafat kembali tertayang di benaknya.
Ini memang berat. Keputusan untuk berhenti dan merelakan kematian Tiffany tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab dengan dituntut hukuman yang setimpal bagi Jun Ki sangatlah tidak adil. Wajah pucat pasi adiknya di hari ulang tahun terakhirnya itu yang selama ini menjadi penguat Lee Jun Ki sekaligus menjadi titik kelemahannya.
Semangat dan keceriaan gadis kecil itu yang membuat Jun Ki kecil tetap tegak berdiri agar bisa selalu menjadi pelindung bagi adiknya ketika tak lagi memiliki siapa-siapa.
Penyakit ganas yang tak pernah sekalipun dikeluhkan Tiffany meski tubuhnya kian melemah yang menumbuhkan impian Jun Ki untuk menjadi dokter ahli agar bisa menyembuhkan adiknya.
Dan kematian Tiffany pula lah yang membuatnya bertahan hingga sekarang. Dengan segenap dendam yang dibawanya untuk dibalaskan kepada siapapun yang telah menghancurkan keluarganya.

Tapi... Lee Jun Ki tak ingin kehilangan lagi. Sudah cukup baginya rasa sakit karena kehilangan orang-orang tersayang. Rasa sakit yang menyayatnya berkali-kali. Tak ingin ia rasakan lagi.

Mungkin memang ini saatnya ia merelakan dan melerai dendam di hatinya.

"Sedikit lagi, Jun Ki-ya. Jangan berhenti sekarang. Kita telah hampir sampai..." suara Paman Kim meyakinkan.

"Maksud Paman?"

"Park Minjoon, sebelum kematiannya memberitahu bahwa SD card itu diserahkan pada temannya, Lee Sungjin."

"Jeongmaliyo? Benarkah, Paman?"

"Benar. Minjoon memberiku kontaknya. Apa kita menghubunginya sekarang?"

"aniyo. Andwaeyo. Hajimayo. Jangan. Ini terlalu berbahaya, Paman."

Paman Kim tersenyum, paham betul dengan apa yang dikhawatirkan Jun Ki.

"Justru jika kita berhenti sekarang, kematian mereka akan sia-sia."

Hening sejenak. Hanya terdengar deru mobil yang terus melaju.

"Berhati-hatilah, Paman. Butakhamnida ... Aku mohon. "

Paman Kim mengangguk disertai senyuman.

🍁

Matahari seharusnya sudah meninggi di langit kota Seoul menjelang siang ini. Tetapi cuaca dingin dengan sisa-sisa hujan salju kemarin yang menyebar di seluruh kota membuat awan semakin nyaman menyelimuti langit yang menjadikan suasana menjadi sedikit pekat sekaligus tenang oleh hamparan putih sejauh mata memandang.
Baek Ji Young menyambut hangat kedatangan Azrina dan Namira. Setelah bertukar kabar dan mengobrol sepatah dua kata, Baek Ji Young meminta Azrina berbaring di ranjang pemeriksaan, dibantu oleh perawat yang mendampingi praktik dokter hari ini.

Ditemani Namira, Azrina memandangi layar yang menampakkan bagian-bagian tubuh janinnya yang disorot Ji Young dengan alat ultrasonografi. Rasa haru menyelimuti hatinya. Haru yang membungkus kebahagiaan. Apalagi saat Ji Young berseru secara mengejutkan sebab dia pun mungkin tidak menyangka jika janin Azrina sampai usia kehamilannya yang penuh perjuangan ini berkembang cukup baik dan sehat.
Sangat sehat.

Namira yang ikut gembira melihat penampakan janin yang diperkirakan Ji Young benar-benar akan menjadi seorang bayi perempuan itu tak lupa mengabadikan momen bahagia menggunakan kamera ponselnya. Azrina dengan senyum lebar dan tak menyangka bahwa harapan suaminya benar-benar akan menjadi nyata, kemudian ia kirimkan kepada Lee Jun Ki.

"It's a girl! Chukkahae-yo!" serunya sebagai keterangan foto yang dikirimnya.

Foto itu sukses membuat Lee Jun Ki nyaris meneteskan air mata antara rasa syukur dan tidak menyangka bahwa Tuhan benar-benar mendengar pintanya. Buah hatinya yang sedang tumbuh dalam rahim sang istri benar-benar akan terlahir sebagai seorang putri.

Bahkan karena terlalu gembira, Lee Jun Ki sempat meminta Sopir Moon untuk memutar arah menuju rumah sakit. Tetapi rencana untuk menemui Lee Sungjin sudah terlanjur diatur. Pria yang memegang bukti kematian Tiffany itu sudah menunggu di sebuah kafe di sekitar Dongdaemun.

Lee Jun Ki berharap urusan dengan Lee Sungjin cepat selesai dan ia bisa segera menemui istri dan calon putri mereka.

🍁

"Bayinya sangat kuat! Dia begitu hebat! Azrina! Kau mengagumkan!"

Baek Ji Young tak henti-hentinya dibuat takjub saat memeriksa janin Azrina yang tumbuh normal tanpa masalah berarti meski dengan kondisi Azrina yang tidak sehat seperti ibu hamil pada umumnya.
Untuk sesaat, Azrina dan Namira pun terhanyut dalam euforia yang meluap-luap yang ditampakkan Ji Young.
Tapi itu tidak bertahan lama. Ketika Ji Young mulai memperingatkan hal yang selama ini Azrina khawatirkan.

"Tapi kau harus ingat, Azrina. Semakin dia kuat, kau akan...." kalimat Ji Young tertahan di ujung lidah karena tangan Azrina yang mencegat lengannya bersamaan dengan gelengan di kepalanya lengkap dengan ekspresi memelas yang ditangkap Ji Young sebagai kode agar tidak melanjutkan ucapannya.

"Dia juga tidak tahu?" hampir terperanjat, Ji Young berbisik pada Azrina dengan ekor mata yang sengaja ia arahkan pada Namira yang untungnya sedang sibuk dengan ponsel di tangannya.

Azrina mengangguk cepat.

Ji Young menepuk dahinya pelan lalu menggeleng pula beberapa kali. Ia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana Azrina mampu membawa masalah sebesar ini sendirian dalam waktu yang cukup lama.

Wajah Azrina masih menyiratkan harapan agar Ji Young tidak menjelaskan perihal kondisi kehamilannya dan apa yang mungkin akan terjadi dengannya cepat atau lambat kepada Namira dan akan membuat panik gadis itu.

"Oke. Baiklah," ujar Ji Young menyerah pada keputusan Azrina. "Kau boleh bangun. Kita bicara disini, yuk," ajaknya sembari membuka langkah menuju meja tempat pasien biasa berkonsultasi. Namira dan Azrina pun mengikuti kemudian duduk di dua kursi yang berseberangan dengan tempat Ji Young duduk, jarak antara mereka dibatasi meja persegi dengan beberapa dokumen pasien Ji Young serta kalender dan papan nama Baek Ji Young sebagai dokter spesialis kandungan.

Beberapa saat ketiganya terdiam, tidak benar-benar diam karena Ji Young terlihat sedang menatap ke layar ponselnya sambil mengetikkan sesuatu. Namira dan Azrina saling menatap namun tak juga bersuara. Seakan keduanya sepakat menunggu Baek Ji Young memulai kalimatnya.

"Oke ... Sampai dimana kita tadi?" Baek Ji Young meletakkan ponselnya dan menegakkan posisi duduknya sembari melempar pertanyaan pada dua orang di hadapannya.

Tepat setelah itu, giliran ponsel Namira yang terdengar berdering dari dalam tas.

Panggilan masuk dari "Micin"

"Jinjja?! Harus banget sekarang ini si micin meneleponku? Tumben amat," batinnya sambil tersenyum tanggung pada Azrina dan Jiyoung. Tapi kemudian teleponnya ia abaikan begitu saja.

Hingga ponselnya berdering sekali lagi saat Jiyoung akan memulai penjelasannya. Membuat sang dokter cantik itu menyuruhnya menjawab telepon.
"Jawab saja. Tidak apa-apa."

Dengan anggukan, Namira akhirnya memohon diri keluar ruangan untuk menjawab telepon.
Diantar dengan lirikan mata Jiyoung yang tiba-tiba tersenyum penuh kemenangan, membuat Azrina semakin bertanya-tanya sebenarnya ada apa.

"Syukurlah, Hyungsik sedang menurut padaku hari ini." ucap Baek Ji Young dengan sedikit terkekeh. Lalu memperlihatkan pada Azrina percakapannya dengan Hyungsik di ponsel. Rupanya saat sibuk mengetik sesuatu di ponsel tadi, Jiyoung sedang mengirim pesan pada Hyungsik untuk menghubungi Namira dan membuat gadis itu keluar dari ruangan, sebentar saja.

Azrina menghela napas lega, Baek Ji Young ternyata tak seburuk yang Namira bilang padanya. Bahkan lebih dari itu, pembawaan dokter muda dan penuh pesona itu terasa bersahabat. Mungkin hanya pada orang-orang yang dipilihnya.

"Tiga tempat," suara Hyungsik langsung terdengar bahkan sebelum Namira mengucapkan apa-apa.

"Apa-apaan?" ketusnya.

"Tiga tempat, yang paling ingin kau kunjungi di sini."

Namira tidak langsung menjawab. Dia justru berpikir ada angin apa Hyungsik musuh besarnya tiba-tiba menelepon dan hanya menanyakan hal aneh.

"Cepat jawab." suara Hyungsik membuyarkan lamunannya.

"Untuk apa aku menjawabnya?"

"Jawab saja! Memangnya susah?"

"Aku tidak menjawab sesuatu tanpa alasan yang jelas."

"Geeez! Memangnya kau tidak mau jalan-jalan?"

"Kau mau mengajakku? Ya! Kalau mau mengajak seseorang bukan begitu caranya!! Ucapkan dengan benar langsung ke intinya! Jangan membuatku bingung."

"katakan saja! Cepat!"

"Lotte world! Petite France dan ... Pulau Nami!"

"Aku tidak percaya. Kau mengintip buku whislist Tiffany, ya?"

"Tidak."

"Kenapa semuanya sama?"

"Apanya?"

"semuanya sama dengan daftar tempat yang ingin dikunjungi Tiffany dulu. Kau, mengintip buku hariannya ya?"

"Ya mana aku tahu. Jangan asal menuduh! Aku memang ingin ke tempat-tempat itu, bukan urusanku jika Tiffany juga ingin begitu. Sekarang, kau mau mengajakku tidak?"

"Memangnya siapa yang mengatakan akan mengajakmu? Aku hanya bertanya..."

Namira kesal sekali mendengar Hyungsik. Jika Hyungsik benar-benar berada di hadapannya, Namira pasti akan menjambaknya. Biar saja dosa, emosi saja sudah berdosa.

"Ya! Kalau tidak punya sesuatu untuk dikerjakan, sebaiknya bantu ibumu! Jangan ganggu aku!"

"Waaa. Ternyata kau benar-benar macan." seloroh Hyungsik.

"Darimana kau mendapatkan gosip seperti itu, hah?"

"Dari namamu, Na - Mi - Ra. Dalam bahasa arab, artinya macan, kan? Temanku mengajarinya. Hahahaha"

Namira memutar matanya semakin jengkel.

"Mohon maaf, Tuan Sok Tahu! Namira artinya bukan macan, tapi harimau!" ujar Namira penuh penekanan. Posisinya saat ini sedang di taman Rumah Sakit Universitas Haesung milik keluarga Lee Jun Ki.

Dari seberang telepon, Hyungsik justru terdengar menghamburkan tawa. "I see no difference" ejeknya. "Macan dan Harimau, apa bedanya? Sama-sama jelek!"

Semakin emosi Namira seperti benar-benar akan mencengkram Hyungsik dengan cakar tajamnya. "Iya! Sama! Sama-sama bisa menerkammu kapan saja! Kusarankan kamu jangan mau mencari masalah dengannya."

"uuuuh takut" timpal Hyungsik.

"Ah! Sudahlah! Kau membuang-buang waktu!" Namira menarik ponsel dari telinganya, memutuskan panggilan Hyungsik dengan penuh kekesalan, tampak seperti dia akan memecahkan layar sentuh ponselnya dengan satu jari telunjuk.

Sementara itu, Baek Jiyoung dan Azrina mulai membahas masalah serius mereka.

"Kamu pasti tahu resikonya, kan? Perkembangan bayimu yang sehat-sehat saja bukan kabar baik untukmu. Aku minta maaf harus mengatakan ini, tapi memang begitulah yang akan terjadi kecuali jika sebuah keajaiban menghampiri."

Azrina menunduk dalam. Ia tahu. Ia sadar akan hal itu, tapi sudah sejauh ini, dia seharusnya tidak menyerah, kan?

"Semakin dia tumbuh menjadi kuat dan membesar, kamulah yang akan semakin melemah, Azrina. Entahlah, seharusnya kondisi janin yang sehat adalah sesuatu yang selalu diharapkan. Tapi, dalam kasusmu, maafkan aku karena aku justru ingin dia tidak berkembang. Agar mudah menentukan pilihan."

Tersentak mendengar perkataan Ji Young, Azrina hendak protes tetapi sadar bahwa memang kalimat itulah yang akan dia dengar dari dokter manapun yang menangani kondisinya saat ini.

"Aku sudah sejauh ini, eonni. Kami ... Bayiku, dia telah tangguh sampai saat ini. Bagiku, ini sebuah keyakinan bahwa jika pada akhirnya pilihan tetap harus ditentukan, dia yang seharusnya dipertahankan.
Aku harap eonni membantu mewujudkannya. Aku mohon ..." lirih Azrina berujar. Mengucapkan satu-satunya permohonan yang telah lama ia pendam.

Jiyoung menarik napas dalam-dalam. Dia tahu akan seperti ini. Semua ibu di dunia pasti akan meminta hal yang sama seperti Azrina jika dalam situasi memilih antara menyelamatkan nyawa ibu atau anaknya. Tapi, prosedurnya tidak sesederhana itu, bukan? Dan sebagai tenaga medis, Jiyoung tahu langkah-langkah yang harus diambil dan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam upaya penyelamatan. Jika tidak bisa keduanya, akan diusahakan yang lebih menguntungkan.

"Aku mohon, eonni," pinta Azrina sekali lagi yang hanya direspon tatapan kosong Jiyoung.

"Kenapa semua ibu harus seperti ini? Sehebat apa rasa cinta pada sesuatu yang belum sempurna wujudnya? Tidakkah kau tahu bahwa sosok kecil yang sedang tumbuh di rahimmu itu kelak akan sangat membutuhkanmu lebih dari kau menginginkan dia. Dan kau akan meninggalkannya begitu saja? Membiarkannya bernapas dan bertahan tanpa ada kau di sisinya? Bukankah itu tega?"

Azrina semakin dalam menunduk. Bibir bawahnya ia gigit pelan, berupaya menahan perasaan yang hendak meluap berkat kata-kata Jiyoung yang menghujamnya tajam. Namun sekaligus memberinya kesadaran akan sesuatu yang tak pernah ia ingin bayangkan yaitu keadaan bayinya kelak jika benar-benar ia tinggalkan.
Jiyoung memang benar, tapi Azrina pun tak sepenuhnya salah.
Di dunia ini, manusia mana yang mendambakan perpisahan? Begitu pula Azrina, bahkan sebelum adanya pertemuan kemungkinan berpisah itu telah mengoyak-ngoyak batinnya. Tapi lagi-lagi, keadaannya tak selalu sesuai rencana. Ketentuan-Nya lah yang mengatur segala. Dan bagi orang-orang beriman, janji pertemuan di surga adalah sumber kekuatan jiwa ketika perpisahan tak lagi dapat dicegah.
Sedang cinta, seperti itulah adanya... Naluri yang terpupuk alami dalam diri seorang ibu untuk mengorbankan apapun demi napas kehidupan sang buah hati. Sekalipun nyawa taruhannya.

Baek Ji Young hanya sedikit tidak mengerti. Atau mungkin belum mengerti.
Azrina tak berniat untuk menimpali ucapan Jiyoung kali ini. Dia lebih berfokus untuk menahan genangan yang mulai menggelayuti matanya.

"Apakah ada jalan untuk memilih keduanya?" dengan suara bergetar, hanya itu yang Azrina bisa katakan.

Hening.
Baek Ji Young terlihat memerhatikan hasil pemeriksaan dan mencocokkannya dengan riwayat penyakit yang dikirim Azrina.

Tapi setelah beberapa saat, air wajah Baek Jiyoung yang semula tegang berubah ceria kembali.

"Baiklah! Jalan untuk memilih keduanya. Bagaimanapun, sudah tugasku untuk mengusahakan itu. Mari kita jangan khawatir dulu. Meski terjadi hal terburuk sekalipun, setidaknya kita tidak terburu-buru menyerah dalam kubangan pilu."

Rasa sejuk perlahan menjalari tubuh Azrina.

"Aku akan diskusikan kasus ini pada Yoon Jae seonbae. Dia spesialis jantung yang cukup handal disini. Tapi, apa tidak apa-apa jika dia yang menjadi doktermu?" Jiyoung bertanya ragu. "Ah tidak. Jangan. Lee Jun Ki akan marah besar. Biar kusebutkan kau sebagai salah satu pasienku. Anonim." senyum ramah terukir dari bibirnya yang berwarna pink lembut. Matanya pun menyempit hingga membentuk garis lengkung ke atas. Manis sekali. Hanya dengan melihat itu, Azrina merasa nyaman dan penuh dukungan.

Kini secercah harapan muncul kembali, harapan untuk sembuh. Harapan untuk tetap ada menyertai putri kecilnya yang akan terus tumbuh.

Harapan yang mulai membesar karena energi positif yang ditularkan Baek Jiyoung. Namun sekejap kembali samar ketika Namira datang dan bergabung bersama mereka lagi. Tak bisa disanggah, sosok Namira secara otomatis mengingatkannya pada misi yang hendak ia jalankan. Misi penyatuan cinta sebagai bagian dari salam perpisahan.

"Siapa yang meneleponmu?" tanya Jiyoung iseng.

"Makhluk astral!" Azrina dan Jiyoung sontak membelalak.

"Namanya Micin?" kali ini Azrina yang bertanya. Ia memang sempat melihat sekilas nama yang tertera di layar ponsel Namira.

"Micin?" Ji Young ikut penasaran.

"Hyungsik. Itu Hyungsik."

"Hahahahaa! Kau menyebut Hyungsik gila? Hahaha daebak! Tunggu sampai kuadukan kau padanya."

"Adukan saja. Tidak takut. Lagipula, Micin juga ada di Indonesia dan artinya bukan gila," seloroh Namira.

"Benarkah? Micin, apa arti micin di sana, Azrina?" Jiyoung memilih bertanya pada Azrina kali ini karena tahu, Azrina tidak akan menjawab asal.

Azrina terlihat berpikir sejenak, lalu menaikkan kedua alisnya pada Namira. "Mecin?" Namira mengangguk lalu tertawa dengan mulut terbuka lebar namun tanpa suara.

"Mecin, sesuatu yang jika dikonsumsi terlalu banyak akan membuat otakmu eror lalu gila. Hahahaha"

"Omo. Kau? Memangnya kau mengkonsumsi Hyungsik? Eeeey aku jadi curiga. Ada sesuatu antara kau dan dia. Apa kau berpacaran dengannya?" antusias, Jiyoung bertutur tanpa henti.

"OMG! Mal-do andwae. Tidak akan! Never!" Namira menepuk-nepuk kepalanya seolah mengusir sial. "Hanya saja terlalu lama bersama Hyungsik rasanya seperti akan gila."

Ketiganya tertawa. Bahkan perawat yang mendampingi Jiyoung pun ikut tertawa meski tak memahami apa-apa. Sampai beberapa menit setelah Jiyoung menyarankan hal-hal yang harus dilakukan Azrina, dan meminta Namira mengurusnya dengan baik, akhirnya Azrina dan Namira pun berpamitan pada Baek Jiyoung lalu segera pulang.

"Ya Allah, Az! Selamat yaaa! Sehat-sehat terus pokoknyaaaa!! Seneng banget deh dengernya," seru Namira girang saat perjalanan pulang.
Azrina ikut tersenyum.

"Doain terus ya," pintanya.

"Pasti dong! Eh kamu, kalo butuh apa-apa bilang aku yaaa! Gongju-niiiiim, Namira-imo ada disini buat bantu Umma jagain kamu, oke?" Nampak jelas kegembiraan Namira sambil mengusap-usap permukaan perut Azrina.

"Makasih, ya. Mir," ujar Azrina tulus.

"Aku nggak nyangka, doanya Oppa diijabah. Anaknya beneran perempuan. Besok-besok aku mau minta doa deh ke dia hahaha," lagi-lagi Namira berseloroh santai mengajak Azrina pun tertawa kecil.

"Tunggu sampai aku bilang ke dia, nggak kebayang gimana senengnya," seru Azrina riang. "Dari tadi aku gatel pengen bilang, tapi ditahan. Mau bilang langsung biar bisa liat ekspresinya," pungkasnya.

Mendadak Namira seperti tersedak.
Pasalnya, dia sudah memberi tahu Jun Ki duluan. Tidak menyangka jika Azrina berencana memberi kejutan.
Sedang permintaan maaf terasa berat ia lontarkan. Selain hanya mengulum senyum jengah.

"Oh! Azrina, jadi mau ketemu teman-teman di central mosque?" sahut Namira setelah mengingat sesuatu yang ia janjikan pada Azrina tadi.
Sayangnya, Azrina menolak pergi dengan alasan tidak enak badan dan ingin segera pulang.

Di tempat lain, Yoon Jae yang selesai menghadiri rapat dengan komite rumah sakit terlihat merogoh ponsel dari saku celananya.

"Ne, Eomoni."

"Yoon Jae-yaaaa! habislah kita!!!" hanya dengan beberapa kata yang disebutkan oleh Nyonya Choi Miran dengan tangis memekik itu Yoon Jae segera tahu, hal buruk menimpa ibunya. Mereka mengobrol tidak lama hingga Yoon Jae memasukkan kembali ponsel ke sakunya setelah mengatakan akan segera menemui ibunya.

Di saat bersamaan, di lokasi yang berbeda, Paman Kim baru saja menutup telepon dari Presdir yang meminta Lee Jun Ki datang menemuinya terkait dengan rencana Presdir untuk mewariskan seluruh harta dan properti yang dimilikinya kepada Lee Jun Ki. Darah dagingnya.

Karena hal itu, paman Kim membatalkan pertemuan dengan Lee Sungjin. Dan sedang berusaha membujuk Jun Ki agar bersedia menemui Presdir.

Rupanya, hal itu yang membuat nyonya Choi Miran histeris. Ketika ia tak sengaja mendengar percakapan Presdir tentang warisannya. Wanita setengah baya itu tentunya takkan rela jika setelah semua yang ia upayakan untuk meraup kekayaan grup Hanil akhirnya tak menghasilkan apa-apa karena kemunculan Jun Ki secara tiba-tiba.
Bersama Yoonjae, ia pun hendak mengatur rencana untuk menggagalkan rencana suaminya.
Jika tidak bisa melenyapkan putra suaminya itu, menghancurkannya mungkin akan jauh lebih menyenangkan.

🍁
,

Lee Jun Ki terus menerus menolak memenuhi undangan Presdir dengan berbagai alasan. Namun Paman Kim juga enggan berhenti membujuknya.
Lee Jun Ki justru semakin kesal karena ayahnya yang selalu membuat keputusan sepihak tanpa melibatkannya atau membebaskannya menentukan pilihan. Bahkan terakhir kali, saat ia merasa telah terbebas dari kekangan dan bisa hidup sendiri, kenyataan bahwa ia masih dalam monitor ayahnya pun membuatnya semakin terpuruk. Lalu sekarang apa? Menjadi pewaris tunggal?
Jun Ki bisa mengendus ini akan berakhir buruk. Selama ini, yang ia tahu, ia hanya dijadikan alat untuk menggapai hasrat sang ayah yang haus kekuasaan dan akan dicampakkan lagi saat tak lagi dibutuhkan.
Seperti yang sudah-sudah. Seperti dulu kala.
Olehnya itu, Lee Jun Ki keras menolak meski mobil yang ditumpanginya sudah berputar haluan menuju kediaman Presdir.

Lalu entah sedang membahas apa hingga obrolan Paman Kim dan Lee Jun Ki berakhir dengan cerita Paman Kim tentang kedatangan Presdir menemui Azrina kemarin. Serta rencana dan kesepakatan yang dibuatnya dengan Azrina.
Lee Jun Ki terkejut tentu saja. Cerita itu sukses menyempurnakan kekesalan Lee Jun Ki pada Presdir yang telah berani menemui istrinya tanpa sepengetahuannya. Juga pada Azrina yang tidak mengatakan apa-apa padanya sejak kemarin hingga hari ini.

"Ada apa dengan semua orang? Ch!" ujarnya sarkas dan mulai kesulitan bernapas seolah rasa kesal sudah memenuhi rongga dadanya. Menyesakkan.

Lalu saat tiba di kediaman Presdir, tanpa mengucapkan apa-apa, dengan ekspresi datar namun dinginnya melebihi cuaca dingin siang hari ini, ia mengayunkan langkah kaki, menyerobot masuk tanpa permisi, mencari sosok Presdir yang kemudian ia temukan di ruang kerjanya.

"Jangan libatkan Namira!" serangnya tanpa aba-aba.

"Anda ingin apa?! Anda menginginkan apa dariku?! Katakan! Tapi jangan mengusik istriku dan mulai mengurusi kehidupan kami seperti seorang ayah sungguhan!"

"Lee Jun Ki. Ada apa denganmu?" Presdir bertanya tak mengerti.

"Tuan muda, tenang dulu. Anda tidak seharusnya begini," paman Kim muncul terengah-engah karena berusaha menyusul sang tuan muda.

"Tidak bisakah Anda berhenti membatasi ruang gerak kami? Memberi kesempatan untuk kami menjalani hidup kami sendiri. Aku sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahku sendiri ..."

Presdir masih terperangah, mencoba mencerna ucapan sang putra. Beliau bisa menangkap arah omongannya, sepertinya berkaitan dengan kesepakatan beliau dengan Azrina.

"Jangan pernah lagi membuat kesepakatan. Aniyo. Jangan pernah lagi menemui istriku tanpa sepengetahuanku..."

Hening. Tak seorang pun mengeluarkan suara. Bahkan napaspun seolah mereka tahan.

"... Bisakah Anda berhenti membuat keputusan sekehendak Anda, Presdir? Berhenti melibatkan kami pada setiap ambisi yang hendak anda raih. Bisakah?" tidak seperti sebelumnya, kali ini Lee Jun Ki tidak mengamuk dengan kobaran amarah. Ia justru berlutut layaknya seseorang yang putus asa.
Memohon belas kasihan agar hidupnya dibiarkan bahagia, sekali saja.

Setelah itu, Lee Jun Ki berdiri.
Tertegun Presdir melihatnya.

"Terima kasih atas semua yang telah Anda berikan padaku selama ini. Aku menghargainya, tapi aku tidak tertarik dengan apa yang anda tawarkan.
Aku pamit," lanjut Lee Jun Ki kemudian membusur memberi salam hormat. Lantas membelakangi Presdir dan berlalu pergi, menghampiri sopir Moon dan meminta kunci mobil.

Ia ingin pulang. Sendiri.

Bahkan Presdir masih kehilangan kata-kata hingga Lee Jun Ki lenyap dari ambang pintunya. Ada yang hangat di ujung matanya. Yang menjalar hingga ke ruang hatinya. Perasaan antara bangga meski terluka.
Juga rindu yang tak kenal sudah. Kepada putra satu-satunya yang ia rasa benar-benar telah dewasa, baru saja memberi hormat dan berterima kasih padanya untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Ada sedikit rasa lega meski belum bisa memeluknya, setidaknya Presdir tahu, setelah ini putranya itu bisa menjalani kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Hanya saja Choi Miran diam-diam mencuri dengar dari keributan itu, menangkap sebuah nama yang bisa ia jadikan senjata.

Senjata ampuh untuk menghancurkan Lee Jun Ki, sehancur-hancurnya jika rencana menyingkirkan Lee Jun Ki sebelum ini tak pernah berhasil seperti yang diharapkan.

Senjata ampuh itu,

Namira.

🍁

Seperti tersengat alat pacu jantung, Yoonjae mendengar ibunya menyusun rencana dengan Namira sebagai sasaran utama.

Perempuan yang belakangan ini sering mampir dalam pikirannya. Bahkan tanpa sadar mampu melengkungkan senyum di bibirnya.

Perempuan yang baru saja ia ketahui statusnya bukan istri Lee Jun Ki, tapi sang ibu masih menyangka pengakuan Lee Jun Ki tempo hari itu adalah sungguhan.

Apa yang bisa ia lakukan? Sedang dia yang paling tahu bahwa ibunya tak mungkin bisa dihentikan.

Tanpa bisa berpikir panjang, Yoonjae melajukan mobilnya mengikuti Lee Jun Ki dalam perjalanan pulang.

Baru saja mobil Lee Jun Ki memasuki gerbang rumahnya, saat ia turun dari mobilnya, Yoon Jae yang muncul entah dari mana tiba-tiba menyerangnya.

Hantaman keras mendarat di rahang Lee Jun Ki yang tak sempat menyingkir. Membuatnya terpelanting ke halaman yang putih berselimut salju tipis.

"Kau datang membela ibumu? Atau, ayahmu?" ucap Jun Ki sinis sembari membenarkan posisi rahangnya yang dirasa dislokasi akibat hantaman Yoonjae.

Yoonjae mendekati Jun Ki yang masih terduduk di permukaan halaman bersalju, menunduk lalu mencengkeram mantel tebalnya dengan kedua tangan. Keduanya beradu napas yang menghasilkan uap tebal di tengah musim dingin saat ini.

"Tentukan pilihanmu atau kau akan menyesal!" ancam Yoonjae.
Napas Lee Jun Ki memburu. Tangannya sigap mendorong tubuh Yoonjae yang kemudian terhempas pula ke gundukan salju di sudut halaman.

"Kau mengancamku? Untuk apa? Bukankah kau telah mengambil semuanya?"

Yoon Jae menyeringai. "Belum semuanya. Jika kau mau tahu. Aku kesini untuk mengambilnya."

"Jika kau belum paham, biar aku pahamkan lagi. Di rumah ini, tidak ada satupun hal yang diperuntukkan untukmu. Bahkan sehelai daun. Itu pintu keluar, silahkan pergi."

Yoonjae terkekeh.

"Namira," ucapnya tegas tepat setelah tawanya berhenti. Ucapan yang cukup membuat Lee Jun Ki tersentak dan udara dingin menembus pakaian hangatnya. Yoonjae berdiri, menepuk-nepuk kedua tangan bersarungnya yang menempel bulir-bulir salju lalu melanjutkan ucapannya, "aku menginginkannya."

Ucapan itu sukses memberi rasa sakit di wajahnya. Tubuhnya terhuyung ke belakang, terlihat pula darah segar mengalir dari bibirnya berkat kepalan tangan Lee Jun Ki yang mengayun karena terpancing emosinya.

"Kapan kau akan berhenti serakah pada semua yang ada padaku, hah?!" teriak Lee Jun Ki.

"Serakah?!" Yoonjae mendengkus sambil mengusap darah di bibirnya dengan ibu jari. "Satu-satunya yang serakah disini adalah kau, Lee Jun Ki! Keserakahanmu yang meletakkan seseorang dalam bahaya!" napas Yoonjae menderu. Uap-uap dari hidung dan mulutnya terhembus panjang. "Berikan Namira padaku."

"Namira bukan barang yang bisa berpindah tangan begitu saja. Dan dia masih dalam tanggung jawabku kalau kau mau tahu."

"Lihatlah! Kau dan keserakahmu itu! Memaksanya tetap berada dalam genggamanmu setelah semua pengkhianatan yang kau berikan padanya, kau pun memaksanya terus menyaksikan kau bercinta dengan orang lain!"

"Jaga ucapanmu, Jung Yoon Jae!!!" Teriak Jun Ki sekali lagi. Matanya melotot tajam seakan mampu merobek tubuh Yoonjae dengan sorotnya.

"Kau tidak sadar betapa gadis itu terluka karena sikapmu? Aku yang tidak tinggal bersama kalian pun bisa melihat itu. Atau kau memang berencana menghukumnya, sebagai sebuah tanggung jawab?" Yoonjae berdeceh.

"Aah, aku lupa kalau kau memang ahli melukai hati wanita. Dan aku yang selalu bisa menyembuhkannya, bukan?"
Kepalan tangan Jun Ki sekali lagi pasti akan memberi luka di bagian tubuh Yoonjae jika kakak tirinya itu tidak segera menangkisnya.

"Biarkan aku yang bertanggungjawab atasnya. Aku tidak ingin mencari masalah. Anggap saja aku mengurangi bebanmu," pinta Yoonjae dengan merendahkan nada bicaranya, sedang tangannya masih mencengkeram lengan Jun Ki yang nyaris mematahkan tulangnya.

"Kau pikir kau siapa? Kau yang bukan siapa-siapa hendak bertanggung jawab atasnya?"

"Mungkin kau lupa jika kau pun tidak terikat apa-apa dengannya."

Sepertinya kedua saudara tiri ini mulai lelah berkelahi. Keduanya duduk bersandar berseberangan di atas mobil yang diparkir dengan posisi saling membelakangi namun masih beradu mulut.

"Sebenarnya, masalahmu hanya denganku, kan? Kau yang selalu terobsesi mengalahkanku. Tak peduli apapun itu, jika itu milikku kau pasti menginginkannya ..." Jun Ki menghentikan kalimatnya sejenak.

Mungkin berusaha menetralkan hatinya mengenang semua yang telah ia lewati bersama Yoonjae sebagai seseorang yang selalu menggantikan posisinya, entah itu pada tahta, harta bahkan juga wanita.

"Yang aku tahu kau yang selalu mencari cara untuk merebut semua yang kumiliki. Tak cukup dengan Baek Ji Young, sekarang kau ingin Namira?" Jun Ki terkekeh mengejek. "Bahkan jika Namira bukan tipe-mu, kau tetap terobsesi dengannya, semua itu hanya untuk membuktikan kau lebih hebat dariku, kan? Kau menang, Yoonjae! Kau hebat! Kau berhasil mengalahkanku!" lanjut Jun Ki dengan sedikit menyindir. Ia berdiri, memutar tubuhnya mengarah ke pintu masuk rumah.

"Tapi kali ini kau takkan mendapatkan apa yang kau mau. Bahkan jika kau mengambil semua dariku, takkan kuserahkan Namira padamu!" tak lupa mengucapkan kalimat terakhir sebelum ia meninggalkan Yoonjae dan kegilaannya siang ini.

Namun Yoonjae tiba-tiba mencegat langkahnya lagi. Berdiri berhadapan dengan jarak yang dekat sekali. Jung Yoon Jae kembali mewanti-wanti, "jika sesuatu yang buruk terjadi pada Namira, kau yang akan menanggung akibatnya!" bisiknya kasar. Cukup membuat Jun Ki sedikit khawatir, namun segera ditepisnya. Pikirnya, apa yang bisa terjadi jika ada dirinya yang melindungi? Seolah lupa bahwa segalanya tergantung bagaimana Allah menghendaki.

"Na khanda. Aku pergi," ujar Yoonjae menutup kalimatnya lalu melangkah menjauh dari Jun Ki kemudian benar-benar menghilang bersama laju mobilnya.

Lee Jun Ki menghela napas panjang. Mengusir sisa-sisa kekesalan yang sempat menguasai jiwanya. Hari ini terasa sangat berat, ia ingin segera beristirahat dengan nyaman dalam dekap sang istri dan senyumnya yang menenangkan hati. Mungkin juga sedikit bertukar cerita yang telah mereka lalui seharian ini.
Dan semakin semangat ingin segera bertemu dengan gongju-nim yang sudah jenis kelaminnya dikonfirmasi!

Atas alasan itu, Lee Jun Ki memasuki rumah dengan terburu-buru.

🍁

"Fifaaaaah!"

"Qonziiiii! Ya Allah! Assalamualaikum, gimana kabar?"
Azrina riang menjawab telepon Furqon yang tiba-tiba meneriakkan namanya.

"lagi meriang, nih. Merindukan kasih sayang," jawab Furqon dari seberang, terdengar jelas dari suaranya jika dia sedang berbicara sambil tertawa.

"Bukannya jawab salam dulu! Kamu nih. Sakit beneran baru tau rasa!"

"Yah. Jauh-jauh telepon cuma diomelin. Malang nian nasib awak."

Azrina tertawa renyah. Entah karena Furqon yang selalu mampu membuatnya tertawa dengan hal-hal sederhana. Atau karena suasana hatinya yang saat ini memang sedang bagus-bagusnya.

"Kayaknya kamu lagi seneng ya? Masa gitu aja ketawa. Receh."

"Kok kamu tau sih? Aku kan belum kasih tau."

"Ya tau dong. Kan kamu seneng karena aku mau ke Korea. Iya kan?"

"Ih ge-er! Nggak lah. Jadi, aku tuh tadi kontrol kandungan. Trus ngecek jenis kelaminnya, kamu tau gak apa? Perempuaaan! Ya Allah aku seneng banget!" Azrina bercerita.

"Nah kan! Calon jodoh gue tuh! Jagain ya! Gak dapet emaknya, anaknya juga gapapa"

"Hus! Sembarangan kalo ngomong," Azrina kembali terkikik-kikik. "Eh tapi bener kamu mau kesini?"

"Nggak jadi ah. Kamunya gak seneng."

"Ih Qonzi! Apaan sih? Kata siapa aku nggak seneng? Kamunya aja baru kabarin..." Azrina cemberut.

"iya iya. Kamu jangan ngambek gitu dong, Fah. Aku tau aku ngangenin, biasa aja tapi."

"Qonziiii! Kamu tuh yaaa! Dari tadi bikin ketawa melulu. Pegel pipi aku nih!" omel Azrina disela-sela tawanya.

"Dih. Perasaan dari tadi gak ada yang ngelawak. Kamunya aja yang aneh."

"Jadi kamu kapan datang? Berapa lama? Dalam rangka apa?"

"ya Allah. Berasa kaya lagi diintrogasi istri. Segitu kangennya ya kamu sama aku?"

"Apaan sih? ge-er!"

"jadi nggak kangen?"

"mmmm ... Iya. Iya. Kangen. Puas kamu?"

"Maaf, tapi aku nggak kangen kamu. Kangennya aku hanya untuk dia yang sedang menunggu menjadi halal bagiku..."

"Uuuh... So sweet bangeeet."

Terdengar gelak tawa Furqon juga di speaker telepon.

"Oke! Kabarin aja ya, kapan datangnya. Nanti kita ketemu lagi, Insya Allah."

"Mau dibawain apa?"

"Nggak usah repot-repot. Kamu ada disini juga aku udah seneng."

"Aduh. Dag dig dug nih gue. Sayang, istri orang!"

"Hus! Sama adek sendiri ngga boleh gitu! Dosa."

"Adek ketemu gedeeee! Hahahaha."

"Aduh, Qonzi ... Sakit perut nih ketawa terus. Udah yaaa, nanti aku telepon lagi. Assalamualaikuuum."

Azrina menutup telepon dengan sisa-sisa tawanya. Dan seketika dikejutkan oleh suara Lee Jun Ki di belakangnya.

"Udah teleponannya? Senang sekali, sepertinya." katanya datar. Namun tajam.
Lee Jun Ki rupanya telah berdiri di belakang Azrina yang tertawa-tawa mengobrol dengan Furqon lewat telepon dan sama sekali tidak menyadari keberadaan suaminya.

"Oppa. Udah pulang?" saking kagetnya, Azrina yang semula masih tersenyum ceria, tiba-tiba berubah ekspresi wajahnya. Tetapi Jun Ki justru menerjemahkan ekspresi wajah kaget Azrina seperti terpergoki.

"Kenapa? Nggak senang?"

Lee Jun Ki sengaja menyindir, namun Azrina justru tak merasa tersindir.
Ia lalu berdiri dari duduknya di sofa yang melintang di tengah kamar. Membantu suaminya melepas mantel tentunya dengan senyuman. "Gimana urusannya, Oppa?"

Hening.
Tak ada jawaban.

Sampai Azrina menangkap memar di wajahnya, ia memekik pelan. "Oppa! Ini kenapa?!"
Jemarinya menyentuh tulang rahang Jun Ki pelan karena memar yang cukup jelas terlihat disana. Tetapi Jun Ki merasa sentuhan itu seperti hantaman sekali lagi. Bukan di pipi, tetapi di hatinya.

Ia menepis tangan Azrina, memberi jarak antara mereka dengan satu langkah ke belakang.

"Mungkin kamu akan tahu dari orang lain, seperti aku yang mengetahui calon putri kita juga dari orang lain. Atau mungkin kamu mau tanya pada Furqon? Sepertinya kamu lebih nyaman berbicara dengannya."

Sejujurnya, Jun Ki lelah sekali hari ini. Seperti yang ia harapkan sebelum tiba di kamarnya, ia akan benam dalam pelukan istrinya. Mengadu akan luka di wajahnya, bermain di gundukan perutnya, melepas lelah, melerai segala duka.

Tetapi apa yang ia temukan justru sebaliknya.
Saat Azrina ia dapati tertawa-tawa, oleh sesuatu yang bukan dirinya. Bahkan, itu pertama kalinya Jun Ki melihat Azrina begitu bergembira sejak menginjakkan kaki di rumahnya. Setidaknya begitu gambaran yang bisa Jun Ki ingat, sejak tiba kemari, hanya sesekali Azrina terlihat mengekspresikan bahagia, selebihnya ia mengerung dalam selimutnya. Menikmati sesuatu yang tak bisa ditembus ataupun diterka oleh suaminya.

Yang Jun Ki rasa, ia kalah telak.
Sebesar itukah pengaruh Furqon terhadap suasana hati istrinya?

Yang Jun Ki rasa, ia kecolongan. Tanpa sadar, Furqon mungkin telah menggeser posisinya.

Tentunya, Jun Ki sadar. Ia berpikir kejauhan. Tetapi, siapa peduli? Hari ini empatinya terlalu lelah untuk sekedar mendengar penjelasan. Energinya terkuras habis oleh segenap perkara yang berusaha dimaafkan.

Ia lelah, fisik dan jiwanya. Sedang tempat ia seharusnya bersandar dirasanya pun sedang goyah.

"Oppa ... " Azrina kehilangan kata-kata. Matanya hanya mengikuti gerak suaminya yang sedang berganti pakaian dengan gontai.

"Oppa, apa yang terjadi?"

"...."

"Siapa yang memberi tahu Oppa tentang anak kita? Tadinya aku rahasiakan ini dari Oppa sampai—"

"Ada rahasia apa lagi?"
Ucapan Azrina terhenti mendadak karena Lee Jun Ki yang tiba-tiba menyela.

"Berapa banyak rahasia lagi yang tidak aku ketahui tentangmu?! Katakan!" bentaknya. Tidak dengan nada yang terlalu tinggi, tapi berhasil menyentak Azrina sampai jantungnya berpacu kencang.

"O-Oppa ... " sampai disini. Azrina benar-benar merinding ketakutan. Ia takut, Lee Jun Ki telah tahu semuanya. Tentang penyakitnya. Tentang apa yang sedang ia upayakan.

"Kau rahasiakan kehamilanmu dariku, kau rahasiakan gender nya. Kau diam-diam bertemu dengan ayahku padahal aku sudah melarangnya. Tapi dengan begitu gembiranya kau ceritakan semuanya pada Furqon! Apa hubunganmu dengan Furqon juga rahasia? Atau mungkin kakak-adik sesusu-an itu hanya akal-akalanmu saja?"

"Astagfirullahal'adzim, Oppa! bagaimana Oppa bisa berpikir begitu?" sejenak Azrina merasa terhina Lee Jun Ki menuduhnya seperti itu. Namun ia bisa sedikit meredakan ketegangan karena kemarahan Lee Jun Ki bisa ia simpulkan hanya sebab cemburu tak berdasar. Ia tak perlu merasa tersinggung ataupun tercoreng harga dirinya, karena dugaan Jun Ki pun tak benar adanya. Dan rahasia yang sebenarnya ia tutup rapat pun belum juga diendus suaminya.

"Aku selalu berharap tidak akan pernah berselisih dengan Oppa hanya karena persoalan semacam ini. Tidak pernah sekalipun aku berniat mencacati pernikahan ini."

"Aku tidak suka interaksimu dengan Furqon," langsung pada intinya. Lee Jun Ki hanya terlalu lelah berbelit-belit dan memperkeruh suasana. Jika ini akan kacau, sekalian kacaukan saja.

"Apa yang salah dengan Furqon?" Azrina menggugat tak terima.

"Dia melihatmu dengan tatapan yang berbeda. Sebagai lelaki aku jelas bisa mengenal jenis tatapan itu bermakna apa. Seharusnya dia tidak seperti itu saat tahu kau adalah perempuan bersuami. Seolah hubungan halal kalian pun dimanfaatkan olehnya untuk tidak lagi berjarak denganmu, dan perlahan menggeser posisiku, apa kau tidak menyadari itu?! Bahkan kabar penting tentang jenis kelamin anakku pun kau memberi tahu dia lebih dulu, bukan aku. Jika saja Namira tidak memberi tahu, kamu mungkin tidak akan mengatakannya padaku, iya kan?"

Meski matanya memanas, telinga Azrina masih bekerja dengan baik untuk mendengar ucapan Jun Ki barusan. Namira telah memberi tahu lebih dulu berita yang sengaja ia simpan untuk menjadi kejutan, dan suaminya mengapresiasi Namira atas hal itu. Telinganya jelas mendengar tuduhan-tuduhan tak berdasar atasnya, sesuatu yang justru paling ia hindari dengan membuat benteng penjagaan diri yang kokoh bahkan sebelum ia menikah.

Azrina yang kini bergelayut mendung wajahnya. Antara kecewa karena dia bukan orang pertama yang menangkap gurat bahagia Jun Ki tentang jenis kelamin calon buah hati mereka. Juga merasa terkhianati oleh Namira yang tidak mengatakan apa-apa, meski ia tahu Azrina berencana memberi kejutan untuk Lee Jun Ki. Dan tentu saja, tudingan suaminya barusan itu benar-benar menyakiti hatinya.

"Kalau itu Oppa dan Namira, bagaimana?

Lee Jun Ki menatap Azrina tidak mengerti.

"Jika Furqon begitu mengganggu, haruskah aku memaklumi perlakuan Oppa pada Namira?"

"Kk-Kau?! Hhh!" Jun Ki memandang Azrina tak percaya, menghela napas panjang sambil mendongakkan kepala, menghirup udara segar dari atasnya dengan rakus seolah udara di sekelilingnya sudah sangat tercemar dan sangat menghimpit.

"Kenapa hari ini semua orang mempermasalahkan Namira?! Kau juga tahu, Azrina! Kasusnya berbeda!"

"Tidak, Oppa. Tidak ada yang berbeda dalam hal ini. Kalaupun ada, itu hanyalah pada bagian Furqon adalah kakakku, sementara Namira bukan siapa-siapa bagimu. Dari sini kita sama-sama bisa melihat siapa yang keliru."

"Tapi Furqon tidak menganggapmu begitu! Aku tahu itu!"

"Itu tidak mengubah fakta bahwa dia memang halal bagiku, Oppa"

"Namira juga—"
Lee Jun Ki terhenti. Ia sadar, dirinya memang keliru jika dengan lantang ia gaungkan pernyataan bahwa Namira juga sudah seperti adik baginya. Azrina akan semakin menyerangnya jika mengatakan itu.

"Dia tanggung jawabku ... Aku berhutang padanya," lanjutnya dengan nada bicara yang melemah, tak sekeras sebelumnya.

"Ya ... Kurasa, Oppa tidak akan keberatan jika harus berpura-pura menjadi suami Namira. Karena Oppa berhutang padanya. Kalian juga sudah sangat dekat ... Pasti tidak sulit, kan?"

Jun Ki lagi-lagi memandangi Azrina dengan mata terbelalak tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari mulutnya. Tapi dari wajah Azrina sepertinya ia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Jika ini kau lakukan karena kesepakatanmu dengan presdir, lupakan saja. Aku bisa berdamai dengannya jika aku mau," ujar Jun Ki dengan penekanan pada akhir kalimatnya. "Kau tidak perlu repot-repot membantu," pungkasnya.

"Tidak," jawab Azrina cepat. Tapi memaksa Jun Ki tertawa dengan mimik wajahnya yang tak bisa menyembunyikan kekesalan. "Aku justru ingin menyelamatkan Oppa dan Namira dari sesuatu yang bisa mendatangkan fitnah. Aku bahkan berpikir untuk tidak hanya menjadikan kalian sandiwara, tetapi juga menjadi sah dalam hukum dan agama."

"Azrina, kau berlebihan. Kau sudah terlalu jauh."

"Belum sejauh apa yang kalian jalin sejak dulu bahkan sebelum pernikahan kita."

"Cukup, Azrina!!!" kali ini, Lee Jun Ki benar-benar membentak Azrina dengan keras. "Salahku yang terlalu cepat merasa termaafkan oleh kau dan hatimu yang mulia, tanpa pernah mengira bahwa kejadian di masa lalu itu akan menjadi senjatamu untuk menyerangku sekarang. Baiklah! Katakan, apa yang kau inginkan?"

"Nikahi Namira, Oppa."

Seperti telah mengeluarkan sebongkah batu besar yang kasar dan tajam dari sempitnya kerongkongan, ucapan keramat itu akhirnya berhasil diucapkan Azrina dengan jelas, tegas, bersamaan dengan jatuhnya bulir ke sekian dari kedua matanya yang tetap terbuka.

Lee Jun Ki yang berdiri tidak jauh darinya bisa merasakan keresahan dari kalimat yang dia ucapkan itu. Ucapan yang sungguh-sungguh, tapi Lee Jun Ki tahu, Azrina tidak sungguh-sungguh menginginkan itu.

"Katakan jika kau cemburu. Bukan dengan cara seperti ini kau menghukumku. Kau, Namira itu sahabatmu, bukankah seharusnya kau tidak begini?"

"Justru karena Namira adalah sahabatku maka aku merasa ini tidak adil baginya. Apapun alasan untuk bertanggung jawab atasnya, Namira tetap tidak halal bagimu, Oppa."
Kini Azrina mulai kesulitan mengontrol ritme suaranya. Bergetar cukup jelas, namun tak berniat untuk menghentikan monolognya. "Cobalah untuk jujur pada hati, dengan apa sebenarnya hatimu kau isi. Jika aku saja tidak mudah untuk melupakan hubungan yang kalian jalin saat itu, bagaimana dengan kalian yang pernah menjalaninya?"

"Tidak apa-apa Oppa. Aku tidak keberatan jika Oppa mengatakan itu cinta. Setidaknya itu terdengar lebih masuk akal dibandingkan dengan kata tanggung jawab yang seolah menjadi kartu ampuh untuk mengakses daerah rawan di hati masing-masing kalian. Membayar hutang dari luka hatinya yang pernah Oppa patahkan dengan sekali lagi bermain-main disana? Tidakkah itu berbahaya? Kalian berinteraksi di ranah yang rawan. Ranah dimana setan bisa memasuki celah disetiap sudutnya."

Jun Ki menghela napas keras. Belum ada tanda-tanda dirinya akan membalas kalimat Azrina yang mencecarnya tanpa sudah.

"Jika Oppa merasa bertanggung jawab atas Namira, bertanggung jawablah dengan benar sesuai syariat-Nya. Atau jika memang Namira masih tersisa di dalam sana, cintai dia dengan cinta yang sempurna dalam ridha-Nya," Azrina menyerang Jun Ki telak. Dengan tangannya yang menunjuk ke arah dada Lee Jun Ki.
Entah kekuatan dari mana yang membuat Azrina lantang menyuarakan kata-katanya barusan.

"Nikahi Namira, Oppa ..." sekali lagi Azrina menyuarakan permohonannya itu. Kini dengan lirih memelas pada sang suami. "Agar kita terhindar dari fitnah. Agar Oppa benar-benar bisa menanggung sepenuhnya, lahir dan batinnya. Dan juga, agar menjadi adil baginya ... " sekalipun telah ditahannya, bulir hangat tetap saja mencelos dari mata Azrina sepanjang ia berusaha merampungkan kalimatnya.

Seolah badai menggelegar, seperti itu perasaan Lee Jun Ki kacau balau oleh semua kalimat yang baru saja diucapkan Azrina.

Untuk beberapa jenak Lee Jun Ki terdiam. Bayang-bayang masa lalu kini membanjiri pandangannya, bayangan awal mula kehancuran keluarganya. Bermula dari tangisan ibunya, dan kemunculan ibu baru mereka.
Semua itu semakin memperbesar amukan badai dalam dirinya. Permohonan Azrina memaksa benaknya untuk kembali mengingat semua kesakitan itu, alih-alih mengenang masa dimana kesalah pahaman hubungannya dengan Namira bermula. Baginya semua itu sudah selesai tepat ketika ia melantangkan janji pernikahan dengan Azrina, satu-satunya perempuan yang kini menduduki tahta kerajaan hatinya. Namun mendengar tuduhan-tuduhan Azrina itu membuat kepercayaan dirinya pun runtuh di hadapan sang istri. Seolah kalimat itu menegaskan bahwa Azrina terkhianati, bahkan untuk menjelaskannya pun Lee Jun Ki telah kehilangan kata-kata. Azrina mungkin juga takkan percaya meskipun ia sekali lagi berusaha meyakinkan bahwa memang tak pernah ada Namira dalam upaya pencarian tulang rusuknya. Mungkin ada, tapi hanya namanya saja.
Lee Jun Ki pasrah kali ini. Memenangkan Azrina dengan segala asumsi meski telah berkali-kali mendengar kebenaran darinya.

"Jika ini adil untuknya, lalu adilkah ini untukmu? Untuk kita?"

Pecah sudah pertahanan diri Azrina yang berusaha kuat sejak tadi. Airmatanya kian meluruh oleh ucapan Lee Jun Ki yang mencoba untuk tidak terpancing meski amukan perasaannya pun telah melebihi batas normal sebenarnya. Ia memilih untuk mengajak Azrina sejenak berpikir logis tentang permintaannya ini. Bagi Jun Ki, seperti yang pernah ia alami di masa kecilnya, tidak pernah ada keadilan yang datang dalam kapal yang bercabang dua. Sebaliknya, kapal akan mulai kehilangan keseimbangan lalu hanya tinggal menunggu waktunya untuk karam dan memakan korban.

Lee Jun Ki. Dialah, yang selama ini menganggap dirinya sebagai korban. Dari keegoisan orang dewasa yang sulit ia temukan kebaikan di dalamnya. Bahkan dengan ayat dari kitab Allah yang ia baca, tentang ini ia justru menemukan definisi yang berbeda dari kebanyakan orang dengan masing-masing kepentingannya.

Boleh, selagi mampu berlaku adil.

Sementara ia menegaskan dirinya tak mampu untuk itu.
Sebab baginya, adil itu sulit. Takarannya bukan sama rata, tidak mutlak. Ada banyak cawan-cawan hati yang perlu diisi penuh, yang diameternya berbeda-beda namun siapapun tak bisa mengukur kedalamannya, karena hati hanya bisa diraba oleh pemiliknya.

"Jika demi kebaikan bersama, aku tidak keberatan. Insya Allah." jawab Azrina mantap. Sekali lagi. Ia harus berusaha menguatkan hati.

"Kalau begitu, aku yang keberatan," tukas Lee Jun Ki. "Ada banyak cara untuk meraup kebaikan selain dengan cara yang biadab."

"Oppa. Bagaimana bisa Oppa menyebut sesuatu yang dihalalkan Allah sebagai hal yang biadab?"

"Adakah yang lebih biadab dari sesuatu yang bisa mengubah sebuah keluarga bahagia menjadi sengsara? Membuat rumah tempat yang nyaman untuk berlindung seketika menjelma menjadi neraka? Kurasa, Allah tidak mungkin menghalalkan sesuatu yang berdampak kerusakan pada manusia."

"Oppa ... Ini tidak akan seperti itu ... Justru jika tidak begini, mungkin akan lebih buruk jika ... "

"Cukup sekali kau menggugatku dengan keraguan akan perasaanku padamu. Katakan bahwa kau tak suka melihat keakrabanku dengan Namira. Kejujuranmu lebih aku sukai daripada ide-ide konyol seperti ini. Banyak cara yang bisa kita pikirkan sebagai solusi. Mengirim Namira pulang, menjauh dari kita. Apapun! Selain menikahinya."

"Kau pikir semudah itu melakukan poligami?! Ini bukan hanya soal hati, tapi juga persoalan bagaimana bisa bertanggung jawab di akhirat nanti."

Sekarang giliran Lee Jun Ki yang berbicara tanpa henti. Mengeluarkan semua yang sejak tadi hendak meledak karena terlalu banyak ditampung.

"Jangan mengingkari hal-hal yang dianjurkan agama hanya karena Oppa tidak bisa menjalankannya. Poligami itu mulia, jika dijalankan benar-benar sesuai fungsinya. Tidak semua tindak poligami berakhir sengsara, sama seperti tidak semua pelaku poligami gagal berlaku adil kepada istri-istrinya. Bahkan mereka mampu menjadi rukun dan berbahagia dengan ridha Allah sebagai landasan utama. Yang seperti ini, hadiahnya surga!" sanggah Azrina.

"Berapa banyak? Aku tanya padamu. Berapa banyak orang yang berpoligami sesuai anjuran? Berapa banyak pelaku poligami yang sanggup adil tanpa cenderung pada satu kesenangan? Ada berapa yang bisa kau temukan poligami yang tidak berujung sengsara dan menjatuhkan banyak korban?! Sebagian mungkin memang menjalankan sesuai tuntunan, tapi tak sedikit pula yang memanfaatkannya karena keserakahan mereka setelah cukup memiliki kekuasaan. Setidaknya begitu yang pernah kurasakan."

Azrina tertegun cukup lama sebelum Lee Jun Ki kembali membuka suara.

"Jika kau mengharapkan pria yang bisa menghadiahimu surga dengan menempuh jalan ini, maafkan aku. Aku bukan pria itu."

Bukan lagi airmata, kini tubuh Azrina pun sontak meluruh. Mengisak semakin keras. Sekeras ia berusaha meyakinkan suaminya untuk menikah lagi.
Sekeras Lee Jun Ki mempertahankan prinsip yang selama ini ia janjikan pada dirinya sendiri berkat trauma besar yang belum pernah terobati.

"Bahkan jika aku mencintai orang lain, aku bukan seseorang yang akan mengkhianati sesuatu yang sudah terikat denganku lebih dulu dengan akad yang kuucap untuk kedua kali.

Lihatlah, bahkan kau pun terlihat sangat terbebani dengan permintaanmu sendiri."

Sesuai dengan kalimat Lee Jun Ki, Azrina memang terlihat sangat kacau saat ini. Wajah sembap yang masih basah, napasnya pun terceguk karena isaknya yang sulit ia sudahi.

"Jika ada masalah, pangkas masalah itu langsung ke akarnya. Bukan menyelesaikan dengan membuat masalah yang lebih besar. Juga jangan terburu-buru menyelesaikan masalah menggunakan sesuatu yang tidak benar-benar bisa kau lakukan. Sepertinya kau hanya terlalu terganggu dengan keberadaan Namira disini. Tapi caranya tidak begini ...
Aku bertaruh, Namira tidak tahu tentang ini. Ini hanya keputusanmu sendiri, iya kan?" Azrina bergeming. Tanpa menjawab pun Lee Jun Ki sudah tahu jawabannya. "Seharusnya kau tidak membuat keputusan sepihak. Bagaimanapun yang berhak atas hidup Namira adalah Namira sendiri."

"Jadi, kalau aku menanyakan pada Namira dan dia setuju, apa Oppa akan setuju?"

"Kapan aku mengatakan itu?!" sergah Jun Ki segera sambil menggelengkan kepala.

"Secepatnya, aku akan pikirkan solusinya. Yang terbaik untuk kita semua. Tapi, kalau kau lupa, biar aku ingatkan.
Siapa yang sejak awal memaksa Namira tetap disini saat aku berencana mengirimnya pulang lebih dulu?
Siapa yang berusaha meyakinkannya bahwa keberadaannya disini sangat dibutuhkan ketika dia memang sudah siap untuk pulang?
Tanyakan pada hatimu, siapa sebenarnya yang bermasalah disini. Aku pergi dulu. Kau cobalah tenangkan dirimu, Assalamualaikum."

Lee Jun Ki kembali mengenakan mantel hangat dan sarung tangannya. Mengucap salam dengan suara datar lalu pergi tanpa menoleh lagi. Membawa langkahnya pergi kemanapun ia bisa melenyapkan resah hati ketika rumah tempat seharusnya ia menyingkirkan penat justru kali ini menambah bebannya berlipat-lipat.

Di luar kamar, ia mendapati Namira sedang berdiri mematung tepat di depan pintu yang memang tidak sempurna menutup tadi.
Dari gestur Namira yang terperanjat, gelagapan dan memucat, Lee Jun Ki tahu gadis itu mendengar percakapannya dengan Azrina.
Alih-alih ingin bertanya sejak kapan Namira berdiri disana, Lee Jun Ki justru lebih merasa perlu untuk memperingatkan Namira.

"Kalau Azrina memintamu melakukan ide yang gila. Jangan setuju. Apapun alasannya."

Tegas, singkat namun langsung pada intinya. Kemudian berlalu dengan dingin tanpa melayangkan canda gurau seperti biasanya.

Dalam kesendiriannya, Azrina masih terduduk bersama segenap rasa keberanian yang menciut kembali. Tubuh mungilnya berguncang berulang kali dengan tangisan yang begitu perih yang mendadak menjalar di dadanya kini, semakin besar disertai sesak yang membuatnya kesulitan bernapas.

"Aku hanya ingin Oppa tetap bahagia saat aku tak lagi ada disini ... Hhhhh! Mengapa sulit sekali mengatakan itu padanya, ya Allaaah ... " isaknya kini berganti tangis yang menggerung.

Menangisi dirinya yang terlalu dini menyerang Lee Jun Ki. Menyalahkan sikapnya yang ternyata belum sepenuhnya memahami sang suami.
Merutuki hatinya yang mungkin memang tidak jujur pada dirinya sendiri.

Bahwa memang dia yang bermasalah disini.
Mungkin memang dirinya yang tak siap untuk berbagi.
Atau mungkin dirinya yang tak rela untuk pergi.

Sementara waktu terus berjalan melahap setiap kesempatan dan melumatnya menjadi kenangan ataupun terlupakan tanpa pernah ingin mengasihani.

Azrina meringkuk dalam jatuh terduduknya, memeluk kedua lututnya sambil berusaha mengontrol napas yang kian tersengal karena saling memburu dengan isakan.
Sesekali menekan-nekan dadanya yang semakin berdenyut-denyut memperjelas pedihnya.

"Tidak. Jangan sekarang ... Kumohon." lirihnya dengan sisa-sisa tenaga. Mengemis belas kasih Tuhan agar memberinya waktu lebih lama. Setidaknya, jika telah tiba waktunya berpisah, bukan pada saat seperti ini. Ketika ia dan sang suami sedang tidak satu frekuensi. Bahkan dengan hatinya pun ia berselisih.

"Jangan sekarang, ya Allah ..." terseok ia berusaha menggapai tempat dimana ia biasa menyimpan obat-obatannya. Ia bisa menangkap sinyal buruk yang dikirimkan organ dari dalam tubuhnya. Bahwa sebuah serangan akan melumpuhkannya, dan itu harus ia cegah semampunya.

Sebelum terlambat.

"Beri aku waktu sedikit lagi ... Setidaknya sampai aku yakin dia bisa bahagia tanpaku ... "

🍁🍁🍁

To be continued

Okayy. Bersambung dulu ya, gaes.

Kalo nanti bakal ngaret juga yaa, kan disini ada 8k words. Silahkan anda ngirit bacanya sampe next part update lagi HAHAHAHAHA.

OKE DEH

Enjoy yaaaa!!!

Jangan lupa komennyaaaa.

Kalo ada quotes atau kalimat yang gregets, boleh dikutip, share di sosmed kalian. Tapi jangan lupa tag @farah_fm94 di IG yaaa.
Biar aku tau kalian suka apa dari tulisan ini. Ohok
Baiklah. Gak mau panjang lebar.

Jika tidak ada halangan atau perubahan, setelah part ini, tersisa 3 part dan story ini akan tamat.

Doakan lancar ya!

BIG THANKS AND MANY Looooovvvvvvv buat kalian yang masih setia tanpa goyah, memberi semangat bahkan meneror
😘
Terima kasih sudah membangkitkan jiwa halu-ku kembali. Wkwkwk.

Ps. Sudah diedit dan ditambahkan soundtrack.
Karena ada mulmednya, jadi ku berubah pikiran untuk gak publish next part bersamaan sesuai janjiku sebelumnya. Ehehe.
Biar anda menghayati dulu part ini gitu maksudnya. Karena di next part udah beda lagi fokusnya.
Singkatnya, part ini adalah versi Azrina.
Next part kita bakal liat versi Lee Jun Ki.

Wohooooo siapa yang gak sabar?!
Ajak teman2 kalian kesini! *maksa!
Kalo gak banyak vote dan komen, part 33 gak akan publish!

😏😏😏😏

#ngelunjak.

Btw, ku baru bikin trailer untuk story ini. Gak bagus-bagus amat kaya orang-orang karena ku bukan yang jago ngedit gitu.
Tapi berhasil bikin ku nangis dong.
Siapa yang mau liat visual Oppa dan Azrina yang bergerak? Huhuuuu cek aja videonya di IGTV ku, yaa.

Bhye!

Ayo bawa pasukan kesini yessss 😁

Eh, sebelum out...

Tulis disini dong perasaan kalian pas baca part ini...
Sejujurnya aku menulis part ini ambyaaar. Bahkan ngedit dan publish ulang pun, masih nangis dong 😩😩😩
Semoga aku, kamu, dan siapapun yg membaca cerita ini, jalan cintanya nggak ribet kaya Jun Ki Azrina dan Namira, ya. Hiks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro