Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - Menemukan Harapan Baru

22 Oktober 10 tahun lalu..

Seorang pemuda 17 tahunan terlihat begitu semangat mempersiapkan sebuah ruangan untuk perayaan ulang tahun. Senyumnya mengembang sambil menggantung dan menempel hiasan warna-warni serta balon di sana-sini.
Bunga mawar merah muda menjadi tema pesta kali ini.
Setelah dirasa sudah siap, ia mulai menyalakan 14 buah lilin diatas kue tart bermotif lucu yang sudah disiapkannya.

Pesta ini untuk adiknya, adik kesayangannya. Dan akan dirayakan hanya oleh mereka berdua. Kakak beradik yang hanya memiliki satu sama lain. Sang kakak siap melakukan apapun untuk membahagiakan sang adik, sang adik pun begitu menyayangi kakaknya. Baginya cinta pertamanya bukanlah seorang ayah, tapi seorang kakak.

Hari ini tahun ke 14 ia merayakan ulang tahun hanya bersama kakaknya. Dia cukup bahagia. Tidak ada yang ia butuhkan di dunia ini selain kakaknya tersayang. Tidak ada. Selain waktu yang lebih lama untuk bisa terus bersama kakaknya.

Ya, 14 tahun dia telah berjuang melawan pembengkakan jantung yang bisa saja merenggut nyawanya tiba-tiba. Ada harapan untuk sembuh dengan transplantasi. Tapi dalam kasus ini, tidak banyak pendonor untuk jantung. Mereka sudah menunggu bertahun-tahun tetapi belum juga mendapatkan donor.

Gadis itu tumbuh ceria meski geraknya dibatasi. Mudahnya ia kelelahan membuatnya melakukan semua aktifitas di dalam rumah dengan beberapa pelayan. Ia tidak punya teman karena tidak pernah bersekolah atau sekedar jalan-jalan keluar. Yang ia punya hanya kakaknya. Dan pelayan-pelayan di rumahnya.

"Ah! Oppa! Kenapa kau selalu saja memberiku bunga mawar merah muda ini? Aaaarggghh!! Aku sungguh tidak suka bunga!"

Gadis tomboy itu selalu saja protes pada kakaknya setiap kali dihadiahi bunga mawar berwarna merah muda. Ia memang sangat tidak suka bunga, apalagi sesuatu yang berwarna merah muda. Dan kakaknya itu memberikan satu benda dengan dua hal yang tidak disukainya sekaligus.

"Heeeeyyy! Kamu itu perempuan, tau! Setidaknya kamu harus suka sesuatu yang 'perempuan'... Bagaimana kau bisa punya pacar? Nanti cowok-cowok malah takut padamu."
Sang kakak tersenyum sambil mengacak-acak rambut adiknya.

"Aaaaah! Molla! Aku tidak butuh pacar. Aku sudah punya oppa, kenapa harus punya pacar?!" Si adik pun tak mau kalah. Ia tersenyum centil menggoda kakaknya.

"Baiklah, oppamu ini akan selalu memberimu setangkai bunga mawar merah muda...hahahaha"

🍁

Jun Ki menunduk meletakkan setangkai mawar merah muda di bawah sebuah pohon besar yang berhadapan langsung dengan laut.
Kenangan masa lalu terus membanjiri ingatannya, sudah berapa lama dia tak tertawa sebahagia itu? Tidak sejak adiknya benar-benar pergi tepat setelah meniup 14 lilin di hari ulang tahunnya.
Pesta yang sudah dipersiapkannya dengan gembira berakhir dengan ratapan kesedihan panjang.

"Oppa... terima kasih untuk banyak hal dalam hidupku. Aku sungguh bahagia memilikimu. Aku suka bunganya. Jika kau yang beri, aku menyukainya. Jangan pernah berhenti memberiku bunga ini, ya?"

Kalimat terakhir adiknya masih terngiang sangat jelas di pendengarannya. Dia rindu, teramat rindu. Pada sosok lucu, tomboy dan ceria itu. Terkadang berpura-pura menjadi seorang kekasih, terkadang menjelma seorang ibu yang akan mengomelinya habis-habisan karena pulang malam setelah kelahi. Atau menjadi adik lucu yang akan menghibur kakaknya lalu mereka tertawa bersama.

Ia kembali menunduk dan menancapkan beberapa batang lollipop kesukaan adiknya di bawah pohon itu.

10 tahun kini ia pergi.

Dendam itu masih membara di hati Jun Ki. Dendam pada seseorang yang telah menyebabkan kekacauan yang menghancurkan hidupnya dengan merenggut nyawa orang-orang yang disayanginya. Ibu dan adiknya.
Tangannya terkepal setiap mengingat luka masa lalu yang masih menganga hingga saat ini.

"Saengil chukkahanda.." Bisiknya.

Semilir angin menerpa wajahnya yang berbalut duka. Setelan busana yang dikenakannya beserta jas semi-formal yang membuatnya terlihat semakin fashionable terkepak-kepak oleh hembus angin.

"Oppa mian... Maaf, ya. Memindahkanmu kemari tapi jarang mengunjungimu. Apa kau baik-baik saja? Kuharap kau tidak kesepian.."

Ia terus saja berbicara sendiri, sekarang ia duduk menyandari pohon dan menatap ke laut.

"Disini indah, kau suka? Maaf karena terlambat membawamu ke sini.. istirahatlah dengan nyaman..."

Penyesalan terbesar Lee Jun Ki adalah terlambat menemukan hidayah dan harus merelakan orang-orang terkasihnya pergi tanpa mencicipi manisnya hidayah yang kini ia rasa. Namun, ia tetap berharap semoga adiknya bahagia disisi-Nya jika ia menguburnya layaknya jenazah seorang muslim. Meski sudah terlanjur dikremasi menjadi abu.

Abu dari mendiang adiknya ini adalah satu-satunya benda berharga yang dibawanya serta dari Korea. Sebelum ia menanamnya dibawah pohon ini, ia hanya meletakkannya pada sebuah rak lemari di kamarnya.
Siapapun mungkin takkan percaya, dokter cerdas ini selalu mengajak bicara wadah keramik bulat dengan penutup berisi abu mendiang adiknya itu.

Seperti saat ini, ketika ia menikmati panorama lautan sambil menjilati lolipop kesukaan adiknya.

"Kau suka lolipopnya? Oppa sudah hampir habis.." Setahun sekali Jun Ki berubah menjadi anak kecil dan menikmati lolipop di tempat ini. Bukan karena ia suka, tapi karena adiknya suka.
Ya. Demi adiknya, Tiffany.

Tiffany lah alasan Jun Ki berusaha keras menjadi dokter ahli bedah jantung. Ia selalu saja menyalahkan diri sendiri jika mengingat adiknya ambruk dan kehilangan nyawa tepat dihadapannya tanpa bisa ia melakukan apa-apa karena tak tahu harus berbuat apa.

Sebelumnya, dia hanya seorang anak kaya raya tanpa mimpi dan cita-cita. Harapannya hanya membalaskan dendam yang membara pada ayahnya sendiri. Namun setelah kematian Tiffany, ia menyadari bahwa dia harus menjadi 'sesuatu' terlebih dahulu untuk bisa mewujudkan harapannya. Beruntung IQ nya yang tinggi mengantarkannya pada kesuksesan dini, meski sebelumnya ia selalu dianggap lamban dalam berpikir. Nilainya yang terus saja buruk, sesungguhnya adalah kesengajaan untuk bersenang-senang saja.

Bagi Jun Ki, Tiffany adalah alasannya untuk bertahan dan berusaha mewujudkan impiannya ini. Meski Tiffany telah tiada tapi ia tidak menyerah, ia meyakini kematian adiknya ini tidak seharusnya terjadi jika ayahnya sedikit lebih memperhatikan mereka setelah kematian ibunya saat mereka masih sangat kecil.
Jun Ki masih mengingat jelas wajah ibunya yang terus berselimut duka. Ia sudah cukup besar saat itu untuk dapat memahami kesedihan sang ibu. Sedang Tiffany masih sekitar tiga tahun ketika ibunya benar-benar pergi.
Dan Jun Ki menganggap satu-satunya penyebab kepergian ibunya adalah karena ayahnya yang menikah lagi. Sejak itu, sejak ia menaburkan abu ibunya ke lautan, ia pun telah menyebut dirinya sebagai yatim piatu. Tanpa ayah dan ibu. Hanya Tiffany, yang memeluk erat kakinya tanpa mengerti apa-apa.

"Apa kau sudah bersama eomma disana? Katakan padanya untuk berhenti bersedih.. Eomma harus bahagia disana sebab demi berada disana eomma rela meninggalkan kita..."

Lelaki itu, benar-benar memendam luka yang sangat dalam.

🍁

Jun Ki masih terduduk di pusara Tiffany, batang-batang lollipop yang ia tancapkan masih utuh.
Tatapannya lurus menatap debur ombak yang menerpa bebatuan. Sorot matanya tajam, seperti ada api yang berkobar di bola matanya.
Sedetik setelah smartphone nya berdering singkat, tatapan penuh amarah itu berubah lembut berhias senyuman.

Notification: 1 new email

Namira. Pengirim email itu. Sebuah email yang datang seperti hujan sejuk yang memadamkan bara api dalam diri Jun Ki.

Ah, ya. Sudah dua tahun mereka saling mengenal. Dan saling berhubungan melalui surat elektronik.
Tetapi Jun Ki masih saja menyangka Namira adalah Azrina. Dan Namira sungguh sangat dimabuk cinta.

Azrina dan Namira telah lulus dari pondok pesantren dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Azrina memilih kuliah pada Universitas Islam jurusan syariah untuk memantapkan pengetahuan agamanya. Menurutnya, wanita yang faham syariat akan sangat dibutuhkan pada zaman ini. Seorang wanita pasti akan malu jika harus bertanya pada ustadz tentang masalah-masalah kewanitaan yang sifatnya pribadi, akan lebih nyaman jika berkonsultasi dengan sesama wanita, bukan? Sederhana dan mulia niatnya.

Sementara Namira melanjutkan kuliah sastra, ia kini menjadi penulis terkenal dengan novel dan komik-komiknya yang laris di pasaran.

Dan Jun Ki? Jun Ki bukan lagi seorang residen. Ia kini seorang spesialis bedah jantung yang punya ruangan sendiri. Lega rasanya tidak harus siap-siaga berlarian bahkan menginap di rumah sakit lagi.

"Saengil chukkahamnida, Tiffany-ssi. Haengbokhaseyo.. (selamat ulang tahun, Tiffany. Berbahagialah..)
.
.
.
.
Ehm, kau pasti sedang mengunjunginya, kan, Oppa?
Pastikan kau membawa titipanku untuknya, ya. Kuharap dia beristirahat dengan tenang."

Jun Ki tertawa kecil membaca email dari Namira. Gadis ini sangat pemaksa. Meski ia juga tetap memberi hadiah bunga dan lolipop untuk mendiang Tiffany, tapi menurutnya sungguh tidak wajar jika harus meletakkan titipan Namira disana. Sebuah buku komik. Bagaimana mungkin seorang yang sudah mati bisa membaca komik?

"Katamu, dia suka sekali komik. Letakkan saja disana. Dia pasti akan senang." Protes Namira beberapa waktu lalu.
Ia tetap bersikeras meski Jun Ki menolak. Dia masih waras, pikirnya. Lalu menertawai dirinya sendiri sembari merogoh saku bagian dalam jasnya.

Sebuah buku komik berukuran standar ia letakkan melengkapi hadiah lainnya.

"Kau suka ini? Seseorang mengirimnya untukmu. Dia lucu sekali. Kau pasti juga akan menyukainya.." Obrolan Jun Ki kini terdengar menyenangkan, tidak suram seperti sebelumnya. Ada bahagia yang membuncah di dirinya sejak membaca email itu.

Mungkin tak akan sebahagia ini jadinya Jun Ki jika Namira mengabaikan alamat email di akhir pesan yang ditinggalkannya pada buku Namira dua tahun lalu.

Di akhir kalimat yang ditulis Jun Ki itu ternyata ia juga menuliskan alamat email, berharap Namira akan meresponnya. Tetapi Namira buru-buru merobeknya. Ia benar-benar merobeknya, tapi merekatkannya lagi di suatu tempat dalam diary nya.
Meski berhari-hari dilanda kebimbangan antara mengirim pesan atau mengabaikan, ia akhirnya tak kuasa menahan diri dan terjebak oleh perasaan yang semakin tumbuh subur dihatinya selama dua tahun ini.

Salahnya, keputusannya saat itu mungkin hanya akan memberi kebahagiaan sesaat saja bagi Jun Ki. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi ketika Jun Ki akhirnya menyadari kesalahpahaman ini.

Selama dua tahun ini, Namira telah tahu banyak tentang Jun Ki, lelaki itu merasa begitu nyaman menceritakan segala hal pada Namira. Entah mengapa, rasanya ia seperti menemukan adiknya yang hilang. Jun Ki pun begitu, ia sudah banyak tahu cerita tentang Namira. Tentang masa lalunya yang kelam, tentang bagaimana ia bertahan hidup dengan menjadi pengantar kopi untuk para pedagang di sebuah pusat perbelanjaan. Tentang bagaimana ia nyaris terbunuh sebelum akhirnya di adopsi oleh dokter Ali. Dari cerita Namira itu ia menyimpulkan bahwa gadis cantik yang ditemuinya waktu itu ternyata bukan putri kandung dr. Ali. Tetapi anak yang di adopsinya.

Namira. Gadis yang memiliki goresan luka dalam melebihi lukanya.

Seseorang yang ia rasa sangat membutuhkan perlindungannya.

Delusi Jun Ki benar-benar sudah terlampau jauh.

Salah satu sebab mengapa mereka begitu mudahnya menjadi dekat dan Jun Ki merasa nyaman adalah karena Namira tahu banyak tentang Korea, meski kosakata bahasa Koreanya ia dapatkan hanya dari drama yang sering ditontonnya.

Apa dua tahun ini Jun Ki tidak pernah bertemu dengan Azrina ataupun Namira?
Sering.
Jun Ki sering bertemu Azrina, dan ia masih sama. Masih jelita dan dingin tanpa ekspresi.

Jun Ki menyebutnya pemalu, malu-malu kucing, tepatnya. Pasalnya jika bertemu, Azrina sangat jual mahal, tetapi menjadi sangat ekspresif ketika chatting. Jun Ki menikmatinya, itu membuatnya semakin jatuh cinta.
Namira juga pernah bertemu Jun Ki, tapi Jun Ki mengenalnya sebagai sahabatnya Azrina saja. Bukan sebagai orang yang telah sangat mengindahkan hari-harinya.
Sejenak saja, ia hanya akan melihat Namira sekejap. Matanya, pikiran dan hatinya benar-benar hanya terisi oleh Azrina, yang bersifat Namira, atau Namira yang mengaku Azrina?
Rumit.
Satu hal yang pasti, Azrina tidak tahu apa-apa tentang ini. Namira tak lagi bercerita banyak pada Azrina, meski persahabatan mereka masih tersimpul erat tapi Namira mulai menyimpan sebuah rahasianya sendiri.

Pernah Jun Ki meminta foto Namira, meski ia sudah tahu wajahnya, tapi tetap ia perlu satu untuk bisa ia tatap ketika ada waktu luang. Nakal!
Tapi, Namira tak berani mengirim foto dirinya sendiri. Ia mengirim fotonya bersama Azrina yang tersenyum menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. Manis sekali. Jun Ki bahkan tidak berkedip menatapnya beberapa saat.

"Yaaaa.. dia bahkan malu mengirimiku fotonya sendiri. Ssshhh.. gadis nakal" Gumam Jun Ki setelah menyadari ada dua orang di foto itu. Azrina, pemilik paras jelita dengan senyum berlesung pipit dan Namira dengan senyum manis berhias gigi gingsul.

Untuk beberapa saat ia menepuk-nepuk dadanya yang berdebar hebat.

"Hoolll.. Namira, kau benar-benar menyiksaku!" Pekiknya kemudian menghempaskan tubuhnya ke kasur. Lalu menggeliat tak karuan. Tapi senyum manis berlesung pipit itu tak mau hilang dari pandangannya.
Ia benar-benar tersihir oleh Azrina.

🍁

"Hai, aku suka komiknya. Terima kasih, ya! Kamu orang pertama yang memberiku hadiah selain kakakku. Selamat! Aku juga akan memberimu hadiah. Kalau kamu cowok, aku jadikan pacar. Kalau kamu cewek aku jadikan kakak ipar, mau?" <<Send to Namira>>

Melambung Namira membaca email baru dari Jun Ki itu. Jun Ki menulisnya seolah itu adalah apa yang akan dikatakan Tiffany setelah menerima hadiah Namira. Tapi Namira tahu itu adalah ungkapan hati Jun Ki sendiri dan ia memang mengharapkan itu.
Sayup lantunan nasyid dari playlist ponselnya mempermanis suasana hatinya. Ia lalu berkhayal Jun Ki yang menyanyikan itu untuknya.

** Debar hatiku..
Membisik rindu..
Ingin aku katakan, kau gadis idaman...
Adakah mungkin..
Kau kumiliki..
Untuk aku jadikan, Insan Bernama Kekasih...** (Unic - Insan Bernama Kekasih)


"Aku menemukannya, Tiffany. Sesuatu yang menumbuhkan semangat baru dalam diriku. Seseorang yang padanya terasa nyaman untukku ceritakan segala tentang kita, tentang lukaku. Seseorang yang akan kuperjuangkan sebagai harapan. Dan takkan pernah kulepaskan..."

Pusara Tiffany menjadi saksi tekad Jun Ki hari ini. Niatnya untuk meminang Azrina
--gadis yang dikenalnya sebagai Namira- bukanlah keraguan lagi.

"Secepatnya. Aku akan datang padamu. Secepatnya..."

Mantap ia tekadkan niat. Nyanyian hembus angin dan ombak pun seolah bersahabat. Seakan turut mendoakan dua hati yang saling terikat. Berharap Tuhan pun berkehendak menyatukan mereka dengan akad...

.
.
.
.
.
.

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro