Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29 - Mimpi

assalamualaikum! Chingudeul!

Wkwkwkk.
Gimana part kemarin? Pada ikhlas ga tuh ceritanya end begitu aja?

Dengan adanya part ini, kuucapkan selamat, kalian kena prank wkwk.

Ceritanya masih lanjut kok, gaesss.. Dipantengin terus yaaa! Vote komen jangan lupa!

Oke, langsung aja!

Eitss, disclaimer dulu ya.

WARNING 19++
MOHON KEBIJAKAN PARA PEMBACA DIBAWAH UMUR AGAR SKIP AJA BAGIAN YANG NGGAK HARUS KALIAN BACA. BERBAHAYA!

🍁🍁🍁

Oppa...
Jika aku pergi lebih dulu,
Maukah kau mengantarku dengan ridha yang sempurna?
Ridha seorang suami yang akan mengantar istrinya langsung ke pintu surga.
Agar kepergianku tenang tanpa penyesalan yang mendalam.

Oppa...
Jika aku pergi lebih dulu,
Aku mohon kau menjanjikan satu hal padaku.

Menikahlah dengan Namira.

Dan lanjutkan hidupmu dengan penuh bahagia.

Aku, dan buah hati kita juga akan turut bahagia, kami tidak jauh. Kami disini, melihatmu dari tempat yang berbeda.

Terima kasih, untuk segalanya, Kekasihku...

Untuk segala cinta yang telah kau curahkan meski dalam waktu singkat.

Untuk menjadikanku ratu di istana hatimu.

Untuk segala harapan kebahagiaan setiap kali ku buka mata dan kudapati dirimu tersenyum dan mengecup keningku.

Aku mencintaimu, sepanjang hidupku.
Sampai akhir usiaku.

Selamat tinggal...

🍁🍁🍁

Pekat masih menggelayuti langit di akhir malam yang dingin meski salju tidak turun lagi.

Lee Jun Ki terlelap nyenyak sekali seperti baru saja bebannya terangkat sepenuhnya dari bahunya. Sama sekali tidak terganggu dengan pergerakan seseorang disampingnya yang memberi rasa hangat di ranjangnya.

Istrinya terbangun dengan gelisah. Berulang kali ia mengatur napas dan menstabilkan perasaannya.
Pandangannya ia bawa mengitari sekelilingnya, memastikan dirinya sedang berada di mana. Interior kamar yang kini menjadi kamarnya dan Lee Jun Ki nampak jelas disetiap sudut yang ia tangkap membuatnya menghembuskan napas lega.

Dia, masih hidup. Meski seluruh tubuhnya menggigil kedinginan. Mungkin itu yang membuatnya terperangkap ke dalam mimpi yang begitu menyeramkan tadi. Lemas menguasai raganya saat ini, mimpi buruk sepertinya menguras semua daya yang ia punya.

Mimpi yang terasa begitu nyata. Ia bahkan tidak tahu bagaimana mimpi itu bermula.

Ia baru sadar semalam tadi mereka akhirnya melewati pergumulan yang intens berkat gairah yang tak lagi dapat tertahan. Bahkan suaminya yang tetap nyenyak meski bergerak mengubah posisi tidur menjadi meringkuk seperti bayi itu hanya sempat mengenakan celana saja sebelum ia menjemput mimpi. Membiarkan dirinya bertelanjang dada yang membuat darah Azrina kembali berdesir bersama sisa-sisa ingatan dari aktifitas mereka semalam yang satu persatu mulai menyapanya.

Bagaimana ini terjadi?

Bukankah semalam mereka berada di Namsan?

Azrina masih mengingat-ingat, reka ulang kejadian kemarin memenuhi pelupuk matanya. Lalu tiba-tiba pipinya bersemu merah disertai rasa panas di tubuhnya ketika gambaran kegiatan yang membuat seluruh pakaiannya tandas itu kembali tertayang.

Azrina ingat.

Semalam, Lee Jun Ki menangkap gurat kelelahan dari wajahnya, lalu mengajaknya segera pulang setelah tiba di parkiran.
Beruntung dirinya tidak benar-benar tumbang seperti yang terjadi dalam mimpinya itu. Meski memang nyaris, dan akhirnya ketika tiba di rumah, ia langsung lelap sesaat setelah merebahkan tubuhnya di pembaringan.

Sampai disitu, Azrina tak tahu lagi bagaimana ia dengan serta merta merelakan dirinya terjamah tanpa penolakan atau pemikiran yang panjang. Ia tidak ingat kapan tepatnya Lee Jun Ki bergabung dalam selimut bersamanya, tapi ia masih bisa merasakan, siapa yang lebih dulu memulai gerakan yang membuat pasangannya luluh saja dalam kelelahan.

Siapa lagi kalau bukan Ler Jun Ki. Laki-laki itu dalam pulas tidurnya bahkan bisa mengigau dengan menyergap tubuh seseorang di sampingnya, menangkup wajahnya lalu melumat segala elemen lembut yang ada disana. Beruntung, yang tidur di sampingnya adalah benar-benar istrinya. Mata Azrina membelalak, sedang jari-jarinya terpaksa ia benamkan ke sela-sela rambut Jun Ki, menariknya keras agar pemilik kepala itu memberinya sedikit udara untuk bernapas.


Mimpi buruk itu tertayang lagi.

Suara tangisan meraung Lee Jun Ki bahkan masih bisa ia dengar jelas saat ini.

Air matanya menetes lagi.

Seolah mimpi itu merupakan peringatan, sebab dirinya hampir terlena oleh kebahagiaan yang nyaris sempurna, ketika hubungannya dengan Namira kembali merekat, dan Lee Jun Ki yang benar-benar memperlakukannya layaknya seorang ratu.
Mimpi itu datang, seolah menegaskan bahwa semua kesenangan itu,
Tidak

Akan

Lama.

Azrina merubuhkan dirinya, masuk ke dalam selimut dan menyelipkan tangannya diantara tubuh Lee Jun Ki dan kasurnya. Sementara satu lagi ia lingkarkan ke sekeliling perut Jun Ki hingga punggungnya. Lalu kepalanya ia sandarkan pada dada bidang Jun Ki yang begitu hangat.

Dengan posisi seperti itu ia bisa mendengar detak jantung suaminya dengan jelas. Semakin memperjelas tayangan mimpi yang berusaha ia enyahkan dari pandangannya.

Tidak bisa.
Mimpi itu enggan beranjak. Seolah menegaskan bahwa seperti itulah hidupnya akan berakhir kelak.
Air matanya lalu merebak disebabkan rasa nyeri di dadanya yang semakin tak bersahabat. Ia mendekap Lee Jun Ki semakin erat, sesekali ia melarikan manik matanya ke atas agar air hangat dari matanya itu tidak menetes mengenai kulit Jun Ki yang lalu membangunkannya.

Merasa tubuhnya terkepit erat, Lee Jun Ki dengan mata yang masih terpejam mengulas sebuah senyuman. Kepalanya ia geserkan hingga mulutnya menggapai puncak kepala Azrina dan mengecupnya disana sembari kedua tangannya membalas pelukan sang permaisuri. Hanya keindahan yang dirasanya, tanpa sama sekali berpikir bahwa istrinya sedang tidak merasakan hal yang sama.

"Sebentar lagi, Sayang," ucap Jun Ki dengan suara serak karena masih setengah tertidur saat Azrina mulai melonggarkan pelukannya. Jun Ki tidak tahu bahwa tangan Azrina kini sibuk mengusap matanya yang basah.
"Biar seperti ini dulu beberapa waktu. Mimpiku indah sekali, belum pernah aku bermimpi seindah ini ..." Mata Jun Ki sempurna terbuka kini, namun pandangannya lurus ke depan, tidak menghadap wajah istrinya yang memang lebih rendah dari posisi kepalanya diatas bantal. Hanya tangannya yang kini membelai lembut rambut halus Azrina.

"Mimpiku indah sekali," ulangnya lagi. "Aku sedang berada di sebuah taman yang dipenuhi bunga. Sepertinya sedang musim semi, bersama seorang gadis kecil yang menggenggam tanganku tertawa riang dan memanggilku ayah. Di belakangku ada kau, berjalan bersama ibuku, dan Tiffany, kalian semua tersenyum cantik sekali. Untuk pertama kalinya, semua yang kucintai datang bersama menghampiriku meski hanya dalam mimpi. Segalanya terasa begitu menyenangkan, hingga aku tak lagi mengharapkan apa-apa sebab kebahagiaanku telah sempurna."

Azrina menggigit bibir bawahnya. Seperti menahan sebuah arus gelombang besar yang hendak menjebol pertahanannya.

Tidak.
Bukan saat yang tepat untuk menangis lebih keras sekarang ini.
Ia seharusnya turut berbahagia mendengar mimpi indah yang diceritakan suaminya.

"Ahh ... Andai mimpi itu nyata," ujar Jun Ki dengan menghela napas dari mulutnya. "Gongju-nim, apa putri Ayah sebegitu senangnya bertemu dengan Ayah tadi, sampai mau mampir ke mimpi Ayah, huh?" Sekarang, tangan Jun Ki beralih bermain-main di sekitaran perut Azrina yang semakin hari terlihat semakin tidak rata.

"Kalau saja ibumu tidak jual mahal dari kemarin-kemarin, kita bisa bertemu lebih sering, seharusnya."

Kalimat gurauan Jun Ki memaksa Azrina untuk tersenyum meski benar-benar tidak berselera. Setidaknya, ketakutan akan mimpi buruk yang sangat kontras dengan mimpi indah suaminya itu perlahan menjadi samar, untuk beberapa saat.

Azrina menepuk pelan bahu Jun Ki. "Tahajud dulu, yuk," ajaknya, mengingat waktu malam nyaris sampai ke penghujungnya.

"Haaah ... Mandi deh ..." keluh Jun Ki yang membuahkan cubitan di pinggangnya.

"Akh! Sakit loh," ujarnya berpura-pura meringis.

"Makanya, kalau tidak mau mandi malam hari, jangan aneh-aneh ngelindurnya."

"Eh? siapa yang ngelindur? Bukannya kamu duluan yang buka baju?" elak Jun Ki

"Ya Allah ... Siapa ya yang tiba-tiba menyerang kaya orang kelaparan karena setahun tidak makan?" sahut Azrina tidak terima.

"He eh, refleks saja. Tidak sering seperti itu, kok," jawab laki-laki itu polos sambil menggaruk daun telinganya tanpa terasa gatal sama sekali.

"Refleks ya ... Jangan-jangan kalau tidur dengan orang lain juga refleks begitu?" mata Azrina memicing, seolah menginterogasi. Memang ini bukan kali pertama Jun Ki 'menyerang' Azrina dalam keadaan tertidur. Tapi, sesungguhnya ia melakukannya dengan sadar sepenuhnya. Atau mungkin memang berpura-pura tidur saja agar sang istri merasa kasihan. Maka, dugaan Azrina dengan menatap seperti itu seharusnya tidak perlu. Lee Jun Ki tidak pernah melindur seaneh itu jika kebetulan ia tidur dengan orang lain di sampingnya.
Bahkan membayangkannya saja Jun Ki bergidik ngeri.

"K--ka-kau memikirkan apa?!" tanya Jun Ki ragu-ragu.

"Tidak, kok ... Cuma mengira-ngira, pernahkah Namira kebetulan secara tidak sengaja tertidur satu kamar dengan ... ."

"Astagfirullah. geumanhae! Aku masih cukup sadar untuk memberi batasan pada diriku sendiri," sergah Jun Ki mematahkan dugaan Azrina yang tak berdasar. Kenapa pula istrinya itu mengait-ngaitkan Namira dalam perbincangan mereka setelah malam yang intim tadi.

"Refleks saja," balas Azrina meniru Jun Ki tadi, lalu segera menghindar, berlari kecil menuju kamar mandi  ketika dilihatnya Jun Ki bersiap untuk menerjangnya sekali lagi.

Kesalahannya adalah dirinya belum sempat mengunci pintu kamar mandi, sehingga dengan mudah Lee Jun Ki menyongsong masuk tepat setelah Azrina menanggalkan pakaiannya.

"Oppa!" jeritnya tertahan sembari menutupi bagian-bagian tubuhnya dengan tangan.

Jun Ki berdecih dalam tawanya. Menertawai ekspresi istrinya yang masih saja malu tampil tanpa busana di depan suaminya meski menyatukan tubuh mereka tak lagi terhitung berapa kalinya.
Tetap saja, dalam situasi seperti ini, Azrina masih merasakan aliran listrik sedang menyetrum tubuhnya. Memberi sensasi yang sama seperti saat malam pertama.

Lee Jun Ki melewati Azrina begitu saja, berlalu menuju bath tub di sudut ruangan kamar mandi yang diberi sekat berupa dinding kaca tebal. Ia membiarkan air hangat mengalir mengisi dasar bak mandi, melemparkan sebuah gumpalan berbentuk bulat kedalam sana, yang kemudian mengubah airnya menjadi berbusa dan wangi yang menguar segera hinggap pada indra penciuman mereka.

Sebelum kemudian Lee Jun Ki menjatuhkan sisa pakaian yang menutupi selingkaran pinggang dan sepanjang kakinya, ia membuka langkah, memasuki bath tub yang sudah dipenuhi busa dengan air yang hangat lalu menoleh pada Azrina masih mematung di dekat pintu kamar mandi, bersebelahan dengan wastafel yang dilengkapi cermin besar yang menempel di dinding atasnya.

"Masih ada cukup waktu sebelum adzan subuh. Kalau cepat, masih bisa dapat 2 rakaat ditambah witir. Satu kali lagi, Nona?" tawarnya pada perempuan keturunan Hawa dengan tampilan seolah bidadari yang kehilangan selendangnya saat mandi dan tidak bisa kembali ke kayangan kecuali harus menuruti tawaran lelaki di hadapannya itu.

Mengukir seulas senyum, ia memajukan tubuh menghampiri suaminya yang mengulurkan tangan lebih dulu.

Kembali, mereka mengulangi kegiatan itu, ketika rembulan bahkan terlalu lelah menepis awan-awan yang menutupi sinarnya.
Menyatukan cinta, dan mengukuhkan segala kerapuhan di dalam genangan air yang turut bersatu dengan busa-busa halus dan hangat di tubuh. Dengan gerakan pelan namun tidak menyia-nyiakan waktu. Mereka menjemput kenikmatan seindah mimpi yang menjadi kenyataan. 

Melenyapkan rasa kalut yang memenuhi ruang hati ketika mimpi terlalu menakutkan dan menghujamkan rasa iri pada jiwa-jiwa yang berbahagia malam ini.

🍁

Pagi-pagi sekali, Lee Jun Ki bergegas pergi bersama Paman Kim. Sesuai janjinya, hari ini mereka akan menemui dokter yang diduga meresepkan obat yang justru memperburuk kesehatan Tiffany.

Sementara Azrina, seusai shalat subuh berjamaah dengan suaminya beserta Namira memilih untuk kembali merebahkan diri di tempat tidurnya. Entah oleh mimpi buruknya semalam atau aktifitas semalam, pagi ini tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Mungkin ini yang dimaksud dengan lelah jiwa raga.

Bayangan-bayangan mimpi malam tadi masih menghantui pikirannya, dan air mata lagi-lagi membanjiri pelupuknya. Ketika mendengar suara pintu diketuk, buru-buru ia menghilangkan jejak basah di wajahnya.

"Az ... Kamu gak papa? Ini sarapan dulu, Oppa bilang kamu gak enak badan?" Namira muncul dari balik pintu dengan nampan berisi aneka makanan di tangannya.
Setelah meletakkan nampan diatas nakas, ia menyentuhkan punggung tangannya ke kening Azrina, mengecek suhu tubuhnya.

"Agak hangat, Az," ujarnya khawatir.

"Gak papa, Mir. Cuma kecapekan, kayaknya," jawab Azrina.

Namira menelan ludah berat ketika matanya menatap rambut Azrina yang masih agak basah. Seharusnya, dengan kebiasaan Namira menggoda Azrina, kali ini sahabatnya itu akan digodanya habis-habisan. Tapi entah kenapa berat sekali bagi Namira mengucapkan kata-kata bahkan untuk sekedar tersenyum.

"Yaudah, makan dulu aja. Nanti kalau perlu apa-apa panggil aku aja, ya?" sahutnya lagi lalu hendak berdiri meninggalkan Azrina.

"Suapin ... " rajuk Azrina manja. Tangannya lebih dulu berhasil mencegat lengan Namira agar tidak beranjak.

"Huhh. Manjaaaaa! Kalau bukan Oppa yang tadi titip kamu ke aku, ogah aja repot-repot bawa makanan kesini," gerutu Namira namun tangannya mulai mengambil mangkuk makanan dari nampan lalu mengaduk-aduknya dengan sendok.

Azrina tersenyum geli.
"Yakiiin?" godanya.

"Udah cepetan, aaaaaa."

Mengacuhkan pertanyaan Azrina sebelumnya, Namira segera mengulurkan sesendok bubur ke mulut istri Lee Jun Ki itu. Begitulah Namira yang akan tetap melakukan apa yang Azrina minta meski dengan mengomel dan menggerutu.

"Enak. Ini masakan siapa?" tanya Azrina usai menelan satu suapan dari Namira.

"Menurut kamu siapa? Aku? Nggak mungkin. Wkwkwk," kekeh Namira. Azrina pun tahu, Namira tidak mungkin bisa memasak, apalagi sampai selezat ini.

"Kamu bener-bener nggak bisa makan masakan korea? Apapun?"

"Mm hm. Kecuali yang dibuat Hyungsik. Kampret banget, kan?" ketus Namira dengan ekspresi wajah jengkel.

Azrina terkikik. "Kenapa mukanya gitu? Harusnya seneng dong ... Allah kasih problem, sekalian sama solusinya."

"Ya habisnya ... Kenapa harus Hyungsik coba? Kan nyebelin tuh orang ... "

"Heeey nggak boleh gitu ah ... Kata orang, dari mata turun ke hati. Nah kamu, udah dimasakin, masuk mulut, ditelen ke perut ... Deket banget loh sama hati. Ciyee." Azrina menggoda lagi.

"Aaaaz! Apaan sih. Norak deh," sergah Namira.

"Cuma ngingetin aja, Mir. Kalau ternyata Hyungsik jadi koki kamu seumur hidup, kan nghak ada yang tau..."

"Bodo amat ya Allah. Nauzubillah.. Amit amiiiitttt ... Azrina! Kamu bilang gitu lagi, aku gak mau ngomong sama kamu lagi ya!" gerutu gadis itu sambil mengetuk-ngetuk sendok kedalam mangkuk bubur Azrina yang sudah tandas setengahnya.

Ingin sekali Azrina melanjutkan candaannya. Namun dari wajah Namira terlihat jelas, gadis itu benar-benar sedang tidak ingin bercanda, apalagi dengan topik semacam ini. Di wajahnya jelas tersirat isyarat bahwa dia benar-benar tidak memiliki perasaan apapun terhadap Hyungsik. Itu artinya... Di hatinya masih utuh tersimpan sebuah nama.

Ah... Terkadang sulit untuk menggoda seseorang dengan sesuatu yang dibencinya karena kita tahu pasti siapa sosok yang disukai olehnya.

"Kalau dengan Jun Ki Oppa, kamu mau?"

Ingin sekali Azrina melontarkan kalimat itu, tetapi lidahnya terlalu kelu untuk mengucap. Dan gejolak di hatinya seolah ketakutan untuk menerima jawabannya.

"Oh iya, ngomong-ngomong..." Tiba-tiba Namira teringat sesuatu yang sejak lama ia ingin tanyakan pada Azrina.

"Aku inget waktu kamu tumbang di kampus aku? Kamu belum cerita apa-apa soal itu, loh. Waktu itu kamu nggak lagi ..."

"Nggak apa-apa kok. Cuma kecapekan aja," kilah Azrina terburu-buru

"Yaampun, Az ... Maafin aku, ya? Kamu cari aku sampai kecapekan begitu." Itu permintaan maaf Namira karena masalah ini yang ke sekian kali. "Sumpah ... Aku panik banget waktu denger kabar itu ... Kukira, kamu kambuh."

Azrina menyimpulkan senyuman. Mengisyaratkan agar Namira tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Dan itu benar membuat Namira lega.

"Pokoknya, kalau kamu ngerasa nggak enak badan atau kambuh lagi, bilang sama aku ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, Az," ungkapnya tulus.

"Iya. Tenang aja. Sekarang aku udah lebih baik, Mir. Aku sehat. Aku nggak pernah kambuh lagi ... Buktinya sekarang, aku hamil."

Keduanya mengembangkan senyuman. Namun senyum mereka terukir berbeda.
Namira dengan senyum leganya, Azrina dengan senyum sedikit terkulum, seolah menyembunyikan sejuta perasaan bimbang.

Entahlah... Entah mengapa, terasa begitu sulit untuk mengatakan yang sebenarnya pada Namira. Setelah berpisah beberapa waktu dan melewati peristiwa yang cukup tidak mengenakkan, meluapkan segalanya pada Namira terasa tidak semudah dulu.
Mungkinkah karena mereka kini telah menjadi asing?

Hening beberapa saat, hanya terdengar denting suara sendok yang bertemu dengan mangkuk-mangkuk makanan. Tiba-tiba, ponsel Namira berdering. Menampilkan sebuah nama yang tidak biasa di layar teleponnya.

"Presdir!" sahutnya terkejut. Ini peristiwa langka. Untuk apa presdir meneleponnya?

Azrina pun menegakkan duduknya ketika Namira mulai menggeser tombol hijau di layar ponselnya untuk menjawab telepon.

"Yeoboseyo? Halo, Presdir?"

"Eoh, Namira mattji?"

"Iya benar, Presdir. Saya Namira."

"Bagaimana kabarmu, Nak?"

"Alhamdulillah, luar biasa, Allahu akbar!" pekiknya membuat Azrina terkekeh geli.

Dari seberang telepon, suara presdir pun terdengar tertawa. Itulah Namira yang ceria, bahkan pada Presdir yang disegani seluruh negeri pun dia bisa bercanda.

"Syukurlah. Apa kalian ada di rumah?  Aku baru tiba dari Granada, rasanya aku ingin mengunjungi kalian."

"Ye, Presdir. Saya ada di rumah. Tapi Jun Ki-ssi sedang pergi bersama Paman Kim."

"Aku tahu Jun Ki tidak ada. Makanya aku menuju kesana. Kau pasti tahu, Jun Ki tidak akan mau bertemu denganku."

"Aah," lalu apa yang dimaksud dengan 'kalian' pada kalimat presdir tadi?

"Istrinya Jun Ki, ada kan?" seolah tahu apa yang ada di benak Namira, Presdir langsung memperjelas maksudnya.

"Ah, iya. Iya, Presdir. Kami ada di rumah. Silahkan berkunjung, anda ingin aku menggelar karpet merah?"

Presdir tertawa lagi. Dia suka gadis ceria itu. Entah mengapa selera humornya jadi menurun drastis kalau dengan Namira. Presdir bisa tertawa bahkan saat Namira tidak bermaksud melucu.

Sambungan telepon baru saja dimatikan. Namira cepat-cepat memberitahu Azrina soal ayah mertuanya yang sedang menuju ke rumah mereka. Padahal tanpa diberitahu pun Azrina sudah mendengarnya sendiri tadi.

"Presdir itu, seperti apa orangnya?" tanya Azrina setelah beberapa saat.

"Kamu belum pernah ketemu Presdir?" Azrina menggeleng. "Iya, belum pernah. Dan nggak tau kenapa, Oppa nggak pernah mau bahas tentang ayahnya denganku. Sepertinya mereka nggak berhubungan baik," imbuh Azrina.

"Huaaaahh ... Bukan tidak baik lagi. Saaaangaaaatttt buruk! Mereka punya masalah besar, aku juga nggak tau apa. Tapi masalah itu bikin Jun Ki jadi benci banget sama presdir," terang Namira.

"Kamu ingat, kan? Aku pernah cerita, waktu Jun Ki langsung terbang kesini setelah tahu aku ada di rumah presdir? Bagaimana dia mengamuk disana dan membawaku ke rumah ini dengan mengakuiku sebagai istri? Itu karena bencinya Jun Ki sama ayahnya sendiri. Baginya, Presdir berbahaya. Orang yang bisa melenyapkan siapapun yang Jun Ki sayangi untuk menghancurkan kebahagiaan Jun Ki."
Azrina tertegun tak percaya.

"Tapi kalian terdengar akrab?"

"Ya emang. Presdir itu aslinya baik. Aku juga heran kenapa Jun Ki begitu membencinya padahal ayahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti yang dia bilang. Aku pikir, ada sesuatu ... Semacam kesalah pahaman diantara mereka yang memperburuk hubungan mereka."

"Kasihan presdir ... Walau bagaimanapun, Oppa masih punya kewajiban bakti kepadanya."

Namira mengangguk setuju.

Tidak berapa lama, pelayan rumah mereka datang dan memberi tahu presdir sudah tiba. Cukup mengagetkan karena Namira mengira Presdir masih jauh dari rumah mereka saat menelepon tadi.

Mereka pun keluar kamar dan menyambut orang nomor satu Hanil Group itu.

Seperti yang dikatakan Namira sebelumnya, Presdir Lee memang benar-benar orang yang ramah. Terlihat dari bagaimana ia menggenggam erat tangan Azrina yang terulur menjabatnya kemudian menyentuhkannya ke kening menantunya itu. Seperti kebiasaan orang Indonesia memberi salam pada orang yang lebih tua.
Diperlakukan seperti itu, Presdir merasa senang sekali. Maka sampai ketika mereka tiba di ruang tamu dan mulai membuka obrolan, Presdir lebih banyak melontarkan kalimat disertai senyuman yang tak luput dari wajahnya.
Jarang-jarang Presdir sebahagia itu. Atau hanya karena dia bertemu dengan menantunya? Entahlah. Yang pasti Azrina merasa nyaman bertemu dengan ayah mertuanya itu.

Setelah berbincang cukup lama, saling bertukar kabar dan cerita tentang Indonesia dan keluarga Azrina yang cukup membuat Namira terkejut hingga merasa tidak enak hati.
Faktanya, dia baru mengetahui hubungan keluarga Azrina dengan keluarga Lee Jun Ki sudah terjalin sejak sebelum mereka dipertemukan dalam ikatan pernikahan. Lalu, siapa Namira yang tiba-tiba memaksa ingin mengambil bagian penting diantara mereka?

Maka—dengan beralasan ingin ke kamar kecil—Namira menarik diri dan memberikan ruang bagi ayah mertua dan menantu itu untuk mengobrol lebih banyak dan saling mengakrabkan diri.

"Apa kau nyaman berada disini? Katakanlah jika kau membutuhkan sesuatu," ujar Presdir penuh kasih sayang.

"Tidak, Presdir. Saya baik-baik saja. Oppa mengurus saya dengan baik hingga tidak bisa mengeluhkan sesuatu karena tidak kekurangan apapun."

"Syukurlah ... Tapi mengapa kau sejak tadi memanggilku Presdir? Aku ini Ayahmu, Nak. Panggil aku Ayah."

Azrina tertawa kikuk. Dia memang masih merasa bingung akan memanggil ayah mertuanya dengan sebutan apa. Sedang memanggilnya dengan panggilan "Ayah Mertua" masih sedikit canggung baginya mengingat ini pertemuan pertama mereka.

"Terima kasih kau bersedia mendampingi Jun Ki dan memberi bahagia di hidupnya. Ayah senang sekali melihat dia kembali bersemangat menjalani hidupnya sekarang. Mungkin aku memang ayah yang buruk baginya, tapi ... Terima kasih karena kau istri yang sempurna untuknya."

"Jangan berkata begitu, Abeonim. oppa lah yang justru menyempurnakan saya."

"Ayah benar-benar bahagia, Nak. Kau tahu? Hidup ini melelahkan. Sejak dulu, Ayah ingin menyerah. Tetapi, setiap kali berharap pergi dari dunia ini, Ayah akan teringat mendiang ibunya Jun Ki ... " sesaat kalimat Presdir terjeda. Ada hela napas berat yang diembuskannya. Seperti menahan rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya. Selalu seperti itu, jika mengingat tentang mendiang istrinya.

"Jika kami bertemu lagi disana, apa yang akan aku katakan padanya tentang keadaan putra kami disini? Maka dari itu, Ayah berusaha bertahan. Sampai Jun Ki menemukan kebahagiaannya kembali. Bagaimanapun, Ayah yang menghancurkan semuanya dulu. Jika sampai kini, Jun Ki akan menganggapnya seperti itu. Tidak mengapa, karena kini kau ada bersamanya."

Mau tidak mau, mata Azrina mengkhianatinya untuk tidak menumpahkan bulir hangat dari kelopaknya.
Persoalan sejenis apa yang dihadapkan pada keluarga ini hingga membentangkan jarak yang begitu lebar dan dalam diantara mereka? Ketika hati dari masing-masing keduanya telah porak poranda, satu diantara mereka tumbuh penuh murka dan derita. Satu lagi berusaha bertahan demi sebuah tujuan kebahagiaan meski harus menanggung begitu banyak luka.
Seharusnya tidak begini.
Seharusnya mereka saling berangkulan.
Saling menguatkan.
Bersama-sama berjuang untuk bertahan menjemput kebahagiaan.

"Ayah ... Walaupun saya tidak tahu persoalan apa yang membuat Ayah dan oppa menjadi seperti ini, tapi ... Sebagaimana kewajiban kami untuk berbuat baik kepada Ayah, izinkan saya untuk membantu memperbaiki hubungan Ayah dengan Oppa. Kami akan berusaha untuk berada di sisi Ayah di masa kini. Saya yakin, ada sesuatu yang bisa menyadarkannya untuk menyayangi Ayah selayaknya seorang anak bagi ayahnya," janji Azrina.

Presdir tersenyum disertai tawa kecil.
"Terima kasih, tapi itu tidak perlu. Aku sudah cukup bahagia dengan melihat putraku berbahagia denganmu dan calon buah hati kalian," kedua tangan presdir kembaki terulur, meraih tangan Azrina dan menggenggamnya erat diantara kedua tangannya. Meluapkan rasa bahagianya, menegaskan bahwa Azrina tidak perlu bersusah payah untuk itu, sebab dengan dia berada disisi Jun Ki saja, sudah lebih dari cukup.

Tetapi, Azrina bisa apa?
Bayangan mimpinya semalam kembali datang tanpa melihat situasi. Sepersekian detik, suasanya hati Azrina berubah gundah.

Bagaimana jika ... Ia justru tidak akan berada di sisi Jun Ki lebih lama?

"Kenapa kau terlihat pucat, Nak?" menangkap air wajah Azrina yang memang sedang tidak enak badan itu, Presdir jelas akan bertanya.

"Ah benar ... Bagaimana kandunganmu? Apa semua baik-baik saja? Kemarin ayahmu mengabari bahwa keadaanmu sedang buruk dan harus dalam pantauan dokter ahli. Apa kau baik-baik saja?"

"abeonim ..." buru-buru Azrina menyela. "Maafkan saya karena menyembunyikan sesuatu yang penting dari kalian semua. Tapi kurasa Abeonim harus mengetahuinya."

Presdir mengerutkan keningnya. "Tentang apa?"

"Abeonim pasti tahu tentang penyakit yang saya derita sejak kecil?"

"Bagaimana mungkin aku tidak tahu. Istriku adalah doktermu. Tapi bukankah itu sudah sembuh?"

"Iya, Ayah. Memang sembuh saat itu. Namun beranjak remaja, penyakit itu kembali, kali ini lebih parah dari sebelumnya."

Presdir terlihat terperanjat. Namun berusaha mengontrol ekspresinya.

"Maaf karena kami tidak mengatakan apa-apa sebelum pernikahan. Sebab setelah melewati berbagai rangkaian pengobatan, berangsur-angsur saya kembali pulih dan nyaris dikatakan sembuh karena tidak lagi kambuh selama dua tahun selulusnya saya dari sekolah menengah. Meski tetap dalam pantauan dokter dan juga Abi, akhirnya, setelah menikah, terlebih saat saya dinyatakan mengandung, penyakit ini ternyata semakin ganas menggerogoti. Maafkan saya, Presdir."

Presdir mengusap puncak kepala Azrina yang berbalut hijab. Menantunya itu kini sedang menyeka wajahnya yang basah oleh airmata.

"Tidak apa. Jangan dipikirkan. Gogjongma. Disini ada banyak dokter ahli. Aku akan perintahkan mereka untuk menanganimu sampai sembuh. Kau tidak akan kenapa-kenapa," pungkasnya.

"Lee Jun Ki juga merawatmu dengan baik, kan?" tanya Presdir lagi.

"aniyo, Abeonim. Oppa tidak tahu soal ini... Saya, saya terlalu takut untuk..." kata-kata Azrina tertahan. Hidungnya mulai merah dan berair.

"Jun Ki tidak tahu? Apakah itu adil baginya?"

"Aku hanya perlu waktu yang tepat untuk mengatakan padanya. Untuk saat ini kupikir dengan kejadian yang menimpa kami sebaiknya dia tidak tahu ... Apakah tidak apa-apa, Ayah?"

"Bagaimanapun suatu hari dia harus tahu. Ayah lega kau menyadari hal itu. Maka semuanya kuserahkan padamu," jawab Presdir kemudian.

"Ayah, bolehkah saya megajukan sebuah permintaan?"

"Tentu saja. Kau ingin apa? Marhae. katakan."

"Tentang ini, bisakah Ayah merahasiakannya dari siapapun? Selagi saya berusaha memperbaiki hubungan Ayah dengan Oppa, maukah Ayah tidak memberitahu Oppa dulu soal ini?"

Presdir terlihat berpikir sejenak.

"geurae. Sebenarnya, aku juga kemari untuk membicarakan sesuatu. Kupikir kita bisa membuat kesepakatan."

"Apa yang Ayah ingin bicarakan?"

"Kau tahu kan, kehadiran Jun Ki disini sebenarnya berbahaya? Selama ini Ayah menyembunyikannya maka tidak begitu mengkhawatirkan bagi orang-orang yang berambisi untuk mencelakainya." Azrina mengangguk mengerti. Dia memang sudah tahu soal ini. Dan tentang dia yang juga berada disini adalah tidak lain untuk menghindari bahaya yang bisa datang padanya saat jauh dari Jun Ki.

"Sejauh ini, belum ada siapapun yang tahu dirimu adalah menantuku. Dan keberadaanmu disini cukup aman, kecuali dari sorotan media. Aku tidak bisa menjamin jika media tahu soal ini."

"Lalu, Ayah ingin saya bagaimana?"

"Karena beberapa orang sudah terlanjur menyangka Namira sebagai istri Jun Ki, maka aku meminta persetujuanmu untuk tetap membuat peran itu berjalan. Nanti kita bicarakan ini dengan Namira juga. Kau pun, cobalah membujuk Jun Ki."

Membuat Namira berperan sebagai istri suaminya? Lalu dia apa?

"Hanya sampai surat wasiatku selesai dibuat. Sampai saat itu, bisakah kamu hanya berada di rumah saja dengan Jun Ki? Jika ingin keluar rumah, sebaiknya dia bersama Namira."

"Bb-baiklah, Ayah. Kalau itu lebih baik."

"Mungkin media akan mencoba mencari tahu. Tapi tenang saja, tidak akan ada konferensi pers untuk ini. Namun kita hanya harus berhati-hati. Terutama dari istriku dan orang-orang yang menjadi kaki-tangannya,"

Azrina mengangguk sekali lagi. Sekalipun kesepakatan ini menimbulkan gejolak di hatinya. Namun entah berasal darimana, kesepakatan ini memunculkan pikiran dalam kepalanya. Pemikiran untuk membuat Namira dan suaminya benar-benar menjalin hubungan yang sah saja, alih-alih harus bersandiwara. Toh ... Suatu hari, mungkin memang akan begitu seharusnya.
Ketika pada akhirnya ia hanya akan menjadi kenangan setelah kepergiannya.


🍁🍁🍁

To be continued.

Wohoooooooo. Ottohkeee yeorobun!

Sudah makin emosi? Wkwk. Dengan terpublishnya part ini, kita sudah lebih dari setengah jalan. Itu artinya cerita ini hampir berakhir. Hua hua.
Sampai sejauh ini, ada yg bisa nebak endingnya gimana? Wkwkk

Mangatz buat yang setia menunggu. Terima kasih banyak. Dan maaaf jika tidak sesuai ekspektasi.

Maap maap teros dah.
Iya maap ya huhuuuu..

Enjoy the story.

Jangan lupa komennyaaaaaa.

Saranghaeeee 💓💓💓

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro