30 - Gejolak Hati
Bismillah.
Assalamualaikum! Lanjut lagi, yok!
Sebelumnya, biar gak lupa, aku tetap sertakan catatan ini ya.
Part ini ditulis tanggal 24 Januari 2019.
Sore hari di sebuah RS Ibu dan Anak, lagi nunggu antrian check up dokter kandungan. Tiba-tiba besoknya aku harus lahiran mendadak😅
🍁🍁🍁
Presdir sudah pergi sejak tadi. Sebelum beranjak, ia menyarankan Azrina untuk segera mengecek kondisi kandungannya ke rumah sakit mereka.
"Ji Young itu dokter kandungan yang bagus disana, kau bisa berkonsultasi dengannya," saran Presdir Lee pada Azrina.
"Insya Allah, Ayah. Saya memang bertemu Ji Young-ssi kemarin dan dia memberi saya kartu nama. Akan saya pikirkan."
"geurae. Pikirkanlah dulu. Ji Young mungkin juga akan merekomendasikan padamu dokter ahli jantung terbaik yang dikenalnya. Ayah pergi. Jaga kesehatanmu," pamitnya kemudian diantarkan Azrina menuju pintu keluar dan Namira yang tergopoh berlari menyusul mereka.
"Sampai nanti, Presdir! Panjang umur, Presdir Leeeee!!!" pekiknya dengan mengepalkan kedua tangannya keatas, sontak memecah tawa lelaki tua itu.
"Jaga menantuku baik-baik, ya, Namira!" pesannya.
"Lalu aku? Siapa yang akan menjagaku?" candanya.
"Anak macan sepertimu tidak perlu dijaga. Kau bahkan bisa bertahan ditengah kerumunan serigala. Ha ha ha," Presdir terbahak sembari memasuki mobilnya. Semakin tergelak ketika melihat Namira merengut.
"Jangan merengut begitu, kau jadi cantik. Nanti banyak yang menggoda,"
"Omo, Presdir ... Semoga perjalanan anda lancar. Entah mengapa aku mendapat firasat buruk. Sopir Min, mengendaralah dengan pelan, ya!" Namira balas mengerjai Presdir, membuat Presdir tak kuasa menahan gemas dan menarik ujung hidungnya.
Mereka benar-benar terlihat akrab layaknya ayah dan anak. Satu-satunya orang yang berani dengan leluasa bercanda dengan bos besar itu hanya Namira. Dan Presdir tampaknya senang akan itu.
Pada Presdir, Namira menemukan kehangatan sosok ayah yang selama ini tak pernah dirasanya. Sedang pada Namira, Presdir menemukan keceriaan seorang anak yang hilang dari kehidupannya. Entah mengapa dengan melihat Namira seolah ia merasa sosok putrinya, Tiffany masih berada bersamanya.
Disinilah Azrina, kembali dalam kamarnya dan sedang mengetik-ngetik angka pada layar ponselnya.
Ada ragu yang mengusik ketika tiap kali ia mulai mengetuk angka demi angka yang menjadi susunan nomor telepon seseorang itu kembali dihapusnya. Tetapi selepas menit ke tigapuluh ia meragu, ibu jarinya mantap menekan tombol hijau bergambar telepon yang tertera di ponselnya.
Tuut...
Tuuut...
"Yeoboseyo"
"Ha ... Halo... Baek Ji Young Euisa-nim, majayo?"
"De ... Baek Ji Young imnida. Nuguseyo ada yang bisa saya bantu?"
"Saya, Azrina."
"Azrina?" suara Baek Ji Young terdengar menggantung sesaat. Seperti berusaha mengingat-ingat siapa pemilik nama yang didengarnya barusan.
"Aaah, Azrina. Istrinya Jun Ki, kan?"
Azrina tersenyum, "Nee ... Majayo. Apa Dokter sedang sibuk?"
"Ah tidak, tidak. Kebetulan aku sedang beristirahat. Kamu perlu sesuatu?"
"Iya, Dokter. Aku ingin memeriksakan kandunganku padamu. Tapi sebelum itu, ada yang ingin aku bicarakan," ragu-ragu Azrina menyampaikan maksudnya.
"Oh, ya? Aku senang mendengarnya..." ujar Ji Young senang. "Baiklah, katakan saja ada apa?"
"Tapi, aku minta dokter merahasiakan ini dari Jun Ki Oppa, ya?"
"Kenapa?" tanya Ji Young bingung.
"Dokter akan mengerti jika aku menceritakan semuanya nanti. Besok aku akan menemui Dokter. Ah, maukah Dokter memberiku alamat surel? Aku perlu mengirimkan sesuatu"
"Nanti kukirimkan melalui pesan teks. Kau ingin mengirim apa memangnya?"
"Kupikir sebelum memeriksa pasien, kau harus tahu riwayat penyakit yang diderita pasienmu, kan?"
"Iya benar."
"Aku mengandung, tapi kondisiku tidak seberuntung ibu lainnya, Dokter. Aku menderita penyakit yang cukup parah. Rinciannya aku akan mengirimkan kepadamu lewat surel."
Jiyoung terbungkam. Ia tak tahu bagaimana harus merespon kalimat Azrina. Bagaimana perempuan yang meneleponnya itu bisa sedemikian kuat dengan santai menyatakan dirinya sedang digerogoti penyakit ganas membuat Jiyoung benar-benar kehilangan kata-kata.
"Baiklah, aku akan memeriksanya. Sampai bertemu besok, ya!" mencoba untuk menormalkan suaranya, akhirnya sambungan telepon terputus juga.
🍁
Dokter Han ditemukan tewas terjatuh dari ketinggian sebuah gedung yang menjadi tempat perjanjiannya untuk bertemu dengan sekertaris Kim dan Lee Jun Ki. Tidak ada apa-apa yang bisa memastikan apa yang terjadi. Dari posisi dan kondisi jenazah saat ditemukan, ada beberapa spekulasi polisi. Mungkin kecelakaan, atau bunuh diri dan bisa saja dibunuh. Satu-satunya cara untuk memastikan kejadian yang sebenarnya adalah menunggu hasil investigasi polisi.
Jun Ki dan paman Kim baru tiba disana setelah polisi dan tenaga medis datang.
Menurut Jun Ki, tidak mungkin ini bunuh diri. Sebab, dokter Han sendiri yang menghubungi Paman Kim sebelumnya untuk bertemu di tempat ini dan menceritakan semuanya. Bisa jadi ini kecelakaan, tapi kemungkinannya terlalu kecil.
Satu-satunya kemungkinan yang masuk akal adalah, dokter Han dibunuh.
Tapi, siapa yang tega menghabisi nyawa dokter tua yang malang itu?
"Permisi. Apa anda mengenali jenazah ini?"
Seorang petugas polisi menghampiri paman Kim dan Jun Ki.
Keduanya kompak mengiyakan.
"Benar. Kami kerabatnya. Kami berencana untuk bertemu disini."
"Mohon kesediaan anda untuk ikut kami ke kantor dan memberikan keterangan demi penyelidikan lebih lanjut."
"Baik, Pak. Kami bersedia," jawab Jun Ki.
Investigasi berlangsung tidak lama karena sedikitnya pertanyaan yang diajukan penyidik. Jun Ki dan paman Kim pun tak bisa menjawab banyak karena belum pernah bertemu dengan Dokter Han sebelumnya.
Sekeluarnya mereka dari kantor polisi, ponsel paman Kim berdering. Telepon dari anggotanya yang ikut menyertai jenazah Dokter Han yang dibawa ke rumah sakit untuk keperluan autopsi.
"Perawat memberi kami barang-barang Dokter Han, Pak. Ponselnya lenyap. Tapi kami menemukan sesuatu dari mantelnya."
"Apa itu?"
"sebuah pemindai data. Apa kami perlu memeriksanya?"
"Ya. Periksa secepatnya. Lalu kabari aku. Jangan biarkan orang lain tahu."
Lee Jun Ki yang mendengar samar-samar pun berharap ada titik terang dari apa yang mereka temukan pada Dkter Han, meski belum sempat bertemu dengannya.
Lee Jun Ki tiba di rumah menjelang senja. Saat Azrina kembali bergelung lemas di kasurnya. Entah benar-benar tertidur atau pura-pura, pasalnya Namira baru saja hendak beranjak dari kamar Azrina sehabis mengambil kembali nampan makanan yang diantarnya untuk sahabatnya itu ketika Jun Ki membuka pintu kamar.
"Oh. Oppa sudah pulang?" sapa Namira setengah terkejut.
"Seperti yang kau lihat," jawab Jun Ki seadanya sambil terus berjalan lalu meraih segelas air yang berada di atas meja persegi yang bersisian dengan sofabed di sudut kamar, tak jauh dari ranjang kemudian meneguknya.
"Bagaimana harimu, Oppa?"
"Hhhh ... Melelahkan sekali," jawab Jun Ki sambil melepas mantel hangatnya.
"Azrina tidur?" tanyanya lagi.
"Iya, sepertinya," jawab Namira tidak terlalu yakin. "Sudah seperti itu pas aku masuk untuk mengambil nampan makanannya," lanjut Namira.
"Sudah makan?"
"Iya, sudah. Ini bekas makannya mau aku bawa ke belakang."
"Aku tahu. Aku kan lihat. Maksudku kau. Kau sudah makan?"
Puncak pipi Namira menghangat. Tak menyangka Jun Ki akan menanyakan hal itu padanya. Seolah keadaan mereka saat ini benar-benar layaknya suami istri yang mulai berbagi cerita sepulang suaminya bekerja.
Sempurna.
Andai tidak ada sosok lain yang berbaring di ranjang sana tanpa suara.
"He ... He ... Belum. Tapi aku sedang tidak ingin makan."
"Yakin? Walaupun ada kue keju kesukaanmu?"
"Kue keju?! Serius?! Oppa belikan untukku? Aaaaakkk ... Terima kasih oppaaaa!" Namira seketika melonjak girang. Jun Ki pun tersenyum lembut disusul tawa pelan melihat reaksi gadis itu.
"Cepat lihat di atas meja makan. Aku akan menyusul setelah ganti pakaian."
"Oh, Oppa juga belum makan?"
Jun Ki mengangguk. "Temani aku makan, ya? Aku mulai terbiasa makan dengan seseorang lagi sejak Azrina datang. Jadi aneh kalau makan sendiri."
"Hzzzz ... Bayi besar! Terus kenapa malah mengajakku?" protes Namira.
"Yaa, mana mungkin aku membangunkan istriku yang sedang sakit hanya untuk menemaniku makan? Kasihan ... Biarkan dia beristirahat dulu."
"Terserahlah. Aku keluar dulu. Ini berat, tau!" ucap Namira dengan menjulurkan nampan di tangannya kehadapan Jun Ki. Jun Ki mau tak mau tertawa juga melihat aksinya.
"Kue kejuuuu ... Come to mamaaaa," seru Namira sembari melesat keluar.
"Ch. Dasar!" gumam Jun Ki dengan senyum saat Namira telah sempurna menghilang dibalik pintu. Lalu melanjutkan kegiatannya membersihkan diri dan berganti pakaian.
Tanpa ia sadari, seseorang yang disangka sedang tidur dengan posisi menyamping ke kiri nyatanya sedang sejak tadi menyimak setiap kalimat dari dua orang dibelakangnya tanpa berniat bergabung.
Mulanya biasa saja, hingga ia merasa keduanya terlalu berlebihan jika ditilik lagi bahwa tidak ada hubungan apa-apa yang mengharuskan mereka menjadi seakrab itu.
Atau Azrina saja yang berlebihan?
Toh selama ini dirinya memang berniat mendekatkan Namira dengan suaminya itu.
Duhai hati, ternyata tak semudah itu kau berbagi.
Desiran yang bergemuruh di dadanya terasa menyesakkan. Ini pertama kalinya Azrina merasa seperti ini. Lebih sesak dari membayangkan bagaimana jika nanti hatinya harus berbagi. Ketika terang-terangan ia mendapati kedekatan dan keakraban suami dengan sahabatnya itu mungkin saja keduanya malah dengan senang hati akan menerima permintaannya nanti.
Terlebih tentang kesepakatan presdir, alih-alih bersandiwara, nyatanya Namira dan Jun Ki mungkin tidak akan menolak sekalipun keduanya benar-benar akan dinikahkan.
Azrina berusaha membendung segumpal cairan hangat yang mulai menggenangi matanya. Maka sekali ia berkedip, luruhlah cairan itu menyeberangi tulang hidungnya dan meluncur membasahi bantal yang menyangga kepalanya.
Sedang suaminya sudah keluar kamar lagi beberapa menit lalu.
Semakin besar, hatinya semakin bergejolak membayangkan apa yang suaminya obrolkan dengan Namira saat makan berdua.
Terjadi tarik ulur di lubuk hatinya. Antara kemantapan untuk berbagi, atau egois menggenggam erat-erat apa yang sudah seharusnya ia miliki seorang diri.
Namun lagi-lagi, kesepakatannya dengan Presdir, perjanjiannya dengan Baek Ji Young, memaksa Azrina untuk merelakan saja.
Bahwa dirinya, mungkin memang hanya akan tinggal untuk sementara.
Bahwa ia mungkin hanya sanggup mendekap Jun Ki sebentar saja. Sebelum akhirnya ia kembalikan pada yang lebih dulu menyematkan cinta di hatinya.
Mungkin ... Ini memang balasan karena telah mengkhianati sahabatnya?
Air matanya semakin deras merebak. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Sakit.
Ini sakit dan amat menyesakkan.
Ia butuh sesuatu untuk meredakan rasa yang sangat tidak mengenakkan ini.
Dan seolah pintanya dikabulkan, sesuatu seperti dentuman dari dalam perutnya membuatnya seketika terdiam dari sedu sedannya.
Tangannya mulai mengusap perutnya yang tadi seperti ada sesuatu yang bergerak di dalamnya.
Mencoba tenang didalam senyap, ia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar kemudian mengusap perutnya sekali lagi.
"Sayang, anak Umma ... Nggak apa-apa, kan?"
Sekali lagi. Perutnya terlihat menonjol di satu bagian. Secepat kilat. Sepertinya bayi didalam sana mulai bisa bergerak dan menendang.
Azrina menganggap itu sebagai hiburan. Sangat tepat karena semakin ia merasakan gerakan itu, semakin lebar ia tersenyum bahagia.
Mungkin memang benar, bayi dalam kandungan itu mengerti kondisi hati ibunya.
Dan bahkan saat masih dikandung pun, bayi Azrina sudah bisa menghibur hati ibunya.
Tumbuhlah sehat, Nak.
Hingga hari saat kita bertemu nanti ...
Terima kasih, karena selalu menjadi pelipur lara Umma.
Umma akan bertahan.
Umma akan bertahan.
🍁🍁🍁
To be continued.
Aye aye aye. Semakin mendekati endiiiiiinggggg
Semoga author semakin rajin update yaaaa.
Mohon maaf sebesar-besarnya karena tadinya aku mau double up biar kalian pada kaget.
Trus pas lagi ngetik tiba-tiba aku yang kaget dong.
Karena, tiba-tiba aku lahiran.
Woh! Kok bisa?
Kan yang hamil Azrina. Masa Authornya yang lahiran.
Hue hue. Maaf ya, Azrina dibikin hamil terus sampe ringkih gak brojol-brojol. Ya aku bisa apa kalo 'Author' aku menakdirkan aku juga jadi hamil trus lahiran duluan 😂😂😂😂😂
Doakan ku bisa membagi waktu yaaaaaa biar segera ending ni cerita. Biar Azrina juga bisa lahiran.
Tapi, gak janji ya gimana nanti Azrina kalau lahiran.
Selamat bertahan hidup
Atau selamat kembali ke sisiNya.
😂😂😂😂😂😂
Yang penting kan dua-duanya selamat. Eak.
Bye!
Annyeong!
Wassalam!
Eittt.. Tetep vote dan komen yaaa! Kalau rame, double up nanti malam 😊😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro